Iis Soekandar: Humanis
Tampilkan postingan dengan label Humanis. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Humanis. Tampilkan semua postingan

Kamis, 11 September 2025

Beda Visi

                                                                                       

Waktu belum menunjuk pukul setengah delapan pagi ketika saya sampai di halte. Beberapa menit kemudian bus Transjateng jurusan akhir terminal Bawen datang. Hanya ada dua penumpang wanita duduk di belakang. Mereka sedang berbincang masalah pekerjaan. Hawa dingin menusuk kulit. Kota Semarang adalah tempat awal pemberangkatan.  

Hari ini spesial. Saya akan memanfaatkan promosi, dalam rangka memperingati hari jadi Provinsi Jawa Tengah ke-80. Bayarnya seribu kan, saya pakai Kris, pinta saya kepada petugas sambil menyodorkan Hp, bermaksud memindai, sebagai persyaratan. Wah, promonya sudah habis, sejak jam setengah tujuh tadi, jawab petugas. Kalau bayar normal mending pakai uang tunai, gerutu saya lalu memberi selembar lima ribu rupiah.

Kekesalan hati terkadang mengacaukan semua urusan. Tujuan utama saya memanfaatkan promosi, selain ke pasar hewan, dari terminal Bawen naik angkot menuju Ambarawa. Kuota 1000 per hari harus dibagi penumpang 7 koridor, selama Juli-September. Sebelum bus melaju jauh, saya merenung. Hati saya leleh. Kapan lagi saya melihat kelinci-kelinci sesungguhnya. Waktu melaju tak terulang. Saya telanjur membayar lima ribu rupiah. Saya putuskan melanjutkan perjalanan.

Satu setengah jam kemudian saya sampai di tempat tujuan. Jalanan menurun dari jalan raya menuju pasar hewan. Sisi kanan jalan, lelaki lansia membawa tas khusus dari rajut janur, lalu mengeluarkan isinya.   

“Niki pinten, Pak?” tanya lelaki muda di sebelahnya tentang harga ayam, mungkin jenis ayam aduan. Ternyata lelaki lansia adalah pedagang ayam.

“Tiga ratus ribu rupiah,” jawab pedagang.

 Lalu lelaki muda melebarkan bulu-bulu ayam, bagian ekor dan kedua sayap, sebelum menawar, “Seratus tujuh puluh lima, nggih?”

Pedagang ayam meminta dagangannya kemudian memasukkannya ke tas khusus dan melesat pergi, menuju pasar. Ia tak menghiraukan lelaki muda berjalan di belakangnya dan  menawar hingga Rp275.000,00. Sikap pedagang seakan mengatakan kalau tidak punya uang sebaiknya tidak membeli ayam berkualitas tinggi.  

Akhirnya saya sampai di tempat kelinci-kelinci dijajakan. Pandangan saya tertuju pada lelaki berjaket hitam, yang sibuk memvideo, kelinci-kelinci dalam satu keranjang besi, dengan Hp. Hewan-hewan imut berbalut bulu-bulu putih itu seperti sekelompok artis sedang shooting. Mereka asyik makan dedaunan, sesekali mata mereka melihat Hp.

Kelinci-kelinci lain, berbeda ukuran, juga berada di keranjang-keranjang besi.  Kelinci-kelinci besar menempati kandang-kandang kayu. Lelaki itu terkesan sudah dari tadi berada di tempat tersebut.

“Sepasang berapa, Bu?” tanyanya, selesai memvideo.

“Delapan puluh ribu,” jawab penjual, berkonde cepol. Baju selututnya berisi penuh badannya yang padat. “Kalau mau yang bibit, itu?” tunjuknya pada keranjang di sebelahnya berisi kelinci-kelinci lebih besar. “Mereka cepat berkembang dan menjadi besar,” jelasnya kemudian sambil menunjuk kelinci besar di kandang.

“Yang bibit sepasang berapa?” tanyanya.

“Seratus lima puluh ribu,” jawab pedagang. Wajahnya mulai kusut.

“Seratus ribu boleh?” tawarnya.

“Dari tadi nawar terus,” umpat pedagang lalu pergi. Tidak ada pembeli lain. Ia menambahi dedaunan untuk kelinci-kelinci kecil yang makanannya menipis. Lelaki itu belum beranjak.

Sebelum pedagang itu marah, saya buru-buru pergi. Sebab saya hanya melihat-lihat. Saya masuk ke salah satu deretan warung di pinggir pasar, untuk makan siang.

Kekecewaan saya tidak mendapatkan harga promosi mungkin sama dirasakan pedagang ayam, yang pembelinya tidak mengerti ayam berkualitas tinggi, dan pedagang kelinci, menghadapi calon pembeli rumit, terlepas setiap orang beda visi.

@@@


Kamis, 24 Juli 2025

Mengetuk Hati Nurani

                                                                                    

         Dingin amat terasa, beberapa hari terakhir. Di luar, matahari masih setia memancarkan sinarnya. Tak ada satu pun pedagang mangkal, begitupun anak-anak yang biasa bermain, mungkin karena libur sekolah telah usai.

Saya biasa menghabiskan sore dengan bersih-bersih rumah, sembari mendengarkan berita-berita televisi. Sesekali saya melihat tayangannya jika ada yang menarik. Saya saklek pada satu stasiun televisi, kecuali Tim Garuda berlaga, saya pindah televisi lain. Sebab televisi langganan saya itu tidak menyiarkan pertandingan sepakbola dalam negeri. Berita-beritanya tak melulu hiburan, dan tak memihak partai tertentu.

Ada tayangan khusus berita-berita kriminal dari berbagai daerah. Kejadian-kejadian kriminal seringkali tak bisa dihindari dan menjadi bagian hidup manusia. Pengalaman mengajari saya agar berhati-hati pada transportasi pribadi. Suatu malam sehabis Magrib saya akan berkunjung ke rumah teman. Saya menggunakan ojek daring. Tak biasanya sopir bercerita tanpa jeda sepanjang perjalanan. Ternyata hal itu untuk mengelabuhi saya dengan menyesatkan jalan. Saya tersadar dan meminta dia melewati jalan biasanya. Beruntung dia tak melanjutkan niat buruknya.

Kejadian itu menghantui saya saat tamasya ke Ambarawa. Penumpang angkot hanya beberapa orang, dan pada akhirnya tinggal saya. Saya langsung deg-degan begitu angkutan tak lewat jalan raya,“Lo kok belok, Pak?”

Kulo manut mawon, namung riyaya utawa sak lawase, la niku tergantung pemerintahe,” jelas pengemudi. Ternyata pengalihan jalan itu kebijakan pemerintah, dan tidak hanya saat Lebaran, mungkin menghindari macet. Jalanan panjang, sepi, sesekali melewati hamparan pepohonan. Saya lega begitu sampai di tempat tujuan. Ongkosnya sama seperti saat lewat jalan raya. Sebelum turun sopir memberi saya petunjuk angkot yang harus saya naiki ketika pulang dan dari arah mana.

            Sebelum pulang ke Semarang saya mampir ke penjual serabi ngampin, makanan khas Ambarawa. Penjual menawari saya sampel hampir setiap serabi turun dari cetakan, semata-mata untuk memuaskan pembeli agar tidak kecewa. Jika saya mau mungkin saya mendapatkan serabi satu porsi gratis. Padahal saya hanya memberi satu porsi di tempat dan satu porsi saya bawa pulang.  

            Pelayanan memuaskan juga saya terima dari penjual leker di Bandungan. Ia menggunakan tungku berbahan bakar arang untuk memasak. Saya bertanya mengapa ia tidak menggunakan kompor, efisien, dengan demikian keuntungan yang didapat juga banyak.

            “Leker dimasak dengan kompor kalau dingin tidak enak, berbeda dimasak dengan arang. Walaupun dingin masih tetap renyah,” jelasnya. Saya segera membayar dan pergi. Saya  tidak meremehkan keterangan ibu itu. Saya tidak berniat membuktikannya. Sebab saya lebih senang makan leker panas, terlebih berada di daerah dingin seperti Bandungan.

            Rumah telah bersih. Tanyangan berita-berita kriminal berganti berita-berita politik dan peristiwa-peristiwa terkini lain. Di antara orang-orang mudah bertindak kriminal, sebagian lain tetap memelihara hati nurani untuk membahagiakan sesama.

@@@


Kamis, 29 Mei 2025

Kabut

                                                                             

          Saya dan rombongan tiba di daerah Nyatnyono, Ungaran, Kabupaten Semarang, saat waktu jelang pukul dua belas siang. Suasana pegunungan, berkebalikan dengan di daerah saya tinggal, yang pasti sedang terik. Sesekai dedaunan pepohonan sekitar melambai-lambai. Para pedagang bakso di depan gerobak-gerobaknya, berjejer menunggu kami, dan memanggil-manggil agar membeli. Makanan familiar, berbahan dan berbumbu simpel itu, cocok disantap pada suasana dingin.

Saya berburu spot foto yang ciamik. Sebuah kesenangan tersendiri ketika saya tamasya ke alam bebas, di daerah tinggi. Saya bisa melihat daerah bawah.  Dari ketinggian, saya bebas memotret laut, pantai, pepohohan, lalu lintas perkotaan, atau sekadar genting-genting rumah-rumah penduduk.

Beberapa kali saya memotret lancar, mendapatkan pemandangan bagus dan gambar terang. Selanjutnya, hasil cepretan buram. Apakah ada masalah dengan kamera ponsel saya?

“Ada kabut!” celetuk seorang teman, juga gagal mengambil foto. Kemudian ia berlalu.

Kabut menutup hal-hal sekitarnya, sebagaimana perjumpaan saya dengan seorang wanita di ruang religi, setelah menunggu kabut tak kunjung pergi. Kami duduk bersila di depan pusara seorang wali, berharap rahmat dan berkahnya yang meluber, jatuh kepada kami. Kemudian hajat-hajat kami dikabulkan. Kami hanya dipisahkan beberapa dudukan, tanpa seorang penghalang. Walaupun sinar lampu ruangan temaram, dan saya melihatnya dari samping, tampak hidungnya mancung, matanya bulat lebar, postur tubuhnya tinggi. Setelan gamis-celana dan kerudungnya, semua berwarna pink, tak selaras dengan keadaannya. Kabut telah menutup kebahagiaannya. Sejak saya berjumpa, hingga kami sama-sama beranjak keluar ruang, ia terus menangis.

Tangisnya begitu dalam menunjukkan derita yang sedang menimpanya. Mungkinkah ia dikhianati suaminya, padahal ia tulang punggung keluarga, terlihat penampilannya yang rapi layaknya seorang pegawai? Atau ia sedang menjalin hubungan dengan lawan jenis, dan jelang pernikahan, nyawa teman dekatnya itu terenggut? Atau peristiwa-peristiwa lain yang memilukan? Entahlah.  

Ingin rasanya saya mengulurkan tangan. Setidaknya sebagai pendengar sesak hatinya jika saya tak mampu memberikan solusi. Namun, ada kabut di antara kami.

Saya mengikuti rombongan dan keluar ruangan, begitu pun wanita itu. Saya kembali ke spot foto. Kabut menebal. Saya turun mengikuti langkahnya, merasa bersyukur masih bisa mencari spot foto bagus, lain kesempatan.

@@@


              

Kamis, 22 Mei 2025

Lebih Menyenangkan dari Membaca Buku

                                                                                               


“Buku itu ada di layanan referensi,” jawab petugas perpustakaan ketika suatu saat saya tidak menemukan buku yang saya cari. Ia seperti melempar godam di dada saya. Buku-buku di ruang referensi tidak boleh dibawa pulang pengunjung. Itu artinya pengunjung memiliki keterbatasan waktu membaca. Dan saya tidak pergi ke perpustakaan setiap hari.

            Saya turun dan masuk ruang referensi. Benar, buku tentang sejarah Kota Semarang ada di jajaran buku-buku lain. Saya baca per bab sekilas, lalu saya tandai bagian-bagian penting untuk saya fotokopi.

            Saya datangi bagian fotokopi perpustakaan, tidak ada penjaganya. Apakah ia sedang di kamar mandi? tanya saya dalam hati. “Tukang fotokopinya gak masuk, dah beberapa hari ini. Sakit katanya,” jelas salah satu pengunjung sambil membawa buku menuju tempat layanan. Kemarin ia juga kecele. Saya telanjur tidak mengetahui tempat fotokopi terdekat di luar perpustakaan.

Pikiran saya rusuh, mungkin serusuh orang-orang berjaket hijau yang berkumpul di lapangan Wonderia pagi tadi. Hangat sinar matahari  disambut oleh para sopir ojek daring itu, yang meminta hak-haknya dipenuhi, di antaranya mengurangi pembayaran aplikasi yang dibebankan konsumen. Beberapa petugas keamanan juga terlihat di sana.

            Pada saat saya duduk di kursi lobi, tidak tahu harus berbuat apa, petugas perpustakaan menghampiri.

            “Yuk ikut, tak minta bantuan tukang parkir antar ke tempat fotokopian.”

            “Bener, Pak, nggak ngrepotin?”

Ia tersenyum dan menggeleng sambil meminta saya mengikuti langkahnya. Petugas itu memberikan kunci sepeda motornya dan meminta tukang parkir mengantar saya ke tempat fotokopi terdekat. 

            Selama di perjalanan dan mengantre di tempat fotokopi, pikiran saya mengembara pada kejadian-kejadian tragis negeri ini: dokter melakukan pelecehan seksual pasiennya, polisi menembak masyarakat sipil, hakim tipikor berbuat korupsi, dan kejadian-kejadian lain yang dilakukan oleh pelayan masyarakat yang seharusnya melindungi.

            Hari itu, saya menemui kejadian lebih dari pelayanan. Saya pulag membawa fotokopi dengan perasaan lebih menyenangkan dari membaca buku.

@@@

 

Kamis, 27 Maret 2025

Tak Memburu Waktu

                                                                                  

Posko penuh orang-orang. Posko keamanan di sebelah kiri dekat pintu gerbang masjid itu terbangun dari tenda terbuka. Saya mudah melihat kegiatannya dari jauh. Satu per satu orang keluar sambil membawa minyak goreng kemasan plastik dengan wajah berseri. Kemudian datang yang lain dan mengantre, begitu seterusnya. Sebagian dari mereka jemaah pengajian; Sebagian lagi orang-orang luar.

            “Tadi sebelum pengajian, ada pengumuman, tapi aku nggak ngeh,” jawab teman yang duduk di sebelah saya ketika saya tanya kegiatan di posko.

            “Jenengan tidak ke sana?” tanya saya sekaligus mencari teman.

            “Nanti saja setelah Asar,” jawabnya kukuh, sambil manggut-manggut mendengarkan keterangan Pak Ustaz.

            Hati saya bergejolak. Apakah barangnya masih ada jika kami menunggu Asar? Pasti harga minyak goreng itu murah. Mungkin otoritas setempat atau pihak tertentu memberi kompensasi kepada masyarakat, yang dirugikan salah satu produsen minyak goreng, yang mengurangi takaran.   

            Seorang wanita bertubuh tinggi dan tegar datang, lalu bersalaman kepada orang-orang di dekatnya. Ia tiba di masjid pada separuh waktu pengajian. Orang-orang membagikan takjil jelang buka puasa. Ia membagikan takjil siang hari, terlepas yang diberi jemaah pengajian. Saya pernah diberinya kurma 5 buah dalam bungkus mika.

            Saya datangi posko, di tengah terik matahari, pada keterangan Pak Ustaz berikutnya. Cerita Nabi Yusuf dibuang saudaranya, dan kisah-kisah menarik setelah itu, terdengar jelas melalui pelantang suara.

            Seperti mendapat hadiah lebaran ketika saya mendapatkan satu liter minyak goreng secara gratis. Saya hanya diminta mengisi kuesioner, seputar penggunaan uang digital. Teman saya sedih, selesai Asar, posko sepi, tidak ada lagi kegiatan pemberian minyak goreng gratis.

            Insya Allah, dua atau tiga hari lagi Lebaran tiba. Izinkah saya mengucapkan Hari Raya Idulfitri, kepada teman-teman yang merayakannya, dan, maaf lahir batin.

@@@


Kamis, 13 Maret 2025

Langit Terang di Ujung Sana

                                                                                         

Setelah setengah hari beraktivitas, sambil menahan lapar dan dahaga, tidur siang adalah langkah tepat. Tapi pengajian dimulai sekitar pukul satu siang. Pergi tidur dan pergi mengaji, berkelindan di benak saya.

Jika pertentangan dua hal itu merasuki pikiran, saya segera melintaskan dua pedagang yang biasa hadir dalam pengajian itu. Dan saya pun bergegas pergi mengaji.

Berbeda dari pedagang-pedagang lain yang menjual makanan, pedagang balon rajin menyambangi tempat pengajian. Ia menawarkan dagangannya kepada jemaah yang mengajak anak-anak kecil. Ia terkadang datang dua kali dalam durasi pengajian hampir dua jam. Padahal, jemaah yang hadir dan anak-anak kecil yang diajak tak berbeda. Sewajarnya, orang membeli mainan yang sama satu kali. Tapi ia lalu lalang, ke jemaah wanita, lalu ke jemaah lelaki.

                                                                                         

Satu lagi wanita lansia pedagang asongan yang menjual bermacam-macam jepit rambut, karet rambut, cotton bud, serabut pencuci piring, tutup termos, dll. Ketika jalan tanpa beban, saya yakin kakinya terseok-seok. Apalagi ia harus menarik gerobak minimalisnya. Gerobak beroda dua itu disangganya dengan kotak bekas wadah es krim agar berdiri ketika ia duduk bergabung dengan jemaah. Ia beristirahat sambil mendengarkan bacaan Al-Qur’an diselingi ceramah dari Pak Ustaz. Sesekali kantuk menyetainya.

Tak seperti para pedagang makanan yang laris manis, saya pernah duduk di sampingnya hingga pengajian selesai, tak satu pun pembeli membeli dagangannya.

“Setiap hari pasti ada yang beli, ya, Bu?” tanya saya berempati, bagaimana dia makan dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan lain.

“Yah, disyukuri saja,” jawabnya senyum-senyum, tak mau menjelaskan detail. Kami berbincang selesai salat Asar. Sesekali kami menyalami jemaah, yang menuruni undakan masjid, untuk pulang. 

Lalu dia bercerita tentang anak-anaknya yang tak pernah menyantuni. Ia tinggal di sebuah rumah yang tidak lagi ditempati pemiliknya. Sebetulnya ia juga menjual beberapa mainan anak-anak. Tapi modalnya tak kembali karena uangnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Saya manggut-manggut dan mendoakan dalam hati agar ia diberi rezeki sehingga dagangannya tetap ada. Ketika saya bertanya apakah ia juga berbuka puasa di masjid ini, saya tersadar mendengar jawarabannya. Ia berbuka di masjid lingkungan tempat tinggalnya. Ia tidak berani pulang malam. Ia butuh waktu lama berjalan dari masjid ke rumahnya, sambil menarik gerobak minimalisnya.

Satu orang bersandar di pilar serambi masjid dengan mata terpejam. Dua lainnya tergeletak di lantai. Aroma sedap makanan dari penjaja makanan di alun-alun melintas. Daun-daun kemboja bergerak-gerak saat angin bertiup. Kami berpisah. Pedagang asongan menarik gerobaknya; jalannya satu langkah satu langkah. Di antara perjalanan pulang, saya melihat langit terang di ujung sana.

@@@


Kamis, 27 Februari 2025

Tertambat Niat

       Ada keraguan ketika saya akan membeli makanan-makanan kesukaan pada tradisi dugderan. Pedagang-pedagangnya berasal dari luar kota. Harga barang-barang naik, kelangkaaan gas melon, apakah mereka berjualan pada momen tahunan itu? 

                                                     

       Dugderan adalah tradisi masyarakat Semarang menyambut puasa Ramadan. Dugderan diadakan selama dua minggu sebelumnya. Para pedagang makanan daerah dan makanan kekinian, para pedagang mainan seperti aneka celengan dari gerabah, menjajakan dagangannya sekitar alun-alun, depan Masjid Agung Semarang. Ada juga wahana permainan kora-kora, tong setan, ombak banyu, dll. 

                                                      

               Senja berganti malam. Di depan masjid, tidak ada satu pun penjual makanan. Tempat itu beralih fungsi mejadi tempat parkir kendaraan. Biasanya pedagang tahu aci menjual dagagannya di sana.

            Saya masuk arena dugderan, menyusuri jalanan depan alun-alun, menembus jubelan pengunjung. Aroma sedap bakaran seafood melintas hidung. Suara keriangan pengunjung, otok-otok dari mainan kapal-kapalan, dan musik dari lapak-lapak makanan, beradu. 

                                                   

           Sebungah musik dari lagu energik ketika saya melihat angkringan bertuliskan makanan kesukaan. Di belakangnya, seorang lelaki sibuk memasukkan aneka bahan-bahan makanan dalam wajan kecil. Ia duduk di dingklik. Saya membeli seporsi. Tidak ada pembeli lain; berporsi-porsi kerak telur dalam bungkus-bungkus kertas coklat, menggunung. Tak lama makanan matang.

            “Berapa, Pak?”

            “Dua puluh lima ribu saja.”

            Lalu ia memberi kembalian Rp25.000,00 sambil mengeluarkan unek-unek, bahwa, harga bahan-bahan makanan naik, banyak pesaing, untung sedikit yang penting laku, demi dugderan. 

            Saya melanjutkan langkah, menembus barisan pengunjung yang semakin lama semakin padat. Di ujung, tak ada penjual makanan, kecuali aneka wahana permainan. Mungin saya terlewat. Saya pulang, akan melanjutkan petualangan, esok hari.

@@@

            Waktu berpacu dengan hujan. Dua hari berikutnya saya berkesempatan mengunjungi dugderan. Sore muram; guntur menggema. Saya teringat, tempo hari belum masuk ke alun-alun. Jalanan lengang. Saya menoleh ke kanan ke kiri melihat para pedagang menyiapkan dagangan-dagangannya. Saya berdiri mematung di depan  sebuah kedai makanan. Mata saya kedip-kedipkan. Saya tidak salah. 

                                                         

               “Kirain nggak ada pedagang tahu aci,” ungkap saya setengah berteriak sambil senyum-senyum begitu mendekat ke panjualnya.

            “Ada kok,” jawab pedagangnya, seorang laki-laki, juga senang. Ia dan istrinya bergegas menyiapkan dagangannya untuk dijajakan. Istrinya membagi dua setiap tahu di meja racik, lalu memberinya aci di bagian tengahnya: adonan berbahan tepung kanji yang diberi bumbu. Tahu-tahu itu dikirm dari Tegal oleh bosnya. Begitu pun acinya diberi bumbu khas oleh bosnya.

            Seporsi tahu aci seharga Rp20.000,00 telah dibungkus. Saya bersiap menyantapnya di rumah.

@@@






 

Kamis, 09 Januari 2025

Sekilat Mata Melihat

 

               Saya tiba di sebuah masjid, yang biasa saya sambangi, daerah Sidomukti, Kopeng, Kabupaten Semarang, suatu siang, pukul satu. Sambil beristirahat, saya memesan bakso. Tempat ini tidak ada sesuatu istimewa, selain udaranya sejuk dan banyak pepohonan. Saya terhibur, dibanding Semarang yang penuh polusi dan rumah-rumah berimpitan. Alih-alih menanam pohon, warga menanam tanaman-tanaman di pot-pot.

            Selain saya mencari suasana berbeda, tempat ini juga menghilangkan sesak. Pagi hari saya memanggil pedagang keliling, khusus menjual kebutuhan rumah tangga. Saya membeli spons cuci piring.

            “Tiwas manggil gak jadi beli,” kata pedagang memprotes.

            “Aku kan mau beli, Pak. Bapak bilang barangnya habis.”

            Kami berdebat, di antara rintik hujan belum reda. Saya menolak tawarannya membeli pencuci piring lain: serat kawat, atau serabut. Saya pergi, dia menceracau.

            Pesanan bakso datang, bersamaan dengan seorang wanita sekitar 30 tahun turun dari mobil, diiringi wanita lansia berkain kebaya. Dari pintu depan keluar dua anak laki-laki dan seorang lelaki dewasa. Tiga lelaki jalan di depan. Wanita itu mengiringi jalan wanita lansia, selangkah demi selangkah. Bakso segera saya habiskan, untuk segera salat.


           Pengunjung penuh. Saya bertemu lagi wanita 30 tahun dan wanita lansia. Kami berdiri di depan air kocehan: air khusus di depan kamar mandi dan tempat wudu, untuk orang baru datang agar membersihkan kakinya sebelum berwudu.

            “Bunga kertas itu bagus,” ungkap wanita lansia melihat tanaman bunga dari kejauhan. Suaranya putus-putus. Langit terang memantulkan rambut peraknya yang digelung. Rintik hujan baru saja berhenti, menyisakan bau khas. Angin dingin melintas.

            “Itu bunga betulan, Ma,” jawab wanita 30 tahun dengan suara meninggi. “Ini daerah pedesaan. Ngapain nanam tanaman plastik! Memangnya rumah kita?” tambahnya ketus.

            Saya langsung menoleh ke wanita itu. Ia ganti memandang saya. Sorot matanya tajam, seakan mengatakan, “Ngapain lu, orangtua gue!”

            Sekelompok orang keluar dari area wudu dan kamar mandi; saya mempersilakan keduanya.

            Tak ingin berlama-lama berteman dengan udara dingin, selesai salat, saya jalan-jalan ke pasar, tidak jauh dari masjid. Pasar itu selesai direnovasi. Sebagian bangunannya baru dan berganti fungsi. Tempat parkir berada di depan, di alam terbuka, yang dulu ditempati para pedagang buah-buahan, dan beratap. Kini, lapak-lapak buah-buahan menyatu dengan lapak-lapak tanaman, di dalam pasar. 

         Saya belum masuk pasar ketika seorang wanita lansia, berkain kebaya, menghampiri. Kerudungnya kresek hitam totol-totol air. Ia menggendong dunak dan baskom blirik hijau, berisi jualannya, camilan terbuat dari kacang tanah dan gula merah, dalam kantung-kantung plastik.

            “Beli ampyang… beli ampyang…,” pintanya sambil menyodorkan sekantung ampyang. Saya teringat wanita lansia di masjid tadi. Tanpa menawar, saya membeli. Apakah saya terenyuh? Apakah saya iba? Entah. Setelah menerima uang sepuluh ribu, dengan langkah sigap dia pergi untuk menghampiri pembeli lain.

            Saya pulang dengan hati masygul. Pedagang keliling tadi pagi kesal, mungkin karena belum laku satu pun barang dagangannya.

@@@