Iis Soekandar: 2025

Kamis, 12 Juni 2025

Kedelai yang Melalai

                                                                                             

          Pukul empat sore bukan waktu tepat untuk menyantap makanan berat bagi saya. Walau saya telah bertamasya sejak pagi, dan perut lapar minta diisi. Saya pun tidak berselera menyantap kudapan, seperti leker dan bakso pentul, yang dijajakan di pinggir-pinggir jalan daerah Bandungan, Kabupaten Semarang.

Saya terus menyusuri jalan mencari makanan yang tepat. Hingga sampailah saya di jalan dekat pasar Bandungan. Kedai-kedai khusus menjual tahu siap santap, berjejer di pinggir jalan. Tahu Bandungan khas. Teksturnya lembut.

Di antara kedai-kedai itu, ada gang-gang. Salah satu gang terdapat sebuah pabrik menjual makanan dari kedelai: tahu jadi, dan tempe dalam kemasan daun. Pabrik itu juga menjual tahu setengah jadi, seperti bentuk tahu dalam wedang tahu. Saat digoreng dengan balutan telur, tahu setengah jadi terasa otak sapi.

Demi mengakrabkan dengan para pengunjungnya, pabrik itu juga melayani pembelian tahu goreng dan tempe mendoan, siap santap di tempat. Tempat itu tak pernah sepi. Saya sering bersamaan dengan para pengunjung dari luar kota, setelah perjalanan liburan. Sambil beristirahat mereka menyantap tahu goreng dicocol sambal kecap, dan mendoan dengan ceplusan cabe rawit. Lalu sebelum pulang mereka biasanya membeli oleh-oleh.

Ada satu hal yang membuat saya ingin selalu mampir di sana setiap lewat Bandungan: menikmati susu kedelai, produksinya selain tahu dan tempe.

Susu kedelai jarang dijumpai di tempat saya tinggal, tak seperti susu sapi. Setiap hari penjual susu sapi menjajakan dagangannya di kampung. Saya membeli satu cup susu kedelai. Saya suka rasa original. Rasa kedelai begitu sempurna. Tegukan pertama, dalam kapasitas sedikit, karena susu dituangkan dalam cup, langsung dari pemanas, mulai menghangatkan mulut. Tegukan kedua dan selanjutnya, hangatnya memenuhi mulut dan sudut-sudutnya. Setelah setengah cup, susu kedelai layak disantap dengan sedotan.  

Sebagian pengunjung tak suka rasa kedelai murni. Mereka menambahi gula, jahe, atau bahan-bahan minuman lain. Harganya menambah dibanding susu kedelai murni.

Sore semakin larut. Saya pulang dengan perut kenyang dan badan hangat, cukup dengan membayar Rp6.000,00, sebagai bekal pulang ke Semarang.

@@@

   

Kamis, 29 Mei 2025

Kabut

                                                                             

          Saya dan rombongan tiba di daerah Nyatnyono, Ungaran, Kabupaten Semarang, saat waktu jelang pukul dua belas siang. Suasana pegunungan, berkebalikan dengan di daerah saya tinggal, yang pasti sedang terik. Sesekai dedaunan pepohonan sekitar melambai-lambai. Para pedagang bakso di depan gerobak-gerobaknya, berjejer menunggu kami, dan memanggil-manggil agar membeli. Makanan familiar, berbahan dan berbumbu simpel itu, cocok disantap pada suasana dingin.

Saya berburu spot foto yang ciamik. Sebuah kesenangan tersendiri ketika saya tamasya ke alam bebas, di daerah tinggi. Saya bisa melihat daerah bawah.  Dari ketinggian, saya bebas memotret laut, pantai, pepohohan, lalu lintas perkotaan, atau sekadar genting-genting rumah-rumah penduduk.

Beberapa kali saya memotret lancar, mendapatkan pemandangan bagus dan gambar terang. Selanjutnya, hasil cepretan buram. Apakah ada masalah dengan kamera ponsel saya?

“Ada kabut!” celetuk seorang teman, juga gagal mengambil foto. Kemudian ia berlalu.

Kabut menutup hal-hal sekitarnya, sebagaimana perjumpaan saya dengan seorang wanita di ruang religi, setelah menunggu kabut tak kunjung pergi. Kami duduk bersila di depan pusara seorang wali, berharap rahmat dan berkahnya yang meluber, jatuh kepada kami. Kemudian hajat-hajat kami dikabulkan. Kami hanya dipisahkan beberapa dudukan, tanpa seorang penghalang. Walaupun sinar lampu ruangan temaram, dan saya melihatnya dari samping, tampak hidungnya mancung, matanya bulat lebar, postur tubuhnya tinggi. Setelan gamis-celana dan kerudungnya, semua berwarna pink, tak selaras dengan keadaannya. Kabut telah menutup kebahagiaannya. Sejak saya berjumpa, hingga kami sama-sama beranjak keluar ruang, ia terus menangis.

Tangisnya begitu dalam menunjukkan derita yang sedang menimpanya. Mungkinkah ia dikhianati suaminya, padahal ia tulang punggung keluarga, terlihat penampilannya yang rapi layaknya seorang pegawai? Atau ia sedang menjalin hubungan dengan lawan jenis, dan jelang pernikahan, nyawa teman dekatnya itu terenggut? Atau peristiwa-peristiwa lain yang memilukan? Entahlah.  

Ingin rasanya saya mengulurkan tangan. Setidaknya sebagai pendengar sesak hatinya jika saya tak mampu memberikan solusi. Namun, ada kabut di antara kami.

Saya mengikuti rombongan dan keluar ruangan, begitu pun wanita itu. Saya kembali ke spot foto. Kabut menebal. Saya turun mengikuti langkahnya, merasa bersyukur masih bisa mencari spot foto bagus, lain kesempatan.

@@@


              

Kamis, 22 Mei 2025

Lebih Menyenangkan dari Membaca Buku

                                                                                               


“Buku itu ada di layanan referensi,” jawab petugas perpustakaan ketika suatu saat saya tidak menemukan buku yang saya cari. Ia seperti melempar godam di dada saya. Buku-buku di ruang referensi tidak boleh dibawa pulang pengunjung. Itu artinya pengunjung memiliki keterbatasan waktu membaca. Dan saya tidak pergi ke perpustakaan setiap hari.

            Saya turun dan masuk ruang referensi. Benar, buku tentang sejarah Kota Semarang ada di jajaran buku-buku lain. Saya baca per bab sekilas, lalu saya tandai bagian-bagian penting untuk saya fotokopi.

            Saya datangi bagian fotokopi perpustakaan, tidak ada penjaganya. Apakah ia sedang di kamar mandi? tanya saya dalam hati. “Tukang fotokopinya gak masuk, dah beberapa hari ini. Sakit katanya,” jelas salah satu pengunjung sambil membawa buku menuju tempat layanan. Kemarin ia juga kecele. Saya telanjur tidak mengetahui tempat fotokopi terdekat di luar perpustakaan.

Pikiran saya rusuh, mungkin serusuh orang-orang berjaket hijau yang berkumpul di lapangan Wonderia pagi tadi. Hangat sinar matahari  disambut oleh para sopir ojek daring itu, yang meminta hak-haknya dipenuhi, di antaranya mengurangi pembayaran aplikasi yang dibebankan konsumen. Beberapa petugas keamanan juga terlihat di sana.

            Pada saat saya duduk di kursi lobi, tidak tahu harus berbuat apa, petugas perpustakaan menghampiri.

            “Yuk ikut, tak minta bantuan tukang parkir antar ke tempat fotokopian.”

            “Bener, Pak, nggak ngrepotin?”

Ia tersenyum dan menggeleng sambil meminta saya mengikuti langkahnya. Petugas itu memberikan kunci sepeda motornya dan meminta tukang parkir mengantar saya ke tempat fotokopi terdekat. 

            Selama di perjalanan dan mengantre di tempat fotokopi, pikiran saya mengembara pada kejadian-kejadian tragis negeri ini: dokter melakukan pelecehan seksual pasiennya, polisi menembak masyarakat sipil, hakim tipikor berbuat korupsi, dan kejadian-kejadian lain yang dilakukan oleh pelayan masyarakat yang seharusnya melindungi.

            Hari itu, saya menemui kejadian lebih dari pelayanan. Saya pulag membawa fotokopi dengan perasaan lebih menyenangkan dari membaca buku.

@@@

 

Kamis, 15 Mei 2025

Semur Tanpa Pala

                                                                                         


          Aroma tanah basah samar-samar melintas. Seharian hingga semalam kemarin, Yogyakarta diguyur hujan deras. Hari ini matahari tak bersinar cerah. Suara klakson, tukang parkir yang memberi aba-aba, keceriaan para wisatawan, dan kendaraan-kendaraan yang melintasi seputar alun-alun, meramaikan sore itu. Saya menyusuri kedai-kedai makanan, berniat mengembalikan energi, dengan makan makanan enak. Pilihan saya jatuh pada kedai khusus menjual aneka sup.

            Saya duduk satu meja dengan seorang wanita. Ia sibuk memencet ponsel. Percakapan kami terjadi seperti teman akrab. Saya sedang menghabiskan waktu libur dua hari; dia sedang menunggu temannya. Sesekali keningnya bergaris-garis seakan tidak setuju keputusan lawan bicaranya.

            Hidangan utuh di hadapannya. Setelah pesanan saya datang, kami menyantap hidangan masing-masing. Sesuap demi sesuap nasi sup terasa segar. Suapan ketiga mengintimidasi lidah saya. Sepotong makanan saya kira daging, ternyata pala. Saya langsung teringat buku tentang semur, dengan rempah pala sebagai ciri khasnya. Saya berujar suka-suka: Bagaimana jika kita masak semur tanpa pala?

            “Itu sama dengan masak kecap,” tanggapnya terkekeh. Kami melanjutkan makan. Pikiran saya mengurai pada buku, yang dari judulnya menarik perhatian saya.

            Semur adalah masakan dari daging, biasanya daging sapi, diolah bersama bumbu sederhana dan dipersedap dengan kecap manis. Kemudian semur berkembang dengan olahan daging kambing, ikan, telur, tahu, seafood, dan sayuran.

            Semur tampil dalam segala suasana: dimakan bersama nasi uduk sebagai menu sarapan, hidangan sehari-hari ibu rumah tangga, dan makanan pesta, bersanding dengan makanan-makanan kekinian.

          Semur termasuk hidangan tradisional Indonesia. Ia hadir sejak lama. Penamaan semur berasal dari bahasa Belanda, “smoor”, yang artinya, masakan daging yang direbus dengan tomat dan bawang secara perlahan. Kemudian ia menjadi menu utama dalam budaya Rijstafel Belanda (budaya penyajian nasi dan lauk pauk ala kuliner Nusantara, di meja makan)

            Buku ini juga menyatakan bahwa semur dapat diterima semua kalangan dan generasi. Itu sebabnya masakan semur tetap lestari hingga sekarang. Semur dijumpai hampir di semua daerah di Indonesai, dari barat sampai timur, dengan keunikan masing-masing. Di Samarinda dan Manado, semur dihidangkan bersama nasi kuning untuk sarapan. Di Gresik, semur diolah dari ikan bandeng, sebab di sana banyak dijumpai produksi ikan bandeng.

            Lambat laun, rasa manis-pedas pala larut bersama cecapan demi cecapan, dan tak terasa yang terakhir. Namun, wanita di hadapan saya belum didatangi temannya. Ketika saya ungkapkan barangkali temannya itu sedang ada musibah, dia menjawab jengkel.

            “Dia selalu ngajak adiknya. Paling dia sedang nunggu adiknya. Mereka adik kakak yang kompak. Kalau tidak ada salah satu, ya itu tadi, seperti Anda bilang: seperti semur tanpa pala!”

            Saya tertawa, dan, beranjak.

@@@


Kamis, 08 Mei 2025

Kali Kesek Village

                                                                                              


Saya pernah berdebat seru dengan seorang teman ketika berniat mengajaknya ke Kali Kesek Village. Tempat wisata ini menyajikan terapi ikan, yang tidak saya temukan di tempat-tempat wisata, seputar Semarang.

            Kali Kesek Village dapat ditempuh dengan bus Transsemarang jurusan Cangkiran. Dari terminal Cangkiran belum ada angkutan umum. Saya pernah bertanya kepada sopir angkutan, kala itu mengantar rombongan kami, sejauh mana hingga tidak ada angkutan umum, padahal tempat wisata itu semakin terkenal. Ia menjawab, kira-kira 10 km untuk sampai di tempat tujuan. Di samping itu, jalanan tidak memungkinkan kendaraan-kendaraan roda empat bersimpangan. Mereka pulang lewat jalan lain, menuju Boja.

            Teman saya ngeri melintasi jalan setapak sejauh itu, di kanan kiri pepohongan, berboncengan dengan sopir ojek online. Nyali saya ikut menciut. Entah kapan lagi saya menemukan rombongan yang bertamasya ke sana.

@@@

            Mukena belum saya lepas ketika pintu rumah diketuk. Saya menyelesaikan wirid. Setelah itu, saya beranjak keluar, dengan mukena tergulung sepinggang, tak enak tamu menunggu lama.

            Angin lebih dulu masuk dan mengurangi gerah begitu pintu saya buka.

            “Eh, Mbak….” Saya ajak ia masuk ke ruang tengah dan duduk santai. Tetangga saya itu segera mengutarakan maksudnya. Suara televisi dari Sapa Indonesia Malam saya kecilkan.

            “Pengurus kampung akan mengadakan wisata, di tiga tempat….”

            Saat itu saya seperti menemui malam lailatur qadar ketika ia menyebutkan salah satu tempat wisata adalah Kali Kesek Village. Saya langsung mendaftar.

            Hari-hari serasa jalan melambat. Hingga tiba waktunya, kami berwisata ke pemancingan dan tempat religi. Terakhir, rombongan diajak ke tempat saya impikan. Setelah membayar tiket masuk Rp2.000,00 per orang, dan parkir kendaraan, angkutan masuk di tempat parkir. Dua odong-odong dan kendaraan-kendaraan lain, mayoritas mobil-mobil angkutan, berada di sana.

                                                                               

Seperti namannya, suasana lekat alam pedesaan. Kedai-kedai sederhana dari bambu ramai pembeli. Pemiliknya para warga setempat yang menjajakan soto dan gendar pecel, dan oleh-oleh: kolang-kaling dengan harga jauh lebih murah disbanding di pasar tempat saya biasa berbelanja, tiwul (makanan dari tepung singkong diolah pakai gula merah), dan aneka keripik. Para pengunjung berswafoto, terlebih di spot Kali Kesek Village.

Saya semakin tak sabar saat melihat kali-kali atau sungai-sungai, diceburi kaki orang-orang yang memanfaatkan gigitan ikan-ikan terapi.

            Setelah salat Asar, saya langsung mendatangi kedai langganan. Saya memesan soto batok. Selain menjual soto dan gendar pecel, pemilik kedai juga memfasilitasi pemesanan kolang-kaling dan tiwul. Saya langsung melepas sandal jepit, dan menceburkan kedua kaki. Ikan-ikan terapi langsung menyerbu. Rasa geli merasuki seluruh tubuh saya.  Beramai-ramai saya tertawa bersama pengunjung-pengunjung yang waktu itu juga baru datang.

                                                                                    

          Pesanan datang lama tak terasa karena ulah ikan-ikan yang menggelitik. Saat kaki telah bersih dari kotoran, satu demi satu ikan-ikan pergi. Saatnya saya menyantap soto batok yang segar, hanya dengan membayar Rp8.000,00, perut kenyang.

            Sore semakin larut, langit hitam mungkin tak lama menumpahkan airnya, tak menyurutkan para pengunjung datang. Mugkin mereka juga seperti saya, yang tak sabar ingin menikmati gigitan ikan-ikan terapi.

@@@




 



           

Kamis, 01 Mei 2025

Semangkuk Bakso di Halbi

                                                                                       

        “Lihat bakso malang, Pak?” tanya saya kepada Pak Becak yang mangkal di depan kampung. Sontak pandangannya menyapu sekitar, tak ada gerobak penjual bakso seperti yang saya cari.

            “Nggak lihat, tapi dia jalan lurus kalau gak ada yang beli,” jawabnya sambil menunjuk arah.

            Jawaban sama saya terima dari orang-orang yang saya tanya. Para penjual bakso malang tak mangkal di suatu tempat. Mereka berhenti jika ada pembeli, atau memanggil dengan ketukan bakso yang khas, hanya sesaat. Setelebihnya, mereka jalan. Tak tahan menahan perut bernyanyi dan haus karena sengatan sinar matahari, saya putuskan makan makanan lain.

            Hari berikutnya, saya bertemu penjual bakso malang, tapi saya sedang berpuasa Syawal. Semangkuk bakso malang membayangi, dan saya terus mencari-cari kesempatan setiap keluar rumah.

            Kuah bakso malang bening. Kaldu beraroma bawang itu beradu dengan bakso sapi yang empuk dan gurih, dan renyahnya pangsit goreng. Toping seledri dan bawang goreng menyempurnakan penyajiannya. Setiap suapan mengundang selera.

            Bakso termasuk makanan akulturasi. Menurut buku Main Rasa Bersama Sasa, “bak-so” dalam bahasa Hokkien berarti “daging giling”.  Berawal saat Meng Bo, salah satu penduduk Negeri Tirai Bambu, sekitar abad ke-17, ingin menyajikan daging untuk ibunya. Seiring bertambahnya usia, ibu Meng Bo tidak dapat mengunyah daging. Dalam pencariannya, Meng Bo terinspirasi kue moci yang bulat dan kenyal. Kemudian ia menghaluskan daging dan membentuk bulat seperti kue moci. Sejak itu ibunya dapat menikmati daging.

            Kedatangan orang-orang Negeri Tirai Bambu, zaman dulu, tidak hanya berdagang. Mereka juga mewarnai budaya dan makanan masyarakat Indonesia, termasuk bakso. Sesuai mayoritas masyarakat Indonesia yang muslim, daging bakso tebuat dari daging sapi, bukan dari daging babi.

            Budaya Halbi (halal bi halal) juga dilestarikan oleh masyarakat Indonesia. Tujuan Halbi selain silaturahim adalah bermaaf-maafan. Begitupun yang ada di benak saya ketika menghadiri acara Halbi sebuah komunitas. Selebihnya, saya hanya membayangkan bakso secara umum, walau jauh hari, panitia mengumumkan bahwa makanan utama Halbi adalah bakso.

            Dan, kerinduan saya terbayar ketika di hadapan saya, terhidang bakso berkuang bening, mirip bakso malang. Di tengah maraknya efisiensi, saya menikmati bakso malang di Halbi, sebuah langkah bijaksana.

@@@


Kamis, 27 Maret 2025

Tak Memburu Waktu

                                                                                  

Posko penuh orang-orang. Posko keamanan di sebelah kiri dekat pintu gerbang masjid itu terbangun dari tenda terbuka. Saya mudah melihat kegiatannya dari jauh. Satu per satu orang keluar sambil membawa minyak goreng kemasan plastik dengan wajah berseri. Kemudian datang yang lain dan mengantre, begitu seterusnya. Sebagian dari mereka jemaah pengajian; Sebagian lagi orang-orang luar.

            “Tadi sebelum pengajian, ada pengumuman, tapi aku nggak ngeh,” jawab teman yang duduk di sebelah saya ketika saya tanya kegiatan di posko.

            “Jenengan tidak ke sana?” tanya saya sekaligus mencari teman.

            “Nanti saja setelah Asar,” jawabnya kukuh, sambil manggut-manggut mendengarkan keterangan Pak Ustaz.

            Hati saya bergejolak. Apakah barangnya masih ada jika kami menunggu Asar? Pasti harga minyak goreng itu murah. Mungkin otoritas setempat atau pihak tertentu memberi kompensasi kepada masyarakat, yang dirugikan salah satu produsen minyak goreng, yang mengurangi takaran.   

            Seorang wanita bertubuh tinggi dan tegar datang, lalu bersalaman kepada orang-orang di dekatnya. Ia tiba di masjid pada separuh waktu pengajian. Orang-orang membagikan takjil jelang buka puasa. Ia membagikan takjil siang hari, terlepas yang diberi jemaah pengajian. Saya pernah diberinya kurma 5 buah dalam bungkus mika.

            Saya datangi posko, di tengah terik matahari, pada keterangan Pak Ustaz berikutnya. Cerita Nabi Yusuf dibuang saudaranya, dan kisah-kisah menarik setelah itu, terdengar jelas melalui pelantang suara.

            Seperti mendapat hadiah lebaran ketika saya mendapatkan satu liter minyak goreng secara gratis. Saya hanya diminta mengisi kuesioner, seputar penggunaan uang digital. Teman saya sedih, selesai Asar, posko sepi, tidak ada lagi kegiatan pemberian minyak goreng gratis.

            Insya Allah, dua atau tiga hari lagi Lebaran tiba. Izinkah saya mengucapkan Hari Raya Idulfitri, kepada teman-teman yang merayakannya, dan, maaf lahir batin.

@@@


Kamis, 20 Maret 2025

Apa Ini?

                                                                                                

            Pak Ustaz menerjemahkan dan memberi keterangan-keterangan ayat-ayat suci yang dilantunkan. Keterangan-keterangan itu, selalu dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari. Ia akan kembali membacakan ayat-atat suci lalu menerjemahkan dan memberi keterangan-keterangan, demikian seterusnya hingga waktu jelang Asar. Dan menurut jadwal pengurus, pengajian dan khataman akan dilakukan tanggal 25 Ramadan.

            Langit mendung. Angin bertiup sejuk. Suara kendaraan-kendaraan terdengar ramai, dari para pembeli yang memenuhi kebutuhan Lebaran. Mereka berbelanja di pertokoan seberang jalan sisi kanan masjid.

Sebagian jemaah mendengarkan. Sebagian lain mencatat. Sebagian lagi mengantuk. Pandangan saya menyapu jemaah yang duduk di tengah, dan di pojok-pojok serambi masjid. Saya tak menemui pedagang keripik. Saya suka keripik tumpi(keripik kacang hijau). Mungkinkah pedagangnya tidak berjualan? Atau ia duduk di masjid bagian dalam? Saya duduk di undakan. Gerak saya leluasa.

Pedagang keripik menjual dagangannya sambil lalu. Ia duduk santai di tempat-tempat strategis. Ia menawarkan dagangannya di dalam tas anyaman, kepada orang-orang yang lalu lalang di depannya.   

Berbeda dengan pedagang-pedagang makanan lain, mereka menemui para calon pembelinya satu per satu. Ada pedagang tetap menawari walaupun saya tidak pernah membeli karena tak suka dagangannya.

Ada juga pedagang datang di tengah pengajian berlangsung. Ia duduk sebentar, sambil mencari-cari orang-orang yang pernah membeli dagangannya. Setelah menemukannya, ia tak segan nimbrung dan duduk di sebelah orang tersebut.

Saya harus menunda makan keripik jika tak menemukan pedagangnya. Karena kesibukan malam, saya tak punya waktu menikmati keripik. Saya tadarus bersama teman-teman setelah tarawih. Dan tadarus 30 juz selesai pertengahan Ramadan. Saya berjanji akan membeli keripik setelah tadarus selesai.

            Kami menutup Al-Qur’an. Pak Ustaz baru saja mengakhiri pengajian dengan doa. Tak lama kemudian…

            Pluk!

            “Apa ini?” tanya saya kaget.

            Saya belum sempat mengucapkan terima kasih kepada teman yang menjatuhkan tas kresek di pangkuan saya. Ia gegas pergi, tak mau tersalip mendung menjatuhkan airnya. Dan, sebahagia mendapatkan baju Lebaran, saat saya mengetahui isinya: sebungkus keripik tumpi.

            Suara azan terdengar; saya segera memenuhi panggilannya.

@@@


Kamis, 13 Maret 2025

Langit Terang di Ujung Sana

                                                                                         

Setelah setengah hari beraktivitas, sambil menahan lapar dan dahaga, tidur siang adalah langkah tepat. Tapi pengajian dimulai sekitar pukul satu siang. Pergi tidur dan pergi mengaji, berkelindan di benak saya.

Jika pertentangan dua hal itu merasuki pikiran, saya segera melintaskan dua pedagang yang biasa hadir dalam pengajian itu. Dan saya pun bergegas pergi mengaji.

Berbeda dari pedagang-pedagang lain yang menjual makanan, pedagang balon rajin menyambangi tempat pengajian. Ia menawarkan dagangannya kepada jemaah yang mengajak anak-anak kecil. Ia terkadang datang dua kali dalam durasi pengajian hampir dua jam. Padahal, jemaah yang hadir dan anak-anak kecil yang diajak tak berbeda. Sewajarnya, orang membeli mainan yang sama satu kali. Tapi ia lalu lalang, ke jemaah wanita, lalu ke jemaah lelaki.

                                                                                         

Satu lagi wanita lansia pedagang asongan yang menjual bermacam-macam jepit rambut, karet rambut, cotton bud, serabut pencuci piring, tutup termos, dll. Ketika jalan tanpa beban, saya yakin kakinya terseok-seok. Apalagi ia harus menarik gerobak minimalisnya. Gerobak beroda dua itu disangganya dengan kotak bekas wadah es krim agar berdiri ketika ia duduk bergabung dengan jemaah. Ia beristirahat sambil mendengarkan bacaan Al-Qur’an diselingi ceramah dari Pak Ustaz. Sesekali kantuk menyetainya.

Tak seperti para pedagang makanan yang laris manis, saya pernah duduk di sampingnya hingga pengajian selesai, tak satu pun pembeli membeli dagangannya.

“Setiap hari pasti ada yang beli, ya, Bu?” tanya saya berempati, bagaimana dia makan dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan lain.

“Yah, disyukuri saja,” jawabnya senyum-senyum, tak mau menjelaskan detail. Kami berbincang selesai salat Asar. Sesekali kami menyalami jemaah, yang menuruni undakan masjid, untuk pulang. 

Lalu dia bercerita tentang anak-anaknya yang tak pernah menyantuni. Ia tinggal di sebuah rumah yang tidak lagi ditempati pemiliknya. Sebetulnya ia juga menjual beberapa mainan anak-anak. Tapi modalnya tak kembali karena uangnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Saya manggut-manggut dan mendoakan dalam hati agar ia diberi rezeki sehingga dagangannya tetap ada. Ketika saya bertanya apakah ia juga berbuka puasa di masjid ini, saya tersadar mendengar jawarabannya. Ia berbuka di masjid lingkungan tempat tinggalnya. Ia tidak berani pulang malam. Ia butuh waktu lama berjalan dari masjid ke rumahnya, sambil menarik gerobak minimalisnya.

Satu orang bersandar di pilar serambi masjid dengan mata terpejam. Dua lainnya tergeletak di lantai. Aroma sedap makanan dari penjaja makanan di alun-alun melintas. Daun-daun kemboja bergerak-gerak saat angin bertiup. Kami berpisah. Pedagang asongan menarik gerobaknya; jalannya satu langkah satu langkah. Di antara perjalanan pulang, saya melihat langit terang di ujung sana.

@@@


Kamis, 06 Maret 2025

Impas

            Puasa Ramadan identik cuaca panas. Dahaga adalah salah ujian yang harus dilalui setiap Muslim, begitu terasa. Namun, Ramadan tahun ini bertepatan bulan Maret, yang menurut penanggalan, hujan rajin menyambangi.

            Pengajian selesai. Kami menuntaskan dengan salat Asar di masjid. Saya bersama jemaah berburu takjil. Saya mencari ketan biru, makanan khas Semarang, terbuat dari beras ketan berwarna biru, di atasnya diberi enten-enten. Saya berkeliling alun-alun dan sekitarnya, membaca satu per satu tulisan makanan di depan kedai-kedai. Pedagang ketan biru biasanya juga menjual lontong opor.

            “Wah, di mana ya. Saya nggak lihat tuh, penjual ketan biru,” jawab penjual aneka jus buah yang saya tanya. Saya tinggalkan wanita itu bersama suara berisik alat jus yang sedang melumat jambu biji merah.

            Tak lama air dari langit turun rinai. Saya gegas pulang. Tidak bijaksana jika saya terus memburunya di tempat-tempat lain.  Saya harus menjaga kesehatan. Demi mengurangi rasa kecewa, saya lewati sore-sore bersama buku bacaan.

            Saya pikir buku ini hanya membahas kuliner Semarang. Istilah Semarangan mengacu kuliner Semarang dan daerah-daerah pantai utara Jawa Tengah: Batang, Demak, Kudus, Jepara, Pati, Lasem, Grobogan, dan Purwodadi. 

            Kuliner akulturasi masyarakat Tionghoa, Islam, Hindu, merupakan bagian dari makanan keseharian masyarakat Semarangan. Bangsa-bangsa asing itu datang di Indonesia untuk berdagang.

            Di Semarang, lumpia, bakso, lontong cap go meh, bolang baling adalah contoh akulturasi masyarakat Tionghoa, juga swike khas Purwodadi. Begitu pun bacang: makanan berbahan beras ketan yang diberi isian daging, dan dibungkus daun bambu, sangat mudah ditemui di Lasem pada hari-hari biasa. Sedangkan kuliner Jepara mendapat pengaruh dari Tionghoa, Arab, dan Belanda. Jepara dikenal sebagai kota pelabuhan yang sering disinggahi kapal-kapal asing.

            Kuliner Demak dan Kudus dipengaruhi agama Hindu. Masyarakatnya tidak makan daging sapi, melainkan daging kerbau.

            Selain pengaruh negara-negara asing, kuliner Semarangan juga dipengaruhi kondisi alam. Potensi Semarangan adalah padi, ubi, jagung, kedelai, kacang tanah, dan kacang hijau.

            Getuk runting adalah kudapan khas Pati, terbuat dari ubi kayu, di atasnya ditaburi serudeng. Sedangkan olahan jagung, seperti nasi jagung dan jagung goreng, banyak dijumpai di Grobongan.

            Beberapa daerah Semarangan mempunyai gunung dan pengunungan sehingga potensi produksi buah dan sayur mencukupi.

            Buku ini juga dilengkapi resep kuliner Semarangan dan gambar-gambar makanan dan minuman yang menarik.

            Mendapatkan pengetahuan kuliner Semarangan, impas bagi saya, sebagai kompensasi tak menemui ketan biru.

@@@

 

Kamis, 27 Februari 2025

Tertambat Niat

       Ada keraguan ketika saya akan membeli makanan-makanan kesukaan pada tradisi dugderan. Pedagang-pedagangnya berasal dari luar kota. Harga barang-barang naik, kelangkaaan gas melon, apakah mereka berjualan pada momen tahunan itu? 

                                                     

       Dugderan adalah tradisi masyarakat Semarang menyambut puasa Ramadan. Dugderan diadakan selama dua minggu sebelumnya. Para pedagang makanan daerah dan makanan kekinian, para pedagang mainan seperti aneka celengan dari gerabah, menjajakan dagangannya sekitar alun-alun, depan Masjid Agung Semarang. Ada juga wahana permainan kora-kora, tong setan, ombak banyu, dll. 

                                                      

               Senja berganti malam. Di depan masjid, tidak ada satu pun penjual makanan. Tempat itu beralih fungsi mejadi tempat parkir kendaraan. Biasanya pedagang tahu aci menjual dagagannya di sana.

            Saya masuk arena dugderan, menyusuri jalanan depan alun-alun, menembus jubelan pengunjung. Aroma sedap bakaran seafood melintas hidung. Suara keriangan pengunjung, otok-otok dari mainan kapal-kapalan, dan musik dari lapak-lapak makanan, beradu. 

                                                   

           Sebungah musik dari lagu energik ketika saya melihat angkringan bertuliskan makanan kesukaan. Di belakangnya, seorang lelaki sibuk memasukkan aneka bahan-bahan makanan dalam wajan kecil. Ia duduk di dingklik. Saya membeli seporsi. Tidak ada pembeli lain; berporsi-porsi kerak telur dalam bungkus-bungkus kertas coklat, menggunung. Tak lama makanan matang.

            “Berapa, Pak?”

            “Dua puluh lima ribu saja.”

            Lalu ia memberi kembalian Rp25.000,00 sambil mengeluarkan unek-unek, bahwa, harga bahan-bahan makanan naik, banyak pesaing, untung sedikit yang penting laku, demi dugderan. 

            Saya melanjutkan langkah, menembus barisan pengunjung yang semakin lama semakin padat. Di ujung, tak ada penjual makanan, kecuali aneka wahana permainan. Mungin saya terlewat. Saya pulang, akan melanjutkan petualangan, esok hari.

@@@

            Waktu berpacu dengan hujan. Dua hari berikutnya saya berkesempatan mengunjungi dugderan. Sore muram; guntur menggema. Saya teringat, tempo hari belum masuk ke alun-alun. Jalanan lengang. Saya menoleh ke kanan ke kiri melihat para pedagang menyiapkan dagangan-dagangannya. Saya berdiri mematung di depan  sebuah kedai makanan. Mata saya kedip-kedipkan. Saya tidak salah. 

                                                         

               “Kirain nggak ada pedagang tahu aci,” ungkap saya setengah berteriak sambil senyum-senyum begitu mendekat ke panjualnya.

            “Ada kok,” jawab pedagangnya, seorang laki-laki, juga senang. Ia dan istrinya bergegas menyiapkan dagangannya untuk dijajakan. Istrinya membagi dua setiap tahu di meja racik, lalu memberinya aci di bagian tengahnya: adonan berbahan tepung kanji yang diberi bumbu. Tahu-tahu itu dikirm dari Tegal oleh bosnya. Begitu pun acinya diberi bumbu khas oleh bosnya.

            Seporsi tahu aci seharga Rp20.000,00 telah dibungkus. Saya bersiap menyantapnya di rumah.

@@@






 

Kamis, 20 Februari 2025

Masjid Klenteng

     Februari menyisakan merah, ketika saya melintas di Jalan Gang Warung, kawasan pecinan Semarang. Warna itu menyatu dalam lampion-lampion yang terpajang di pertokoan, untuk menyambut imlek, beberapa waktu lalu. Warna merah lain membingungkan saya, saat saya bertemu teman di pasar. Kami berdiri di depan lapak pedagang yang sama. Saya membeli nasi jagung; ia membeli gendar pecel. Ia bercerita bahwa Bu Nyai atau pimpinan guru mengaji kami, akan mengadakan acara.

            “Kita akan berkunjung ke Masjid Klenteng.”

            “Masjid Klenteng? Bukankah itu dua tempat ibadah berbeda? Apa mungkin satu tempat untuk sembayang dua umat?”

            Ia mengedikkan bahu. Kami penasaran. Lalu kami berpisah untuk belanja lain.

            Kelenteng identik warna merah. Apakah kelenteng itu telah berubah menjadi masjid, atau sebaliknya, dan tetap berwarna merah?

                                                                              

       Kebingungan saya terjawab pada hari Minggu. Angkutan membawa rombongan di sebuah bangunan, didominasi warna merah. Letaknya di pinggir jalan, memudahkan  pengunjung luar kota menemukan alamatnya. Langit cerah menaungi kami sepanjang perjalanan satu setengah jam, Semarang-Salatiga. Begitu masuk halaman, pohon rambutan dan pohon langsat, yang sedang berbuah, menyambut. Angin bertiup sejuk, menemani istirahat kami.

            Setelah beribadah, di dalam masjid, tak lupa kami mendoakan Pak Yusuf Hidatullah. Ia adalah mualaf Tionghoa dan pendiri masjid, dan menamainya Masjid Klenteng. Sejak tahun 2020, masjid itu berpindah pemilik, lalu dibangun pondok pesantren.

            Masjid itu tidak luas. Bagian depan ada mihrab atau tempat imam memimpin salat berjamaah; bagian belakang tempat menyimpan kitab-kitab suci. Di sebelah masjid ada ruang terbuka, untuk menampung, jika jamaah melebihi kapasitas.

                                                                                  

           Sebelah kanan masjid, pondok pesantren dua lantai, untuk para santri putra. Para santri putri berada di belakang masjid. Bangunan pondok pesantren sedang diperbaiki ketika kami berkunjung. Material-material bangunan terlihat di depan pintu gerbang pondok.

            “Total jumlah santri sekitar seratusan. Mayoritas sih anak-anak kuliah. Hanya satu dua yang masih SMA,” jawab santri putri ketika saya bertanya jumlah semua santri.

            Saya manggut-manggut. Lalu ia segera pergi untuk membeli keperluan pribadi.

            Setelah puas mengunjungi Masjid Klenteng, termasuk mengetahui asal usul namanya, kami melanjutkan perjalanan.

@@@



 

Kamis, 13 Februari 2025

Nasi Megono

Waktu menunjuk pukul 5.30. Langit mendung; para pedagang berpayung; saya bingung. Saya baru tersadar, penjual nasi megono tidak mangkal. Ke mana saya harus mencarinya?

Saya putuskan menunggu di samping penjual nasi jagung langganan. Dua hari sebelumnya saya bertemu teman. Kami sama-sama keluar masjid selesai salat Subuh. Tiba-tiba ia membicarakan penjual nasi megono.

            “Di undakan ini, aku pernah bertemu penjual nasi megono. Aku langsung beli. Sayang, tidak tiap hari dia lewat sini,” keluhnya. Ia bercerita bahwa beberapa teman yang waktu itu membersamainya, juga membeli nasi megono. Mungkin penggemar nasi megono banyak. Kami menyayangkan penjualnya tidak mangkal di pasar, agar pembelinya tidak kesulitan mencarinya.

            Dari perbicangan itu, saya ingin makan sarapan nasi megono.

            “Mungkin penjualnya libur. Memang dia tidak tiap hari lewat. Siapa tahu dia sekarang jualan di pasar lain,” jelas pedagang nasi jagung, setelah saya menunggu setengah jam. Akhirnya saya pulang, setelah membeli nasi jagung, dengan pelengkap: gudangan dan rempeyek ikan asin.

            Pagi berikutnya, saya menunggu lagi. Saya kecewa, karena kembali pulang menenteng sebungkus nasi jagung. Hal itu berlangsung hingga empat hari.

            Tinggal dekat pasar, dan di tengah masyarakat urban, saya banyak menikmati alternatif menu sarapan, di antaranya nasi megono. Berawal ketika saya membeli wortel, seorang lelaki menyodorkan sebuah bungkusan. Ia mengatakan bahwa ia menjual nasi megono seharga Rp5.000,00. Saya penasaran. Saya membelinya. Kalaupun saat itu saya sudah membeli sarapan, saya berikan orang lain. Saya beruntung dapat menikmati makanan khas daerah.

            Nasi megono adalah makanan khas Pekalongan. Ciri khas nasi megono, selain nasi putih, bersayur nangka muda yang dicacah, berbumbu dan berempah tertentu; rasanya gurih. Lauknya ikan asin. Nasinya pulen dan hangat, cocok disantap saat hawa dingin.

            Pekan berikutnya, saya kembali bergerilya. Penjual nasi jagung langganan sedang libur. Saya menunggu di depan supermarket. Seperti mendapati panas matahari di musim hujan, saya buru-buru menghampiri seorang lelaki. Kedua tangannya membawa wadah plastik, berisi bungkusan-bungkusan dagangannya.

            “Tidak jualan tiap hari ya, Pak? Kemarin tak tunggu gak lewat.”

            “Kemarin kan hari Minggu, aku mengaji…” jelasnya. Lalu ia mengatakan bahwa tidak setiap hari lewat di satu pasar. Di samping itu, beberapa hari ia tidak enak badan, dan libur berjualan. Apapun alasannya, saya segera membayar, dan tidak sabar menikmati nasi megono.

@@@


 

Kamis, 06 Februari 2025

Minimalis

Buku ini saya ambil dari rak, tanpa tujuan tertentu, lalu segera pergi, demi udara dingin, padahal sepanjang perjalanan menuju perpustakaan, kaus tebal tak berimbas menghangatkan tubuh. Suhu ruang perpusatakaan punya standar tertentu agar kertas-kertas bukunya tidak sobek atau berjamur.

            Sekilas judulnya bersinggungan dengan kondisi tempat tinggal saya. Alih-alih saya bisa menanam pohon rambutan, sejengkal tanah tidak ada di halaman rumah.

Dua minggu lalu saya menyambangi teman. Rumahnya di pinggir kota, daerah Gunung Pati. Ia menanam satu pohon rambutan dan tanaman-tanaman hias di halaman rumahnya. Saya bertanya mengapa tidak ditebaskan pohon itu. Dan uang dari penjualannya untuk membeli kebutuhan rumah tangganya.

            “Hanya inilah yang bisa aku bagikan ke teman-temanku,” jawabnya sambil memisahkan buah-buah rambutan dari tangkainya, lalu memasukkannya ke kantung kresek, yang disiapkan untuk saya bawa pulang. Kami duduk di lantai teras; saya membantunya. Saya tidak berhenti makan rambutan. Dagingnya tebal, ngelotok, dan manis. Sebelumnya saya dan teman-teman lain sering kecewa membeli rambutan di pasar. Terkadang rambutan-rambutan itu masam, atau tidak ngelotok. Sejak itu, setiap panen, ia senang membagikan buah-buah rambutannya kepada teman-temannya.

            Waktu menunjuk pukul empat sore ketika saya mulai membaca buku Urban Farming, sambil ditemani ‘bakpao ijo’ yang sedang viral. Orang menanam tanaman tidak harus di tanah  berhektar-hektar, sebagaimana Pak Tani dan Bu Tani. Daerah perkotaan dengan rumah-rumah berimpitan satu sama lain, orang bisa bercocok tanam, yaitu dengan istilah urban farming atau menanam di lahan terbatas.

Selain tanaman hias, sayuran dan buah-buahan juga bisa ditanam di lahan terbatas: bayam, kangkung, sawi, selada, tomat, cabai, stroberi, kacang-kacangan, paprika, melon, anggur.

Orang mengonsumsi sayuran dan buah dari tanaman sendiri, dapat mengurangi efek degradasi zat gizi. Menurut sebuah studi, sekitar 30-50% zat pada buah dan sayur akan hilang setelah 5-10 hari ditransportasikan dari kebun sampai ke konsumen.

Ada tiga teknik penanaman di lahan terbatas. Pertama, penanaman menggunakan media konvensional: tanah. Tempat tanamnya pot, bambu, atau wadah tidak terpakai. Kedua, penanaman menggunakan media air bernutrisi, yang disebut hidroponik. Ketiga, penggabungan menanam tanaman dan memelihara ikan, yang disebut akuaponik. Teknik ini merupakan simbiosis mutualisma: tanaman memanfaatkan unsur hara dari kotoran ikan; ikan mendapatkan suplai oksigen dari tanaman. Tanaman yang umum dibudidayakan: cabai, tomat, sawi, bayam, dan kangkung; ikan yang umum dipelihara: nila, lele, mas, patin, gurami, tawes.

Setiap teknik diberi gambar dan keterangan secara jelas. Pembaca mudah mempraktikkannya.

Selesai membaca buku, keesokan hari saya berkunjung ke rumah teman. Saat itu wilayah RT-nya, diwakili beberapa warga, mempraktikkan akuaponik. Saya tanyakan apakah lele-lele di dalam ember tumbuh hingga besar, dan kangkung-kangkung yang ditanaman di lubang-lubang tutup ember itu bisa dikunsumsi.

“Berhasil, kok. Sekarang usaha itu diteruskan warga. Setiap panen ikan lele dan kangkung, dia woro-woro.”

Ia bercerita penuh semangat. Terlintas dalam benak saya sebotol air mineral di dalam kulkas. Kelak botolnya akan saya gunakan menanam, mungkin cabai.

@@@