Iis Soekandar: Serabi Ngampin

Kamis, 30 Oktober 2025

Serabi Ngampin

                                                                                        

Jalan Ngampin, Ambarawa, menyambut kedatangan saya dengan cuacanya yang cerah. Walaupun matahari tak menampakkan wajahnya, sinarnya menghangatkan tubuh. Lalu lintas ramai. Jalan Ngampin dilalui kendaraan-kendaraan dari dalam dan luar kota. Kanan kiri Jalan Ngampin terdapat tempat peribadatan dan perkantoran. Saya menyusuri sisi kiri jalan dari arah Semarang, berniat membeli serabi ngampin, makanan khas Ambarawa.  

Sepuluh menit saya berjalan, tak ada satu pun penjual serabi ngampin, di kanan kiri jalan, sebagaimana keterangan penduduk setempat.

“O mau nyari srabi ngampin? Masih jauh. Naik angkot, tuh!” jelas pedagang buah-buahan di mobil terbuka yang saya temui, ketika saya mengutarakan niat. Dalam waktu bersamaan mobil angkot berwarna kuning melintas. Pedagang buah melambaikan tangan. Mobil berhenti; saya naik.

Benar kata pedagang buah, tidak mungkin kaki saya berjalan hingga menemui  penjual-penjual serabi ngampin. Saya minta berhenti di depan penjual serabi ngampin seorang diri. Dengan demikian, saya leluasa mengulik serabi ngampin. Sebab ada satu kedai luas, diisi beberapa pedagang serabi  ngampin.

 Kami saling menyapa akrab, bertanya kabar. Saya duduk di depannya, di dingklik kayu. Pedagangnya seorang wanita. Keramahannya tidak saja ia sebagai pedagang, namun juga tuan rumah, yang ingin menjamu tamunya, khas penduduk desa. Saya ditawari mencicipi, begitu serabi matang dari cetakan. Padahal sudah saya utarakan bahwa saya hanya membeli satu porsi dan saya makan di tempat. Saya menolak. Saya minta seporsi sesuai keinginan.

Akhirnya saya mendapatkan semangkuk serabi ngampin. Isinya lima buah, 3 rasa 3 warna: gurih warna putih, pandan warna hijau, cokelat warna cokelat. Teksturnya lembut dan empuk. Berbeda dengan serabi-serabi lain, serabi ngampin ditambah juruh atau kuah. Rasanya gurih dan manis, terbuat dari santan dan saus gula merah.

“Kenapa mesti tepung beras baru? Bukankah di warung dan di pasar dijual tepung beras?” tanya saya ketika ia menjelaskan bahwa tepung beras serabi ngampin harus baru. Artinya, baru saja keluar dari mesin penggilingan beras. Setiap kali akan berjualan, ia menggilingkan beras di penggilingan beras tetangganya.  

“Rasanya beda. Tepung beras di warung atau di pasar terkadang apek. Dan kalau diadoni suka ada printilan. Akhirnya nanti terbawa, tepung beras belum matang, di serabi yang sudah matang.”

Saya mengangguk-angguk. Saya hanya tahu serabi ngampin lezat. Ditambah sesendok demi sesendok menikmati kuahnya. Tidak lama seorang lelaki menghentikan sepeda motornya di depan kedai. Ia membeli dua bungkus. Plastik mika sebagai bungkus jika pembeli ingin membawa pulang. Isinya sama, lima buah serabi ditambah juruh yang dibungkus kantung plastik bening. Kemudian ia melajukan sepeda motornya setelah membayar.

“Memasak pakai tungku juga membuat serabi menjadi lezat,” lanjutnya kembali bercerita. Seperti pembelaan diri bahwa ia juga diuntungkan karena tidak perlu menggunakan gas LPG sebagaimana memakai kompor. Di lingkungnnya bahan bakar kayu lebih mudah didapat dibanding gas LPG, harganya pun murah.

            Tidak terasa sambil mendengarkan cerita, semangkuk serabi ngampin di tangan saya tak tersisa setetes pun. Perut kenyang hanya membayar Rp7.000,00. Saya pulang, dengan harapan suatu saat kembali menikmati serabi ngampin dan kuahnya yang lezat.

@@@


Tidak ada komentar:

Posting Komentar