Saya
suka makan. Bukan saja karena saya manusia dan untuk mempertahankan hidup di
antaranya butuh makan. Terkadang saya datang ke suatu tempat hanya untuk menikmati
makanan tertentu, karena hanya daerah itu menjual makanan tersebut. Terkadang saya
datang ke warung tertentu, karena warung tersebut representatif bagi saya, jauh
dari gangguan pengamen dan teguran para tetangga, yang itu bisa mengganggu
makan saya. Dan alasan-alasan lain, yang intinya untuk mendukung kegiatan makan
saya.
Nasi
tumpang termasuk makanan kesukaan saya. Ia makanan khas Ambarawa, Kabupaten Semarang.
Saya makan pertama kali secara tak sengaja. Suatu saat, setelah tamasya, saya
lapar. Posisi saya berada di pasar. Saya masuk di salah satu warung. Saya mengenal
semua makanan dari daftar menu yang tertempel di dinding, termasuk nasi tumpang.
Sependek
saya mengenal, nama “tumpang” berkaitan dengan sambal tumpang: sambal diberi
tempe semangit yang dihaluskan, lalu diberi santan. Dan lama saya tak
menyantapnya. Nasi tumpang berarti nasi putih dengan sambal tumpang. Ternyata definisi
saya tentang nasi tumpang berbeda jauh dengan sambal tumpang, walaupun nama
belakangnya sama, begitu nasi tumpang berada di hadapan saya.
Dua
jam naik kandaraan umum, dua kali, saya sampai di warung tempat saya pertama,
dan seterusnya, menyantap nasi tumpang. Saya tidak tahu dan enggan mencoba-coba
warung lain, untuk makan nasi tumpang. Di warung tersebut saya cocok.
“Nasi
tumpang,” pinta saya kepada penyambut, begitu saya masuk warung dan duduk di bangku
kayu panjang. Depannya meja panjang. Warung sederhana. Beberapa orang sedang
makan, hanya saya pembeli baru.
Seorang
lelaki, pemilik sekaligus pelayan warung tersebut, meminta saya menunggu
sejenak. Nasi tumpang tidak cukup nasi putih dan beberapa makanan lain dituang
dalam satu piring makan. Seperti penjual menyajikan nasi rames. Ada bahan
makanan yang harus diolah mendadak agar bisa dimakan hangat.
Akhirnya
nasi tumpang tersaji di hadapan saya. Sepiring nasi putih, semangkuk lauk
berisi tetelan dan beberapa irisan tahu kulit, dan sepiring telur dadar. Nasinya
tidak pulen, tapi di situlah nikmatnya saat beradu dengan kuah manis, gurih,
sambil menikmati tetelan dan tahu kulit. Apalagi kuahnya tidak pedas walaupun
warnanya merah. Itu saya suka. Sesekali saya makan nasi hanya dengan telur dadar
yang hangat, tanpa kuah. Dari pembicaraan para pembeli, udara masuk melalui
pintu, terasa khas suasana makan dengan latar pasar tradisional.
Seperti
biasa, saya ditawari nasi jika ingin menambah. Setiap kali saya menyantap nasi tumpang,
timbul pertanyaan dalam benak: Apakah tarip Rp7.000,00 seporsi sesuai dengan
bahan-bahan yang dibeli? Apakah penjual mendapat untung? Apalagi tidak ada
bahan makanan murah sekarang. Beras, telur, tahu, tetelan, santan, dan sejumlah
bumbu. Seringkali dalam kehidupan nyata, banyak hal tidak logis terjadi. Walaupun
dalam membuat cerita, kelogisan dalam setiap adegan, adalah keniscayaan. Saya tersenyum
masygul.
@@@
Tidak ada komentar:
Posting Komentar