Iis Soekandar: 2020

Rabu, 30 Desember 2020

Baru

                                                                                         

  Setiap hari saya mengolah ide, merangkai kata, hingga menjadikan sebuah cerita, lalu mengirimkannya ke media. Tidak terasa dua belas bulan sudah berjalan. Itu artinya tahun  pun akan segera berganti. Sudahkah tercapai target yang saya impikan selama dua belas bulan menulis, sebagaimana yang terencana pada awal tahun?

      Suka atau tidak suka, tahun 2020 membawa perilaku baru, angan baru, sekaligus kenyataan baru. Siapa sangka pada awal bulan Maret terjadi keadaan baru dengan adanya pandemi. Pandemi memaksa banyak kegiatan harus dilakukan di rumah. Kegiatan yang semula direncanakan berubah, menciptakan angan baru. Angan baru bahwa lebih banyak waktu di rumah itu berarti banyak pula karya yang dihasilkan dan diterbitkan.

       Tetapi benarkah hasil yang didapat sesuai kenyataan yang ada? Dua belas karya yang semula saya anggap sedikit dan masih harus bertambah, ternyata jauh dari harapan. Tahun ini saya harus puas dengan menerbitkan 4 cerita anak, 3 cerita remaja, dan 1 cerita lucu. Yah, delapan karya satu tahun tentu jumlah angka yang tidak saya sangka. Sebab penantian tidak sekadar penantian. Cerpen, cerita anak, cerita remaja, cerita lucu, artikel, buku, semua saya tulis sesuai dengan situasi dan karakter media masing-masing.

       Malas menulis lagi? Tentu saja tidak!

       Menulis bagi saya adalah passion, kesenangan. Kesenangan untuk berbagi kepada orang lain. Ada orang dikaruniai berbagi melalui ceramah, lukisan, dll. Kebetulan saya diberi karuniai berbagi melalui tulisan. Dari mengembangkan ide yang didapat─entah melalui silaturahmi, tamasya, membaca, makan-makan─hingga menjadi sebuah karya. Kemudian menambah ilmu dengan belajar dari pengalaman orang lain yang mumpuni, mengikuti webinar, yang semua itu untuk menunjang hasil tulisan, yang mudah-mudahan bermanfaat sekaligus menghibur bagi orang lain.

       Kebiasaan baru yang sudah berjalan selama tahun 2020 tentu menjadi pengalaman tersendiri menapaki tahun 2021. Memilih misi yang sesuai dan menentukan langkah-langkah sehingga terealisasi yang menjadi keinginan. Dan kegagalan adalah motivasi untuk melakukan yang lebih baik lagi.  

       Kita sambut tahun 2021 dengan penuh harapan. Semangat menulis, Teman-teman!

@@@

 


Kamis, 26 November 2020

Ayam Cemani Untuk Rani

                                                                                    

Hari ini, Rani, mama, dan papa pergi ke Kedu di Temanggung. Mereka akan berkunjung ke rumah Om Heru, adik mama. Sebulan lalu, Bulek Lasti, istri Om Heru, melahirkan. Baru sekarang Rani dan keluarga menengok sepupu barunya itu. Selain itu, Rani juga ingin bertemu dengan Indah, keponakan Bulek Lastri. Mereka bertemu saat pernikahan Om Heru dengan Bulek Lastri.

Di telepon Indah bercerita bahwa ia mempunyai ayam peliharaan yang unik. Ia akan memperlihatkan kepada Rani. Rani penasaran.

“Apa sih istimewanya ayam? Di mana-mana, bentuk ayam sama kan?” gumam Rani dalam  hati.

                                                                                 
                                                             gambar: majalah Bobo

Setelah dua jam perjalanan, akhirnya mereka tiba di sebuah rumah yang asri. Rumah mungil dengan taman penuh bunga warna-warni. Di sebelahnya ada paviliun yang disediakan untuk istirahat saudara dari luar kota.

Om Heru dan Bulek Lastri senang menerima kedatangan Rani dan keluarga. Apalagi semenjak menikah setahun lalu, baru sekarang mereka bertemu lagi. Mereka bercakap-cakap sambil menikmati camilan tiwul dan minuman teh. Tiwul terbuat dari gaplek atau singkong yang dikeringkan, kemudian ditumbuk, lalu dikukus dan diberi gula merah.

Setelah beberapa lama mengobrol, mereka makan siang. Bulek Lastri menyediakan sayur lodeh dan lauk tempe serta tahu goreng. Sungguh nikmat dimakan hangat.

“Silakan kalau mau istirahat,” ucap Om Heru kepada Mama, Papa, dan Rani setelah makan siang. Sementara Bulek Lastri menengok bayinya di kamar.

“Terima kasih, Om. Rani mau duduk-duduk di teras saja,” jawab Rani.

Mama dan papa beristirahat di paviliun. Rani duduk di teras sambil melihat bunga warna-warni di taman. Tamannya indah dan udaranya sejuk. Temanggung terletak di lereng Gunung Tidar.

Indah berjanji akan menjemput Rani. Tidak lama Rani menunggu, Indah datang naik sepeda. Rambutnya panjang dikucir dua.

“Hai, Rani, kapan kamu tiba di sini?” sapa anak itu.

“Hai, juga. Tadi pagi sekitar pukul sepuluh. Wah, wajah kamu sedikit berbeda, ya sekarang...” ujar Rani sambil melangkah mendekat.

“O yaa?” seru Indah sambil tertawa.

“Rambutmu sudah panjang dan tidak pakai poni,” jelas Rani.

“Iya, rambutku panjang sekarang. Kita, kan, sudah lama tidak bertemu. Rani, yuk, ke rumahku! Katanya kamu penasaran ingin melihat ayam peliharaanku,” ajak Indah.

“Iya, aku penasaran,” jawab Rani.

Indah segera membonceng Rani di sepedanya. Rumah Indah tidak terlalu jauh dari rumah Om Heru. Tidak hanya Indah, kedua orangtuanya juga senang melihat kedatangan Rani. Indah segera mengajak Rani ke belakang rumah. Ia memperlihatkan ayam peliharaannya.

                                                                                      
                                                               gambar: majalah  Bobo

“Aku baru sekali melihat ayam seperti ini. Bulunya, jenggernya, paruhnya, kakinya, semua berwarna hitam legam,” ungkap Rani heran.

Di kebun belakang rumah Indah, ada lima ekor ayam peliharaan Indah. Ayam-ayam itu berkeliaran di kebun belakang.

 “Ini jenis ayam apa, Ndah?” tanya Rani.

“Ini ayam cemani, ayam khas dari Kedu, Temanggung. Ibuku pernah cerita, ayam ini ada sejak zaman Kerajaan Majapahit. Pemiliknya Ki Ageng Mangkuhan. Mulanya, paruh  ayam milik Ki Ageng ini berwarna putih. Ayam ini berhasil mengobati anak seorang pejabat. Ayam itu lalu dipasangkan dengan jenis ayam yang sama.”

“Eh, anaknya malah berparuh  hitam  legam. Karena itulah dinamakan ayam cemani. Nama itu dari bahasa Sansekerta yang artinya hitam legam. Ayam itu terus beranak pinak. Hingga kini, semua ayam cemani berwarna hitam” jelas Indah panjang lebar.

“Ternyata benar, ayam peliharaanmu itu unik. Selain warnanya unik, juga memiliki nilai sejarah.” Rani semakin terkagum-kagum.

                                                                                  
                                                                gambar: majalah Bobo

Tiba-tiba, Indah masuk ke rumah. Ternyata, ia meminta izin orangtuanya untuk memberikan sepasang ayamnya kepada Rani.

 “Kalau kamu mau, kamu boleh ambil sepasang. Tapi janji, ya, kalau yang betina sudah bertelur, jangan lupa sebagian telurnya ditetaskan. Itu untuk melestarikan ayam cemani,” pinta Indah.

“Wah, terima kasih. Aku berjanji akan ikut melestarikan ayam cemani. Ngomong-ngomong, apakah telurnya juga berwarna  hitam?” tanya Rani.

“He he he ... telurnya tetap berwarna putih,” jawab Indah sambil tertawa.

Tidak hanya Rani, mama dan papa juga senang. Rani berjanji akan memelihara sepasang cemani itu dengan baik. Ia ingin ikut melestarikan ayam cemani yang jumlahnya semakin berkurang itu.

@@@

Cerita anak ini pernah terbit di majalah Bobo, Kamis, 19 November 2020


Rabu, 18 November 2020

Kopi Maniak

 


        Kopi maniak. Bagi Arinal bukanlah ahli penyicip macam rasa kopi dengan kelebihannya masing-masing. Tetapi rutinitas minum kopi, dia menyebutnya kopi maniak.

Seperti ungkapan klise sayur tanpa garam atau taman tanpa bunga, jika dalam sehari Arinal tidak minum kopi. Padahal yang diminum cuma kopi warung dengan harga per sachet kecil beberapa ratus rupiah, ukuran satu gelas, dan tanpa gula. Sejatinya Arinal tidak mengetahui rasa kopi secara detail selain rasa pahit.

Pernah suatu malam Arinal sulit tidur. Padahal badan lelah karena banyak mengerjakan tugas. Beberapa pelajaran juga mengadakan ulangan. Malam itu puncak kelelahannya. Tubuhnya terlentang sekian lama di tempat tidur. Tapi mengapa matanya belum dapat terpejam? Dalam perenungan barulah terjawab, dari pagi hingga malam belum meneguk minuman kopi. Sontak saat itu juga Arinal ke dapur dan menyeduh kopi yang dibelinya sore tadi di supermaket. Bila stok habis bertepatan dengan tanggal muda, lebih ekonomis membeli kopi di supermarket. Uang jajan Arinal diberikan per minggu, atau saat tanggal muda. Supermarket tidak melayani pembelian ketengan dan bila dihitung harga per sachet lebih murah. Sesaat kantuk pun menyerang dan ia tetidur lelap hingga pagi. Itu salah satu perbincangan yang pernah diutarakan di depan kedua sahabatnya.

Akhir-akhir ini perihal kopi agaknya tak lagi termasuk dalam agenda pembicaraan. Tepatnya sejak Andre menaruh hati padanya. Kendati kedua sahabatnya yakin, Arinal tetap meminum kopi setiap hari. Mereka sengaja tidak bertanya mengapa begitu. Diam-diam mereka justru khawatir bila diingatkan tentang kopi kemudian tak ada lagi nama Andre di hatinya.

Di sela-sela pertemuan, Andrelah yang dibicarakan walau masih meragukan cinta Andre. Andre yang anak orang mampu, menarik dari tampang maupun aura, terkenal, penuh karisma sebagai ketua OSIS. Dari sejumlah kelebihannya itu, Andre justru dingin soal asmara. Hingga detik ini belum memiliki cewek. Bagi Arinal, di situlah kelebihannya.

Entah mengapa dari pandangan pertama saat Arinal bersama kedua sahabatnya, berlanjut hingga kini. Jika memilih sebetulnya Arinal ingin cowok yang biasa. Sebagaimana dirinya dari keluarga sederhana. Anak seorang penjual nasi kucingan di pinggir jalan. Setiap saat harus membantu, setiap saat pula bergelut dengan kebutuhan yang kurang tercukupi.

Sementara Andre yang bukan teman sekelas, naksir Arinal lantaran tidak banyak bicara. Arinal tidak punya kegiatan selain bersekolah. Tapi justru dari situlah tidak banyak cowok yang naksir. Andre tidak merasa memiliki pesaing. Dibanding kedua sahabatnya yang begitu familiar oleh prestasi akademik atau aktif di OSIS sehingga banyak pula yang tertarik.

@@@

Andre mengajak Arinal makan siang. Sengaja dipilihnya hari Jumat. Selesai salat Jumat kegiatan sekolah baru dimulai lagi nanti sore.

Mungkin karena baru pertama, terlebih bagi Arinal yang tak mengenal banyak cowok, ia grogi. Kedua sahabatnya menyertai. Saat sampai di kantin mereka mengamati dari luar. Mereka senang, tidak lama lagi sahabatnya itu mendapatkan pedamping hidup sebagaimana mereka.

“Sudah lama, Ndre?” Arinal tak kuasa menahan degup di dadanya begitu mendatangi cowok yang sudah menunggu. Di depannya segelas es teh tinggal separuh.

“Ah, tidak begitu lama. Kamu mau pesan apa, Rin?” tawar Andre. Apalah arti Arinal, gadis lugu, sebentar lagi menjadi miliknya. Batin Andre penuh percaya diri.

“Snak saja, gorengan dan air mineral.”

Setelah yakin tidak ingin makan besar, Andre memesan mendoan, tahu isi, dan bakwan serta sebotol air mineral. Sambil menikmati hidangan, Andre mengungkapkan isi hati.

“Kamu mungin bisa menebak maksud undanganku siang ini. Kuharap kau tidak menolak. Aku ingin kamu menjadi pendamping hidupku.”

Arinal menanggapi dengan tersenyum. Andre bingung menerjemahkan senyum itu. Arinal bukan gadis zaman dulu yang dengan senyum dan menunduk itu berarti menerima cintanya. Andre butuh kepastian.

“Jadi... bagaimana, Rin?” tanya Andre setelah beberapa saat.

Arinal mendongakkan wajahnya. Lalu matanya memberi kode pada seseorang. Tidak lama datang pelayan kantin membawa minuman.   

“Kopi ini memang pahit, Ndre. Tapi ituah yang aku suka. Artinya jika kau ingin hidup bersamaku, silakan terima pahitnya juga. Karena mungkin kau tidak menyukai kopi. Hidup tak selalu manis. Bila kau tak sanggup, silakan tarik lamaranmu. Waktumu satu minggu untuk menyelami kopi pahit ini,” ungkap Arinal kemudian pergi dengan meninggalkan secangkir kopi di hadapan Andre.

Andre terbengong. “Dasar kopi maniak. Baiklah, kamu tetap aku kejar sampai dapat,” batin Andre.

 Kedua sahabat Arinal bingung melihat Arinal keluar kantin. Langkahnya tegap, wajahnya tidak sedih, juga tidak gembira.

@@@

Cerma ini pernah terbit di koran Minggu Pagi, Kamis, 12 November 2020

Jumat, 25 September 2020

Asal Masuk

                                                                                        


       Pagi itu Jon Koplo mendapat pesan melalui WhatsApp dari kepala sekolah agar menggantikan rekan sejawatnya, Genduk Nicole. Semalam badan Nicole panas sehingga hari ini tidak dapat melanjutkan mengikuti pelatihan.

Jon Koplo memang senang mendapatkan pengalaman dan ilmu baru meski hanya sehari. Koplo termasuk guru baru di sekolah itu dan baru kali itu mengikuti pelatihan. Pelatihan diselenggarakan hari itu dan sebelumnya.

            Jon menyiapkan laptop dengan segala perlengkapannya. Dia langsung pergi ke hotel tempat pelatihan berlangsung. Dia tidak perlu membawa surat tugas dari sekolah. Sebab  Nicole sudah mengumpulkannya hari sebelumnya.

            Koplo tiba di hotel setengah jam sebelum acara dimulai sebagaimana tertera dalam undangan. Setelah mencuci tangan dengan sabun dan cek suhu tubuh, Jon masuk dengan penuh semangat.

            Di dalam ruangan sudah banyak peserta yang hadir.             Saat coffee break, panitia mengedarkan lembar absensi. Ketika tiba gilirannya, Jon mencari nama teman sejawat dan sekolahnya. Ternyata keduanya tidak ada dalam daftar.

            “Kalau tidak salah sekolah Pak Koplo ada di subrayon 04,” jelas Lady Cempluk yang duduk di sebelahnya sambil mengingat-ingat.

            “Iya, Bu, betul,” jawab Koplo cepat.

“Kalau subrayon 04, 05, dan 06 mapelnya Matematika, Pak. Di ruang sebelah. Sedangkan di ruang ini untuk mapel bahasa Indonesia subrayon 01, 02, dan 03,” tambah  Cempluk.

            “O... begitu. Gara-gara asal masuk,” kata Koplo.

         Dengan malu, Koplo segera keluar ruangan dan berpindah ke ruang lain untuk mapel Matematika.

@@@

 Cerita ini pernah terbit di Solopos, 25 September 2020 


Selasa, 04 Agustus 2020

Mengenang “Kematian yang Direncana”



       Salah satu tugas guru selain kegiatan utama, mengajar, di antaranya menjadi wali kelas. Tetapi tidak setiap guru berkesempatan menjadi wali kelas. Tergantung situasi dan kondisi, kemampuan guru, jumlah guru, dan hal-hal lain. Karena setiap sekolah mempunyai kondisi yang berbeda.

Menjadi wali kelas berarti menjadi orangtua sebagaimana siswa di rumah. Jadi bisa dibayangkan menjadi orangtua bagi peserta didik sebanyak satu kelas. Jumlahnya puluhan. Sementara mendidik anak kandung hanya satu-dua orang.

            Jika menemui orangtua yang kooperatif, kerja sama antara kedua belah pihak, guru dengan orangtua, menjadi mudah. Permasalahan peserta didik pun mudah terselesaikan. Tetapi kenyataanya, tidak semua orangtua peduli permasalahan anaknya sendiri. Terutama bagi keluarga ekonomi bawah. Alih-alih ikut menyelesaiakan masalah, orangtua ikut menyumbang masalah. Ada juga yang nyata-nyata melempar masalah ke sekolah, lepas tanggung  jawab. Alhasil wali kelas dan guru BK menjadi tumpuan masalah.

            Mungkin teman-teman pernah mengalami seperti yang saya alami.   Namun saya berusaha menanggapi positif setiap hal. Termasuk jika saya ditunjuk menjadi wali kelas, dengan segala suka dukanya. Di antaranya jika menemui keluarga yang bermasalah tadi. Setiap permasalahan selalu menarik untuk dibuat cerita. Dari sudut pandang mana pun. Cerita anak, cerita remaja, cerita dewasa, juga artikel. Pengalaman itu saya tulis. Maka jadilah cerpen “Kematian yang Direncana”.

            Salah satu unsur ekstrinsik(di luar karya) cerpen adalah latar belakang pengarang. Begitu pun dalam cerpen “Kematian yang Direncana”. Cerpen ini bertutur tentang seorang guru saat menghadapi orangtua yang keras kepala dan kasar. Hingga ketakutannya berlebihan. Mungkin karena ia seorang wanita sementara yang dihadapi orangtua lelaki. Hal lain didasarkan pada pengalamannya yang pernah menghadapi orangtua tersebut, dulu saat anaknya sebagai peserta didik baru. Waktu itu tidak segan membawa benda tajam untuk menyelesaikan masalah. Tentu menjadi hal tabu dalam dunia pendidikan yang sarat muatan pendidikan karakter. 

            Bagaimana mungkin ada kekerasan ditambah dengan adanya benda tajam. Dalam menghadapi peserta didik, siapa pun orang-orang di sekitarnya, selayaknya memiliki sikap mandiri, gotong royong, nasionalis, relegius, dan sikap-sikap terpuji lain.  

                                                                             

Nyaris terlupa bahwa saya pernah menulis cerpen ini. Saya menulisnya beberapa tahun lalu. Kemudiaan saya ajukan saat mengikuti Pelatihan Menulis Cerpen 2019 oleh Balai Bahasa Jawa Tengah. Tentu setelah mengalami perubahan di sana sini menyesuaikan perkembangan zaman. Pelatihan berlangsung selama satu bulan. Setiap peserta diwajibkan mengumpulkan satu karya pada akhir pelatihan.

Realisasi penerbitan menjadi buku antologi membutuhkan proses lama. Kira-kira satu tahun. Kami harus menunggu semua karya terkumpul kemudian dicetak. Mungkin karena kesibukan masing-masing setelah pelatihan selesai. Sementara setiap karya yang diajukan harus melewati revisi mentor. Belum lagi mengirim ulang hasil revisi. Panitia harus mengumpulkan hasil karya semua peserta sebanyak 42 orang. Salah satu judul cerpen peserta dipilih menjadi judul buku antologi, Bunga Memerah Kumbang Menari.

            Senang dapat berkontribusi dengan teman-teman yang pernah belajar bersama menulis cerpen. Ternyata persahabatan kami tidak hanya selama mengikuti pelatihan. Sampai sekarang kami masih bersilaturahmi. Karena situasi dan kondisi tentu tidak bisa lagi bertatap muka. Apalagi peserta tidak hanya dari Semarang. Banyak juga yang dari luar kota. Satu sisi maraknya medsos membuat jarak dan waktu tak terhalangi. Kami saling memberi semangat, informasi, atau sekadar berkirim kabar melalui grup Whats App. Dan berharap persahabatan ini berlangsung selamanya.

            Menulis adalah sebuah proses. Zaman terus berkembang. Dengan menjadi insan yang terbuka, selalu menambah ilmu, sangat berguna untuk menghasilkan tulisan-tulisan yang bernas, bermanfaat, sekaligus menghibur bagi siapa pun yang membaca. Dengan menulis dapat pula ikut mencerdaskan bangsa.

Yuk, menulis!

@@@


Rabu, 08 Juli 2020

Yuk, Tamasya!

                                                                                     
Berfoto di salah satu singgahan


          Akhirnya dapat kesempatan nih tamasya, setelah tiga bulan berdiam diri di rumah. Hari Minggu kemarin, saya dan saudara-saudara bertamasya ke Kota Kretek, Kudus.            
         Tentu saja tamasya kali ini berbeda dari biasanya. Kami harus mengikuti serangkaian protokoler, yang kadang-kadang membuat ribet. Harus memakai masker. Walaupun di dalam mobil, pasti terlihat oleh polisi bila tidak memakai masker. Daripada terkena sanksi lebih baik menaati peraturan. Lalu mencuci tangan setiap kali akan masuk ke suatu tempat. Menjaga jarak. Tapi apa pun itu imbalannya adalah refreshing, jauh lebih memberi kesenangan. Apalagi demi kebaikan dalam menjaga kesehatan.  
            Sebetulnya tamasya saya kali ini tidak sengaja. Yah, lebih bersifat menghibur dan memberi dukungan kepada saudara yang akan belajar di pondok. Setelah lulus SD, ia ingin belajar di pondok. Karena sehari-hari terbiasa tinggal bersama orangtuanya, kali ini harus berpisah. Apalagi pondoknya di luar kota. Keluarga berkesempatan bertemu dengannya sebulan sekali pada akhir bulan. Jadi, kami tidak pergi ke tempat wisata. Tapi lumayanlah, bisa menghirup udara luar kota.
            Mobil mulai melaju pukul 08.00. Banyak terlihat masyarakat bersepeda santai menikmati hari Minggunya. Barulah sampai di luar kota, jalanan terlihat agak lengang. Mungkin keadaan masih pandemi sehingga masyarakat lebih memilih di rumah dibanding bepergian, kecuali ada keperluan penting.
                                                                                  

                                                    Bersama saudara yang akan mondok

Butuh waktu satu setengah jam untuk sampai di tempat tujuan. Matahari tidak begitu terik. Angin sepoi-sepoi melunturkan penat. Hanya terlihat beberapa santri putri di rumah pondok. Sebagian besar masih menikmati masa liburnya. Begitu cerita Mbak Pondok yang menyambut kedatangan kami. Setelah mengurus administrasi, saatnya pulang. Sempat berlinangan air mata saat akan berpisah. Tapi kami harus segera pergi agar tidak terlarut dalam kesedihan.
                                                                       
      Bersama sebelum berpisah            

Waktu menunjuk makan siang. Seperti biasa, rasanya belum afdol bila bertamasya tidak mencicipi makanan khas daerah tersebut. Kami berhenti di sebuah warung Soto Kudus. Pelayan menawari dua pilihan, soto ayam atau soto kerbau. Tentu saja saya memilih soto ayam. Terlintas di benak saya belum pernah merasakan soto dengan daging kerbau. Daripada tidak termakan, sementara perut sudah keroncongan, mendingan makan soto ayam yang sudah terbiasa.

Tidak lama pesanan tersaji di meja. Hm, semangkuk Soto Kudus yang segar dengan kuah agak keruh dan kekuningan. Tidak lupa kucuri jeruk nipis sebelum disantap agar rasa semakin lezat. Sebagai lauk tambahan terhidang di meja: sate kerang, sate telur puyuh, tempe goreng, dan tahu goreng. Kami tinggal memilih.
                                                                             
                                                       Semangkuk Soto Kudus yang lezat

Pernah mendengar cerita tentang masyarakat setempat masih mengeramatkan sapi. Konon Sunan Kudus menghormati pemeluk Hindu yang waktu itu mayoritas. Dalam ajaran Hindu sapi dimuliakan sehingga dilarang disembelih. Sebagai gantinya menyembelih kerbau. Mungkin karena daging kerbau rasa dan aromanya tidak jauh berbeda dengan daging sapi dibanding kambing yang sangat tajam aromanya. Sehingga tidak cocok bila dicampur dengan masakan soto.

Setelah badan kembali segar, kami melanjutkan perjalanan. Menuju pulang maksud hati mampir sejenak di Demak. Jambu air dari Demak terkenal sangat lezat. Di samping rasanya manis, tidak ada ulat di dalamnya. Hal itu sudah saya buktikan bila berbelanja di pasar tradisional di Semarang.
Sampailah kami di sebuah pasar di Demak. Tapi apa yang terjadi? Jambu air yang dijajakan harganya lebih mahal. Di Semarang satu kilo hanya dua belas ribu rupiah. Tapi di Demak dua puluh ribu. Sedang tidak masa panen, ungkap pedagang perihal mahalnya harga. Mungkin juga mereka melihat kami wisatawan, sehingga diberi harga mahal. Dengan rasa sedikti kecewa kami harus pulang tanpa membawa jambu air.
Tapi apa pun itu perjalanan sepanjang berwisata sungguh mengobati kebosanan setelah sekian lama berkutat dengan segala akvititas di dalam rumah.
Bagaimana dengan teman-teman, apakah pada masa normal baru sudah refreshing, di antaranya dengan tamasya atau jalan-jalan ke luar kota? Kalau ada kesempatan, kenapa tidak? Yuk, tamasya!
@@@

Rabu, 04 Maret 2020

Layang-Layang Damar


        “Mar, besok ada tugas IPS. Seperti biasa kita belajar bersama. Mas Ari punya globe untuk mencari letak geografi lebih jelas. Aku sudah meminjamnya.Puput dan Tari juga akan belajar di rumahku. Tidak lama lagi mereka pasti datang!” ajak Arjuna saat melewati rumah Damar. Merekatetangga sekaligus teman sekelas. Mas Ari adalah kakak Arjuna yang duduk di bangku SMA.
            “Ayo, Damar, mumpung Arjunangajak belajar!” perintah ibu saat akan membuang sampah.
            “Damar bisa belajar sendiri, Bu. Damar kan punya buku altas,” jawab Damar bersikukuh. Sore itu Damar sedang membuat layang-layang di teras.
            Akhirnya Arjuna pergi. Dia sedang disuruh ibunya membeli beras di warung.
Ibu Damar mengeluh. Beberapa kali Damar menolak setiap kali diajak belajar bersama. Karena sering tidak mengerjakan tugas, Damar mendapat sanksi. Bu Fida, wali kelasnya, menyuruh membersihkan kebun belakang sekolah.
Akhir-akhir ini Damar suka bermain layang-layang. Karena tidak ingin uang jajannya terkurangi, setiap kali layang-layangnya nyangkut di pohon, atau sangkutan dengan lawan, dia membuat sendiri.
                                                                             
ilustrasi dari KR
          Suatu sore Arjuna berkunjung ke rumah Damar. Kali ini tidak untuk mengajaknya belajar. Sebab Arjuna tahu, semenjaksuka bermain layang-layang, tetangganya itu tidak mau lagi diajak belajar bersama.
            “Damar, aku butuh layang-layang. Kamu kan kreatif, termasuk pandai membuat layang-layang. Kamu bersedia bantu aku?”
            “Memangnya kamu juga akan bermain layang-layang?” tanya Damar kaget.
            Arjuna memintanya agar membuatkan layang-layang kecil sebagai hiasan.Tentu saja Damar tidak menolak. Sebab dia memang senang membuat layang-layang. 
Keesokan hari, saat datang di rumah Arjuna, Tari, Puput, dan tetangga lain seusia mereka sudah berada di sana. Mereka sedang membaca buku. Sekarang Arjuna punya pojok baca. Letaknya di sisi kiri rumah. Sayang, belum ada hiasannya. Kebetulan dia tidak bisa menghias. Semula ruangan itu gudang, tempat ayah Aruna menyimpan barang dagangannya. Sekarang ayah Arjuna sudah membeli bangunan lain yang lebih besar. Karena berniat baik, ayahnya menyetujui tempat itu digunakan sebagai pojok baca. Kini anak-anak kampung bila ada waktu lowong datang ke pojok baca untuk membaca buku-buku.
                                                                  
ilustrasi dari KR
Pojok baca berupa buku-buku yang ditata dalam tiga rak. Rak tengah berisi buku-buku ilmu pengetahuan, rak kanan buku cerita, sebelah kiri buku komik. Walaupun komik ada nilai pendidikan karakter seperti tanggung jawab, peduli sesama, dan lain-lain. Sebagian buku-buku milik koleksi Arjuna, sebagian lagi membeli loak. Sisanya sumbangan dari teman-teman.

Damar mulai membuat layang-layang kecil. Dibentuknya kertas minyak menjadi belah ketupat. Diambilnya dua lidi sesuai ukuran kertas secara menyilang. Sebab layang-layang itu ditempel.Tidak diterbangkan. Sehingga tidak perlu mencari bambu sebagai kerangka. Lidi itu disematkan pada kertas dengan benang pada ujung-ujungnya. Tidak lupa ditambahnya ekor, mata, hidung, dan mulut.
                                                                         
                                                                       illustrasi dari KR

Dua hari kemudian dua layang-layang kecil itu jadi. Damar menempelnya dengan selotip di tembok.
“Bagaimana kalau ditambah awan dan pesawat? Ini aku buatkan dari sisa bahan layang-layangku,” tukas Damar sambil menunjukkan pesawat dan awan yang dibawanya dari rumah.
“Silakan. Aku senang-senang saja. Kita jadikan tempat ini sebagai taman bacaan yang menarik. Sehingga kita rajin datang kemari untuk membaca. Karena membaca adalah jendela dunia. Dengan membaca ilmu pengetahuan kita bertambah.”
Puput, Tari, dan teman-teman lain manggut-manggut tanda setuju. Damar mulai menempel sebuah pesawat berbahan kertas warna merah, kemudian dua awan berwarna biru.
“Wah, bagus sekali,” Tari terkagum-kagum. Begitu pun teman-teman lain. Kini pojokbacatidak hanya berisi buku-buku. Di atasnya dihias dengan dua layang-layang, sebuah pesawat, dan dua awan. Apalagi dindingnya berwarna putih. Sangat kontras dengan warna pesawat, layang-layang, dan awan.
“Ternyata ada komik. Aku suka baca komik. Aku pikir yang dipajang di sini  cuma buku-buku ilmu pengetahuan,” tukas Damar begitu melihat koleksi buku-buku di rak yang ditempel di dinding.
            Kini mereka semakin bersemangat mengunjungi pojok baca. Masing-masing membaca buku kesukaannya. Begitu pun Damar membaca buku komik setiap sore. Damar bermain layang-layang hanya setiap hari libur.Mereka kebali belajar bersama, terutama jika ada tugas sekolah.
                                                          @@@ 
                       cerpen anak ini pernah terbit di Koran Kedaulatan Rakyat, Senin 2 Maret 2020

Senin, 24 Februari 2020

Kasih Buat Sifa

                                                                                 

Hari ini ada yang spesial dari kelas XI A. Kabar itu mereka dengar beberapa hari lalu. Semua akan menyambutnya dengan penuh suka cita. Wajarlah karena seseorang itu amat teristimewa di sekolah.
            Bu Reni adalah  pengganti sementara Bu Silvi yang sedang cuti melahirkan. Hari ini beliau mengajar untuk pertama kali di kelas yang selama ini tidak diampunya.
            “Selamat siang, anak-anak...” sapa Bu Reni. Bu Reni yang cantik, murah senyum, tidak saja karena ingin disegani meski bukan guru Bahasa Indonesia sebenarnya,  tapi beliau memang ramah.
            “Selamat siang, Buuuu...,” sambut anak-anak satu kelas serempak.
            Para siswa riuh rendah menyambut guru barunya.
            “Kalian pasti sudah mengenal saya, walaupun sebelumnya saya tidak mengajar kalian,” jelas Bu Reni setelah suasana tenang. Maklumlah meski mengerti Bu Reni juga guru yang mengajar di sekolah tersebut, sepertinya mereka tidak ingin melewatkan pertemuan pertama ini.
            Mereka tetap menginginkan Bu Reni memperkenalkan diri. Bahkan hobi dan makanan kesukaannya, mereka ingin tahu. Bu Rini geleng-geleng kepala.
            Acara perkenalan dengan Bu Reni usai. Beliau juga tak mau kalah ingin mengenal setiap siswa. Diabsennya satu per satu menurut alfabet.
            “Andika Saputra...”
            “Saya, Bu,” jawab Andika sambil mengangkat tangan.
            “Anita Lestari...”
            “Saya, Bu.”
            Ketika Bu Reni memanggil satu anak  dan ternyata tidak masuk, tanggapan seluruh siswa berbeda.
            “Namanya bukan Sifa Savitri, Bu, tapi Anak Baru...” celetuk salah satu.
            “O... jadi dia anak baru? Pindahan dari luar kota?” tanya Bu Reni penasaran.
            Mereka tidak langsung menjawab, tapi malah cekikikan. Bu Reni semakin bingung. Barulah seseorang menjelaskan.
            “Dia jarang masuk, Bu. Anaknya tertutup. Makanya setiap masuk seperti anak baru. Maka kami satu kelas memanggilnya Anak Baru.”
            Jidat Bu Reni mengerut.
            “Kalau sering tidak masuk mengapa kalian sebagai teman satu kelas tidak berusaha mencari tahu? Dekatilah sehingga dia terbuka. Pasti dia punya masalah. Jangan-jangan di antara kalian pernah menyakitinya.”
            Bu Reni mendesak agar di antara mereka mengaku. Tapi mereka bersikeras bahwa kelasnya damai. Tidak ada satu pun yang membuat permusuahan. Jadi, kalaupun Sifa menemui masalah, pasti di luar kelas.
            Hari pertama Bu Reni sengaja menyelesaikan semua masalah. Beliau tidak ingin ada yang mengganjal saat pembelajaran kelak. Beliau mendesak teman sebangkunya mendatangi rumah Sifa. Dengan pendekatan persuasif, Bu Reni berharap siswa kelas itu lengkap.
            Setelah masalah menemukan penyelesaian, barulah Bu Reni memulai pembelajaran.
@@@
            Veronika benar-benar terpanggil dengan saran Bu Reni. Di samping itu desakan teman-teman satu kelas sehingga tidak ada pilihan lain selain menemui Sifa di rumahnya. Dia menyesal selama ini terpancing teman-temannya dengan membenci Sifa. Hari Jumat saatnya pulang awal, Vero tidak langsung ke rumah, melainkan menemui teman sebangkunya.
            Warung terlihat banyak pembeli. Sifa sedang membantu seorang wanita tengah baya, siapa lagi kalau bukan neneknya. Tapi Vero enggan mendekat. Dia takut mengganggu. Syukurlah tak lama berselang,  tanpa sadar Sifa mempersilakannya yang dikira pembeli.
            “Vero?” Sifa tak percaya teman sebangkunya berada di warungnya.
            Vero  dipersilakan duduk di ruang tamu yang bersebalahan dengan warung.
            “Ver... mengapa kamu ke sini? Bukankah aku tidak punya janji sama kamu?” ungkap Sifa berterus terang setelah menyajikan teh manis.
            “Memangnya kalau kamu tidak punya janji aku tidak boleh ke rumahmu? Jadi kamu sudah tidak menganggap aku teman sebangkumu lagi?” tantang Vero.
            Sifa menghela napas panjang. Tatapannya yang semula tajam, kali ini luluh dan menunduk.
            “Kita kan teman sabangku, Sif, masa sih kalau kamu punya masalah aku tidak boleh tahu? Aku ingin kita bersama lagi seperti dulu. Aku yakin setelah ini tidak ada yang mengatakan kamu anak baru. Mereka sudah janji. Teman-teman menginginkan kamu kembali ke sekolah.”
            Sifa memandang Vero. Maka mengalirlah tuturan demi tuturan.
            “Aku malas sekolah, Ver. Kedua orangtuaku benar-benar tak peduli. Berkas untuk pengajuan beasiswa yang diminta sekolah tidak diberikan padaku. Kamu tahu sendiri, nenekku tidak ada yang membantu kalau aku ke luar kota menemui ibuku. Bapakku aku mintai tolong malah mematikan nomornya dan tidak akitf. Sudah untung aku punya nenek yang baik  hati. Kalau tidak, aku pasti sudah menggelandang sejak dulu,” cerita Sifa tentang kedua orangtuanya yang bercerai.
            “Kalau begitu, hari Minggu nanti aku antar kamu mengurus berkas itu ke rumah ibumu. Siapa tahu belum terlmbat. Yah kalaupun terlambat mungin bisa diajukan tahun depan. Atau setidaknya kamu kembali ke sekolah, meraih masa depan.”
            “Kenapa kamu begitu peduli dengan masalahku, Ver?”
            “Karena kasih sayang tidak hanya untuk pacar, kan, tetapi juga dengan teman.”
            Mereka tersenyum dan tidak sabar ingin lagi ke sekolah dan duduk satu meja.
@@@
Cerma ini pernah terbit di Koran Padang Ekspres, Minggu 23 Februari 2020