Iis Soekandar: Nasi Tumpang

Kamis, 09 Oktober 2025

Nasi Tumpang

                                                                                                

          Saya suka makan. Bukan saja karena saya manusia dan untuk mempertahankan hidup di antaranya butuh makan. Terkadang saya datang ke suatu tempat hanya untuk menikmati makanan tertentu, karena hanya daerah itu menjual makanan tersebut. Terkadang saya datang ke warung tertentu, karena warung tersebut representatif bagi saya, jauh dari gangguan pengamen dan teguran para tetangga, yang itu bisa mengganggu makan saya. Dan alasan-alasan lain, yang intinya untuk mendukung kegiatan makan saya.

Nasi tumpang termasuk makanan kesukaan saya. Ia makanan khas Ambarawa, Kabupaten Semarang. Saya makan pertama kali secara tak sengaja. Suatu saat, setelah tamasya, saya lapar. Posisi saya berada di pasar. Saya masuk di salah satu warung. Saya mengenal semua makanan dari daftar menu yang tertempel di dinding, termasuk nasi tumpang.

Sependek saya mengenal, nama “tumpang” berkaitan dengan sambal tumpang: sambal diberi tempe semangit yang dihaluskan, lalu diberi santan. Dan lama saya tak menyantapnya. Nasi tumpang berarti nasi putih dengan sambal tumpang. Ternyata definisi saya tentang nasi tumpang berbeda jauh dengan sambal tumpang, walaupun nama belakangnya sama, begitu nasi tumpang berada di hadapan saya.

Dua jam naik kandaraan umum, dua kali, saya sampai di warung tempat saya pertama, dan seterusnya, menyantap nasi tumpang. Saya tidak tahu dan enggan mencoba-coba warung lain, untuk makan nasi tumpang. Di warung tersebut saya cocok.

“Nasi tumpang,” pinta saya kepada penyambut, begitu saya masuk warung dan duduk di bangku kayu panjang. Depannya meja panjang. Warung sederhana. Beberapa orang sedang makan, hanya saya pembeli baru.

Seorang lelaki, pemilik sekaligus pelayan warung tersebut, meminta saya menunggu sejenak. Nasi tumpang tidak cukup nasi putih dan beberapa makanan lain dituang dalam satu piring makan. Seperti penjual menyajikan nasi rames. Ada bahan makanan yang harus diolah mendadak agar bisa dimakan hangat.

Akhirnya nasi tumpang tersaji di hadapan saya. Sepiring nasi putih, semangkuk lauk berisi tetelan dan beberapa irisan tahu kulit, dan sepiring telur dadar. Nasinya tidak pulen, tapi di situlah nikmatnya saat beradu dengan kuah manis, gurih, sambil menikmati tetelan dan tahu kulit. Apalagi kuahnya tidak pedas walaupun warnanya merah. Itu saya suka. Sesekali saya makan nasi hanya dengan telur dadar yang hangat, tanpa kuah. Dari pembicaraan para pembeli, udara masuk melalui pintu, terasa khas suasana makan dengan latar pasar tradisional.

Seperti biasa, saya ditawari nasi jika ingin menambah. Setiap kali saya menyantap nasi tumpang, timbul pertanyaan dalam benak: Apakah tarip Rp7.000,00 seporsi sesuai dengan bahan-bahan yang dibeli? Apakah penjual mendapat untung? Apalagi tidak ada bahan makanan murah sekarang. Beras, telur, tahu, tetelan, santan, dan sejumlah bumbu. Seringkali dalam kehidupan nyata, banyak hal tidak logis terjadi. Walaupun dalam membuat cerita, kelogisan dalam setiap adegan, adalah keniscayaan. Saya tersenyum masygul.

@@@


Tidak ada komentar:

Posting Komentar