Tin!
Tin! Tin! Terdengar bunyi klakson skuter Adi. Skuter atau otoped merah itu
terus melaju. Setiap kali skuter itu melambat, Adi kembali mengentakkan kaki
kanannya beberapa kali ke tanah. Setelah itu, kaki kanannya naik lagi ke atas
bilah tempat kaki. Skuter pun kembali melaju cepat. Kedua tangan Adi memegang setang
agar seimbang. Sesekali ia membunyikan klakson.
Adi memang suka bermain skuter. Ia punya
beberapa koleksi skuter. Ada yang remnya di atas roda, ada juga yang di sebelah
setang. Ada yang berwarna merah, biru, hitam, dan krem. Biasanya Adi
mengendarai skuter yang memiliki keranjang di depan. Bila haus, Adi tinggal mengambil botol minuman
di keranjang itu.
Suatu sore, Adi menunggu Bagas datang.
Bagas juga suka bermain skuter, tetapi ia hanya punya satu skuter. Mereka
selalu bermain di halaman rumah Adi yang luas. Di sisi kiri, kanan, dan
belakang rumah Adi, terdapat tanah kosong. Sehingga mereka bisa mengitari rumah
dengan leluasa.
“Di, sudah menunggu lama ya?” sapa Bagas
yang datang dengan skuternya.
“Lumayan! Ayo, kita langsung main!” ajak
Adi tak sabar, sambil membuka pintu pagar. Ia ingin segera kebut-kebutan.
Mereka bermain skuter bersama. Terkadang
Bagas berada di depan, lalu Adi berusaha mengejar. Adi pun berada di depan. Gantian,
Bagas berusaha mengejar. Sesekali mereka melaju beriringan. Bunyi klakson
terdengar berkali-kali. Suasana menjadi semakin seru.
Ketika mereka sedang asyik bermain,
tiba-tiba Dika datang. Dika tetangga mereka juga. Dari luar pagar halaman, Dika
senang melihat Adi dan Bagas bermain skuter. Sayangnya, Dika tidak punya
skuter.
Setelah lama bermain, Adi dan Bagas
kelelahan dan kehausan. Mereka berhenti sejenak untuk minum dan istirahat. Dika
yang awalnya hanya menonton, lama kelamaan tak tahan lagi ingin mencoba bermain
skuter juga.
“Adi ... Mmm, apa aku boleh... mencoba
skutermu sebentar?” pinta Dika.
“Pakai skutermu sendiri saja. Kenapa
pinjam skuterku!” omel Adi.
“Aku tidak punya skuter,” jawab Dika
sedih.
“Beli sendiri, seperti aku. Minta pada ayahmu,”
sambung Bagas.
“Kata ayahku, belum punya uang untuk
beli skuter,” kata Dika lagi.
Mendengar jawaban Dika, Adi jadi tidak tega.
“Kalau begitu, masuklah! Nanti aku
pinjamkan sekuterku,” kata Adi, lalu mengambil
skuter lain dari garasi. Ia lalu meminjamkannya kepada Dika.
Kini mereka bermain bertiga. Tidak tidak
hari mulai petang. Bagas dan Dika pamit. Dika sangat berterima kasih pada Adi
karena telah dipinjami skuter.
@@@
Suatu sore seperti biasa, Adi bermain skuter. Ia mengitari rumah sambil
menunggu Bagas. Namun, hingga pukul setengah lima Bagas tidak datang. Kemarin
sore, Bagas juga tidak bermain skuter di rumahnya. Beberapa saat kemudian asisten
rumah tangganya lewat. Adi segera memanggilnya.
“Mbak Irah! Mbak Irah! Bagas ke mana, ya? Dua
hari ini dia tidak kelihatan,” tanya Adi.
“Bagas pergi berlibur ke rumah kakek
neneknya di desa sejak Sabtu kemarin. Nanti malam baru pulang. Papanya beli
mobil baru. Jadi, rencananya mereka akan jalan-jalan setiap akhir minggu,” jelas
Mbak Bi Irah.
Adi manggut-manggut sedih. Ia meletakkkan
skuternya begitu saja di halaman, lalu duduk di teras. Wajahnya terlihat sedih. Ia
punya banyak skuter. Namun, tidak seru bila bermain sendiri. Adi tidak punya
kakak atau adik. Ia anak tunggal. Itu sebabnya, ia sering kesepian bila tidak
ada teman bermain.
“Sekolah Bagas memang libur pada hari Sabtu. Sekarang, keluarga Bagas punya mobil baru. Kakek dan Nenek Bagas tinggal di desa. Jangan-jangan, Bagas akan ke luar kota setiap akhir pekan,” pikir Adi sedih.
Tiba-tiba
Adi ingat Dika. Sore itu juga, Adi datang ke rumah Dika. Adi ingin mengajaknya
bermain skuter. Saat Adi tiba, Dika sedang bermain bersama Fiki, adiknya yang
berusia tiga tahun. Mereka sedang bermain petak umpet.
“Eeeh, Adi! Ada apa, Di?” tanya Dika
heran. Dika agak malu karena rumahnya sangat
sederhana. Berbeda dengan rumah Adi yang besar dan megah.
“Kamu kenapa tidak bermain ke rumahku
lagi, Dika?” tanya Adi.
“Aku tidak punya skuter,” jawab Dika.
“Aku malu kalau pinjam skuter kamu lagi. waktu itu, aku pinjam karena sudah
ingin sekali mencoba main skuter.”
“Tidak usah malu, Dika. Ayo, main ke
rumahku. Ajak saja Fiki sekalian. Aku masih simpan skuter roda empat yang aku
pakai waktu aku masih balita. Ada musiknya juga. Skuter itu cocok buat Fiki.
Fiki pasti senang,” jelas Adi. Fiki yang mendengar pun senang.
Mereka pun bergegas ke rumah Adi. Kini
tidak hanya Adi dan Dika, Fiki juga setiap sore bermain skuter di tempat Adi. Kini
Adi mengerti bahwa berbagi itu membuat hati menjadi bahagia
@@@
Cernak ini pernah terbit di majalah
Bobo, 18 November 2021