Iis Soekandar

Selasa, 15 Agustus 2023

Bir

Ini minuman bir bukan sembarang bir. Apalagi kau bandingkan dengan bir yang bisa memabukkan seperti dijual di pasaran. Kehangatan yang ditimbulkan justru membuat badan segar. Terlebih kasiatnya. Rasanya agak pedas, tapi tak seperti cabe karena terbuat dari sejumlah rempah seperti jahe, sereh, dan entah apa lagi─untuk itulah sedang kukejar resep dan cara membuatnya─tentu saja gula sebagai pemanis. Kalau kau tertarik, aku pun merayu Mamak untuk memberinya resep. Aku yakin kau tak dapat menemukannya di toko online yang katanya tak pernah menolak permintaan. 

Azan Asar berkumandang beberapa waktu lalu. Aku terduduk di bangku panjang teras tanpa sepengetahuan pemilik rumah. Tak sulit membuka selot pintu pagarnya. Siapa pun dapat masuk dengan mudah. Ditambah pagarnya yang pendek terkesan pemiliknya tak menjaga jarak dengan para tetangga dan mudah diajak berkomunikasi. Saking akrabnya kami memanggilnya Mamak, sebagaimana anak-anaknya memanggilnya. Apalagi serangkaian tanaman berbunga semarak mengelilingi pagar. Yang tidak berbunga pun ditata sedemikian rupa. Semua menarik dipandang mata. Rumah yang asri, terjaga pula kebersihannya.

Cahaya matahari masih menyengat, belum satu pun anak kos yang tinggal di rumah ini kembali bekerja. Sengaja aku tak masuk walau pintunya terbuka, sebagai privilese aku bersedia menemani dan menyambanginya. Kubiarkan diriku menunggu di luar. Aku sengaja datang seawal ini karena sedang kedapatan tamu bulanan sehingga tidak terikat jadwal salat Asar. Tapi tujuan utamaku: menjadikannya salah tingkah.

Dengan demikian, aku telah menanam investasi dan setelah investasiku terkumpul, aku akan mengambilnya. Apalagi kalau bukan memintanya memberikan resep membuat bir. Itu trikku, untuk merubuhkan pendiriannya yang kukuh, hanya memberikan minuman bir yang sudah jadi dalam kemasan botol sirup kepada yang meminta. Dan aku yakin, aku akan memenangkan perseteruan ini. Inilah saatnya aku beraksi, merealisasikan hasrat yang sudah setahun terpendam, tepatnya sejak pandemi melandai.

Memang tidak libur seratus persen sebagaimana siswa. Terlebih libur akhir tahun ajaran, saatnya sekolah mencari peserta didik baru. Tapi kami bekerja hanya setengah hari, berbeda saat mengajar, sore hari baru selesai. Tidak saja kesiapan dari diriku sendiri, semesta kiranya ikut mendukung. Ada kenalan, tetangga kampung yang kesripahan dan mengundang siapapun yang punya waktu untuk tahlil. Di kampung ini, tahlil dan pengajian dilakukan sehabis magrib. Sore hari, ibu-ibu rumah tangga sibuk merampungkan pekerjaan rumah, apalagi yang bekerja. Ketika tadi malam begitu ada pengumuman undangan tahlil─aku yang jarang mengikuti acara kampung, termasuk menalihkan orang meninggal─tiba-tiba mendatangi rumahnya dan menawarkan diri mengajaknya pergi tahlil bersama, Mamak seperti mendapat undian arisan. 

Kendati tanpa aku dia tetap berangkat, tapi jalan bersama teman bagi orang tua pastilah lebih nyaman, setidaknya ada yang diajak mengobrol saat di jalan. Kebetulan saat ini aku terbebas dari kesibukan sehari-hari. Dan aku akan membersamainya hingga hari ke tujuh atau menurut perhitungan: tahlil akan berlangsung sebanyak enam hari.

“Lho kok duduk di luar?” sapanya penuh atraktif sambil membetulkan kerudung instannya agar nyaman dipakai, begitu keluar mendapatiku duduk dengan senyum-senyum. “Pintunya sengaja Mak buka.”

“Ah, nggak pa pa, Mak,” jawabku melegakan hatinya. “Sambil cari angin.” Tapi tetap saja dia merasa sungkan: pertama karena ditunggu, kedua kenapa aku tidak masuk layaknya seorang tamu.

Sebagaimana aku yang tidak suka basa basi karena tak nyaman datang di sebuah acara datang terlambat, dia pun punya pikiran sama, kami gegas berangkat. Dengan baju gamis marun senada warna kerudung, jalan Mamak masih sigap. Kubayangkan berjalan bersama nenek jika saja beliau masih hidup. Dalam usia Mamak yang sudah uzur memiliki tubuh sehat pastilah harta berharga.

 “Mak... ajari saya bikin bir. Mak kan ahlinya di kampung ini,” pintaku giliran bicara setelah panjang lebar dia mengatakan sebelum berangkat tadi menerima telepon dari cucunya perihal keadaannya.

Tanpa menjawab dengan kata-kata. Dia senyum-senyum.

“Mak senyum-senyum, berarti Mak bersedia. Kapan Mak, hari dan jamnya. Kebetulan saya lagi tidak mengajar. Piket saja, siang hari sudah pulang,” tambahku.  

                                                                              

                                                                       gambar: kompas.id

Sekali lagi Mamak hanya menanggapi dengan senyum-senyum. Hingga langkah kami keluar kampung menuju kampung tetangga yang kesripahan. Kami bertemu jamaah lain. Tentu saja aku tahu diri, berjalan mengiringi mereka di belakangnya. Mungkin hanya aku yang masih muda.

Apakah kau sependapat bahwa usahaku berbuah manis? Aku sudah jelaskan setiap hari aku punya banyak waktu lowong. Itu berarti aku memang sangat ingin bisa membuat minuman khas itu. Berbeda dengan pengalaman ibu-ibu yang aku dengar. Beberapa di antara mereka memohon kepada Mamak. Tapi tak satu pun permohonannya ditanggapi. Mungkin karena menurut Mamak, permintaannya itu hanyalah iseng, maka Mamak tak perlu menanggapi dengan serius pula. Berbeda dengan aku, menyediakan waktu khusus, menemaninya tahlil hingga berhari-hari. Kalau pun tidak praktik, setidaknya Mamak bersedia memberikan resepnya, sepuluh jenis rempah ditambah gula pasir, itu keterangan yang diberikan kepada ibu-ibu untuk membuat bir. Tapi sepuluh jenis rempah itu apa saja dan bagaimana cara membuatnya, Mamak tak pernah membeberkan. 

“Orang-orang kuno” termasuk nenekku yang tak pernah kutemui─begitu Mamak mengistilahkan orang-orang sebelum dan seangkatannya─biasa membuat minuman bir. Tentu saja tidak termasuk ibuku yang meninggal saat melahirkanku dan ayah menyusul beberapa tahun lalu setelah sekian lama hidup berdua denganku. Sehingga aku tak tahu menahu tentang bir kecuali saat pandemi menimpa. Banyak orang kembali pada obat tradisional untuk menghalau virus itu, Mamak tak mau kalah. Sebagai satu-satunya generasi orang kuno yang masih hidup, Mamak membagikan minuman rempah yang lain dari yang lain termasuk yang dijual di kedai-kedai minuman: bir.

Bir dibuat untuk menyamai minuman anggur atau wine dari Eropa. Terasa hangat saat diminum, tetapi tidak memabukkan sebagaimana minum minuman keras. Bukankah orang-orang Eropa juga ada yang tinggal di Semarang, zaman itu? Jadi wajarlah kalau orang-orang kuno Semarang juga ingin memiliki minuman yang bisa menghangatkan badan. Kami pun manggut-manggut mendengar keterangan Mamak.

Minuman yang hangat dan lain daripada yang lain itu diberikan Mamak dalam ceret. Kami menuangkannya panas-panas ke dalam gelas-gelas. Saat itu ada dapur umum. Berpengaruh atau tidak bir, yang jelas seluruh warga kampung tidak ada yang tertular virus COVID-19. Merasakan efeknya yang membuat badan menjadi hangat dan segar, kami ketagihan padahal Mamak tak lagi membuat seiring pandemi melandai dan tak ada dapur umum. Satu dua ibu meminta resep agar tak merepotkan Mamak. Akan tetapi, Mamak tak pernah memberikan. Tahu-tahu, beberapa hari kemudian, sebotol bir diberikan kepada yang meminta.

Tapi tidak dengan aku. Apa yang tidak bisa buatku. Pedagang es gempol, yang sangat tertutup, bisa kuulik kemudian memberikan resepnya. Pedagang gulai kambing yang kuahnya tidak kental tetapi juga tidak encer, dan itu sangat aku suka, ketika aku tanya resepnya, juga memberikan. Begitupun pedagang makanan dan minuman lain, tak pernah membuatku kecele demi memenuhi kegemaranku memasak masakan nusantara. Maka pada waktu longgar kali ini kumanfaatkan membuat bir. Supaya aku dapat merasakan kembali sensasi aneka rempah yang terasa hangat dan segar itu.

Hari kedua kembali aku samperi rumahnya. Kutagih janjinya. Aku tidak boleh gagal.

“Iya, tenang saja,” jawabnya seperti biasa sambil senyum-senyum.

Aku tetap tidak terima ketika dia mengatakan bahwa apa gunanya bir bagi orang muda semacamku. Bukankah banyak pilihan minuman modern dijual di supermarket? Kujawab aku tetap bersikeras Mamak mengajariku membuat bir. Justru bir tidak dijual aku ingin bisa membuatnya sendiri. Aku rindu minum bir.

Hari ketiga kupaksa Mamak untuk menuliskan di secarik kertas sepulang tahlil. Aku sengaja tidak menyodorkan gawai yang lebih praktis era digital saat ini. Lagi-lagi Mamak hanya senyum-senyum.

“Kalau Mamak tidak ada waktu sekarang, boleh kertas dan pulpen ini disimpan. Besok kan kita masih ketemu. Lalu berikan saya,” ungkapku merasa sungkan bernada memerintah orang tua.

“Iya, iya, Mamak janji, tapi tidak besok. Hari terakhir setelah acara tahlil selesai,” janjinya sebelum kami berpisah. Kali ini aku yang senyum-senyum.

Nyes! Akhirnya aku akan mendapatkan resep minuman yang satu kampung ini gagal mendapatkan. Sebotol bir akan selalu tersimpan di kulkas, tanpa bergantung kepada orang lain. Saat ingin menikmati, aku tinggal menuangkan secukupnya di gelas lalu menambahkan air panas. Hm, minuman rasa rempah yang hangat, sedikit pedas, manis, ah pokoknya tiada duanya.

Hari keenam. Itu berarti tahlil terakhir untuk yang meninggal. Sepulang tahlil, seperti yang dijanjikan, aku dipersilakannya masuk, duduk di ruang tamu. Kupandangi satu dus makanan, puncak rasa terima kasih dari yang punya hajat, setelah berhari-hari selalu memberi dua kue dalam plastik mika. Kupastikan berisi roti dari nama toko tertera. Andai resep itu diberikan tiga hari lalu saat aku menyodorkan kertas dan pulpen, pasti nanti malam aku dapat menikmati roti ditemani minuman bir yang hangat. Ah, segera kutepis pikiran “andai”. Sebab aku dapat membuatnya sepulang dari sini.

Tidak lama waktu berselang, berdiri seseorang di depanku. Sambil senyum-senyum, tanpa rasa bersalah dia berkata,

“Ini, dibawa, tinggal menikmati. Tak usah sungkan.”

Kusambut sebotol bir dengan senyum memaksa.

Matahari meredup mengantar kepulanganku. Jadi, apakah kau mengira, aku telah mengganggu privasinya?

@@@

Cerpen ini pernah terbit di kompas.id, Kamis 10 Agustus 2023

 

Kamis, 29 Desember 2022

Belajar, Belajar, dan Belajar

                                                                               


Disadari atau tidak, setiap orang punya hobi. Hobi yang dikembangkan bisa menjadi passion, atau kesenangan yang membawa manfaat bagi orang lain. Mungkin Teman-teman melakukannya, juga saya.

Saya bahagia dikaruniai kesenangan menulis. Menulis sebagai sarana mengugkapkan unek-unek. Juga ide-ide, terutama untuk hal-hal yang tidak dapat dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.

Kegiatan menulis tak mengenal batas ruang dan waktu. Tidak selalu di rumah. Menulis dapat dilakukan di mana saja dan kapan saja. Saat berada di tempat-tempat umum untuk menunggu suatu urusan, waktu lowong dapat dijadikan untuk menulis. Jika terpaksa dan mendesak, sementara ide-ide menulis bermunculan, menulis dapat dilakukan di gawai, atau ditulis di kertas. Itu sebabnya setiap kali bepergian, selain gawai, kertas dan pulpen selalu berada di tas. Menulis manual di kertas selain fleksibel, juga mengurangi kebosanan. Seiring perkembangan era digital yang pesat, banyak urusan yang mudah dikerjakan melalui layar laptop dan gawai. Namun ada rasa bosan bila hal itu dilakukan setiap kali, setiap kesempatan.  

Untuk mengembangkan diri, karena berharap memberikan manfaat kepada banyak orang, perlu mencari ilmu, di antaranya dengan mengikuti kelas menulis. Ternyata menulis fiksi dapat dirumuskan. Ada pakem-pakem yang bisa diikuti sehingga memenuhi syarat terciptanya sebuah cerpen. Dengan berpegang pada pakem-pakem tersebut, jika terpaksa, tanpa sekali duduk saat menulis draf─karena bekerja di rumah terkadang ada gangguan─tetap mudah saya lakukan hingga selesai satu cerita. Selalu bisa “pegang peristiwanya”. Hasilnya pun efektif. Tidak perlu berkali-kali mencetak saat mengedit, seperti dulu, bahkan terkadang sama sekali tidak mencetak. Cukup mengedit di depan lepi, sampai karya siap untuk dikirim ke media yang dituju. Dan waktu menulis pun semakin luas. Setidaknya itulah pengalaman yang saya alami. 

Selebihnya berkreasi. Setiap orang pastilah punya keinginan sendiri-sendiri. Menurut saya, kreativitas terbentuk berdasar perjalanan hidup masing-masing orang. Latar belakang, budaya dan lingkungan tempat tinggal, suka duka hidup yang dijalani, juga banyak membaca karya-karya orang lain, semua itu dapat menciptakan kreativitas. Dari pemilihan ide cerita, menentukan judul, permainan bahasa, narator, alur, tokoh, membuat paragraf pembuka, hingga ending.

Setelah proses menulis selesai, tentu saja rajin mengirim karya-karya ke media-media.

Alhamdulillah selain terus menulis cerpen-cerpen koran, menulis cerita anak juga berlangsung. Di antara media-media cetak yang masih terbit, Nusantara Bertutur yang terbit melalui koran Kompas Minggu mengawali menayangkan karya saya pada bulan Februari lalu. Entah kapan pernah menulis cerita untuk Nube. Dan “Lumpia Spesial Naila dan Tifa” adalah kesempatan saya yang kedua.

                                                                          

Di samping itu majalah Bobo juga masih memberi kesempatan. Tahun ini ada enam karya yang terbit dari lima edisi. Ada dua karya sekaligus yang terbit dalam satu edisi. Semoga majalah Bobo tetap eksis.

                                                                                

Keinginan menumbuhkan niat; niat diiringi doa dan ikhtiar menanamkan keyakinan. Keyakinan itulah yang akan membuat orang punya harapan bahwa suatu saat obsesinya akan menjadi kenyataan. Pertolongan datang setelah kesabaran, kelonggaran datang setelah kesempitan, dan kemudahan datang setelah kesulitan. Mencari ilmu sampai ke liang lahat, mencari ilmu sampai ke negeri Cina. Dengan menjadi insan yang terbuka, belajar dan terus belajar, mengikuti perkembangan zaman, tidak ada sesuatu yang tidak mungkin. Selamat berlibur dan sukses buat kita semua!

@@@

Sabtu, 01 Oktober 2022

Mengapa Dimas Tak Menjawab Pesan?

                                                       

“Dimas, kemarin Bu Naning memberi tugas apa? Waktu itu ponsel mamaku tiba-tiba layarnya tidak menyala. Untung siang ini sudah diperbaiki, jadi bisa kupinjam” tanya Galuh kepada sahabatnya melalui Whatsapp. Namun, Dimas tidak segera menjawab. Mungkin dia sedang tidur siang.

Bu Naning, wali kelas mereka, mengadakan pertemuan seminggu sekali melalui aplikasi google meet. Kemudian, tugas-tugas dikumpulkan setiap hari Sabtu.

Hingga sore hari, Dimas tidak menjawab. Galuh akan datang ke rumahnya. Namun, pintu rumahnya tertutup saat Galuh sengaja lewat di depannya. Di samping itu, tidak ada seorang pun anggota keluarganya di luar.

                                                                   

ilustrasi: Bobo

Mungkinkah Dimas dan keluarganya pergi? Bukankah ia bisa menjawab di mana saja walaupun tidak berada di rumah? Terpaksa Galuh pergi ke rumah Hilda.

“Hil, ada tugas apa saja dari Bu Naning?” tanya Galuh kepada Hilda. Galuh menjelaskan mengapa hari Senin tidak hadir secara virtual.

“Kita disuruh mengerjakan modul matematika halaman 27 dan 28. Lalu, IPS masih melanjutkan tugas minggu kemarin. Karena teman-teman kita banyak yang belum mengerjakan. O iya, kita diminta mengumpulkan tanaman gantung untuk penghijauan sekolah,” jelas Hilda panjang lebar.

“Terima kasih banyak, Hil. Aku akan mengerjakan tugas-tugas itu,” jawab Galuh.

Tidak lama setelah mencatat tugas-tugas, Galuh pulang. Pandemi belum berakhir. Lebih baik berada di rumah kecuali ada hal-hal penting. Saat melewati rumah Dimas, pintu rumahnya masih tertutup. Bahkan, pagarnya juga tertutup. Biasanya, karena papanya bekerja di rumah, pintu pagarnya terbuka.

Keesokan hari, ketika sarapan bersama di ruang makan, mama Galuh memberi kabar tentang keluarga Dimas.  

“Ternyata keluarga Pak Herman terpapar virus COVID-19,” ungkap mama Galuh sedih.

“Lalu Dimas bagaimana, Ma?” tanya Galuh dengan spontan.

“Pak Herman, Bu Herman, Dimas, dan kedua kakaknya terpapar semua,” jelas mama Galuh.

Pantas saja rumah mereka tutup sejak kemarin. Bahkan, pesan Galuh pun tidak dibalasnya.

Siangnya, Bu RT memberi kabar agar semua warga membantu keluarga yang sedang isoman atau isolasi mandiri. Secara bergiliran, setiap keluarga di kampung ini akan menyumbang makanan untuk keluarga Dimas.

Mendengar kabar itu, Galuh juga tergerak hatinya untuk membantu Dimas. Lalu, ia menghubungi Hilda dan Intan. Intan adalah sahabat Hilda. Galuh, Dimas, Hilda, dan Intan selain teman sekelas, juga tetangga satu kompleks.

                                                                                     

                                                                              ilustrasi: Bobo

Sore ini, Galuh, Intan, dan Hilda bertemu secara virtual. Galuh yang mengundang mereka melalui google meet. Lalu Intan dan Hilda bergabung.

“Yuk, kita dukung Dimas agar tetap bersemangat. Dengan demikian, ia bisa cepat sembuh dan sekolah lagi,” ajak Galuh.

“Aku setuju sekali! Aku akan membuat makanan kesukaan Dimas,” ungkap Hilda.

“Aku akan membeli buku fiksi. Dia juga suka membaca buku. Nanti aku cari di toko online,” usul Galuh.

“Sebagai hiburan, aku akan membelikan dia mainan ular tangga. Dia bisa bermain dengan kedua kakaknya di rumah,” ungkap Intan.

Setelah menemukan kesepakatan, masing-masing undur diri. 

Suatu saat Galuh berkirim pesan kepada Dimas menanyakan kabar. Dimas menjawab baik-baik saja. Dia dan keluarganya hanya perlu isoman. Dimas pun menerima tawaran Galuh untuk bertemu secara virtual. Maklumlah, lama mereka tidak bertemu. Mereka ingin tahu keadaan Dimas.

                                                                  

ilustrasi: Bobo

“Hai, Dimas, apa kabar?” tanya Intan.

“Dimas, kamu baik-baik saja, kan?” sambung Hilda tak sabar.

“Aku baik-baik saja, teman-teman. Aku berterima kasih atas dukungan kalian. Aku suka kue combro buatan Hilda. Untuk mengisi waktu luang, aku membaca buku petualang pemberian Galuh. Wah, seru ceritanya. Terima kasih juga permainan ular tangganya Intan. Aku bermain ular tangga bersama kedua kakakku,” ungkap Dimas.

“Syukurlah, kamu tampak sehat!” tukas Galuh.

“Kata Papa, jika kita sedang ditimpa penyakit, sebetulnya delapan puluh persen penyembuhannya, ada pada diri kita sendiri. Yaitu, dengan berpikir positif dan bersenang-senang. Jadi, obat hanya menyembuhkan dua puluh persen. Kami sekeluarga mengikuti saran Papa itu,” tutur Dimas dengan penuh semangat.

Mereka senang mendengar penjelasan Dimas. Setelah puas bertemu secara virtual, mereka berpisah.

Setelah isoman beberapa lama, akhirnya Dimas dan keluarganya sehat kembali. Bu Naning dan teman-teman senang karena Dimas dapat kembali mengikuti pelajaran.

@@@

Cerpen ini pernah terbit di majalah Bobo, 22 September 2022


 


 


Siapa Makan Apel Merah?

                                                    

Raviu, Tegar, dan Akbar terlihat sedang memarkir sepedanya di halaman rumah Pak Bowo. Rumah Pak Bowo searah dengan rumah mereka. Sepulang sekolah, mereka sering duduk-duduk di bawah pohon sambil beristirahat di halaman rumah Pak Bowo. Halaman rumah Pak Bowo luas dan rindang karena banyak pepohonan. Apalagi pohon jambu airnya sedang berbuah. Di samping itu, Pak Bowo orang baik. Ia seorang peneliti dan senang rumahnya didatangi anak-anak.

      “Pak Bowo, minta buah jambu airnya ya!” pinta Raviu yang bertubuh tambun. Pak Bowo kebetulan baru saja keluar dari rumahnya. Ia sedang berjalan menuju laboratorium yang teletak di sebelah rumah. Pak Bowo membawa sebuah apel warna merah.

       “Silakan ambil! Tapi, jangan lupa cuci tangan!” pesan Pak Bowo sebelum melanjutkan aktivitasnya. Begitulah Pak Bowo selalu mengingatkan pentingnya menjaga kebersihan.

       “Baik, Pak,” jawab mereka hampir bersamaan dengan senang hati.

       Mereka langsung memanjat pohon jambu air dan memetik banyak buah jambu. Tidak hanya mencuci tangan, jambu-jambu itu pun dicuci. Di sisi kiri halaman rumah Pak Bowo disediakan kran.

       “Tumben, tadi Pak Bowo membawa buah apel. Sudah lama aku tidak makan apel,” ungkap Raviu. Mereka makan buah jambu di bawah pohon.

       “Iya, ya, padahal pohon jambunya sedang berbuah. Hm...segar karena banyak airnya,” sambung Tegar. Walaupun tubuhnya kecil, dia paling banyak menghabiskan buah jambu.

       “Tapi, rasa buah jambu beda dengan apel. Siapa tahu, Pak Bowo bosan makan buah jambu, terus ingin makan buah apel merah,” tukas Akbar.

       “Atau, Pak Bowo sedang membuat percobaan berkaitan dengan apel merah. Bukankah tadi langsung masuk ke laboratorium?” terka Tegar.

         Mereka makan jambu air dengan puas. Jika ingin ke kamar mandi, mereka pergi ke belakang rumah. Kamar mandi khusus untuk pembantu Pak Bowo berada di belakang rumah.

      Setelah puas makan jambu air, mereka pamit. Mereka menemui Pak Bowo di laboratoriumnya.

      Tok tok tok...

      “Maaf, Pak Bowo, kami mau pamit dan terima kasih jambu airnya,” ungkap Akbar. Pak Bowo tidak segera menjawab, tapi malah terlihat bingung. Beliau seperti sedang mencari-cari sesuatu.

                                                                                        

ilustrasi: Bobo

“Apakah di antara kalian ada yang makan apel di atas meja? Sebelum Bapak pergi untuk makan siang, apel ini tiga potong. Sekarang, tinggal dua potong. Bapak sudah tanya Mas Baskoro, tapi dia bilang tidak makan,” tanya Pak Bowo. Mas Baskoro adalah pembantunya.

       “Saya tidak makan, Pak!” jawab Akbar.

       “Saya tidak makan, Pak,!” kata Tegar.

       “Saya juga tidak makan, Pak!” tambah Raviu.

       “Memangnya kenapa kalau makan buah apel itu, Pak?” tanya Raviu penasaran. Begitupun Tegar dan Akbar.

       “Ah, tidak apa-apa. Silakan kalau kalian mau pulang,” jawab Pak Bowo.

       Mereka pun langsung pulang. Meski Pak Bowo mengatakan tidak apa-apa, ketiganya penasaran. Pasti ada sesuatu yang dirahasiakan Pak Bowo.

       Dua hari kemudian, Raviu tidak masuk sekolah. Tegar dan Akbar menengok ke rumahnya sepulang sekolah.  

       “Perutku sakit desentri. Apa gara-gara aku makan apel di laboratorium Pak Bowo? Sakit desentri bisa juga disebabkan makanan yang tidak terjaga kebersihannya, begitu kata dokter,” jelas Raviu sambil terbaring di tempat tidur.

Kemudian Raviu bercerita. Siang itu ketika Tegar dan Akbar ke kamar mandi, ia melihat Pak Bowo keluar dari laboratorium. Pada saat itulah Raviu mengambil apel merah dan menyantapnya. Toh hanya sepotong, pikirnya.

                                                                                 

ilustrasi: Bobo

“Jadi kamu yang makan apel percobaan Pak Bowo?” tanya Tegar. Akbar yang mendengar juga heran.

       “Iya, maafkan aku teman-teman. Aku berbohong pada kalian terlebih kepada Pak Bowo. Setelah aku sembuh, maukah kalian antar aku ke rumah Pak Bowo? Aku mau minta maaf sekalian ingin tahu apel merah yang aku makan.”

       Tentu saja keduanya bersedia. Di samping itu mereka penasaran ada apa dengan apel merah itu. Bukankah buah apel rasanya lezat? Mengapa perut Raviu malah sakit?

       Raviu, Tegar, dan Akbar sengaja menemui Pak Bowo di laboratorium. Betapa mereka kaget setelah mendengar keterangan Pak Bowo.

       “Pantas saja perut Raviu sakit,” ucap Pak Bowo.

Kemudian, Pak Bowo memperlihatkan tiga stoples masing-masing berisi sepotong apel merah.

       “Stoples pertama berisi apel normal, artinya tidak tersentuh tangan kotor. Stoples kedua berisi apel kotor. Karena Istri bapak yang baru saja beraktivitas di luar sengaja Bapak suruh pegang apel secara keseluruhan. Sedangkan pada stoples ketiga, bapak suruh istri Bapak mencuci dulu tangannya dengan bersih sebelum menyentuh apel itu. Lihatlah, mana yang paling banyak berwarna hitam? Apel yang kotor, bukan? Karena banyak mengandung bakteri. Nah, tempo hari Raviu menyantap apel yang kotor. Itulah pentingnya mencuci tangan sebelum makan.”

       Mereka manggut-manggut. Mereka semakin mengerti pentingnya menjaga kebersihan. Terutama Raviu berjanji tidak teledor lagi.

@@@

Cerpen ini pernah terbit di majalah Bobo, 22 September 2022


 


Selasa, 06 September 2022

Cita-Cita Peri Brownis

                                                                     

Peri Brownis sedang merenung di taman. Pandangannya ke atas.  Dia membayangkan seandainya bisa terbang dan melihat seisi dunia. Dia akan menembus awan dan langit. Alangkah senangnya seperti peri-peri lain. Namun sayang, sayap kanannya patah sejak lahir, sehingga Peri Brownis tidak dapat terbang. Tidak lama kemudian Peri Brownis melihat Koko datang sambil menangis.

      “Hu... hu... hu...”

     “Mengapa kamu menangis, Koko?” tanya Peri Brownis.

     “Nenek belum datang,” jawab Koko.

      “Nenek sedang bekerja di ladang. Nenek bekerja supaya dapat membelikanmu makanan, memenuhi kebutuhan sekolah, dan memberi uang jajan. Jadi, Nenek bekerja untuk kamu, Koko,” hibur Peri Brownis.

       “Benarkah, Nenek bekerja untuk aku?” tanya Koko tidak percaya.

       “Iya, Nenek sebagai pengganti kedua orangtuamu yang telah meninggal,” hibur Peri Brownis.

       Koko merenung, lalu manggut-manggut.

       “Nah, sekarang bermainlah lagi, mungkin Nenekmu sedang perjalanan pulang.”

       “Baiklah, aku menunggu Nenek pulang sambil bermain bersama pusi,” ungkapnya senang, lalu bernyanyi-nyanyi sambil loncat-loncat bersama kucing kesayangannya.

                                                                                    
ilustrasi: Bobo

Peri Brownis kembali merenung. Ia merenungi nasibnya yang tidak dapat terbang. Sehari-hari pekerjaannya menghibur Koko karena ditinggal neneknya ke ladang. Tiba-tiba Peri Brownis melihat seekor kupu-kupu yang hinggap di dahan. Warnanya pink dengan totol-totol hijau muda. Ketika didekati, kupu-kupu itu terbang tinggi.

       Ah andai aku seperti kupu-kupu itu bisa terbang sesuka hati. Peri Brownis menitikkan air mata.

@@@

       Seperti biasa, Peri Brownis berada di taman. Dia sedang sibuk memberi pupuk dan menyirami tanaman. Tidak lama, kupu-kupu warna pink dengan totol-totol hijau muda hinggap di dahan. Siapapun yang melihat pasti suka, begitu pun Peri Brownis.

        “Peri Brownis...” panggil Koko tiba-tiba dengan suara serak.

      “Kamu sakit, Ko?” tanya Peri Brownis heran.

      “Sebetulnya badanku tidak sakit. Tapi, suaraku serak, padahal aku akan mengikuti lomba menyanyi.”

             “Kamu banyak makan gorengan dan es, ya, sehingga suaramu serak. Makanya, kamu harus menghindarinya untuk sementara waktu.”

“Aku ingin menjadi penyanyi bertaraf internasional agar dapat keliling dunia.  Apakah itu mungkin, Peri Brownis?”

          “Mungkin saja.”

          “Apakah suara serakku dapat sembuh, Peri Brownis?” tanya Koko masih sedih.

          “Tentu bisa. Pagi dan sore akan aku buatkan minuman dari air kencur, agar suaramu bagus.”

         Koko menuruti saran Peri Brownis dengan tidak makan gorengan dan minum es. Di samping itu, Peri Brownis membuatkan air kencur untuk diminum pagi dan sore.

         Waktu terus berlalu. Tibalah saatnya lomba. Koko bernyanyi dengan suara bagus. Walaupun menjadi juara kedua, Koko senang, terlebih Peri Brownis.

@@@

      Suatu saat Peri Brownis melihat Koko malas-malasan dan tidak mau belajar. Padahal, kemarin lusa Koko bercerita besok ada ulangan.

      “Koko, kenapa kamu tidak belajar? Kalau kamu tidak belajar bagaimana mungkin kamu bisa meraih cita-citamu setinggi langit. Katanya kamu ingin menjadi dokter sekaligus penyanyi bertaraf internasional?”

       “Iya... iya,” Koko tersadar setelah diingatkan.

       “Sekarang belajarlah!”

       Koko bergegas mengambil buku-bukunya dan bersemangat lagi untuk belajar. Setiap kali diingatkan, Koko selalu senang dan kembali belajar. Maklumlah, karena neneknya sibuk di ladang.

      Setelah sendirian, Peri Brownis pun termenung. Dilihatnya bunga-bunga di taman. Tumben tidak terlihat kupu-kupu warna pink dengan totol-totol hijau muda. Ah, mungkin kupu-kupu itu sedang terbang dan mengembara ke taman lain.

       Tidak lama kemudian, Peri Brownis melihat seorang peri datang. Semua pakaiannya putih seperti dirinya. Namun, ia punya dua sayap.

                                                                           

ilustrasi: Bobo

       “Kamu siapa?” tanya Peri Brownis.

       “Aku Peri Elive, akulah yang setiap kali menjelma menjadi kupu-kupu warna pink totol-totol hijau muda.”

      “Pantas sore ini aku tidak melihat kupu-kupu warna pink totol-totol hijau muda.”

      “Aku tahu yang kamu sedihkan. Walaupun tidak dapat terbang, suatu saat kamu pasti bisa meraih cita-citamu setinggi langit. Kelak, jika Koko telah berhasil mencapai cita-citanya, kamu bahagia bisa selalu menolong dan menghibur manusia di bumi, karena kamu selalu bersama Koko. Sedangkan aku dan peri-peri lain harus turun ke bumi untuk mencari manusia yang butuh pertolongan. Jika tidak ada manusia yang membutuhkan pertolongan, kami terbang lagi ke langit.”

      “Benarkah?” tanya Peri Brownis sambil tersenyum.

      “Hidupmu menjadi sangat berguna, Peri Brownis,” sanjung peri Elive.

       Peri Elive pun ikut senang melihat Peri Brownis bahagia.

      Semenjak itu, Peri Brownis tidak pernah bersedih. Ia semakin bersemangat membimbing Koko agar kelak dapat mewujudkan cita-citanya menjadi penyanyi internasional.

@@@

Dongeng ini pernah terbit di majalah Bobo, 25 Agustus 2022



Jumat, 24 Juni 2022

Bubur Suro Mbah Rebo

                                                                                          


Desi, Fina, dan mama sedang menonton televisi. Mereka menyukai film animasi.

Tidak lama film animasi itu selesai, Ririn, sahabat Desi, memanggil.

            “Desi... Desi... Desi...” panggil Ririn.

            “Ada apa, Rin?” Desi keluar menemui sahabatnya.

            Beberapa saat kemudian, Desi mengambil potongan kardus-kardus yang biasa dibuat untuk rumah-rumahan. Dia juga memiliki koleksi beberapa boneka. Ririn dan Desi suka bermain rumah-rumahan.

            “Fin, ayo kita main rumah-rumahan!” ajak Desi.

            “Iya, Fin, bermain bersama Desi dan Ririn,” kata mamanya memberi semangat.

            “Ah, enggak, kamu bermain saja bersama Ririn. Aku mau di kamar saja, Tante,” tukas Fina lalu masuk ke kamar. Sementara Desi pergi ke depan bermain bersama Ririn.

Fina selalu menolak setiap kali diajak bermain bersama. Dia senang menyendiri di dalam kamar. Kalaupun keluar kamar, dia menonton televisi. Padahal Desi ingin menghiburnya. Akan tetapi, hingga kini, Fina masih suka bersedih.

Mama dan Desi sering mengeluh. Fina adalah sepupu Desi. Dua bulan lalu, ayah dan ibunya terpapar virus COVID-19 dan meninggal. Dengan demikian, Fina jadi yatim piatu. Untuk itulah mama dan papa Desi meminta Fina tinggal bersama mereka. Apalagi, Fina seusia Desi. Kini, Fina satu sekolah dengan Desi.

                                                                                 

ilustrasi: majalah Bobo

          Suatu saat, Desi bercerita tentang Mbah Rebo. Mbah Rebo yang dilahirkan pada hari Rabu itu sangat sayang kepada anak-anak. Maklumlah, ia tidak mempunyai anak dan tentu saja tidak memiliki cucu. Suaminya sudah meninggal. Sekarang, Mbah Rebo tinggal bersama dua keponakannya.

            “Kamu pernah makan bubur Suro, Fin?” tanya Desi saat makan siang.

            “Bubur Suro itu apa?” tanya Fina heran.

            “Setiap tanggal sepuluh bulan Suro atau Muharam, Mbah Rebo membuat bubur spesial. Namanya bubur Suro, mungkin karena dibuat pada bulan Suro. Bubur Suro terdiri dari bubur beras berwarna kuning dan ada campuran daging kambing. Rasanya gurih. Aromanya khas daging kambing. Lauknya telur dadar, perkedel kentang, sambal goreng udang, dan abon daging. Mbah Rebo membagikan bubur Suro gratis kepada anak-anak di kampung ini,” tutur Desi membuat Fina tertegun.

            “Wah, sepertinya bubur Suro enak sekali. Lauknya pun bermacam-macam. Mbah Rebo membagikan secara gratis?” tanya Fina senang.

            “Iya. Dan minggu depan sudah mulai bulan Suro. Kamu juga bisa mendapatkannya. Sekarang kamu menjadi warga kampung ini. Makanya kamu bermainlah bersama anak-anak di sini, supaya bisa berkenalan dengan Mbah Rebo.

            Fina manggut-manggut. Ia ingin makan bubur Suro buatan Mbah Rebo. 

                                                                                

ilustrasi: majalah Bobo

Pada tanggal sepuluh bulan Suro, anak-anak berkumpul di rumah Mbah Rebo. Mereka duduk di karpet. Sebelum membagikan bubur, Mbah Rebo memipin doa bersama. Intinya agar mereka diberi kesehatan dan kesejahteraan.  

            “Semua duduk yang tertib. Mbah akan membagikan bubur Suro,” ungkap Mbah Rebo. Setelah semua duduk dengan tenang, Mbah Rebo dan dua keponakannya membagikan bubur Suro dalam wadah plastik bening. Setiap anak menerima satu wadah bubur Suro, lengkap dengan sebuah sendok bebek di dalamnya.

            “Ada yang belum dapat bubur Suro?” tanya Mbah Rebo. Walaupun sudah tua, suara Mbah Rebo masih lantang. Badannya pun masih gagah dengan mengenakan kebaya dan kain.

            “Sudah, Mbah,” jawab anak-anak serentak.

            “Sekarang Mbah akan membagikan uang dan bingkisan kepada kalian yang yatim,” ungkap Mbah Rebo.

            “Hore...,” anak-anak yatim atau tidak memiliki ayah bersorak-sorai.

            Satu per satu Mbah Rebo memanggil nama anak-anak yatim. Kali ini Mbah Rebo membagikan uang dalam amplop. Ia juga memberi bingkisan berupa buku tulis dan alat-alat tulis. Mbah Rebo sudah membagikan sebanyak empat anak yatim.      

“Sekarang, Mbah minta Fina maju ke depan!” pinta Mbah Rebo.

            Fina kaget ketika ia juga dipanggil oleh Mbah Rebo dan akan diberi uang dan bingkisan. Dia mendapatkan bubur Suro gratis sudah senang. Desi dan Ririn memberi semangat agar Fina maju ke depan. Fina juga anak yatim.  

            Anak-anak senang menikmati bubur Suro. Fina pun tidak bersedih lagi. Dia bermain bersama anak-anak kampung. Ternyata tidak hanya dirinya, ada empat anak lain yang tidak memiliki ayah.

@@@

Cernak ini terbit di majalah Bobo, 16 Juni 2022