Waktu
menunjuk pukul 5.30. Langit mendung; para pedagang berpayung; saya bingung.
Saya baru tersadar, penjual nasi megono tidak mangkal. Ke mana saya harus
mencarinya?
Saya
putuskan menunggu di samping penjual nasi jagung langganan. Dua hari sebelumnya
saya bertemu teman. Kami sama-sama keluar masjid selesai salat Subuh. Tiba-tiba
ia membicarakan penjual nasi megono.
“Di undakan ini, aku pernah bertemu
penjual nasi megono. Aku langsung beli. Sayang, tidak tiap hari dia lewat
sini,” keluhnya. Ia bercerita bahwa beberapa teman yang waktu itu
membersamainya, juga membeli nasi megono. Mungkin penggemar nasi megono banyak.
Kami menyayangkan penjualnya tidak mangkal di pasar, agar pembelinya tidak
kesulitan mencarinya.
Dari perbicangan itu, saya ingin makan
sarapan nasi megono.
“Mungkin penjualnya libur. Memang
dia tidak tiap hari lewat. Siapa tahu dia sekarang jualan di pasar lain,” jelas
pedagang nasi jagung, setelah saya menunggu setengah jam. Akhirnya saya pulang,
setelah membeli nasi jagung, dengan pelengkap: gudangan dan rempeyek ikan asin.
Pagi berikutnya, saya menunggu lagi.
Saya kecewa, karena kembali pulang menenteng sebungkus nasi jagung. Hal itu
berlangsung hingga empat hari.
Tinggal dekat pasar, dan di tengah
masyarakat urban, saya banyak menikmati alternatif menu sarapan, di antaranya
nasi megono. Berawal ketika saya membeli wortel, seorang lelaki menyodorkan sebuah
bungkusan. Ia mengatakan bahwa ia menjual nasi megono seharga Rp5.000,00. Saya penasaran.
Saya membelinya. Kalaupun saat itu saya sudah membeli sarapan, saya berikan
orang lain. Saya beruntung dapat menikmati makanan khas daerah.
Nasi megono adalah makanan khas
Pekalongan. Ciri khas nasi megono, selain nasi putih, bersayur nangka muda yang
dicacah, berbumbu dan berempah tertentu; rasanya gurih. Lauknya ikan asin. Nasinya pulen dan hangat, cocok disantap saat hawa dingin.
Pekan
berikutnya, saya kembali bergerilya. Penjual nasi jagung langganan sedang
libur. Saya menunggu di depan supermarket. Seperti mendapati panas matahari di
musim hujan, saya buru-buru menghampiri seorang lelaki. Kedua tangannya membawa
wadah plastik, berisi bungkusan-bungkusan dagangannya.
“Tidak
jualan tiap hari ya, Pak? Kemarin tak tunggu gak lewat.”
“Kemarin
kan hari Minggu, aku mengaji…” jelasnya. Lalu ia mengatakan bahwa tidak setiap
hari lewat di satu pasar. Di samping itu, beberapa hari ia tidak enak badan,
dan libur berjualan. Apapun alasannya, saya segera membayar, dan tidak sabar
menikmati nasi megono.
@@@