Ihsan
rajin beribadah, terutama menjalankan kewajiban shalat lima waktu. Dia lebih
senang pergi ke masjid. Padahal dia harus berjalan melewati beberapa kampung
untuk sampai ke sana. Semua dilakukan demi kewajiban dan kecintaannya kepada
Allah. Anak laki-laki lebih utama shalat di masjid dibanding di rumah.
“Biarlah di dunia kita hidup sederhana,
asalkan di akhirat kelak bahagia. Yang terpenting jangan lupa menjalani
kewajiban, terutama shalat lima waktu. Disamping itu ringan tangan dalam
beramal soleh. Walaupun hanya berupa tenaga. Untuk bekal di akhirat nanti,”
pesan emak untuk kesekian kali. Biasanya emak menghibur sekaligus memberi
nasihat saat makan malam bersama.
Di rumah berdinding kayu, Ihsan
mendengarkan sembari makan nasi dengan lauk tempe goreng ditambah sambal terasi.
Sedang Ahmad, adiknya, sibuk menonton film animasi kesayangannya. Ahmad masih
duduk di TK. Sebagai anak sulung Ihsan ingin cepat membantu emak. Tapi tidak
mungkin karena dia masih kelas dua SD.
Emak sangat sibuk. Pagi buta emak sudah
mencuci lalu sore menyetrika pakaian
milik orang lain. Ihsan dan Ahmad masih tidur. Sebelum pergi emak tidak lupa menyediakan
sarapan dan makan siang. Menjelang senja emak baru pulang. Emak bekerja di
rumah tetangga. Beliau menghidupi kedua putranya karena ayah Ihsan meninggal
beberapa tahun lalu.
“Ihsan, baju kokomu sobek di samping,”
celetuk Hanif suatu ketika, tetangganya yang juga baru saja selesai melakukan
shalat jumat. Mereka suka membantu takmir masjid mengumpulkan beberapa kotak
amal yang beredar di antara jamaah. Kotak amal itu keempat ujungnya beroda. Kemudian
kotak-kotak itu didorong ke kantor untuk dibuka kemudian dihitung uangnya.
Selain Hanif dan Ihsan, ada pula Deny, teman seangkatan mereka.
“Ah iya,” kata Ihsan dengan memegangi
bawah ketiak yang sobek sambil memendam rasa malu. “Sebetulnya ini bukan sobek,
tapi jahitannya lepas. Emak sudah pernah menjahitnya tapi lepas lagi,” Ihsan
memberi alasan.
“Jahitannya lepas atau sobek tetap saja
lubang dan kelihatan sebagian badanmu,” Deny menambahi bernada mengejek.
Semua kotak amal sudah terkumpul di
kantor. Saatnya Abah Nasikhin bersama takmir lain membuka lalu menghitung semua
uang. Anak-anak diizinkan pulang.
Ihsan pulang dengan bersepeda. Ia ingin
marah, tapi tidak mungkin. Emak bisa menghidupi sekaligus menyekolahkan sudah
untung. Kelak setelah besar dia akan membantunya dengan bekerja. Biarlah di dunia kita sederhana asal di
akhirat kelak hidup bahagia. Pesan emak yang selalu menyemangati hidupnya.
@@@
Seperti biasa, setiap Jumat anak-anak
yang gemar membantu masjid mengumpulkan kotak amal untuk dibawa ke kantor. Sebelum
ke kantor Ihsan terlihat mencari sesuatu. Ada 3 kotak amal yang diurusnya dan
masih berada di serambi masjid.
“Kamu sedang mencari apa, San?” tanya Hanif
sambil mendorong 3 kotak amal yang akan diserahkan ke kantor.
“Aku mencari lidi,” jawab Ihsan sembari
ke halaman mencari lidi.
Deny yang mendengar pembicaraan mereka,
meletakkan 2 kotak amal lalu menghampiri Hanif.
“Ihsan mencari lidi. Dia pegang 3 kotak amal,
apa pendapatmu ?” tanya Hanif membisiki Deny.
“Yah, apalagi kalau bukan mencukil uang
yang ada dalam lubang kotak amal,” jawab Deny tepat, diiyakan Hanif.
“Mungkin dia ingin membeli baju koko
tapi tidak punya uang.”
“Iya, tempo hari baju kokonya sobek. Tapi
kalau kita yang menegur, sungkan.”
“Kita lapor saja sama Abah Nasikhin sebagai
ketua takmir.”
Abah Nasikhin kaget mendengar laporan
Hanif dan Deny. Selama ini Ihsan dikenal sebagai anak yang rajin ke masjid dan
suka membantu. Dengan penuh hati-hati, Abah Nasikhin minta cepat-cepat diantar ke
tempat Ihsan berada bersama kotak amal yang belum diserahkan ke kantor masjid. Mereka
mengamati dari jauh.
Meski kesulitan mencari, akhirnya Ihsan
menemukan sebuah lidi. Lidi itu kemudian dipangkas dengan jari-jari tangannya
sehingga menjadi pendek. Namun Ihsan tidak mencukil tetapi justru mendorong
uang itu dengan lidi agar masuk ke dalam. Tujuannya supaya kalau dilihat orang
jahat tidak diambil uangnya. Kemudian Ihsan mendorong ketiga kotak amal itu ke
kantor masjid.
Hanif dan Deny kecele. Lalu kata Abah Nasikhin
kepada keduanya.
“Jangan suka su`dhon. Jangan menilai
orang hanya dari kulit luarnya. Bisa jadi orang yang berpenampilan sederhana,
justru di mata Allah dia lebih mulia dibanding yang lain. Ayo kumpulkan semua
kotak amal yang kalian bawa ke kantor masjid!” pinta Abah Nasikhin sambil
cepat-cepat ke kantor masjid untuk menghitung uang.
Pulang dari masjid, Hanif dan Deny mendapat pelajaran sangat berharga.
Mereka berjanji nanti sore akan ke rumah Ihsan untuk meminta maaf.
@@@
Kisah ini telah dimuat di majalah anak adzkia, Maret 2018