Iis Soekandar: Seperti Lukisan Awan

Kamis, 02 Oktober 2025

Seperti Lukisan Awan

                                                                                         

Segumpal awal menyembul di hamparan abu-abu langit pagi. Pinggirnya melengkung-lengkung mengingatkan saya ketika kecil. Melukis atau menggambar langit terlihat monoton tanpa dihiasi awan. Melukis awan menjadi keasyikan tersendiri. Awan menjadi lukisan sentral. Selanjutnya lukisan burung-burung mengepakkan sayap-sayapnya, menyempurnakan.

Kegembiraan saya tentang awan berbalik saat seorang wanita melintas di perempatan jalan menuju utara. Sementara saya akan pergi ke pasar. Jalanan lengang membuatnya melenggang bebas, dibanding lalu lintas siang yang padat. Bentuk badan, baju selutut, pipi tembam, tak bisa diingkari sosoknya. Setelah saya perhatikan, ia bukan wanita yang saya kenal.

Kemarin sore ia bertandang ke rumah saya, dan kekesalan saya belum sepenuhnya hilang. Kedatangannya selalu untuk meminta-minta. Tentu saja saya memberinya uang tidak seperti seorang pengemis sebab ia kenalan. Saya mengacuhkannya karena saya sedang menyetrika. Ia pergi mengomel seakan saya berutang padanya dan tak membayar. Sungguh terlalu!

            Saya melangkah menyusuri satu per satu deretan pedagang pasar. Ada sesuatu menggelitik ketika sampai di penjual nasi jagung langganan. Di sebelah kirinya seorang lelaki duduk di dingklik sambil membungkusi makanan jualannya: tape singkong. Ia berbekal satu dunak, berisi tape singkong, di atasnya papan untuk menjajakan tape singkong dalam kantung-kantung plastik bening. Lapaknya kontras dengan lapak nasi jagung, di meja setinggi pinggang orang dewasa. Ia menjajakan juga aneka getuk, beberapa macam pisang mentah, belum lagi tape ketan dalam bugkus daun pisang yang laris. Semua makanan jualannya, andalan. Sebab masing-masing punya penggemar sendiri-sendiri.

            “Numpang laris ya, Bu?” tanya saya sambil melirik penjual tape singkong.  

Ia tersenyum. Mungkin ia tak mau dikatakan sombong jika mengiyakan. Itu hal logis. Pedagang kecil berjualan di samping pedagang besar. Seorang pembeli dari penjual nasi jagung, kemudian juga membeli tape singkong.

Selesai membeli nasi jagung saya pergi.

Menyusuri jalan pulang ingatan saya tertuju pada penjual gorengan yang nebeng di tempat penjual aneka es, di antaranya es kuwut. Waktu itu puasa Ramadan. Rasa haus setelah tertahan seharian, minum es adalah kenikmatan. Ada empat wadah kaca besar diletakkan di meja setinggi orang dewasa. Pembeli mengantre. Sementara pedagang gorengan di sampingnya adalah pedagang kecil. Ia mengais rezeki di samping penjual es yang laris. Seringkali pembeli es juga membeli gorengannya.

Keadaan sama juga saya rasakan pada penjual aneka bakaran: sosis, bakso, dan makanan-makanan lain, semua dalam olahan bakar. Di sampingnya penjual minuman teh. Juga pedagang kecil. Para pembeli makanan aneka bakaran dan makan di tempat, pasti butuh minum. Dan pedagang minuman ketiban rezeki.

Para pedagang besar itu mudah untuk menyediakan makanan atau minuman yang dijual para pedagang kecil. Namun, rasa berbagi itulah yang mereka tunjukkan. Saya teringat wanita berbaju selutut, pipi tembam, dan kelak saya bersikap padanya. Seperti lukisan awan, memberi sesuatu bagi penikmatnya.

@@@


Tidak ada komentar:

Posting Komentar