Berfoto di salah satu singgahan
Akhirnya dapat kesempatan nih tamasya, setelah tiga bulan berdiam diri di rumah. Hari Minggu
kemarin, saya dan saudara-saudara bertamasya ke Kota Kretek, Kudus.
Tentu saja tamasya kali ini berbeda dari biasanya. Kami harus mengikuti serangkaian protokoler, yang kadang-kadang membuat ribet. Harus memakai masker. Walaupun di dalam mobil, pasti terlihat oleh polisi bila tidak memakai masker. Daripada terkena sanksi lebih baik menaati peraturan. Lalu mencuci tangan setiap kali akan masuk ke suatu tempat. Menjaga jarak. Tapi apa pun itu imbalannya adalah refreshing, jauh lebih memberi kesenangan. Apalagi demi kebaikan dalam menjaga kesehatan.
Tentu saja tamasya kali ini berbeda dari biasanya. Kami harus mengikuti serangkaian protokoler, yang kadang-kadang membuat ribet. Harus memakai masker. Walaupun di dalam mobil, pasti terlihat oleh polisi bila tidak memakai masker. Daripada terkena sanksi lebih baik menaati peraturan. Lalu mencuci tangan setiap kali akan masuk ke suatu tempat. Menjaga jarak. Tapi apa pun itu imbalannya adalah refreshing, jauh lebih memberi kesenangan. Apalagi demi kebaikan dalam menjaga kesehatan.
Sebetulnya
tamasya saya kali ini tidak sengaja. Yah, lebih bersifat menghibur dan memberi
dukungan kepada saudara yang akan belajar di pondok. Setelah lulus SD, ia ingin
belajar di pondok. Karena sehari-hari terbiasa tinggal bersama orangtuanya,
kali ini harus berpisah. Apalagi pondoknya di luar kota. Keluarga berkesempatan
bertemu dengannya sebulan sekali pada akhir bulan. Jadi, kami tidak pergi ke
tempat wisata. Tapi lumayanlah, bisa menghirup udara luar kota.
Mobil
mulai melaju pukul 08.00. Banyak terlihat masyarakat bersepeda santai menikmati
hari Minggunya. Barulah sampai di luar kota, jalanan terlihat agak lengang. Mungkin
keadaan masih pandemi sehingga masyarakat lebih memilih di rumah dibanding bepergian,
kecuali ada keperluan penting.
Bersama saudara yang akan mondok
Butuh waktu satu setengah jam untuk
sampai di tempat tujuan. Matahari tidak begitu terik. Angin sepoi-sepoi
melunturkan penat. Hanya terlihat beberapa santri putri di rumah pondok.
Sebagian besar masih menikmati masa liburnya. Begitu cerita Mbak Pondok yang
menyambut kedatangan kami. Setelah mengurus administrasi, saatnya pulang. Sempat
berlinangan air mata saat akan berpisah. Tapi kami harus segera pergi agar
tidak terlarut dalam kesedihan.
Bersama
sebelum berpisah
Waktu menunjuk makan siang. Seperti
biasa, rasanya belum afdol bila bertamasya tidak mencicipi makanan khas daerah
tersebut. Kami berhenti di sebuah warung Soto Kudus. Pelayan menawari dua
pilihan, soto ayam atau soto kerbau. Tentu saja saya memilih soto ayam.
Terlintas di benak saya belum pernah merasakan soto dengan daging kerbau.
Daripada tidak termakan, sementara perut sudah keroncongan, mendingan makan soto ayam yang sudah
terbiasa.
Tidak lama pesanan tersaji di meja.
Hm, semangkuk Soto Kudus yang segar dengan kuah agak keruh dan kekuningan.
Tidak lupa kucuri jeruk nipis sebelum disantap agar rasa semakin lezat. Sebagai
lauk tambahan terhidang di meja: sate kerang, sate telur puyuh, tempe goreng,
dan tahu goreng. Kami tinggal memilih.
Pernah mendengar cerita tentang
masyarakat setempat masih mengeramatkan sapi. Konon Sunan Kudus menghormati
pemeluk Hindu yang waktu itu mayoritas. Dalam ajaran Hindu sapi dimuliakan
sehingga dilarang disembelih. Sebagai gantinya menyembelih kerbau. Mungkin karena
daging kerbau rasa dan aromanya tidak jauh berbeda dengan daging sapi dibanding
kambing yang sangat tajam aromanya. Sehingga tidak cocok bila dicampur dengan
masakan soto.
Setelah badan kembali segar, kami
melanjutkan perjalanan. Menuju pulang maksud hati mampir sejenak di Demak.
Jambu air dari Demak terkenal sangat lezat. Di samping rasanya manis, tidak ada
ulat di dalamnya. Hal itu sudah saya buktikan bila berbelanja di pasar
tradisional di Semarang.
Sampailah kami di sebuah pasar di
Demak. Tapi apa yang terjadi? Jambu air yang dijajakan harganya lebih mahal. Di
Semarang satu kilo hanya dua belas ribu rupiah. Tapi di Demak dua puluh ribu. Sedang
tidak masa panen, ungkap pedagang perihal mahalnya harga. Mungkin juga mereka
melihat kami wisatawan, sehingga diberi harga mahal. Dengan rasa sedikti kecewa
kami harus pulang tanpa membawa jambu air.
Tapi apa pun itu perjalanan sepanjang
berwisata sungguh mengobati kebosanan setelah sekian lama berkutat dengan
segala akvititas di dalam rumah.
Bagaimana dengan teman-teman,
apakah pada masa normal baru sudah refreshing,
di antaranya dengan tamasya atau jalan-jalan ke luar kota? Kalau ada kesempatan,
kenapa tidak? Yuk, tamasya!
@@@