Iis Soekandar: 2021

Rabu, 29 Desember 2021

Hikmah Pandemi

                                                                    

                                                         delapan karya di majalah Bobo

Tidak terasa Desember 2021 hampir selesai. Baru saya sadari ketika beberapa hari lalu membaca sebuah tulisan di surat kabar. Penulis mengungkapkan kesan dan pengalamannya sepanjang tahun 2021. Ternyata sudah di penghujung tahun. Setiap orang pasti punya kesan dalam hidupnya, begitupun saya. Hidup adalah pembelajaran; merenungi dan mengambil hikmah saat kegagalan terjadi; memacu untuk bisa bertambah maju saat keberhasilan berpihak. Keduanya sebagai modal menapaki hari depan.

            Pandemi hampir dua tahun. Tahun lalu saya merasakan kehidupan dan kebiasaan baru adanya pandemi. Kegiatan yang biasanya saya lakukan di luar, berubah menjadi lebih banyak saya lakukan di dalam rumah. Prokes begitu ketat. Jika meleng, virus tak kasatmata siap memapar dan mengarantina. Bahkan jika nahas berpisah selamanya dengan orang-orang dekat dan handai tolan.

            Seiring waktu berjalan, hal-hal baru itu menjadi kebiasaan. Keluar rumah menutup sebagian wajah dengan masker bukanlah sebuah gangguan. Selain menjaga kesehatan, ternyata melindungi dari terik matahari dan debu polusi. Menjaga jarak tidak lagi hal aneh walaupun dalam sebuah perjamuan. Di samping makanan tak dibagikan di tempat, menghindari bergunjing karena waktu pertemuan dibatasi.

Pandemi tahun kedua juga memberikan hikmah positif, terutama dalam kegiatan menulis. Saya punya banyak waktu menulis dan membaca. Ada sepuluh karya yang terbit sepanjang tahun 2021 dari dua media. Delapan di majalah Bobo dan dua di koran Kedaulatan Rakyat. Semua masih seputar cerita anak. Biasanya cerita yang saya buat mengandung pendidikan karakter juga kearifan lokal. Proses setiap karya dari pengalaman membaca, jalan-jalan, terkadang juga harus riset. Setiap karya berharap dipublikasikan, itu sebabnya tidak boeh memberikan informasi salah.

                                                                                   
dua karya di koran Kedaulatan Rakyat

Begitu pun dalam kegiatan membaca. Saya semakin banyak kesempatan membaca buku-buku cerita dewasa, baik kumpulan cerpen maupun novel. Dan berharap pada masanya nanti mendapat kesempatan menerbitkan cerita-cerita dewasa, sebagaimana teman-teman yang telah sukses. Ada banyak hal yang bisa ditulis dari pengalaman hidup sehari-hari. Tidak hanya menjadi cerita anak, cerita dewasa juga asyik untuk ditulis.

Menulis kegiatan yang menyenangkan. Berlama-lama menulis berarti berlama-lama dalam kesenangan. Banyak media yang tidak lagi memberikan ruang untuk cerita anak sementara kegiatan menulis menjadi kebutuhan. Saya menampungnya dalam kegiatan menulis novel anak. Yah, sekarang selain menulis cerita pendek saya juga menulis novel anak. Entah ke mana novel itu kelak akan bermuara. Yang pasti saya percaya tidak ada yang percuma di dunia ini. Sebagaimana dulu tidak ada media yang menerima karya saya, tetapi tahun ini terbit sepuluh buah.

Satu sisi menjaga kebahagiaan dan berpikir positif di tengah pandemi yang masih melanda adalah hal penting. Konon, kebahagiaan dan berpikir positif dapat menyembuhkan penyakit hingga delapan puluh persen. Untuk kemudian benar-benar sehat. Jika badan sehat menulis pun menjadi lancar.

Semoga kelancaran menulis menghasilkan pula kelancaran terbit karya di banyak media. Tidak hanya cerita anak, tetapi juga cerita dewasa; cerpen maupun novel. Amin. Sukses juga untuk teman-teman.

@@@


Kamis, 25 November 2021

Koleksi Skuter Adi

                                                                                       

       Tin! Tin! Tin! Terdengar bunyi klakson skuter Adi. Skuter atau otoped merah itu terus melaju. Setiap kali skuter itu melambat, Adi kembali mengentakkan kaki kanannya beberapa kali ke tanah. Setelah itu, kaki kanannya naik lagi ke atas bilah tempat kaki. Skuter pun kembali melaju cepat. Kedua tangan Adi memegang setang agar seimbang. Sesekali ia membunyikan klakson.

       Adi memang suka bermain skuter. Ia punya beberapa koleksi skuter. Ada yang remnya di atas roda, ada juga yang di sebelah setang. Ada yang berwarna merah, biru, hitam, dan krem. Biasanya Adi mengendarai skuter yang memiliki keranjang di depan.  Bila haus, Adi tinggal mengambil botol minuman di keranjang itu.

       Suatu sore, Adi menunggu Bagas datang. Bagas juga suka bermain skuter, tetapi ia hanya punya satu skuter. Mereka selalu bermain di halaman rumah Adi yang luas. Di sisi kiri, kanan, dan belakang rumah Adi, terdapat tanah kosong. Sehingga mereka bisa mengitari rumah dengan leluasa.

       “Di, sudah menunggu lama ya?” sapa Bagas yang datang dengan skuternya.

      “Lumayan! Ayo, kita langsung main!” ajak Adi tak sabar, sambil membuka pintu pagar. Ia ingin segera kebut-kebutan.

       Mereka bermain skuter bersama. Terkadang Bagas berada di depan, lalu Adi berusaha mengejar. Adi pun berada di depan. Gantian, Bagas berusaha mengejar. Sesekali mereka melaju beriringan. Bunyi klakson terdengar berkali-kali. Suasana menjadi semakin seru.

       Ketika mereka sedang asyik bermain, tiba-tiba Dika datang. Dika tetangga mereka juga. Dari luar pagar halaman, Dika senang melihat Adi dan Bagas bermain skuter. Sayangnya, Dika tidak punya skuter.  

            Setelah lama bermain, Adi dan Bagas kelelahan dan kehausan. Mereka berhenti sejenak untuk minum dan istirahat. Dika yang awalnya hanya menonton, lama kelamaan tak tahan lagi ingin mencoba bermain skuter juga.

                                                                                 
ilustrasi: Bobo

       “Adi ... Mmm, apa aku boleh... mencoba skutermu sebentar?” pinta Dika.

       “Pakai skutermu sendiri saja. Kenapa pinjam skuterku!” omel Adi.

       “Aku tidak punya skuter,” jawab Dika sedih.

       “Beli sendiri, seperti aku. Minta pada ayahmu,” sambung Bagas.

       “Kata ayahku, belum punya uang untuk beli skuter,” kata Dika lagi.

         Mendengar jawaban Dika, Adi jadi tidak tega.

       “Kalau begitu, masuklah! Nanti aku pinjamkan sekuterku,” kata Adi,  lalu mengambil skuter lain dari garasi. Ia lalu meminjamkannya kepada Dika.

       Kini mereka bermain bertiga. Tidak tidak hari mulai petang. Bagas dan Dika pamit. Dika sangat berterima kasih pada Adi karena telah dipinjami skuter.

@@@

       Suatu sore seperti biasa,  Adi bermain skuter. Ia mengitari rumah sambil menunggu Bagas. Namun, hingga pukul setengah lima Bagas tidak datang. Kemarin sore, Bagas juga tidak bermain skuter di rumahnya. Beberapa saat kemudian asisten rumah tangganya lewat. Adi segera memanggilnya.

       “Mbak Irah! Mbak Irah! Bagas ke mana, ya? Dua hari ini dia tidak kelihatan,” tanya Adi.

       “Bagas pergi berlibur ke rumah kakek neneknya di desa sejak Sabtu kemarin. Nanti malam baru pulang. Papanya beli mobil baru. Jadi, rencananya mereka akan jalan-jalan setiap akhir minggu,” jelas Mbak Bi Irah.

       Adi manggut-manggut sedih. Ia meletakkkan skuternya begitu saja di halaman, lalu   duduk di teras. Wajahnya terlihat sedih. Ia punya banyak skuter. Namun, tidak seru bila bermain sendiri. Adi tidak punya kakak atau adik. Ia anak tunggal. Itu sebabnya, ia sering kesepian bila tidak ada teman bermain.

            “Sekolah Bagas memang libur pada hari Sabtu. Sekarang, keluarga Bagas punya mobil baru. Kakek dan Nenek Bagas tinggal di desa. Jangan-jangan, Bagas akan  ke luar kota setiap akhir pekan,” pikir Adi sedih.

                                                                                     

ilustrasi: Bobo

Tiba-tiba Adi ingat Dika. Sore itu juga, Adi datang ke rumah Dika. Adi ingin mengajaknya bermain skuter. Saat Adi tiba, Dika sedang bermain bersama Fiki, adiknya yang berusia tiga tahun. Mereka sedang bermain petak umpet.

       “Eeeh, Adi! Ada apa, Di?” tanya Dika heran. Dika agak malu karena rumahnya sangat  sederhana. Berbeda dengan rumah Adi yang besar dan megah.

       “Kamu kenapa tidak bermain ke rumahku lagi, Dika?” tanya Adi.

       “Aku tidak punya skuter,” jawab Dika. “Aku malu kalau pinjam skuter kamu lagi. waktu itu, aku pinjam karena sudah ingin sekali mencoba main skuter.”

       “Tidak usah malu, Dika. Ayo, main ke rumahku. Ajak saja Fiki sekalian. Aku masih simpan skuter roda empat yang aku pakai waktu aku masih balita. Ada musiknya juga. Skuter itu cocok buat Fiki. Fiki pasti senang,” jelas Adi. Fiki yang mendengar pun senang.

       Mereka pun bergegas ke rumah Adi. Kini tidak hanya Adi dan Dika, Fiki juga setiap sore bermain skuter di tempat Adi. Kini Adi mengerti bahwa berbagi itu membuat hati menjadi bahagia

@@@

Cernak ini pernah terbit di majalah Bobo, 18 November 2021


 


Kamis, 18 November 2021

Kegigihan Pak Suryana

                                                                                  

          Pak Suryana tinggal di Kota Sidomaju. Beberapa hari lalu, toko kelontongnya yang berada di pasar terbakar. Semua barangnya ludes dimakan api. Dia bingung tidak mempunyai pekerjaan.  Pak Suryana tidak mempunyai ijazah dan keterampilan apapun untuk bekerja di kantor. Hanya berdagang yang bisa dia lakukan.

           Akan tetapi, Pak Suryana tidak berdiam diri. Pak Suryana mencari sesuatu untuk dibaca. Dengan banyak membaca, biasanya dia mendapatkan ide-ide cemerlang. Dia membaca-baca surat kabar dan majalah yang dulu pernah dibeli.

          "Pak Suryana, mengapa malah sibuk membaca? Mengapa tidak mencari pekerjaan?” tanya Pak Dadang kepada Pak Suryana yang sedang membaca majalah di teras rumah.

Pak Suryana mengenal Pak Dadang di pasar tempatnya berdagang dulu. Toko kain milik Pak Dadang juga terbakar.

          "Ke mana aku harus mencari pekerjaan untuk mendapatkan uang? Aku tidak punya keahlian apa-apa sebagai pegawai kantor. Bekerja sebagai kuli angkut juga tidak mungkin, karena semua toko di pasar kan terbakar!"

         "Apakah mencari uang harus punya keahlian? Dengan meminta belas kasihan orang lain, aku mendapatkan uang. Mereka iba karena aku sedang terkena musibah kebakaran," jawab Pak Dadang.

         "Aku tidak mau meminta-minta. Pergilah kalau kau ingin meminta belas kasihan orang lain," jawab Pak Suryana, lalu melanjutkan membaca.

                                                                                  

             ilustrasi: Bobo

Pak Suryana masih memiliki persediaan uang. Dia yakin, sebelum uangnya habis, dia pasti mendapatkan ide-ide untuk memperoleh pekerjaan. Pak Dadang pun pergi dengan memakai pakaian compang-camping agar dikasihani orang lain.

@@@

     Setelah membaca banyak majalah dan surat kabar, Pak Suryana menemukan ide. Keesokan harinya, setelah berpamitan dengan istri dan anaknya, Pak Suryana pergi. Dengan sisa uangnya, Pak Suryana mendatangi seorang penjahit.

     "Pak, apakah aku boleh membeli kain perca di sini?" tanya Pak Suryana kepada pemilik penjahit itu.

       “Mengapa Bapak membeli kain perca?” tanya penjahit itu ingin tahu.

       Pak Suryana menceritakan tokonya yang terbakar. Sekarang, dia tidak punya pekerjaan. Dia akan membuka usaha dengan memanfaatkan kain perca untuk membuat kerajinan tangan. Kain perca harganya jauh lebih murah dibanding kain meteran. Mendengar cerita Pak Suryana, penjahitit itu merasa iba. Ia senang Pak Suryana tidak berputus asa dan akan membuka usaha.

"Kalau begitu Bapak tidak usah membeli. Silakan ambil semua kain percaku! Kain itu sisa dari kain pelangganku dan tidak terpakai. Kalau kain perca itu nanti habis, jangan segan datang lagi kemari. Pasti kain percaku sudah terkumpul kembali," jelas penjahit.

Tentu saja Pak Suryana senang mendengarnya. Pak Suryana pun mengambil semua kain perca yang ada.

Sampai di rumah, Pak Suryana membuat pola. Pak Suryana menemukan ide membuat sepatu bayi berbahan kain perca. Lalu dipotonglah kain-kain itu sesuai pola. Pak Suryana memotong kain satu motif. Kadang dia memadukan dua motif yang serasi. Jika kebetulan kainnya polos, Pak Suryana memberi hiasan kancing-kancing di atasnya. Atau menempel motif bunga dari kain lain.

Setelah memotong alas dan kerudungnya, dijahitlah dengan tangan bagian pinggir hingga menjadi sepatu bayi. Dengan dibantu istrinya, Pak Suryana membuat sepatu bayi sampai semua kain perca habis.

                                                                                 

                                                                          ilustrasi: Bobo

Setelah jadi sepuluh pasang sepatu, istrinya menjajakan di pinggir jalan raya. Pak Suryana kembali meminta kain perca pada penjahit, lalu membuatnya menjadi sepatu bayi lagi. Begitu hingga berkali-kali. Ternyata, sepatu bayi buatan Pak Suryana banyak yang suka. Di samping motif dan modelnya lucu-lucu, harganya pun murah bila dibanding yang dijual di toko.

Karena usahanya dari hari ke hari semakin maju, lambat laun Pak Suryana dapat membeli mesin jahit. Kini, Pak Suryana tidak lagi menjahit dengan tangan. Karena pesanan dari hari ke hari banyak, Pak Suryana membeli kain meteran. Tidak hanya itu, Pak Suryana juga menolong teman-temannya menjadi karyawannya. Mereka tidak lagi meminta-minta seperti dulu. Berkat kegigihannya, Pak Suryana memiliki toko khusus menjual aneka sepatu bayi dengan model dan motif yang lucu-lucu.  

@@@

Cernak ini pernah terbit di majalah Bobo, 14 Oktober 2021


Jumat, 15 Oktober 2021

Tiktik dan Kuskus

                                                                                   

        Tiktik dan Kukus adalah jenis tikus rumah yang selalu rukun. Tubuh mereka kecil dan berbulu hitam. Ekor mereka panjang. Mereka seringkali bermain dan mencari makan bersama. Jika salah satu dari mereka tidak mendapatkan makanan, yang satunya pasti akan berbagi. Mereka juga saling memberi tahu jika menemukan sumber makanan.

Mereka biasa tinggal di dekat tempat-tempat sampah. Terutama di sekitar tong sampah keluarga Ruly. Keluarga Ruly sering membuang sisa-sisa makanan yang rasanya enak bagi Tiktik dan Kuskus.  Jika suasana sepi, mereka juga masuk di rumah-rumah orang lain.

            “Enak ya nasinya. Cuma makan nasi dengan bumbu sudah enak. Bumbunya pedas, manis, seperti banyak rempahnya,” ungkap Tiktik sambil melahapi sisa-sisa nasi di kotak kardus.

Sementara Kuskus makan nasi di kotak kardus lain. Kuskus tak kalah lahap menghabiskan makanannya. Kardus-kardus itu bergambar rumah Minangkabau.

            “Ini namanya nasi spesial. Hm, ini apa, ya? Wah, ternyata daging. Aku dapat daging!” sorak Kuskus senang sekali.

            “Oya? Kamu beruntung sekali. Tadi aku cuma makan nasi, bumbu, dan sayur,” jawab Tiktik setengah iri.

            “Mau cicip? Ini aku bagi,” ujar Kuskus. “Nih!” Tanpa berpikir panjang Kuskus memberi sebagian daging yang masih tersisa. Dipotongnya daging secuil itu dengan giginya.

            Tiktik langsung menyantap daging pemberian Kuskus.

            “Wah, dagingnya rasanya juga enak, banyak bumbunya.”

            Saat sedang asyik makan...

            Bruk!

            Terdengar bunyi mengejutkan. Mereka langsung melompat sembunyi di balik sampah-sampah lain. Ternyata, mama Ruly baru saja membuang kulit nangka muda dan sampah bahan-bahan makanan lain. Setelah keadaan aman, Tiktik dan kuskus melanjutkan makan lagi hingga selesai.

            Selesai makan mereka bermain petak umpet. Terkadang Tiktik bersembunyi di balik tong sampah, lalu Kuskus mencari. Begitupun sebaliknya. Siang hari manusia sibuk bekerja. Mereka bebas bermain petak umpet. Kebetulan tong sampah milik keluarga Ruly bersebelahan dengan tetangga sebelahnya.

            Tidak lama, mereka melihat Ruly pulang sekolah, dijemput mamanya. Mama Ruly lalu pergi lagi. Ruly terlihat membawa bungkusan. Tiktik dan Kuskus mencium aroma roti yang lezat.

                                                                                    

                                                              ilustrasi: majalah Bobo

              “Ayo, kita masuk rumah Ruly. Siapa tahu dapat sisa roti!” ajak Kuskus.

            “Mana mungkin kita masuk ke rumahnya. Lihat, pintu rumahnya langsung ditutup begitu Ruly masuk,” jelas Tiktik.

            “Kita tidak lewat pintu depan, nanti ketahuan. Tapi lewat selokan,” saran Kuskus.

            “Baiklah,” jawab Tiktik dengan bersemangat.

            Keduanya langsung berjalan masuk selokan. Selokan itu menghubungkan saluran depan dengan bagian belakang rumah Ruly.

            “Wah aroma rotinya lezat. Ruly berada di dalam kamarnya. Rotinya sisa enggak ya?” tukas Tiktik. Mereka sudah berada di dapur.

            “Walaupun rotinya tidak tersisa, kita bisa melumati bungkusnya,” kata Kuskus.

            Tiba-tiba...

            “Aku pesan isi stroberi, malah diberi isi keju!” ungkap Ruly jengkel.

            “Asyik, kita dapat bagian roti isi keju. Aku dengar, baru saja Ruly membuang rotinya di tong sampah kamarnya,” ungkap Tiktik senang.

            “Tapi kita harus berhati-hati masuk kamarnya,” cegah Kuskus.

            “Ruly, buang makanan di tong sampah belakang. Jangan di kamar, nanti kamarmu banyak semut dan binatang  lain,” tegur Mbak Sum yang lewat di depan kamar Ruly, sambil mengepel lantai.

            “Malas keluar kamar, Mbak,” ungkap Ruly malas-malasan.

Setelah itu, Ruly tertidur. Akhir-akhir ini, mama sering membantu toko kelontong papa. Jika toko kelontong papanya banyak pembeli, mama selalu membantu. Begitulah Ruly kalau tidak ada mamanya. Ia sering makan di kamar dan tidak mau membuang sampahnya di luar kamar.

            Dengan mengendap-endap, Tiktik dan Kuskus berhasil masuk di kamar Ruly, lalu melompat masuk ke dalamnya.

            “Wah, enak ya, makan roti keju,” ungkap Titik sambil menikmati roti berisi keju berbentuk bulat.

            “Iya,  roti enak begini Ruly tidak mau,” kata Kuskus.

            Tidak terasa, mereka makan sisa roti dan telah habis. Kini, kedua tikus itu keluar kamar dengan berhati-hati. Mereka melewat selokan menuju ke luar rumah. Kemudian mereka kembali ke dekat tong sampah.

@@@

ilustrasi: majalah Bobo

Suatu saat, seperti biasa Tiktik dan Kuskus masuk kamar Ruly mencari sampah makanan. Ketika mereka sedang mengais makanan di keranjang sampah, Ruly bangun dari  tidurnya karena akan ke kamar mandi. Ketika melihat sesuatu bergerak di keranjang sampahnya dan terdengar bunyi ciiiit....ciiit...

            “Toloooong... toloooong... ada tikuuuus....!” Ruly seketika berteriak keras.

            “Gawat, kita ketahuan. Ayo lari!”

            “Jadi, kamu suka buang makanan di keranjang sampah kamar?” tanya mamanya kaget ketika ada tikus di kamar Ruly.

            Ruli terduduk merasa bersalah. Semenjak itu, Ruly tidak pernah lagi membuang sisa makanan di keranjang sampah kamarnya. Ia juga rajin membersihkan kamarnya. Tiktik dan Kuskus tidak pernah lagi masuk kamar Ruly karena tidak ada aroma makanan di dalamnya.

@@@

Cernak ini pernah terbit di majalah Bobo, Kamis 7 Oktober 2021



Rabu, 04 Agustus 2021

Galih dan Baki Sakti

                                                                                       


            Sore itu, Galih disuruh membeli beras oleh ibu di warung. Kebetulan persediaan beras di rumah habis. Ibu belum sempat pergi ke pasar.

            “Beli beras tiga kilo, Bu Min!” pinta Galih. Bu Min, pemilik warung, sedang menimbang gula.

            “Tunggu sebentar, Galih,” jawab Bu Min sambil menyelesaikan timbangan gula setengah kilo. Di sebelahnya sudah ada beberapa bungkus gula pasir ukuran setengah kilo.

            “Lih, ternyata kamu juga belanja di warung,” sapa Andi di balik masker wajahnya, tiba-tiba sudah berada di sebelah Galih.

            Galih dan Andi teman sekelas. Mereka sama-sama sedang disuruh ibunya membeli sembako. Galih merasa kebetulan bisa bertemu dengan teman sekelas sekaligus tetangganya itu. Dia bisa menyampaikan keluh kesah yang dirasakan wali kelasnya, Bu Ning. Sebagian teman-temannya tidak mengerjakan tugas, termasuk Andi. Galih sebagai ketua kelas.

            “Tugas-tugasmu sudah selesai, Ndi?” tanya Galih.

            “Masih ada yang kurang,” jawab Andi.

            “Bukankah besok hari Sabtu, saatnya mengumpulkan tugas-tugas satu minggu?” Galih mengingatkan.

            “Ah, tenang,” jawab Andi santai. Galih geleng-geleng kepala.

            Setelah mendapatkan beras tiga kilo dan membayar, Galih pergi. Sedangkan Andi masih menunggu Bu Min menimbang beras pesanannya.

            Seminggu lalu ketika Galih mengumpulkan tugas-tugas di sekolah, Bu Ning mengeluh. Beliau mengatakan bahwa masih ada teman-teman sekelas Galih yang malas mengerjakan tugas. Mereka ingin Bu Ning menjelaskan dan menuliskan materi di papan tulis sebagaimana di kelas. Padahal para orangtua belum menyetujui pembelajaran tatap muka.

@@@

            Galih baru saja menyelesaikan tugas sekolah ketika ibu menyuruhnya membersihkan warung. Walaupun belum dipakai lagi berjualan, setiap hari warung itu dibersihkan. Warung itu terletak di sebelah rumah. Sejak pandemi bapak tidak berjualan mi ayam di tempat. Para pembeli datang ke rumah lalu dibawa pulang. Tetapi pembeli tidak seramai dulu.

            Galih membuka pintu dan jendela warung agar udaranya segar. Setelah itu mengelap debu yang menempel di meja, kursi, dan perkakas lain dengan kemucing. Tidak lupa Galih juga mengelap baki bundar yang sengaja bapak gantung di dinding. Baki itu biasa digunakan bapak bila pembeli datang berombongan. Tujuannya agar pesanan cepat sampai ke pembeli. Sedangkan mangkuk, sendok, garpu, dan gelas disimpan di lemari. Setelah itu barulah Galih menyapu lantai.

            Ada spidol tertinggal di meja. Pasti milik Mas Bagas, kakaknya. Warung ini sering menjadi tempat belajar Mas Bagas karena mejanya panjang dan lebar. Mas Bagas leluasa mengerjakan tugas-tugas sekolah.

            Galih menemukan ide. Ia segera menghubungi wali kelasnya itu melalui android ibu. Begitu mendengar usul Galih, Bu Ning langsung menyetujui.

@@@

            Pagi itu, Galih, Andi, Lesti, Dewi, dan Bimo berkumpul di warung mi ayam bapak. Mereka sedang menunggu Bu Ning. Mereka akan belajar secara tatap muka.

            “Lih, kenapa baki itu kamu sandarkan di kotak etalase? Bukankah biasanya kamu gantungkan di dinding?” tanya Andi. Kotak etalase dulu untuk meletakkan mi dan bahan-bahan mi ayam lain.

            “Ini baki sakti,” jelas Galih.

            Tentu saja yang lain penasaran.

            Tidak lama Bu Ning datang dengan mengendarai sepeda motor.

            “Anak-anak, hari ini Ibu sengaja mengajak kalian belajar secara tatap muka. Ibu berterima kasih kepada keluarga Galih. Keluarga Galih telah menyediakan tempat ini untuk dipakai belajar,” jelas Bu Ning.

            Murid-murid tampak senang. Mereka rindu sekolah di kelas seperti dulu. Rumah mereka satu lokasi. Bu Ning sengaja mendatangi anak-anak yang rumahnya berdekatan.

            Sesekali Bu Ning menerangkan, sesekali menuliskan materi di baki dengan spidol.

            “Ternyata baki itu sebagai pengganti papan tulis,” tukas Desi dengan lirih.

            “O ... jadi itu yang kamu bilang baki sakti?” kata Andi kepada Galih.

            “Iya, selain sebagai tempat menghidangkan makanan, juga sebagai papan tulis. Maaf, Bu, saya harus menjelaskan,” ungkap Galih.

            “Tidak apa-apa, Galih. Ibu tidak kuat membawa papan tulis, anak-anak. Syukurlah, Galih memberikan ide. Jadi bagaimana, apakah kalian merasa jelas dengan tulisan Ibu di baki?” tanya Bu Ning.

            “Jelas, Bu,” jawab mereka serempak dengan senang hati.

            Tidak hanya dengan Galih, Andi, Lesti, Desi, dan Bimo, Bu Ning juga mendatangi murid-muridnya yang lain. Bu Ning meminta salah satu menyediakan baki sebagai pengganti papan tulis. Jika tidak ada, Bu Ning yang membawa dari rumah.

            Sejak itu tidak ada lagi anak-anak yang malas. Mereka rajin mengerjakan tugas-tugas berkat baki sakti, ide dari Galih.

@@@

Cerpen ini pernah dimuat di koran Kedaulatan Rakyat, Jumat 30 Juli 2021


Minggu, 01 Agustus 2021

Suvenir dari Pak Kusumo

                                                                                             

       Malam ini mama dan papa menghadiri pesta pernikahan anak Pak Kusumo. Pak Kusumo adalah teman satu kantor papa. Biasanya setiap ada pesta pernikahan, Liliana selalu ikut. Tujuannya agar bisa menikmati es krim sepuasnya. Sayang, besok ada ulangan. Liliana gagal menikmati es krim gratis.

      “Tumben Ma, ada pesta pernikahan tidak malam Minggu atau hari Minggu?” tanya Liliana heran begitu membaca undangannya kemarin.

      Baru sekali itu Liliana membaca undangan pesta pernikahan Jumat malam. Kalau tahu hajatan hari biasa, pasti sebelumnya Liliana belajar terlebih dahulu.

       “Pak Kusumo dan istrinya kan orang Jawa. Kebiasaan masyarakat Jawa, setiap akan hajatan, harus mencari hari baik terlebih dahulu. Agar hajatan berjalan dengan lancar. Hari baik itu berdasarkan tanggal dan hari lahir kedua calon pengantin. Nah, pasti setelah dihitung-hitung hari baik jatuh pada Jumat malam,” mama berusaha menerangkan.

       “Hm...,” Liliana menghela napas panjang. “Terpaksa enggak bisa makan es krim gratis,” katanya dalam hati sambil kembali ke kamar.

                                                                                  
                                                                   ilustrasi dari Bobo

      Es krim termasuk salah satu makanan kesukaan Liliana. Bila mama membeli es krim, Liliana yang banyak menghabiskan. Ia sering bertengkar dengan Kak Yesi gara-gara kakaknya itu kebagian sedikit.

      Di samping es krim, dalam pesta pernikahan biasanya dibagikan suvenir. Liliana sudah mengoleksi banyak suvenir. Suvenir yang sudah dikoleksi antara lain talenan, kaca untuk berhias, sisir, sepasang sendok dan garpu, serta masih banyak lagi. Liliana menyimpan koleksinya itu di tempat khusus berbentuk kotak terbuat dari bahan kayu yang digantung di dinding.   

       Liliana sengaja belajar di teras rumah. Kebetulan besok ulangan IPS. Kak Yesi juga suka mengoleksi suvenir. Jadi, kalau tidak menunggu mama dan papa pulang, suvenir bisa dimiliki Kak Yesi. Akan tetapi, Kak Yesi terlihat sedang serius belajar di kamarnya. Mungkin banyak tugas dan ulangan yang harus disiapkan, tebak Liliana dalam hati.

      Tidak lama, bunyi mobil terdengar. Liliana pun sudah bersiap menyambut mama dan papa.

       “Ma, suvenirnya mana?” pinta Liliana begitu mama turun dari mobil.

       “Ini,” jawab mama sambil memberikan suvenir dari dalam tasnya. Mama tahu, pasti karena Liliana tidak ingin keduluan Kak Yesi.

                                                                                          
ilustrasi dari Bobo

      Begitu mendapatkan suvenir, Liliana terheran. Ah, mungkin ini bukan suvenir, tetapi mama sengaja membawakan oleh-oleh untuknya. Liliana segera menyimpannya di lemari es bagian freezer. Lalu, ia melanjutkan belajar di kamar. Ia berjanji akan menyantapnya besok  sepulang sekolah. Liliana biasanya pulang awal dibanding Kak Yesi. Dengan demikian, ia makan seorang diri dengan puas.

       Keesokan harinya, seperti biasa papa, Kak Yesi, dan Liliana sarapan bersama.

       “Hm ... enak nasi gorengnya,” puji papa setelah menyantap beberapa sendok.

       “Iya, kali ini nasi gorengnya tidak kepedasan,” tambah Kak Yesi yang tidak suka pedas.

       “Enak, pas di lidah,” Liliana pun manggut-manggut. Tiba-tiba, Kak Yesi nyeletuk.

       “Ma, tadi malam suvenirnya apa?”

       “Es krim, sudah aku habiskan tadi malam,” potong Liliana berbohong. Tentu tujuannya agar Kak Yesi tidak meminta.

       “Es krim? Tumben, suvenir pernikahan es krim,” celetuk Kak Yesi heran.

       “Masa es krim?” mama hampir tersedak.

      “Bukankah suvenirnya handuk pink yang digulung di cup es krim transparan? Mama tahu karena sudah ada tamu undangan yang membuka di sana. Isinya handuk kecil yang dilipat-lipat. Sepintas memang seperti es krim.”

       “Jadi isinya handuk, Ma?” Liliana tak kalah heran.

       Liliana memang tidak membuka tutup suvenir itu sehingga belum tahu jelas isinya. Apalagi tadi malam ia tergesa-gesa memasukkan ke lemari pendingin. Mama pun meminta supaya suvenir yang disimpan di freezer dikeluarkan.

                                                                                       

                                                                    ilustrasi dari Bobo

     Betapa malunya Liliana ketika membuka tutup suvenir. Ternyata benar handuk kecil. Ia tidak menyangka. Apalagi warnanya pink, seperti es krim rasa stroberi, kesukaannya.

      “Ha ha ha... “sontak semua tertawa. Sementara Liliana hanya tersipu malu.

       “Tadi malam kamu makan es krim dari mana? Mimpi kali, Li,” Kak Yesi terus meledek.        Liliana hanya senyum-senyum sambil menghabiskan nasi goreng.

       “Makanya, Li, jangan suka serakah. Kamu sih suka menghabiskan es krim bagian Kak Yesi,” tambah Kak Yesi.

       “Ayo cepat, sudah jam setengah tujuh lebih!” pinta papa yang siap mengantar. Kak Yesi pun mengakhiri ledekannya.

       Di dalam mobil, Liliana membenarkan kata-kata Kak Yesi yang duduk di depan bersama papa. Coba tadi malam aku tidak buru-buru memasukkannya ke lemari pendingin, pasti sekarang tidak menanggung malu. Liliana berjanji tidak akan serakah lagi. Ia akan berbagi es krim juga suvenir dengan Kak Yesi.

@@@

Cerita ini pernah terbit di majalah Bobo, 22 Juli 2021


Minggu, 20 Juni 2021

Pergi ke Dugderan Bersama Sani

                                                              

Sani sedang bermain robot di ruang keluarga. Dia punya beberapa koleksi robot. Akan tetapi, ia selalu meminta papanya agar membelikan robot lagi.

            “Pa, pergi ke Toko Robotik, yuk!” ajak Sani. Toko Robotik adalah toko mainan anak-anak.

            “Koleksi robotmu, kan, sudah banyak, San. Ke dugderan saja, yuk! Di sana banyak mainan anak-anak yang tidak kalah menarik,” jelas papa.

            “Bosan, Pa. Mainannya jadul alias kuno,” jawab Sani.  

            Ting tong... ting tong...! Tiba-tiba bel rumah berbunyi.

            “Eh, Pak Wiryo, mari silakan masuk!” pinta mama yang membukakan pintu.

Ternyata Pak Wiryo yang datang malam itu. Pak Wiryo adalah tetangga baru. Beliau berkunjung bersama istri dan anaknya untuk berkenalan.

             “Hai, kenalkan, aku Sani,” ungkap Sani sambil mengulurkan tangan kanannya.

             “Aku Baskoro,” kata anak Pak Wiryo.

             “Sani, kamu tadi sedang bermain robot-robotan. Ajak sekalian Baskoro bermain robot-robotan koleksimu!” pinta Papa.

            “Yuk, Baskoro, kita bermain robot bersama,” ajak Sani.

            Baskoro langsung senang mengikuti ajakan Sani. Maklumlah, Baskoro masih baru di daerah itu. Dia belum memiliki teman satu pun. Dia juga tidak punya mainan robot. Ketika Sani mengambil robot di atas lemari hias, Baskoro melihat boneka menarik yang diletakkan di sebelah robot.

            “Itu boneka apa, San?” tanya Baskoro.

            “Oh, itu namanya warak,” jawab Sani.                           

            Sani mengambil boneka yang membuat tetangga barunya itu terkagum-kagum. Boneka itu berbulu keriting, kepalanya seperti naga, tetapi berkaki empat. Baskoro melihat dengan terkesima.

                                                                              

ilustrasi dari Bobo

“Warak itu aku beli setahun lalu di acara dugderan. Tradisi dugderan diadakan setiap menjelang puasa Ramadhan di Semarang. Warak adalah ciri khas atau ikon dugderan. Di sana juga ada permainan anak-anak. Dijual juga mainan anak-anak dari gerabah,” cerita Sani semakin membuat Baskoro kagum.  

            Baskoro penasaran. Dia ingin melihat tradisi dugderan seperti yang diceritakan Sani dan ingin membeli warak.

@@@

            Semula Sani mengajak Baskoro pergi ke dugderan Minggu pagi. Namun, Baskoro dan keluarganya harus ke gereja. Maka, keduanya memutuskan pergi Minggu sore.

            “San, kamu menunggu aku lama, ya?” tanya Baskoro begitu tiba di rumah Sani. Baskoro datang bersama temannya.

            “Ah, tidak apa-apa,” jawab Sani.

            “O iya, kenalkan ini Chen, teman sebangkuku. Kalau kamu tidak keberatan, Chen juga ingin melihat dugderan. Makanya aku ajak serta,” jelas Baskoro.

            “Hai, Chen. Tentu saja aku tidak keberatan. Aku justru senang punya banyak teman,” jelas Sani.

            “Terima kasih, Sani. Aku senang berteman denganmu. Untung Baskoro mengajakku Minggu sore. Karena Minggu pagi aku harus beribadah di Klenteng,” tutur Chen.

            Sani manggut-manggut dan tersenyum senang. Sambil berjalan menuju alun-alun untuk menyaksikan dugderan, Sani bercerita. Warak mencerminkan percampuran budaya Arab, Jawa, dan Tionghoa. Sebagaimana Sani yang keturunan Arab, Baskoro orang jawa, dan Chen keturunan Tionghoa. Walaupun berbeda-beda, mereka warga negara Indonesia yang baik. Baskoro dan Chen semakin senang mendengar cerita Sani.

                                                                                     

ilustrasi dari Bobo

“Kalian ingin naik permainan apa? Kalau aku suka komedi putar,” ujar Sani.           “Aku suka naik kincir. Wah, seru kita duduk di dalam sangkar. Aku pernah naik kincir ketika papaku bertugas di daerah lain,” cerita Baskoro.

            Akhirnya, mereka menaiki komidi putar dan kincir. Mereka bertiga bersuka ria. Di sepanjang perjalanan mereka juga melihat celengan berbentuk aneka hewan dan mainan dari gerabah. Ada ulekan, piring, cangkir, dan alat makan lain. Juga kapal-kapalan yang dapat berputar di air yang diletakkan di dalam ember. 

            “Ini warak,” kata Sani ketika melihat pedagang warak. Warak dipajang berjejer. Dari yang kecil di depan, sedang, dan yang ukuran besar di belakang.

            “Wah, ada juga yang besar,” kata Baskoro senang.

            “Aku juga ingin membeli,” sahut Chen.

                       

warak
foto: Iis Soekandar

Karena tidak membawa uang banyak, Chen dan Baskoro membeli warak sesuai uang yang mereka bawa.

            “Saat papaku masih kecil, warak ini disertai telur asin, sehingga namanya warak ngendok. Telur asin itu diletakkan di antara kedua kaki depan. Sekarang waraknya tidak ada yang ngendhog. Oya kebetulan hari ini ada pembagian kue ganjeril. Kue ganjeril hanya ada saat dugderan. Kita akan mendapatkan secara gratis,” ujar Sani.

                                                                              

kue ganjeril
foto: Iis Soekandar

Mejelang senja, petugas masjid membagikan kue ganjeril berbentuk kotak yang dibagikan kepada masyarakat luas. Kue itu diletakkan di dalam bungkus mika.

            “Wah, menyenangkan sekali melihat tradisi dugderan,” kata Chen.

            “Pasti mama papaku senang melihat warak ini,” ungkap Baskoro.

            Dugderan kali ini penuh kesan. Sani tidak menyangka warak dan mainan tradisional lainnya tidak kalah menarik dengan robot.

@@@

Cerpen ini pernah dimuat di majalah Bobo, 3 Juni 2021