Tahu Diri
Setiap kali saya melihat pengumuman lomba menulis selalu ada perasaan kecewa. Mengapa saya tidak bisa seperti mereka. Memenangkan lomba, mendapatkan popularitas, penghargaan, dan tentu juga uang. Apalagi kalau membaca nama orang itu-itu lagi yang menjadi pemenang. Dada saya naik turun dengan cepat, pikiran panik, buyar semua rencana, semua itu bercampur menjadi satu.
Barulah ketika tadi siang ada seorang pengemis datang ke rumah saya, saya jadi terhentak sekaligus tersadar pada diri sendiri. Sebetulnya dia kurang layak dianggap pengemis. Bajunya tidak kumuh. Bahkan saya kira teman ibu saya yang akan bertamu. Ternyata dia meminta uang. Keponakan saya yang saya suruh memberi karena kebetulan siang itu saya sedang makan. Namun apa yang dia katakan ketika uang lima ratus rupiah diberikan sebagaimana pengemis pada umumnya? Ditolaknya mentah-mentah. Dia berani memberi tarip lima ratus kali tiga.
Sontak saya yang mendengar naik pitam. Keponakan saya pun tak kalah marah-marah. Kami sepakat menanggapi satu ide, mestinya kalau tidak mau diberi sekedarnya, bekerjalah, jangan meminta-minta.
Sesaat setelah itu saya merenung. Selayaknya saya juga tahu diri seperti dia. Saya belum layak menjadi pemenang. Jadi jangan dulu berharap menjadi pemenang. Bahkan mengurus blog saya masih keteteran. Mengisinya dengan satu tulisan sebulan sekali hingga deadline tanggal 31 baru terlaksana.
Tuhan Mahabenar. Begitupun dalam memberikan nasib kepada hamba-Nya yang kurang tahu diri ini. Inilah kenyataan yang terbaik bagi diri saya saat ini. Saya mesti mensukuri yang telah saya terima. Sambil terus menulis dan menulis. Setiap segala sesuatu ada masanya. Saya sudah terlanjur basah. Saya akan terus menyelam menggali ide-ide yang Tuhan berikan hingga menjadi tulisan-tulisan yang bermanfaat bagi orang lain. Seperti yang sedang saya kerjakan sekarang, menulis kumcer (kumpulan cerpen), diantara menulis tulisan-tulisan lepas dan kegiatan lain. Dengan tahu diri hidup menjadi tenang. karena ternyata banyak hal yang bisa saya kerjakan.