Jalan
Ngampin, Ambarawa, menyambut kedatangan saya dengan cuacanya yang cerah. Walaupun
matahari tak menampakkan wajahnya, sinarnya menghangatkan tubuh. Lalu lintas ramai.
Jalan Ngampin dilalui kendaraan-kendaraan dari dalam dan luar kota. Kanan kiri Jalan
Ngampin terdapat tempat peribadatan dan perkantoran. Saya menyusuri sisi kiri jalan
dari arah Semarang, berniat membeli serabi ngampin, makanan khas Ambarawa.  
Sepuluh
menit saya berjalan, tak ada satu pun penjual serabi ngampin, di kanan kiri
jalan, sebagaimana keterangan penduduk setempat. 
“O
mau nyari srabi ngampin? Masih jauh. Naik angkot, tuh!” jelas pedagang
buah-buahan di mobil terbuka yang saya temui, ketika saya mengutarakan niat. Dalam
waktu bersamaan mobil angkot berwarna kuning melintas. Pedagang buah melambaikan
tangan. Mobil berhenti; saya naik. 
Benar
kata pedagang buah, tidak mungkin kaki saya berjalan hingga menemui  penjual-penjual serabi ngampin. Saya minta
berhenti di depan penjual serabi ngampin seorang diri. Dengan demikian, saya leluasa
mengulik serabi ngampin. Sebab ada satu kedai luas, diisi beberapa pedagang
serabi  ngampin.
 Kami saling menyapa akrab, bertanya kabar. Saya
duduk di depannya, di dingklik kayu. Pedagangnya seorang wanita. Keramahannya
tidak saja ia sebagai pedagang, namun juga tuan rumah, yang ingin menjamu
tamunya, khas penduduk desa. Saya ditawari mencicipi, begitu serabi matang dari
cetakan. Padahal sudah saya utarakan bahwa saya hanya membeli satu porsi dan
saya makan di tempat. Saya menolak. Saya minta seporsi sesuai keinginan. 
Akhirnya
saya mendapatkan semangkuk serabi ngampin. Isinya lima buah, 3 rasa 3 warna: gurih
warna putih, pandan warna hijau, cokelat warna cokelat. Teksturnya lembut dan
empuk. Berbeda dengan serabi-serabi lain, serabi ngampin ditambah juruh atau
kuah. Rasanya gurih dan manis, terbuat dari santan dan saus gula merah.
“Kenapa
mesti tepung beras baru? Bukankah di warung dan di pasar dijual tepung beras?”
tanya saya ketika ia menjelaskan bahwa tepung beras serabi ngampin harus baru. Artinya,
baru saja keluar dari mesin penggilingan beras. Setiap kali akan berjualan, ia
menggilingkan beras di penggilingan beras tetangganya.  
“Rasanya
beda. Tepung beras di warung atau di pasar terkadang apek. Dan kalau diadoni
suka ada printilan. Akhirnya nanti terbawa, tepung beras belum matang, di
serabi yang sudah matang.”
Saya
mengangguk-angguk. Saya hanya tahu serabi ngampin lezat. Ditambah sesendok demi
sesendok menikmati kuahnya. Tidak lama seorang lelaki menghentikan sepeda
motornya di depan kedai. Ia membeli dua bungkus. Plastik mika sebagai bungkus
jika pembeli ingin membawa pulang. Isinya sama, lima buah serabi ditambah juruh
yang dibungkus kantung plastik bening. Kemudian ia melajukan sepeda motornya
setelah membayar.
“Memasak
pakai tungku juga membuat serabi menjadi lezat,” lanjutnya kembali bercerita. Seperti
pembelaan diri bahwa ia juga diuntungkan karena tidak perlu menggunakan gas LPG
sebagaimana memakai kompor. Di lingkungnnya bahan bakar kayu lebih mudah
didapat dibanding gas LPG, harganya pun murah.
            Tidak terasa sambil mendengarkan cerita,
semangkuk serabi ngampin di tangan saya tak tersisa setetes pun. Perut kenyang
hanya membayar Rp7.000,00. Saya pulang, dengan harapan suatu saat kembali menikmati
serabi ngampin dan kuahnya yang lezat.
@@@

 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar