Segumpal
awal menyembul di hamparan abu-abu langit pagi. Pinggirnya melengkung-lengkung
mengingatkan saya ketika kecil. Melukis atau menggambar langit terlihat monoton
tanpa dihiasi awan. Melukis awan menjadi keasyikan tersendiri. Awan menjadi
lukisan sentral. Selanjutnya lukisan burung-burung mengepakkan sayap-sayapnya,
menyempurnakan.
Kegembiraan
saya tentang awan berbalik saat seorang wanita melintas di perempatan jalan menuju
utara. Sementara saya akan pergi ke pasar. Jalanan lengang membuatnya
melenggang bebas, dibanding lalu lintas siang yang padat. Bentuk badan, baju selutut,
pipi tembam, tak bisa diingkari sosoknya. Setelah saya perhatikan, ia bukan wanita
yang saya kenal.
Kemarin
sore ia bertandang ke rumah saya, dan kekesalan saya belum sepenuhnya hilang. Kedatangannya
selalu untuk meminta-minta. Tentu saja saya memberinya uang tidak seperti
seorang pengemis sebab ia kenalan. Saya mengacuhkannya karena saya sedang
menyetrika. Ia pergi mengomel seakan saya berutang padanya dan tak membayar. Sungguh
terlalu!
Saya melangkah menyusuri satu per
satu deretan pedagang pasar. Ada sesuatu menggelitik ketika sampai di penjual
nasi jagung langganan. Di sebelah kirinya seorang lelaki duduk di dingklik
sambil membungkusi makanan jualannya: tape singkong. Ia berbekal satu dunak, berisi
tape singkong, di atasnya papan untuk menjajakan tape singkong dalam
kantung-kantung plastik bening. Lapaknya kontras dengan lapak nasi jagung, di
meja setinggi pinggang orang dewasa. Ia menjajakan juga aneka getuk, beberapa
macam pisang mentah, belum lagi tape ketan dalam bugkus daun pisang yang laris.
Semua makanan jualannya, andalan. Sebab masing-masing punya penggemar
sendiri-sendiri.
“Numpang laris ya, Bu?” tanya saya
sambil melirik penjual tape singkong.
Ia
tersenyum. Mungkin ia tak mau dikatakan sombong jika mengiyakan. Itu hal logis.
Pedagang kecil berjualan di samping pedagang besar. Seorang pembeli dari
penjual nasi jagung, kemudian juga membeli tape singkong.
Selesai
membeli nasi jagung saya pergi.
Menyusuri
jalan pulang ingatan saya tertuju pada penjual gorengan yang nebeng di tempat
penjual aneka es, di antaranya es kuwut. Waktu itu puasa Ramadan. Rasa haus
setelah tertahan seharian, minum es adalah kenikmatan. Ada empat wadah kaca
besar diletakkan di meja setinggi orang dewasa. Pembeli mengantre. Sementara pedagang
gorengan di sampingnya adalah pedagang kecil. Ia mengais rezeki di samping
penjual es yang laris. Seringkali pembeli es juga membeli gorengannya.
Keadaan
sama juga saya rasakan pada penjual aneka bakaran: sosis, bakso, dan
makanan-makanan lain, semua dalam olahan bakar. Di sampingnya penjual minuman
teh. Juga pedagang kecil. Para pembeli makanan aneka bakaran dan makan di tempat,
pasti butuh minum. Dan pedagang minuman ketiban rezeki.
Para
pedagang besar itu mudah untuk menyediakan makanan atau minuman yang dijual
para pedagang kecil. Namun, rasa berbagi itulah yang mereka tunjukkan. Saya teringat
wanita berbaju selutut, pipi tembam, dan kelak saya bersikap padanya. Seperti
lukisan awan, memberi sesuatu bagi penikmatnya.
@@@
Tidak ada komentar:
Posting Komentar