Bau pedas dan lezat menusuk-nusuk. Bahkan
hangatnya serasa sampai di hidung. Patut mendapatkan pujian karena memang bukan
makanan sehari-hari. Memasaknya pun
butuh ekstra waktu lama.
Sengaja disiapkannya awal. Setengah
delapan makanan sudah tersaji di meja makan sebagai alasan utama ia dapat lebih
lama bercengkerama dengan orang yang sampai saat ini masih selalu menjadi pusat
perhatiannya. Hari ini adalah satu-satunya hari dalam seminggu yang mereka miliki
berduaan lebih lama sebelum berangkat bekerja. Hari lain entah suaminya yang
lebih dulu pergi atau sebaliknya. Bukan berarti hari libur mereka disibukkan
dengan pekerjaan lembur, namun terbiasa bangun siang sehingga bermalas-malasan
untuk melakukan kegiatan sehari-hari, termasuk memasak.
“Rendang ? Benarkah kamu yang memasak
sendiri ?” puji suaminya seolah tak percaya. Mana ada restoran yang buka sepagi
ini. Ia pun menanggapi dengan senyum-senyum bangga. Pujian yang dinanti.
“Iya dong, hari spesial, masakan pesial,”
tanggapnya tak kalah menggoda.
Tanpa menunggu waktu lama mereka berdua
melahapi masakan kesukaan yang pada hari-hari lain hanya bisa dinikmati melalui
restoran yang khusus menjualnya. Nabila sesekali melirik, tangannya terus
melahapi, tak melewatkan sedetik pun berhenti. Begitu yang suaminya suka jika
menikmati makanan tanpa kuah. Terasa punya kenikmatan tersendiri. Rebusan daun
singkong yang dimatangkan begitu saja sebagai lalap bersama mentimun segar
menjadi kesempurnaan tiada tara.
Selesai makan termasuk membersihkan
tangan dari air wijikan, lalu mengeringkannya dengan serbet, suaminya segera beranjak.
Musnah kesempatan bercengkerama lebih lama, bahkan sekejap belum ternikmati. Nabila
tak urung memrotes.
“Yang, bukankah jam sembilan lebih lima
belas menit nanti kamu baru mengajar? Sekarang masih jam setengah delapan
lebih,” Nabila tak mengerti.
“Aku... ah ada administrasi yang harus
aku selesaikan. Belum lagi mengoreksi pekerjaan anak-anak.” alasannya terdengar
dibuat-buat bagi telinga Nabila.
“Biasanya kamu menyelesaikan pekerjaan
sekolah di sela-sela jam kosong mengajar? Sekarang waktu kita di rumah,” tandasnya dengan suara agak meninggi, kecurigaan mulai tercium.
Sekali lagi hanya berpamitan, tanpa menghiraukan perasaannya ia berlalu.
Kecupan pipi kiri-kanan dikiranya sanggup mengganti kesempatan berdua. Dadanya
terasa ditusuk-tusuk. Perih, pedih, menindih. Air matanya mengaliri dua pipinya
yang tertutup oleh bedak dan blush on. Hal yang tak biasa dilakukan dan kali
itu untuk suaminya semata. Nada sesenggukan nyaris tak terdengar seiring sepeda
motor yang sengaja memekakkan telinga demi cepat sampai di tempat tujuan.
Nabila tahu persis kemana suaminya
pergi. Ini kejadian untuk kesekian kali. Kalau saja ruangan itu bisa berbicara,
ia akan bercerita banyak.Teramsuk memberinya nasihat agar ia tak meninggalkan
kewajibannya bersama istrinya yang butuh perhatian. Lab bahasa sebagai sarana
mengajar sekaligus kedok demi menutup keberduaan. Bahkan Nabila yakin tidak hanya
pada jam-jam kosong. Sebagaimana jika ia sedang sibuk menyelesaikan kisah dalam bacaan novel kegemarannya. Ia akan
lakukan kapan pun walau di tempat kerja, setiap ada kesempatan. Sepanjang tidak
ketahuan atasan. Bahkan teman sejawat bisa dibisiki supaya pelanggaran itu
tidak menimbulkan masalah. Bukankah mereka juga mencuri-curi kesempatan jika
sedang ada urusan pribadi ?
Terlebih membaca novel. Rasanya semakin
seru mengikuti konflik demi konflik hingga memuncak. Sedih, senang, haru,
bercampur menjadi satu. Terasa ikut berperan langsung dalam cerita itu. Saking
terlibat begitu dalam seringkali ingin menciptakan ending sendiri setiap
penyelesaian cerita tidak seperti yang dikehendaki.
Kini suaminya sedang melakukan hal sama.Tak
mungkin berhenti sebelum hasrat yang dicapai tuntas. Suaminya begitu larut
bersama si Dia. Tak peduli lamunannya sampai ke rumah. Nabila tak dianggap. Sakit
di dada. Berangkat kerja lebih awal, pulang pun sore hari, bahkan terkadang
senja. Tak tenang keberadaannya di rumah. Makan, minum, bahkan di tempat tidur
tak nyaman. Padahal sudah seharian ia meninggalkan rumah. Tak dihiraukan tubuh
Nabila, walau dengan busana menggairahkan sekalipun. Bahkan kegiatan di tempat
tidur pun senantiasa hanya melampiaskan kebutuhannya. Selesai itu ia tertidur
pulas. Apa daya Nabila selain melayani kemudian menerima keadaan.
Atau sibuk melamun, meski Nabila
terbaring di sampingnya. Tidur tak tenang. Miring ke kanan miring ke kiri.
Kalau sudah begitu punggung bertemu punggung lebih sering terjadi. Kehadiran
Nabila tak dianggap. Dan hal itu akan berlangsung sampai ia berhenti dengan
teman kencannya.
Kejadian itu berulang dan terus berulang.
Terakhir hingga kira-kira enam bulan dia dibiarkan. Perjanjian yang telah
disepakati seperti menghadiri resepsi undangan teman mendadak dibatalkan.
Sekalipun datang sekadar datang. Semata-mata hanya ingin memenuhi undangan,
membahagiakan yang mengundang. Tidak berbincang dengan teman-teman lama sembari
menikmati hidangan yang lain dari
masakan sehari-hari. Padahal bagi Nabila itulah seninya menghadiri suatu
undangan.
Bahkan kematian omnya ia bermaksud hanya
datang pada hari penguburannya saja. Ia berencana tidak ingin menghadiri
hajatan. Terang saja Nabila marah-marah. Apa kata saudara-saudaranya, menjadi
istri tidak bisa memberitahu. Kalau orang lain, dalam hal ini para tetangga dan
kenalannya, menghadiri hajatan hingga tujuh malam semenjak hari kematiannya, masa
keponakan sendiri malah menghindar. Bukankah ia juga lelaki, sebagaimana
tamu-tamu yang hadir ? Akan disembunyikan kemana harga dirinya. Lebaran bakal
menjadi trending topic saat berkumpul
bersama keluarga besarnya. Maka ia pun harus semakin mempertebal telinganya. Karena sampai sekarang menjadi kekurangannya selama ini belum terpenuhi, malah membiarkan suaminya tidak
menghadiri hajatan dan justru berduaan dengan si Dia.
Tapi langsung menyalahkan suaminya yang
mulai kembali kepada si Dia, ia tak mampu. Ada rasa bersalah martabatnya
sebagai seorang istri yang tak mampu memenuhi kewajibannya memberikan buah hati.
Barangkali faktor waktu yang belum berpihak. Sudah dicobanya ke dokter, namun
untuk kesekian kali dokter mengatakan semua baik-baik saja. Nabila dan suaminya
sama-sama sehat dan siap menerima karunia itu. Bahkan berikhtiar pada beberapa
orang pintar dilakukan, lagi-lagi belum membuahkan hasil. Semua memberi jawaban
sama, sabar.
Yah karena hidup ini sesungguhnya tidak
hanya bergantung pada yang terlihat mata. Manusia berkewajiban ikhtiar dan
berdoa. Selebihnya yang tak nampak namun sangat memegang kunci hidup ini, apa
lagi kalau bukan mengharap karunia dari Yang Maha Memberi Hidup. Manusia boleh
berencana tetapi ketetapan ada pada-Nya.
Namun keadaan seringkali tidak berpihak.
Nabila yakin jikalau keadaan sebagaimana yang diharap, barangkali suaminya
tidak berpaling. Kehadiran seorang momongan tidak hanya memberikan kesibukan
yang menyenangkan tetapi juga hiburan tersendiri. Apalagi bagi keluarga
suaminya yang begitu berfilosofi bibit,
bebet, dan bobot. Kuwalitas sesorang sangat ditentukan, termasuk dapat
memberikan keturunan. Keberadaannya yang hingga kini belum bisa memberikan kesempurnaan
sungguh memberinya peluang untuk terus menjadi gunjingan.
Suaminya juga pasti tidak banyak keluar
rumah. Termasuk tidak pergi kerja awal dan pulang larut karena selalu ingin
berdekatan dengan si kecil. Atau alasan keadaan. Karena tidak ada yang ngemong
maka ia dengan suka rela mengasuh, meski tidak biasa bagi seorang lelaki
mengurus anak. Namun demi keadaan apapun dilakukan.
Suaminya nyata-nyata tidak menuntut. Si
Dia lebih dulu merebut hatinya. Terbukti jika hasratnya sedang kambuh sangat
mengganggu, siang, sore, malam, bahkan hingga malam di tempat tidur
terus-menerus memikirkannya.
“Kita harus bersabar, segala sesuatu ada
waktunya. Gusti Alloh itu tidak sare.”
Jelasnya, sare dalam bahasa Jawa artinya
tidur.“Beliau sedang menguji hamba-Nya, bersabar dan kuat, atau tidak. Siapa
tahu hikmahnya aku harus diangkat dulu menjadi pegawai negeri. Ekonomi kita
bertambah kuat.” Terlintas kata-kata suaminya yang manis. Kalau sudah begitu ia
hanya diam bersyukur bahwa suaminya tidak mempermasalahkan kekurangannya.
“Aku tidak menuntut kita segera punya
anak. Biar Gusti Alloh yang mengatur. Apalagi kamu tidak melulu di rumah. Kamu
punya pekerjaan. Jadi kurasa, tidak ada yang kesepian.”
Tidak ada yang kesepian? Ingin sekali
Nabila memrotes setiap kali kalimat itu terekam kembali, namun lagi-lagi hanya
terhenti dalam benak. Kalau tidak ada yang kesepian dan semua baik-baik saja
tanpa ada masalah berarti, mengapa sering pergi dari rumah. Maka tak perlu
menjadikan si Dia sebagai pelarian. Dan tetap menghargai perasaannya.
Mungkin Nabila bisa menjadikan keadaan
ini sama-sama menguntungkan. Suaminya yang tanpa tuntutan memanfaatkan kekurangannya
dengan lebih banyak memberikan perhatian kepada si Dia. Maka Nabila tak perlu
merasa bersalah dan berdosa dengan kekurangannya. Bukankah suaminya juga
memiliki kekurangan? Kekurangan yang tak bisa menahan hawa nafsu sehingga
harus mencari pelarian kepada yang lain.
Tapi sayang Nabila bukan seorang istri
yang bisa mendiamkan kebatilan dengan berdalih fifti-fifti. Atau membiarkan
dirinya tenggelam dalam kekurangan dan menebalkan telinganya setiap kali keluarga
besarnya kumpul di hari Lebaran. Baginya seorang wanita harus melahirkan anak,
entah dengan cara bagaimanapun. Begitupun seorang suami hanya boleh memberikan
perhatian kepada istrinya seratus persen.
@@@
Suatu saat Nabila melihat suaminya pulang senyum-senyum.
Matanya menyirat perhatian. Padahal ia sudah tidak memedulikan. Tumben pulang
sebagaimana selesai jam mengajar. Padahal ia baru akan membeli lauk nanti sore
saatnya dia biasa pulang. Tidakkah pikirannya sedang tenggelam bersama si Dia?
Sebungkus makanan dalam kantong plastik bening tampak dipamerkan. Ah, Nabila memang
sudah lama tidak memasaknya. Jujur dalam hati ia juga ingin menikmatinya,
apalagi kalau bukan rendang. Tadi pagi ia tidak masak. Seringkali tidak ada
niatan memasak semenjak suaminya
tergila-gila dengan si Dia. Untuk apa susah-susah memasak kalau sekadar mengisi
perut tanpa menikmatinya.
“Aku membawa makanan kesukaan kita.
Sudah lama kamu tidak memasaknya,” katanya setelah meletakkan bungkusan di meja
makan, tanpa berpikir panjang menuju ke dapur.
“Jadi kamu masih mengharap masakanku?” tantangnya
manyun. Sengaja membiarkan suaminya kerepotan dari dapur mengatur peralatan
makan di meja makan.
“Jelas dong, Sayang, masakan istri
gimana tidak ngangenin,” katanya sudah lama ia tidak mendengar rayuannya. “Kamu
tahu tidak, hari ini aku sedang bahagia, dan aku ingin membaginya hanya
denganmu. Aku tidak izinkan kamu hari ini susah memasak. Sampai nanti malam aku
yang traktir kita makan.”
Nabila mengangkat bahu, sengaja
membuatnya penasaran. Ingin rasanya membalas ketidakpeduliannya selama waktu
belakangan. Namun ia juga tidak bisa menampik, hatinya berbunga melihat
suaminya kembali seperti dulu. Ia terus
berbicara sembari menikmati nasi-rendang.
“Novelku yang kukerjakan selama tiga
bulan terakhir tanpa menemui kendala langsung diterima penerbit. Dan bakal dicetak.
Aku baru saja ditelepon pagi tadi. Keberhasilan ini kupersembahkan buat kamu,
istriku yang dengan rela sering kutinggalkan. Aku minta maaf, Sayang. Semua royalti nanti bisa kamu nikmati.”
“Jadi mulai hari ini aku sudah bisa menikmati
waktu berdua lagi bersamamu,” ungkap Nabila dongkol campur senang.
Apa mesti dikata ia sudah menceraikan
hobi menulisnya. Walau Nabila tahu itu untuk sementara. Dan pada saatnya nanti ia akan banyak ditinggalkan ketika ide cerita kembali muncul dan ia berhasrat menulis
lagi.
@@@SELESAI@@@
Cerpen ini pernah dimuat di tabloid NOVA edisi 1414/XXVIII/30 Maret-5 April 2015