Polan
dan Pongpongan Pak Pohan
“Ayo, laba-laba, kemari! Ayo... ayo... kok diam
saja...”
Polan
sedang menyuruh pongpongan keluar dari kolong tempat tidurnya. Ia memanggilnya
laba-laba karena cangkangnya dilukis gambar laba-laba. Begitulah Pak Pohan,
nama penjual pongpongan itu untuk menarik hati pembeli. Setiap cangkang
pongpongan yang dijual dicat aneka gambar.
Tapi
pongpongan itu tidak mau berjalan dan tetap berada di pojok dinding. Akhirnya Polan
mengambil sapu ijuk untuk meraih pongpongan. Sesaat kemudian pongpongan sudah
berada di hadapannya.
“Laba-laba,
kenapa sih kamu sembunyi terus. Ayo, jalan!” Pinta Polan.“Hah... hah... hah...”
Karena tidak mau mengeluarkan kakinya dari cangkang, Polan meniup-niup.
Sesaat
kemudian pongpongan mengeluarkan kaki-kakinya. Polan meletakkan pongpongan di
lantai. Maka berjalanlah pongpongan. Polan pun bersorak-sorai melihat
pongpongan berjalan.
Setelah beberapa lama....
“Laba-laba, kenapa berhenti? Hah... hah... hah...” Polan meniup-niup
kaki pongpongan. Lalu pongpongan mengeluarkan kaki-kakinya dan berjalan lagi.
Polan
senang. Pongpongan berjalan. Sesaat kemudian ketika pongpongan berhenti, lagi-lagi
ia meniup-niup. Begitu seterusnya. Tapi sayang, ketika berhenti lagi lalu Polan
meniup-niup, pongpongan tidak mau mengeluarkan kaki-kakinya. Polan jengkel,
dan....
Praaakkkkkkk.... Polan membanting pongpongan. Cangkang pongpongan pecah
menjadi berkeping-keping. Pongpongan segera berlari tanpa cangkang. Tentu saja
sudah tidak menarik karena tanpa cangkang. Apalagi cangkang itu dilukis
menyerupai laba-laba. Maka Polan membiarkan pongpongan pergi dan keluar dari
kamarnya.
Begitulah Polan kalau pongpongan tidak mau berjalan maka ia membanting. Dengan
hati kesal ia menyapu kepingan cangkang.
@@@
Keesokan hari sepulang sekolah Polan mendatangi jualan Pak Pohan. Pak
Pohan menjual pongpongan yang diletakkan di ember. Anak-anak membeli sesuai
gambar yang mereka suka.
“Pak
Pohan, beli pongpongan,” kata Polan penuh semangat. Kemudian ia memilih pongpongan
dengan cangkang bergambar kepala kucing.
“Beli
lagi, Lan,” ungkap Pak Pohan. Tentu saja Pak Pohan senang karena dagangannya
laku.
“Iya,
Pak.”
“Lan,
kamu beli lagi. Jadi yang laba-laba juga kamu banting? Tempo hari gambar
beruang, sebelumnya gambar serigala, semua kamu banting. Payah kamu, Lan!”
umpat Sani tahu-tahu sudah berada di samping Polan. Kemudian Sani memilah-milah
gambar yang ada pada cangkang pongpongan.
“Kamu
saja beli lagi,” ledek Polan.
“Aku
beli untuk adikku. Nih gambar boneka karena adikku perempuan,” jelas Sani sambil
menunjukkan cangkang pongpongan dengan gambar wajah boneka berwarna pink.
“Jadi
kamu beli lagi karena pongpongan yang lama kamu banting, Lan?” tanya Pak Pohan
heran sambil melayani pembeli lain.
“I..iya, Pak. Habis jalan sebentar
berhenti, jalan lagi berhenti lagi,” jawab Polan sambil cengar-cengir.
“Kirain
buat dipelihara, Lan. Kemudian kamu kasih makan dengan buah-buahan rasa manis.
Pongpongan itu suka buah-buahan rasa manis. Kasihan kalau kamu banting. Mereka
kan makhluk hidup seperti kita. Coba kalau kita jalan tarus, kan lelah.” jelas
Pak Pohan panjang lebar.
Tapi
Polan tidak peduli dengan nasihat Pak Pohan. Kemudian Pak Pohan memberikan
kantung plastik berisi pongpongan kepada Sani dan Polan. Mereka membeli seribu
lima ratus rupiah untuk satu buah pongpongan.
“Lan, sepedamu mana,kok langsung
pulang?” tanya Sani. Polan dan Sani sering pulang bersama dengan mengendarai
sepeda masing-masing. Lalu mereka berpisah ketika sampai di perempatan.
“Sepedaku rantainya lepas. Rantainya memang sudah aus. Ayah belum sempat
membelikan yang baru. Kata ayah karena sekolahku dekat makanya aku disuruh jalan
kaki.”
“Ayo,
aku antar sampai ke rumahmu!” ajak Sani.
“Makasih,
San, nggak usah, rumahku dekat sedangkan rumahmu jauh.”
“Kalau
begitu, aku duluan!”
“Yoi!”
Walaupun
rumah Polan dekat dengan sekolahan, sebetulnya ia capek jalan kaki. Maklumlah
biasanya ia naik sepeda. Tapi ia kasihan kalau Sani mengantar.
Sampai
di rumah, seperti biasa Polan melihat ibu sibuk menjahit. Jahitan ibu
akhir-akhir ini banyak. Langganan ibu para tetangga dan sebagian teman kantor
ayah.
“Lan, setelah
makan siang, tolong belikan Ibu benang seperti warna kain ini. Juga kancing
yang seperti ini. Ibu sudah beli tapi ternyata kurang dua buah. Sekalian
reslueting ukuran tujuh belas setengah sentimeter,” pinta ibu dengan memperlihatkan
kain perca dan contoh kancing.
“Ibu, Polan
kan baru saja pulang sekolah. Lelah. Sepeda Polan rusak. Masa Polan mesti jalan
kaki lagi ke toko benang.”
Walaupun Polan menolak, ibu bersikeras memintanya untuk membelikan.
Terpaksa setelah makan siang, Polan pergi ke toko benang.
Sampai
di toko benang, Polan melihat banyak pembeli. Polan harus mengantre. Beruntung
ia mengenal baik salah satu karyawannya. Karyawan itu biasa duduk di teras
toko. Karena sibuk melayani, Polan meminjam kursi yang biasanya ia duduki.
Kedua kakinya terasa sangat pegal.
Sambil
duduk, Polan jadi ingat kata-kata Pak Pohan, “Mereka kan makhluk hidup seperti
kita. Coba kalau kita jalan tarus, kan lelah.”
Polan
berjanji sampai di rumah nanti tidak akan membanting Pongpongan yang baru saja
dibelinya dari Pak Pohan. Ia akan memeliharanya dengan baik.
@@@
Cernak ini pernah dimuat di www.simalaba.com, 10 Februari 2018