Iis Soekandar: November 2020

Kamis, 26 November 2020

Ayam Cemani Untuk Rani

                                                                                    

Hari ini, Rani, mama, dan papa pergi ke Kedu di Temanggung. Mereka akan berkunjung ke rumah Om Heru, adik mama. Sebulan lalu, Bulek Lasti, istri Om Heru, melahirkan. Baru sekarang Rani dan keluarga menengok sepupu barunya itu. Selain itu, Rani juga ingin bertemu dengan Indah, keponakan Bulek Lastri. Mereka bertemu saat pernikahan Om Heru dengan Bulek Lastri.

Di telepon Indah bercerita bahwa ia mempunyai ayam peliharaan yang unik. Ia akan memperlihatkan kepada Rani. Rani penasaran.

“Apa sih istimewanya ayam? Di mana-mana, bentuk ayam sama kan?” gumam Rani dalam  hati.

                                                                                 
                                                             gambar: majalah Bobo

Setelah dua jam perjalanan, akhirnya mereka tiba di sebuah rumah yang asri. Rumah mungil dengan taman penuh bunga warna-warni. Di sebelahnya ada paviliun yang disediakan untuk istirahat saudara dari luar kota.

Om Heru dan Bulek Lastri senang menerima kedatangan Rani dan keluarga. Apalagi semenjak menikah setahun lalu, baru sekarang mereka bertemu lagi. Mereka bercakap-cakap sambil menikmati camilan tiwul dan minuman teh. Tiwul terbuat dari gaplek atau singkong yang dikeringkan, kemudian ditumbuk, lalu dikukus dan diberi gula merah.

Setelah beberapa lama mengobrol, mereka makan siang. Bulek Lastri menyediakan sayur lodeh dan lauk tempe serta tahu goreng. Sungguh nikmat dimakan hangat.

“Silakan kalau mau istirahat,” ucap Om Heru kepada Mama, Papa, dan Rani setelah makan siang. Sementara Bulek Lastri menengok bayinya di kamar.

“Terima kasih, Om. Rani mau duduk-duduk di teras saja,” jawab Rani.

Mama dan papa beristirahat di paviliun. Rani duduk di teras sambil melihat bunga warna-warni di taman. Tamannya indah dan udaranya sejuk. Temanggung terletak di lereng Gunung Tidar.

Indah berjanji akan menjemput Rani. Tidak lama Rani menunggu, Indah datang naik sepeda. Rambutnya panjang dikucir dua.

“Hai, Rani, kapan kamu tiba di sini?” sapa anak itu.

“Hai, juga. Tadi pagi sekitar pukul sepuluh. Wah, wajah kamu sedikit berbeda, ya sekarang...” ujar Rani sambil melangkah mendekat.

“O yaa?” seru Indah sambil tertawa.

“Rambutmu sudah panjang dan tidak pakai poni,” jelas Rani.

“Iya, rambutku panjang sekarang. Kita, kan, sudah lama tidak bertemu. Rani, yuk, ke rumahku! Katanya kamu penasaran ingin melihat ayam peliharaanku,” ajak Indah.

“Iya, aku penasaran,” jawab Rani.

Indah segera membonceng Rani di sepedanya. Rumah Indah tidak terlalu jauh dari rumah Om Heru. Tidak hanya Indah, kedua orangtuanya juga senang melihat kedatangan Rani. Indah segera mengajak Rani ke belakang rumah. Ia memperlihatkan ayam peliharaannya.

                                                                                      
                                                               gambar: majalah  Bobo

“Aku baru sekali melihat ayam seperti ini. Bulunya, jenggernya, paruhnya, kakinya, semua berwarna hitam legam,” ungkap Rani heran.

Di kebun belakang rumah Indah, ada lima ekor ayam peliharaan Indah. Ayam-ayam itu berkeliaran di kebun belakang.

 “Ini jenis ayam apa, Ndah?” tanya Rani.

“Ini ayam cemani, ayam khas dari Kedu, Temanggung. Ibuku pernah cerita, ayam ini ada sejak zaman Kerajaan Majapahit. Pemiliknya Ki Ageng Mangkuhan. Mulanya, paruh  ayam milik Ki Ageng ini berwarna putih. Ayam ini berhasil mengobati anak seorang pejabat. Ayam itu lalu dipasangkan dengan jenis ayam yang sama.”

“Eh, anaknya malah berparuh  hitam  legam. Karena itulah dinamakan ayam cemani. Nama itu dari bahasa Sansekerta yang artinya hitam legam. Ayam itu terus beranak pinak. Hingga kini, semua ayam cemani berwarna hitam” jelas Indah panjang lebar.

“Ternyata benar, ayam peliharaanmu itu unik. Selain warnanya unik, juga memiliki nilai sejarah.” Rani semakin terkagum-kagum.

                                                                                  
                                                                gambar: majalah Bobo

Tiba-tiba, Indah masuk ke rumah. Ternyata, ia meminta izin orangtuanya untuk memberikan sepasang ayamnya kepada Rani.

 “Kalau kamu mau, kamu boleh ambil sepasang. Tapi janji, ya, kalau yang betina sudah bertelur, jangan lupa sebagian telurnya ditetaskan. Itu untuk melestarikan ayam cemani,” pinta Indah.

“Wah, terima kasih. Aku berjanji akan ikut melestarikan ayam cemani. Ngomong-ngomong, apakah telurnya juga berwarna  hitam?” tanya Rani.

“He he he ... telurnya tetap berwarna putih,” jawab Indah sambil tertawa.

Tidak hanya Rani, mama dan papa juga senang. Rani berjanji akan memelihara sepasang cemani itu dengan baik. Ia ingin ikut melestarikan ayam cemani yang jumlahnya semakin berkurang itu.

@@@

Cerita anak ini pernah terbit di majalah Bobo, Kamis, 19 November 2020


Rabu, 18 November 2020

Kopi Maniak

 


        Kopi maniak. Bagi Arinal bukanlah ahli penyicip macam rasa kopi dengan kelebihannya masing-masing. Tetapi rutinitas minum kopi, dia menyebutnya kopi maniak.

Seperti ungkapan klise sayur tanpa garam atau taman tanpa bunga, jika dalam sehari Arinal tidak minum kopi. Padahal yang diminum cuma kopi warung dengan harga per sachet kecil beberapa ratus rupiah, ukuran satu gelas, dan tanpa gula. Sejatinya Arinal tidak mengetahui rasa kopi secara detail selain rasa pahit.

Pernah suatu malam Arinal sulit tidur. Padahal badan lelah karena banyak mengerjakan tugas. Beberapa pelajaran juga mengadakan ulangan. Malam itu puncak kelelahannya. Tubuhnya terlentang sekian lama di tempat tidur. Tapi mengapa matanya belum dapat terpejam? Dalam perenungan barulah terjawab, dari pagi hingga malam belum meneguk minuman kopi. Sontak saat itu juga Arinal ke dapur dan menyeduh kopi yang dibelinya sore tadi di supermaket. Bila stok habis bertepatan dengan tanggal muda, lebih ekonomis membeli kopi di supermarket. Uang jajan Arinal diberikan per minggu, atau saat tanggal muda. Supermarket tidak melayani pembelian ketengan dan bila dihitung harga per sachet lebih murah. Sesaat kantuk pun menyerang dan ia tetidur lelap hingga pagi. Itu salah satu perbincangan yang pernah diutarakan di depan kedua sahabatnya.

Akhir-akhir ini perihal kopi agaknya tak lagi termasuk dalam agenda pembicaraan. Tepatnya sejak Andre menaruh hati padanya. Kendati kedua sahabatnya yakin, Arinal tetap meminum kopi setiap hari. Mereka sengaja tidak bertanya mengapa begitu. Diam-diam mereka justru khawatir bila diingatkan tentang kopi kemudian tak ada lagi nama Andre di hatinya.

Di sela-sela pertemuan, Andrelah yang dibicarakan walau masih meragukan cinta Andre. Andre yang anak orang mampu, menarik dari tampang maupun aura, terkenal, penuh karisma sebagai ketua OSIS. Dari sejumlah kelebihannya itu, Andre justru dingin soal asmara. Hingga detik ini belum memiliki cewek. Bagi Arinal, di situlah kelebihannya.

Entah mengapa dari pandangan pertama saat Arinal bersama kedua sahabatnya, berlanjut hingga kini. Jika memilih sebetulnya Arinal ingin cowok yang biasa. Sebagaimana dirinya dari keluarga sederhana. Anak seorang penjual nasi kucingan di pinggir jalan. Setiap saat harus membantu, setiap saat pula bergelut dengan kebutuhan yang kurang tercukupi.

Sementara Andre yang bukan teman sekelas, naksir Arinal lantaran tidak banyak bicara. Arinal tidak punya kegiatan selain bersekolah. Tapi justru dari situlah tidak banyak cowok yang naksir. Andre tidak merasa memiliki pesaing. Dibanding kedua sahabatnya yang begitu familiar oleh prestasi akademik atau aktif di OSIS sehingga banyak pula yang tertarik.

@@@

Andre mengajak Arinal makan siang. Sengaja dipilihnya hari Jumat. Selesai salat Jumat kegiatan sekolah baru dimulai lagi nanti sore.

Mungkin karena baru pertama, terlebih bagi Arinal yang tak mengenal banyak cowok, ia grogi. Kedua sahabatnya menyertai. Saat sampai di kantin mereka mengamati dari luar. Mereka senang, tidak lama lagi sahabatnya itu mendapatkan pedamping hidup sebagaimana mereka.

“Sudah lama, Ndre?” Arinal tak kuasa menahan degup di dadanya begitu mendatangi cowok yang sudah menunggu. Di depannya segelas es teh tinggal separuh.

“Ah, tidak begitu lama. Kamu mau pesan apa, Rin?” tawar Andre. Apalah arti Arinal, gadis lugu, sebentar lagi menjadi miliknya. Batin Andre penuh percaya diri.

“Snak saja, gorengan dan air mineral.”

Setelah yakin tidak ingin makan besar, Andre memesan mendoan, tahu isi, dan bakwan serta sebotol air mineral. Sambil menikmati hidangan, Andre mengungkapkan isi hati.

“Kamu mungin bisa menebak maksud undanganku siang ini. Kuharap kau tidak menolak. Aku ingin kamu menjadi pendamping hidupku.”

Arinal menanggapi dengan tersenyum. Andre bingung menerjemahkan senyum itu. Arinal bukan gadis zaman dulu yang dengan senyum dan menunduk itu berarti menerima cintanya. Andre butuh kepastian.

“Jadi... bagaimana, Rin?” tanya Andre setelah beberapa saat.

Arinal mendongakkan wajahnya. Lalu matanya memberi kode pada seseorang. Tidak lama datang pelayan kantin membawa minuman.   

“Kopi ini memang pahit, Ndre. Tapi ituah yang aku suka. Artinya jika kau ingin hidup bersamaku, silakan terima pahitnya juga. Karena mungkin kau tidak menyukai kopi. Hidup tak selalu manis. Bila kau tak sanggup, silakan tarik lamaranmu. Waktumu satu minggu untuk menyelami kopi pahit ini,” ungkap Arinal kemudian pergi dengan meninggalkan secangkir kopi di hadapan Andre.

Andre terbengong. “Dasar kopi maniak. Baiklah, kamu tetap aku kejar sampai dapat,” batin Andre.

 Kedua sahabat Arinal bingung melihat Arinal keluar kantin. Langkahnya tegap, wajahnya tidak sedih, juga tidak gembira.

@@@

Cerma ini pernah terbit di koran Minggu Pagi, Kamis, 12 November 2020