Iis Soekandar: 2025

Kamis, 13 Februari 2025

Nasi Megono

Waktu menunjuk pukul 5.30. Langit mendung; para pedagang berpayung; saya bingung. Saya baru tersadar, penjual nasi megono tidak mangkal. Ke mana saya harus mencarinya?

Saya putuskan menunggu di samping penjual nasi jagung langganan. Dua hari sebelumnya saya bertemu teman. Kami sama-sama keluar masjid selesai salat Subuh. Tiba-tiba ia membicarakan penjual nasi megono.

            “Di undakan ini, aku pernah bertemu penjual nasi megono. Aku langsung beli. Sayang, tidak tiap hari dia lewat sini,” keluhnya. Ia bercerita bahwa beberapa teman yang waktu itu membersamainya, juga membeli nasi megono. Mungkin penggemar nasi megono banyak. Kami menyayangkan penjualnya tidak mangkal di pasar, agar pembelinya tidak kesulitan mencarinya.

            Dari perbicangan itu, saya ingin makan sarapan nasi megono.

            “Mungkin penjualnya libur. Memang dia tidak tiap hari lewat. Siapa tahu dia sekarang jualan di pasar lain,” jelas pedagang nasi jagung, setelah saya menunggu setengah jam. Akhirnya saya pulang, setelah membeli nasi jagung, dengan pelengkap: gudangan dan rempeyek ikan asin.

            Pagi berikutnya, saya menunggu lagi. Saya kecewa, karena kembali pulang menenteng sebungkus nasi jagung. Hal itu berlangsung hingga empat hari.

            Tinggal dekat pasar, dan di tengah masyarakat urban, saya banyak menikmati alternatif menu sarapan, di antaranya nasi megono. Berawal ketika saya membeli wortel, seorang lelaki menyodorkan sebuah bungkusan. Ia mengatakan bahwa ia menjual nasi megono seharga Rp5.000,00. Saya penasaran. Saya membelinya. Kalaupun saat itu saya sudah membeli sarapan, saya berikan orang lain. Saya beruntung dapat menikmati makanan khas daerah.

            Nasi megono adalah makanan khas Pekalongan. Ciri khas nasi megono, selain nasi putih, bersayur nangka muda yang dicacah, berbumbu dan berempah tertentu; rasanya gurih. Lauknya ikan asin. Nasinya pulen dan hangat, cocok disantap saat hawa dingin.

            Pekan berikutnya, saya kembali bergerilya. Penjual nasi jagung langganan sedang libur. Saya menunggu di depan supermarket. Seperti mendapati panas matahari di musim hujan, saya buru-buru menghampiri seorang lelaki. Kedua tangannya membawa wadah plastik, berisi bungkusan-bungkusan dagangannya.

            “Tidak jualan tiap hari ya, Pak? Kemarin tak tunggu gak lewat.”

            “Kemarin kan hari Minggu, aku mengaji…” jelasnya. Lalu ia mengatakan bahwa tidak setiap hari lewat di satu pasar. Di samping itu, beberapa hari ia tidak enak badan, dan libur berjualan. Apapun alasannya, saya segera membayar, dan tidak sabar menikmati nasi megono.

@@@


 

Kamis, 06 Februari 2025

Minimalis

Buku ini saya ambil dari rak, tanpa tujuan tertentu, lalu segera pergi, demi udara dingin, padahal sepanjang perjalanan menuju perpustakaan, kaus tebal tak berimbas menghangatkan tubuh. Suhu ruang perpusatakaan punya standar tertentu agar kertas-kertas bukunya tidak sobek atau berjamur.

            Sekilas judulnya bersinggungan dengan kondisi tempat tinggal saya. Alih-alih saya bisa menanam pohon rambutan, sejengkal tanah tidak ada di halaman rumah.

Dua minggu lalu saya menyambangi teman. Rumahnya di pinggir kota, daerah Gunung Pati. Ia menanam satu pohon rambutan dan tanaman-tanaman hias di halaman rumahnya. Saya bertanya mengapa tidak ditebaskan pohon itu. Dan uang dari penjualannya untuk membeli kebutuhan rumah tangganya.

            “Hanya inilah yang bisa aku bagikan ke teman-temanku,” jawabnya sambil memisahkan buah-buah rambutan dari tangkainya, lalu memasukkannya ke kantung kresek, yang disiapkan untuk saya bawa pulang. Kami duduk di lantai teras; saya membantunya. Saya tidak berhenti makan rambutan. Dagingnya tebal, ngelotok, dan manis. Sebelumnya saya dan teman-teman lain sering kecewa membeli rambutan di pasar. Terkadang rambutan-rambutan itu masam, atau tidak ngelotok. Sejak itu, setiap panen, ia senang membagikan buah-buah rambutannya kepada teman-temannya.

            Waktu menunjuk pukul empat sore ketika saya mulai membaca buku Urban Farming, sambil ditemani ‘bakpao ijo’ yang sedang viral. Orang menanam tanaman tidak harus di tanah  berhektar-hektar, sebagaimana Pak Tani dan Bu Tani. Daerah perkotaan dengan rumah-rumah berimpitan satu sama lain, orang bisa bercocok tanam, yaitu dengan istilah urban farming atau menanam di lahan terbatas.

Selain tanaman hias, sayuran dan buah-buahan juga bisa ditanam di lahan terbatas: bayam, kangkung, sawi, selada, tomat, cabai, stroberi, kacang-kacangan, paprika, melon, anggur.

Orang mengonsumsi sayuran dan buah dari tanaman sendiri, dapat mengurangi efek degradasi zat gizi. Menurut sebuah studi, sekitar 30-50% zat pada buah dan sayur akan hilang setelah 5-10 hari ditransportasikan dari kebun sampai ke konsumen.

Ada tiga teknik penanaman di lahan terbatas. Pertama, penanaman menggunakan media konvensional: tanah. Tempat tanamnya pot, bambu, atau wadah tidak terpakai. Kedua, penanaman menggunakan media air bernutrisi, yang disebut hidroponik. Ketiga, penggabungan menanam tanaman dan memelihara ikan, yang disebut akuaponik. Teknik ini merupakan simbiosis mutualisma: tanaman memanfaatkan unsur hara dari kotoran ikan; ikan mendapatkan suplai oksigen dari tanaman. Tanaman yang umum dibudidayakan: cabai, tomat, sawi, bayam, dan kangkung; ikan yang umum dipelihara: nila, lele, mas, patin, gurami, tawes.

Setiap teknik diberi gambar dan keterangan secara jelas. Pembaca mudah mempraktikkannya.

Selesai membaca buku, keesokan hari saya berkunjung ke rumah teman. Saat itu wilayah RT-nya, diwakili beberapa warga, mempraktikkan akuaponik. Saya tanyakan apakah lele-lele di dalam ember tumbuh hingga besar, dan kangkung-kangkung yang ditanaman di lubang-lubang tutup ember itu bisa dikunsumsi.

“Berhasil, kok. Sekarang usaha itu diteruskan warga. Setiap panen ikan lele dan kangkung, dia woro-woro.”

Ia bercerita penuh semangat. Terlintas dalam benak saya sebotol air mineral di dalam kulkas. Kelak botolnya akan saya gunakan menanam, mungkin cabai.

@@@


 

Kamis, 23 Januari 2025

Teh Tarim

Pertama kali saya mendengar teh tarim ketika ditanya teman, apakah saya pernah merasakan teh tarim. Saya jawab, alih-alih merasakan, mendengar naman teh tarim baru sekali itu. Teman saya terkekeh; ia juga baru mendengar namanya. Ia dikasih tahu temannya. Nama teh tarim lewat dari mulut ke mulut, entah siapa pertama mengembuskannya, bahkan merasakannya.

Saya browsing. Teh tarim berasal dari Kota Tarim, Yaman. Saya menghubungkan tamasya ke Timur Tengah. Yaman salah satu negara Timur Tengah. Sebagaimana oleh-oleh khas Timur Tengah, orang membeli teh tarim setelah berkunjung ke sana.

Saya bersama teman atau tetangga suka menyambangi kenalan-kenalan yang pulang dari Timur Tengah. Kami senang mendengarkan pengalaman berkesan selama mereka berada di negeri orang, sambil menikmati makanan-makanan dan minuman khas yang dihidangkan.

Malam bertabur bintang ketika saya dan teman, mengunjungi seorang kenalan. Angin bertiup sejuk. Sesejuk suasana di dalam rumah. Ibu kenalan kami baru saja pulang dari Timur Tengah. Ia beramah tamah dengan dua wanita sebaya, duduk lesehan di atas karpet. Mereka menikmati kacang arab, kismis, kurma, dll, juga air zam-sam dalam gelas sloki. Kenalan kami keluar, menemui. Ia mempersilakan kami menikmati makanan-makanan khas itu. Setelah menuangkan air zam-zam, ia juga menuangkan minuman dari poci. Sejak masuk rumah, hati saya menebak, kali ini keinginan saya tersampaikan.

“Ini teh tarim, kan?” tanya saya. Suara saya menyita perhatian mereka.

“Teh tarim?” ulang kenalan setelah menyodorkan dua gelas teh hangat. Dia menjelaskan bahwa minuman teh itu dari merek yang sehari-hari dijual di warung-warung. Ibunya tidak mampir ke Yaman. Mereka suka minum teh hangat saat bertemu. Mereka tertawa; teman saya meledek; wajah saya memanas.

Saya terus penasaran, walau tersimpan di hati. Saya tak ingin kejadian memalukan itu terulang.

Untuk kesekian kali, saya berkunjung ke kenalan, bersama para tetangga. Beberapa hari sebelumnya ia dan suaminya pulang dari Timur Tengah. Kami disambut dengan aneka hidangan khas, di atas karpet kombinasi merah-putih. Tak lama setelah memberikan air zam-zam dalam gelas-gelas sloki, ia menuangkan munuman dari poci dalam wadah-wadah plastik.

“Silakan dicicipi teh tarimnya. Itu teh khas dari Yaman!” pinta tuan rumah. Tak ingin mengulang kesalahan sama, saya bertanya kepada tetangga yang duduk di sebelah saya. Hati saya langsung nyes, begitu ia menjawab bahwa tuan rumah mengatakan teh tarim. Saya cicipi sedikit demi sedikit teh tarim. Warnanya cokelat. Tapi tidak ada rasa pahit dan asam, laiknya teh lokal. Teh tarim rasanya segar, seperti ada campuran buah, entah buah apa.

Lalu saya bertanya bagaimana bentuknya. Bentuk teh tarim kepyur. Ia juga menjelaskan, suaminya pernah belajar di Kota Tarim, Yaman. Setelah berkunjung ke Arab Saudi mereka mampir ke Tarim di pondok itu, lalu membeli teh khas.

Sebelum pulang ia membagikan satu tas khusus berisi makanan-makanan khas. Keluar dari rumahnya saya seperti mendapat tambahan uang segepok, bisa merasakan segarnya teh tarim.

@@@


 

Kamis, 09 Januari 2025

Sekilat Mata Melihat

 

               Saya tiba di sebuah masjid, yang biasa saya sambangi, daerah Sidomukti, Kopeng, Kabupaten Semarang, suatu siang, pukul satu. Sambil beristirahat, saya memesan bakso. Tempat ini tidak ada sesuatu istimewa, selain udaranya sejuk dan banyak pepohonan. Saya terhibur, dibanding Semarang yang penuh polusi dan rumah-rumah berimpitan. Alih-alih menanam pohon, warga menanam tanaman-tanaman di pot-pot.

            Selain saya mencari suasana berbeda, tempat ini juga menghilangkan sesak. Pagi hari saya memanggil pedagang keliling, khusus menjual kebutuhan rumah tangga. Saya membeli spons cuci piring.

            “Tiwas manggil gak jadi beli,” kata pedagang memprotes.

            “Aku kan mau beli, Pak. Bapak bilang barangnya habis.”

            Kami berdebat, di antara rintik hujan belum reda. Saya menolak tawarannya membeli pencuci piring lain: serat kawat, atau serabut. Saya pergi, dia menceracau.

            Pesanan bakso datang, bersamaan dengan seorang wanita sekitar 30 tahun turun dari mobil, diiringi wanita lansia berkain kebaya. Dari pintu depan keluar dua anak laki-laki dan seorang lelaki dewasa. Tiga lelaki jalan di depan. Wanita itu mengiringi jalan wanita lansia, selangkah demi selangkah. Bakso segera saya habiskan, untuk segera salat.


           Pengunjung penuh. Saya bertemu lagi wanita 30 tahun dan wanita lansia. Kami berdiri di depan air kocehan: air khusus di depan kamar mandi dan tempat wudu, untuk orang baru datang agar membersihkan kakinya sebelum berwudu.

            “Bunga kertas itu bagus,” ungkap wanita lansia melihat tanaman bunga dari kejauhan. Suaranya putus-putus. Langit terang memantulkan rambut peraknya yang digelung. Rintik hujan baru saja berhenti, menyisakan bau khas. Angin dingin melintas.

            “Itu bunga betulan, Ma,” jawab wanita 30 tahun dengan suara meninggi. “Ini daerah pedesaan. Ngapain nanam tanaman plastik! Memangnya rumah kita?” tambahnya ketus.

            Saya langsung menoleh ke wanita itu. Ia ganti memandang saya. Sorot matanya tajam, seakan mengatakan, “Ngapain lu, orangtua gue!”

            Sekelompok orang keluar dari area wudu dan kamar mandi; saya mempersilakan keduanya.

            Tak ingin berlama-lama berteman dengan udara dingin, selesai salat, saya jalan-jalan ke pasar, tidak jauh dari masjid. Pasar itu selesai direnovasi. Sebagian bangunannya baru dan berganti fungsi. Tempat parkir berada di depan, di alam terbuka, yang dulu ditempati para pedagang buah-buahan, dan beratap. Kini, lapak-lapak buah-buahan menyatu dengan lapak-lapak tanaman, di dalam pasar. 

         Saya belum masuk pasar ketika seorang wanita lansia, berkain kebaya, menghampiri. Kerudungnya kresek hitam totol-totol air. Ia menggendong dunak dan baskom blirik hijau, berisi jualannya, camilan terbuat dari kacang tanah dan gula merah, dalam kantung-kantung plastik.

            “Beli ampyang… beli ampyang…,” pintanya sambil menyodorkan sekantung ampyang. Saya teringat wanita lansia di masjid tadi. Tanpa menawar, saya membeli. Apakah saya terenyuh? Apakah saya iba? Entah. Setelah menerima uang sepuluh ribu, dengan langkah sigap dia pergi untuk menghampiri pembeli lain.

            Saya pulang dengan hati masygul. Pedagang keliling tadi pagi kesal, mungkin karena belum laku satu pun barang dagangannya.

@@@



Jumat, 03 Januari 2025

Tamasya Bersama Jip Wisata Merapi

 

          “Minum Kuku Bima Energi, roso.” Itu kata-kata terkenal Mbah Maridjan, yang tiap hari saya lihat di televisi, sebelum Gunung Merapi erupsi pertama, dan menewaskannya, akhir Oktober 2010. Lereng Gunung Merapi semakin terkenal sejak dibuka tempat-tempat wisata. Saya tertarik karena pengelola menyediakan mobil jip. Saya membayangkan tentara-tentara zaman perang, mengendarai mobil jip, sebagaimana saya lihat di film-film. Tapi saya harus berombongan pergi ke sana. Teman-teman tertarik setiap kali saya bercerita wisata tersebut. Tapi rencana tinggal rencana, kami punya kesibukan masing-masing, dan tak punya kata sepakat.

            Setelah menunggu sekian lama, keinginan itu tersampaikan, 25 Desember, saya bersama tiga keponakan pergi ke Sleman, Yogyakarta, ke tempat wisata tersebut. Satu mobil jip berisi empat penumpang, dan sopir, sekaligus sebagai pemandu wisata. Waktu menunjuk pukul 12.30. Sebelum berangkat, di sebuah kedai, kami makan siang. Keponakan-keponakan protes, tidak ada makanan kekinian; mereka pergi ke supermarket terdekat. Saya menikmati makanan daerah: sepiring ketupat tahu: tahu putih digoreng, ketupat, tauge, kol, sambal kacang manis, daun seledri, topping: bawang goreng yang krispi, ditambah kerupuk di piring berbeda.

Wisata ini menawarkan paket 1, paling murah, Rp400.000,00, paket 2 Rp500,000,00, begitu seterusnya, hingga Rp1.000.000,00 lebih, bergantung sedikit banyak tempat wisata yang dikunjungi. Setiap pengendara jip wajib memakai topi tentara, yang disedikan pengelola, dan pelindung air seperti jas hujan, sekali pakai; kami membelinya Rp10.000,00, dari penjaja di sekitar lokasi. Setengah jam berikutnya kami berangkat. Petualangan dimulai.

Mobil melintas di jalan beraspal dengan kanan kiri pepohonan. Hawa dingin merasuki kulit, tertutup oleh kebahagiaan kami naik kendaraan tak biasa. Suasana semakin seru oleh suara knalpot brong mobil. Sebagian besar pengguna jalan adalah mobil-mobil Jip Wisata Merapi. Saya pikir hanya satu penyedia sewa Jip Wisata Merapi. Di pinggir jalan banyak saya temui pos-pos sewa Jip Wisata Merapi.

            Wisata pertama kami diajak ke Museum Mini Sisa Hartaku. Museum ini rumah pemberian warga. Sesuai namanya, museum menyimpan barang-barang tersisa, pada erupsi kedua, awal November 2010: jam dinding, perkakas-perkakas dapur, televisi, seperangkat gamelan, kerangka tulang sapi dan ayam, dll. Ada juga foto-foto terpampang di dinding seputar erupsi Merapi: para korban dan keadaan Gunung Merapi saat mengeluarkan awan panas dan lahar. Kami terenyuh melihat foto wanita lansia, bersama wanita muda yang menggendong anaknya. Wajah mereka bertabur debu. Mereka, dan penduduk sekitar tidak menyangka erupsi terjadi pada jarak 20 km dari Gunung Merapi, ketika tengah malam, tiba-tiba, genting rumah mereka seperti dilempari kerikil, dan itu material dari Gunung Merapi, berbeda rumah Mbah Maridjan berjarak 5 km.

            “Tapi tidak boleh ambil foto!” larang Mas Sopir ketika saya akan mengambil foto gunung Merapi memuntahkan lahar.

            “Memang kenapa?” tanya keponakan. Saya pikir akan terjadi semacam peristiwa mistis, wisatwan yang mengambil gambar dari museum itu.

            “Maksud saya, foto itu jangan diambil terus dibawa pulang ke rumah,” jelasnya. Kami langsung tertawa. Ia menghibur kami yang larut kesedihan.

            Kami puas melihat semua memori di museum; mobil jip kembali bergerak. Kami dibawa ke The Lost World Park. Taman itu dibangun untuk menyejahterakan penduduk sekitar. Setelah erupsi mereka kehilangan mata pencarian. Selain makanan daerah, mereka menjual makanan kekinian seperti es krim. Ada juga persewaan kain, kebaya lurik, dan selendang jumputan, untuk berfoto, dan permainan flying fox.

            Wisata berlanjut ke Bunker Kaliadem. Bunker ini dibangun untuk menyelamatkan penduduk dari erupsi. Bunker itu cukup ditempati 20 orang. Dari arah luar, sebelah kiri pintu masuk, tempat tabung gas, sebelah kanan kamar mandi.

            “Tapi bunker itu tak berfungsi, bisa dimasuki material erupsi. Dua relawan meninggal di dalam. Ada yang nyebur ke bak mandi. Tapi yang namanya erupsi, air juga panas. Tubuhnya seperti direbus,” cerita Mas Sopir.

            Kami sedih dan ngeri mendengarnya.


               Menuju perjalanan pulang, kami diminta mengenakan jas hujan. Saatnya kami bermain air, dan uji nyali. Ada kubangan, mobil jip digas, lalu… byur, beradu dengan mobil-mobil jip lain, selama beberapa putaran. Badan terbungkus jas hujan basah oleh air lumpur, dari kepala hingga kaki. Begitu permainan selesai, tas ransel yang sejak tadi saya dekap, saya periksa isinya. Syukurlah airnya tidak tembus ke dalam, Hp, kertas-kertas catatan, utuh. Saya lega.

             Dua setengah jam terlewat. Kami kembali ke pos, bersama Jip Wisata Merapi, laksana tentara-tentara menang perang.  

@@@