Iis Soekandar: Januari 2017

Minggu, 29 Januari 2017


Ayam Jantan Pemberian Nenek
Oleh: Iis Soekandar



     Tok tok tok... Assalamualaikum...
     Tok tok tok... Assalamualaikum...
     Huh ayah! Ini kan masih pagi,masih ngantuk. Adit tidak membuka pintu kamarnya tapi malah tidur lagi.
     Begitulah Adit bila pagi hari dibangunkan. Ia pura-pura tidak mendengar. Makanya ia sengaja mengunci pintu kamarnya. Ketika bunda akan membelikan jam beker pun ia menolak. Semua itu dilakukan agar Adit bisa tidur dengan puas dan bangun siang.
     Padahal Adit selalu dimarahi Pak Maksum, wali kelasnya. Seminggu sekali murid-murid mulai kelas 4 diwajibkan mengumpulkan buku laporan salatnya. Buku itu berupa laporan salat Asar, Magrib, Isya, dan Subuh di rumah. Sementara salat Duhur mereka lakukan bersama-sama di sekolah. Kemudian setiap kolom diberi waktu dan tanda tangan orangtua. Salat Subuh Adit selalu diisi pukul 6 pagi.
     Saat waktu menunjukkan pukul 6 kurang seperempat barulah Adit bangun. Ia langsung ke kamar mandi lalu salat Subuh. Selesai salat Adit memberikan buku laporan salat kepada ayah.
     Ayah melihat jam di dinding, tepat pukul 6. Ayah geleng-geleng kepala sambil menulis angka 6 pada kolom waktu salat Subuh kemudian memberi tanda tangan. Adit cuma cengar-cengir. Kemudian ia sarapan dan berangkat sekolah.
@@@
      Siang hari ketika pulang sekolah, Adit melihat makanan kesukaannya tersaji di meja makan. Makanan itu jenis jajan pasar, yaitu jadah dan wajik. Bahkan tidak hanya dirinya, kedua kakaknya, Mas Ari, Mas Agung, ayah, dan bunda juga menyukai.
"Asyik, Nenek sudah datang, bawa jadah dan wajik," ungkap Adit girang sambil mengambil jadah yang sudah dipotong-potong dan disajikan dalam piring saji.
"Tapi kamu mesti makan nasi dulu, Dit,baru nanti makan jadah sepuasmu!" pinta bunda yang siang itu bikin sayur bening bayam serta lauk ikan mujair goreng.
       Setelah habis satu potong jadah, Adit langsung menyantap makan siangnya. Adit makan ditemani bunda. Bunda bercerita nenek sekarang sedang beristirahat di kamar. Beberapa hari lalu Adit memang mendengar nenek akan datang dari desa. Nenek menelepon ayah. Biasanya nenek ke sini dengan mobil travel.
      Selesai makan siang, Adit bermaksud membawa piring makan ke dapur. Ia sengaja lewat teras samping sambil mencari angin. Teras samping sengaja tidak diberi atap sebagai sarana menjemur pakaian. Teras itu tersambung dengan dapur. Adit melihat dua ekor ayam, jantan dan betina. Masing-masing kaki sebelah ayam itu diikat lalu dikaitkan dengan tiang.
     "Bunda, tumben Nenek bawa ayam. Sepasang lagi. Buat apa sih? Kayak Lebaran aja?" tanya Adit setelah kembali ke meja makan. Ia mengambil sepotong wajik. Ia sengaja tidak makan nasi banyak saat makan siang tadi.
     "Memang cuma Lebaran Nenek boleh memberi ayam? Mungkin ayam nenek di desa banyak. Besok kita potong yang  jantan. Kebetulan sudah lama Mama tidak masak ayam," jelas bunda.
     Adit manggut-manggut mendengar penjelasan bunda.
     Malam tiba. Adit tidur setelah selesai mengerjakan pekerjaan rumah, pukul setengah sepuluh malam. Sudah lama ia tertidur pulas. Sampai ia mendengar bunyi...
   "Kokok kokok kokok....kukuruyuuuuuk"
     Suara apa sih? Oh, ya kemarin nenek datang membawa ayam, katanya setelah tersadar. Adit bermaksud tidur kembali, tapi ayam itu berkokok berkali-kali.
       Adit benar-benar tidak dapat tidur. Kamarnya bersebelahan dengan teras samping. Itulah satu-satunya lahan untuk menaruh ayam. Kalau ayam itu dipindah di halaman pasti dicuri orang. Tidak lama terdengar azan Subuh. Terpaksa Adit bangun lalu salat Subuh. Selesai salat Subuh ternyata ayah juga baru saja pulang dari masjid. Adit langsung menyodorkan buku laporan salat.
     "Tumben kamu salat Subuh tepat waktu," ledek ayah sambil tersenyum senang.
     "Gara-gara ayam berkokok terus, berisik!" jelasnya dengan mulut manyun. Karena hari masih pagi, Adit membuka buku pelajaran dan belajar. Ketika sedang belajar, ia mendengar bunda bercerita kepada ayah kalau Pak Sobar potong ayam pulang kampung. Sehingga ayam itu tidak dapat segera dipotong. Adit semakin jengkel. Terpaksa besok  bangun pagi lagi.
@@@
       Ini hari Sabtu, saatnya mengumpulkan buku laporan salat. Pak Maksum meneliti buku murid-muridnya satu per satu. Terkadang wajah Pak Maksum tersenyum, sesekali mengeluh dan geleng-geleng kepala. Ketika meneliti sebuah buku, beliau memperhatikan agak lama. Lalu beliau memanggil muridnya.
       “Adit, perkembanganmu sangat bagus, sekarang kamu bisa bangun setengah lima pagi untuk salat Subuh. Anak-anak, bagi yang salat Subuhnya masih kesiangan, lihat nih temanmu Adit sudah bangun pagi setiap hari! Yang lain harus bisa seperti Adit,” pinta Pak Maksum kepada murid-muridnya yang lain.
       Semua temannya memandang Adit tidak percaya. Adit cuma senyum-senyum. Dalam hati ia berjanji, sesampai di rumah nanti, ia akan melarang bunda menyembelih ayam jantan pemberian nenek. Biarlah ayam jantan itu dipelihara. Karena bunyi kokoknya, Adit salat Subuh tepat waktu. Nilai ulangan pun menjadi lebih baik karena ia bisa menambah belajar pada pagi hari.
@@@





Sabtu, 21 Januari 2017

Si Dia





       Bau pedas dan lezat menusuk-nusuk. Bahkan hangatnya serasa sampai di hidung. Patut mendapatkan pujian karena memang bukan makanan sehari-hari.  Memasaknya pun butuh ekstra waktu lama.
       Sengaja disiapkannya awal. Setengah delapan makanan sudah tersaji di meja makan sebagai alasan utama ia dapat lebih lama bercengkerama dengan orang yang sampai saat ini masih selalu menjadi pusat perhatiannya. Hari ini adalah satu-satunya hari dalam seminggu yang mereka miliki berduaan lebih lama sebelum berangkat bekerja. Hari lain entah suaminya yang lebih dulu pergi atau sebaliknya. Bukan berarti hari libur mereka disibukkan dengan pekerjaan lembur, namun terbiasa bangun siang sehingga bermalas-malasan untuk melakukan kegiatan sehari-hari, termasuk memasak.
       “Rendang ? Benarkah kamu yang memasak sendiri ?” puji suaminya seolah tak percaya. Mana ada restoran yang buka sepagi ini. Ia pun menanggapi dengan senyum-senyum bangga. Pujian yang dinanti.
       “Iya dong, hari spesial, masakan pesial,” tanggapnya tak kalah menggoda.
       Tanpa menunggu waktu lama mereka berdua melahapi masakan kesukaan yang pada hari-hari lain hanya bisa dinikmati melalui restoran yang khusus menjualnya. Nabila sesekali melirik, tangannya terus melahapi, tak melewatkan sedetik pun berhenti. Begitu yang suaminya suka jika menikmati makanan tanpa kuah. Terasa punya kenikmatan tersendiri. Rebusan daun singkong yang dimatangkan begitu saja sebagai lalap bersama mentimun segar menjadi kesempurnaan tiada tara.
       Selesai makan termasuk membersihkan tangan dari air wijikan, lalu mengeringkannya dengan serbet, suaminya segera beranjak. Musnah kesempatan bercengkerama lebih lama, bahkan sekejap belum ternikmati. Nabila tak urung memrotes.
       “Yang, bukankah jam sembilan lebih lima belas menit nanti kamu baru mengajar? Sekarang masih jam setengah delapan lebih,” Nabila tak mengerti.
       “Aku... ah ada administrasi yang harus aku selesaikan. Belum lagi mengoreksi pekerjaan anak-anak.” alasannya terdengar dibuat-buat bagi telinga Nabila.
      “Biasanya kamu menyelesaikan pekerjaan sekolah di sela-sela jam kosong mengajar? Sekarang waktu kita di rumah,” tandasnya dengan suara agak meninggi, kecurigaan mulai tercium.
       Sekali lagi hanya berpamitan, tanpa menghiraukan perasaannya ia berlalu. Kecupan pipi kiri-kanan dikiranya sanggup mengganti kesempatan berdua. Dadanya terasa ditusuk-tusuk. Perih, pedih, menindih. Air matanya mengaliri dua pipinya yang tertutup oleh bedak dan blush on. Hal yang tak biasa dilakukan dan kali itu untuk suaminya semata. Nada sesenggukan nyaris tak terdengar seiring sepeda motor yang sengaja memekakkan telinga demi cepat sampai di tempat tujuan.
       Nabila tahu persis kemana suaminya pergi. Ini kejadian untuk kesekian kali. Kalau saja ruangan itu bisa berbicara, ia akan bercerita banyak.Teramsuk memberinya nasihat agar ia tak meninggalkan kewajibannya bersama istrinya yang butuh perhatian. Lab bahasa sebagai sarana mengajar sekaligus kedok demi menutup keberduaan. Bahkan Nabila yakin tidak hanya pada jam-jam kosong.  Sebagaimana jika ia sedang sibuk menyelesaikan kisah dalam bacaan novel kegemarannya. Ia akan lakukan kapan pun walau di tempat kerja, setiap ada kesempatan. Sepanjang tidak ketahuan atasan. Bahkan teman sejawat bisa dibisiki supaya pelanggaran itu tidak menimbulkan masalah. Bukankah mereka juga mencuri-curi kesempatan jika sedang ada urusan pribadi ?
       Terlebih membaca novel. Rasanya semakin seru mengikuti konflik demi konflik hingga memuncak. Sedih, senang, haru, bercampur menjadi satu. Terasa ikut berperan langsung dalam cerita itu. Saking terlibat begitu dalam seringkali ingin menciptakan ending sendiri setiap penyelesaian cerita tidak seperti yang dikehendaki.
       Kini suaminya sedang melakukan hal sama.Tak mungkin berhenti sebelum hasrat yang dicapai tuntas. Suaminya begitu larut bersama si Dia. Tak peduli lamunannya sampai ke rumah. Nabila tak dianggap. Sakit di dada. Berangkat kerja lebih awal, pulang pun sore hari, bahkan terkadang senja. Tak tenang keberadaannya di rumah. Makan, minum, bahkan di tempat tidur tak nyaman. Padahal sudah seharian ia meninggalkan rumah. Tak dihiraukan tubuh Nabila, walau dengan busana menggairahkan sekalipun. Bahkan kegiatan di tempat tidur pun senantiasa hanya melampiaskan kebutuhannya. Selesai itu ia tertidur pulas. Apa daya Nabila selain melayani kemudian menerima keadaan.
       Atau sibuk melamun, meski Nabila terbaring di sampingnya. Tidur tak tenang. Miring ke kanan miring ke kiri. Kalau sudah begitu punggung bertemu punggung lebih sering terjadi. Kehadiran Nabila tak dianggap. Dan hal itu akan berlangsung sampai ia berhenti dengan teman kencannya.
       Kejadian itu berulang dan terus berulang. Terakhir hingga kira-kira enam bulan dia dibiarkan. Perjanjian yang telah disepakati seperti menghadiri resepsi undangan teman mendadak dibatalkan. Sekalipun datang sekadar datang. Semata-mata hanya ingin memenuhi undangan, membahagiakan yang mengundang. Tidak berbincang dengan teman-teman lama sembari menikmati hidangan yang  lain dari masakan sehari-hari. Padahal bagi Nabila itulah seninya menghadiri suatu undangan.
       Bahkan kematian omnya ia bermaksud hanya datang pada hari penguburannya saja. Ia berencana tidak ingin menghadiri hajatan. Terang saja Nabila marah-marah. Apa kata saudara-saudaranya, menjadi istri tidak bisa memberitahu. Kalau orang lain, dalam hal ini para tetangga dan kenalannya, menghadiri hajatan hingga tujuh malam semenjak hari kematiannya, masa keponakan sendiri malah menghindar. Bukankah ia juga lelaki, sebagaimana tamu-tamu yang hadir ? Akan disembunyikan kemana harga dirinya. Lebaran bakal menjadi trending topic saat berkumpul bersama keluarga besarnya. Maka ia pun harus semakin mempertebal telinganya. Karena sampai sekarang menjadi kekurangannya selama ini belum terpenuhi, malah membiarkan suaminya tidak menghadiri hajatan dan justru berduaan dengan si Dia.
       Tapi langsung menyalahkan suaminya yang mulai kembali kepada si Dia, ia tak mampu. Ada rasa bersalah martabatnya sebagai seorang istri yang tak mampu memenuhi kewajibannya memberikan buah hati. Barangkali faktor waktu yang belum berpihak. Sudah dicobanya ke dokter, namun untuk kesekian kali dokter mengatakan semua baik-baik saja. Nabila dan suaminya sama-sama sehat dan siap menerima karunia itu. Bahkan berikhtiar pada beberapa orang pintar dilakukan, lagi-lagi belum membuahkan hasil. Semua memberi jawaban sama, sabar.
       Yah karena hidup ini sesungguhnya tidak hanya bergantung pada yang terlihat mata. Manusia berkewajiban ikhtiar dan berdoa. Selebihnya yang tak nampak namun sangat memegang kunci hidup ini, apa lagi kalau bukan mengharap karunia dari Yang Maha Memberi Hidup. Manusia boleh berencana tetapi ketetapan ada pada-Nya.
       Namun keadaan seringkali tidak berpihak. Nabila yakin jikalau keadaan sebagaimana yang diharap, barangkali suaminya tidak berpaling. Kehadiran seorang momongan tidak hanya memberikan kesibukan yang menyenangkan tetapi juga hiburan tersendiri. Apalagi bagi keluarga suaminya yang begitu berfilosofi bibit, bebet, dan bobot. Kuwalitas sesorang sangat ditentukan, termasuk dapat memberikan keturunan. Keberadaannya yang hingga kini belum bisa memberikan kesempurnaan sungguh memberinya peluang untuk terus menjadi gunjingan.
       Suaminya juga pasti tidak banyak keluar rumah. Termasuk tidak pergi kerja awal dan pulang larut karena selalu ingin berdekatan dengan si kecil. Atau alasan keadaan. Karena tidak ada yang ngemong maka ia dengan suka rela mengasuh, meski tidak biasa bagi seorang lelaki mengurus anak. Namun demi keadaan apapun dilakukan.
       Suaminya nyata-nyata tidak menuntut. Si Dia lebih dulu merebut hatinya. Terbukti jika hasratnya sedang kambuh sangat mengganggu, siang, sore, malam, bahkan hingga malam di tempat tidur terus-menerus memikirkannya.
       “Kita harus bersabar, segala sesuatu ada waktunya. Gusti Alloh itu tidak sare.” Jelasnya, sare dalam bahasa Jawa artinya tidur.“Beliau sedang menguji hamba-Nya, bersabar dan kuat, atau tidak. Siapa tahu hikmahnya aku harus diangkat dulu menjadi pegawai negeri. Ekonomi kita bertambah kuat.” Terlintas kata-kata suaminya yang manis. Kalau sudah begitu ia hanya diam bersyukur bahwa suaminya tidak mempermasalahkan kekurangannya.
       “Aku tidak menuntut kita segera punya anak. Biar Gusti Alloh yang mengatur. Apalagi kamu tidak melulu di rumah. Kamu punya pekerjaan. Jadi kurasa, tidak ada yang kesepian.”
       Tidak ada yang kesepian? Ingin sekali Nabila memrotes setiap kali kalimat itu terekam kembali, namun lagi-lagi hanya terhenti dalam benak. Kalau tidak ada yang kesepian dan semua baik-baik saja tanpa ada masalah berarti, mengapa sering pergi dari rumah. Maka tak perlu menjadikan si Dia sebagai pelarian. Dan tetap menghargai perasaannya.
       Mungkin Nabila bisa menjadikan keadaan ini sama-sama menguntungkan. Suaminya yang tanpa tuntutan memanfaatkan kekurangannya dengan lebih banyak memberikan perhatian kepada si Dia. Maka Nabila tak perlu merasa bersalah dan berdosa dengan kekurangannya. Bukankah suaminya juga memiliki kekurangan? Kekurangan yang tak bisa menahan hawa nafsu sehingga harus mencari pelarian kepada yang lain.
       Tapi sayang Nabila bukan seorang istri yang bisa mendiamkan kebatilan dengan berdalih fifti-fifti. Atau membiarkan dirinya tenggelam dalam kekurangan dan menebalkan telinganya setiap kali keluarga besarnya kumpul di hari Lebaran. Baginya seorang wanita harus melahirkan anak, entah dengan cara bagaimanapun. Begitupun seorang suami hanya boleh memberikan perhatian kepada istrinya seratus persen.
@@@
       Suatu saat Nabila melihat suaminya pulang senyum-senyum. Matanya menyirat perhatian. Padahal ia sudah tidak memedulikan. Tumben pulang sebagaimana selesai jam mengajar. Padahal ia baru akan membeli lauk nanti sore saatnya dia biasa pulang. Tidakkah pikirannya sedang tenggelam bersama si Dia? Sebungkus makanan dalam kantong plastik bening tampak dipamerkan. Ah, Nabila memang sudah lama tidak memasaknya. Jujur dalam hati ia juga ingin menikmatinya, apalagi kalau bukan rendang. Tadi pagi ia tidak masak. Seringkali tidak ada niatan  memasak semenjak suaminya tergila-gila dengan si Dia. Untuk apa susah-susah memasak kalau sekadar mengisi perut tanpa menikmatinya.
       “Aku membawa makanan kesukaan kita. Sudah lama kamu tidak memasaknya,” katanya setelah meletakkan bungkusan di meja makan, tanpa berpikir panjang menuju ke dapur.
        “Jadi kamu masih mengharap masakanku?” tantangnya manyun. Sengaja membiarkan suaminya kerepotan dari dapur mengatur peralatan makan di meja makan.
       “Jelas dong, Sayang, masakan istri gimana tidak ngangenin,” katanya sudah lama ia tidak mendengar rayuannya. “Kamu tahu tidak, hari ini aku sedang bahagia, dan aku ingin membaginya hanya denganmu. Aku tidak izinkan kamu hari ini susah memasak. Sampai nanti malam aku yang traktir kita makan.”
       Nabila mengangkat bahu, sengaja membuatnya penasaran. Ingin rasanya membalas ketidakpeduliannya selama waktu belakangan. Namun ia juga tidak bisa menampik, hatinya berbunga melihat suaminya kembali seperti dulu. Ia terus berbicara sembari menikmati nasi-rendang.
      “Novelku yang kukerjakan selama tiga bulan terakhir tanpa menemui kendala langsung diterima penerbit. Dan bakal dicetak. Aku baru saja ditelepon pagi tadi. Keberhasilan ini kupersembahkan buat kamu, istriku yang dengan rela sering kutinggalkan. Aku minta maaf, Sayang.  Semua royalti nanti bisa kamu nikmati.”
       “Jadi mulai hari ini aku sudah bisa menikmati waktu berdua lagi bersamamu,” ungkap Nabila dongkol campur senang.
       Apa mesti dikata ia sudah menceraikan hobi menulisnya. Walau Nabila tahu itu untuk sementara. Dan pada saatnya nanti ia akan banyak ditinggalkan ketika ide cerita kembali muncul dan ia berhasrat menulis lagi.
@@@SELESAI@@@
                                                                                            
Cerpen ini pernah dimuat di tabloid NOVA edisi 1414/XXVIII/30 Maret-5 April 2015


Minggu, 15 Januari 2017

Fabel

Kancil Yang Cerdik
Diceritakan kembali oleh: Iis Soekandar

                                                     Ilustrasi: Ochim dan Bisrie


      Di bawah pohon yang rindang terlihat seekor binatang tertidur lelap. Binatang itu bernama kancil. Saat itu angin semilir sepoi-sepoi. Kancil tidur semakin nyenyak. Tiba-tiba ia dibangunkan oleh seekor monyet.
       “Kancil ... kancil ... “ panggil si Monyet sambil menyentuh punggungnya.
       Kancil setengah sadar dan tidak menghiraukan. Ia berpikir monyet akan menawarinya pisang. Padahal saat itu kancil sudah kenyang. Ia hanya membutuhkan tidur dengan tenang.
       “Kancil, kamu enak-enak tidur, ada kebakaran. Desa ini akan terbakar,” jelas monyet lalu pergi.
 “Apa? Kebakaran? Hah, desa ini akan terbakar?” tanya kancil gelagapan langsung terbangun.
       Kancil mencari-cari monyet, tapi monyet sudah menggelantung dari pohon ke pohon untuk menyelamatkan diri. Kancil segera berlari. Ternyata benar. Semua binatang berlari sekuat tenaga. Anjing, rusa, celeng, dan binatang-binatang lain berlari ketakutan.
       Kancil terus berlari hingga tidak melihat lagi teman-temannya. Ia kelelahan lalu beristirahat. Tentu saja perutnya lapar karena ia telah berlari jauh dan kencang. Jalannya perlahan. Kancil melihat sekeliling.  Ternyata ia menemukan ladang sayur.
       “Aha, ini kan timun,” kata kancil.
       Ia menoleh ke kanan, kiri, depan, dan belakang.
      “Syukurlah, tidak ada Pak Tani. Jadi aku bisa makan timun dengan lahap. Asyiiiiik....”
       Kancil makan mentimun hingga kenyang. Setelah itu ia pergi.
       Keesokan hari Pak Tani datang menengok ladangnya.
    “Lho, mengapa timunku tinggal sedikit? Tanamanku jadi acak-acakan. Siapa yang telah menghabiskan timunku?”
       Pak Tani ingin marah. Tapi kepada siapa? Akhirnya sore hari Pak Tani pulang ke rumah.
       Tidak lama kancil datang. Ia sengaja datang pada saat sepi. 
       Keesokan hari Pak Tani ke ladang, Mentimunnya hilang kembali. Kejadian mentimun hilang terjadi berkali-kali.
     Pak Tani jengkel lalu membuat jebakan. Pak Tani membuat kerangka orang-orangan dari ranting dan bambu. Setelah itu Pak Tani memberinya pakaian. Kepala orang-orangan itu pun diberi caping.
       Sore hari saat datang, kancil kaget. Ah, ternyata Pak Tani masih di ladang. Aku akan tunggu hingga Pak Tani pergi. Ini sudah sore. Paling sebentar lagi Pak Tani pulang. Kancil berkata dalam hati. 
      Setelah ditunggu ternyata Pak Tani tidak pulang. Sementara perut kancil terus keroncongan. Kemudian kancil datang dan meminta maaf.
       “Pak Tani, aku minta maaf. Selama ini yang mengambil timun aku. Aku boleh ya ambil lagi? Lho Pak Tani... kakiku... kakiku.... “ 
     Kancil tidak tahu tangan orang-orangan diberi pulut, yaitu semacam lem. Maka kaki kanan kancil pada bagian depan lengket dengan tangan orang-orangan.
       “O... jadi selama ini yang mencuri timunku kancil! Kamu akan kujadikan sate nanti malam,” kata Pak Tani setelah keluar dari tempat persembunyiannya.
      Kemudian Pak Tani membawa kancil ke rumah. Kancil hanya bisa menangis. Sampai di rumah ia dimasukkan dalam kurungan. Sementara Pak Tani istirahat. 
       Tidak lama anjing Pak Tani mendekat.
       “Mengapa kamu di sini?” tanya anjing.
       “Aku akan diajak pesta Pak Tani,” jawab kancil.
       “Tidak mungkin. Aku yang sudah lama di sini tidak pernah diajak pesta.”
     “Benar, kalau nggak, ngapain aku ada di sini. Tapi aku capek, tidak mungkin datang ke pesta. Habis perjalanan dari ladang ke rumah Pak Tani jauh. Kamu gantikan aku aja ya?”
       Kancil terus merayu. 
       “Kamu kan yang diajak ke pesta. Kok malah aku yang menggantikan.”
       “Tenang. Makanya kamu buka dulu kurungan ini. Ganti kamu yang masuk. Terus aku bilang dulu Pak Tani.”
       “Oke.” jawab anjing senang. Akhirnya anjing terkena bujuk rayu kancil. 
     Anjing membuka kurungan itu. Kancil pun keluar. Anjing menggantikan kancil dan berada di dalam kurungan. Kancil kemudian pergi.
       Anjing terus menunggu. Tapi kancil tidak pernah kembali. 
      Dari kejadian itu kancil menyadari kesalahannya. Ia tidak boleh mengambil milik orang lain.
@@@

Sabtu, 07 Januari 2017

Dapur Saya

Lunpia Isi Bengkuang


     Lunpia adalah makanan khas Semarang, selain wingko babat. Sebagian orang tidak suka lunpia karena isinya. Isi lunpia rebung. Bau rebung inilah yang tidak disukai. Orang Jawa mengatakan, bau pesing.
      Dengan memanfaatkan kearifan lokal lain, rebung bisa diganti dengan buah bengkuang. Buah bengkuang beraroma manis dan termasuk buah sepanjang musim. Jadi sehari-hari mudah didapat di pasar-pasar tradisional. Harganya lebih murah dibanding rebung. Begitupun cara memasaknya jauh lebih mudah. Buah bengkuang hanya dicuci satu kali tetapi rebung harus berkali-kali untuk mengùrangi bau tidak sedap.
     Inilah resep sederhana membuat lunpia isi bengkuang.                                                           
Bahan dan bumbu:
1. buah bengkuang 4 ons
2. bawang putih 3 siung
3. lada 1/2 sendok teh
4. gula pasir 1 sendok makan peres
5. garam secukupnya.
6. kecap manis secukupnya
7. penyedap secukupnya
6. Minyak goreng untuk menggoreng
8. kulit lunpia (lebih efektif membeli)
Cara membuat:
1. Potong bengkuang sebesar batang korek api.
2. Haluskan semua bumbu kemudian tumis.
3. Setelah  bumbu berbau harum, masukkan bengkuang aduk hingga layu lalu masukkan kecap.
4. Angkat dari penggorengan kemudian isikan adonan ini ke dalam setiap lembar kulit.
5. Bentuklah memanjang.
5. Setelah semua adonan habis, goreng dalam minyak banyak.
6. Tunggu hingga kecoklatan. Lunpia siap disajikan.
Resep ini untuk sepuluh porsi. Selamat mencoba dan menikmati !
@@@

Minggu, 01 Januari 2017

Resensi

Belajar Akhlak Mulia dari Teman


Judul buku                  : Teman Baru Jung Yun
Penulis                        : Ungu Lianza
Penyunting bahasa      : Ayu Wulan
Ilustrator                     : Naafi Nur Rohma
Penerbit                      : Lintang (Kelompok Penerbit Indiva Media Kreasi)
Ketebalan                   : 136 halaman
Ukuran                       : 20 cm
ISBN                          : 978-602-6334-06-0
Cetakan I                    :  Oktober 2016
Harga                          : Rp 25.000,00
       Novel ini berlatar belakang negeri Korea. Jung Yun seorang anak lelaki berkewarganegaraan Korea. Suatu hari ia mendapatkan teman baru di sekolah. Namanya Zaim. Zaim berasal dari Indonesia. Orangtua Zaim kebetulan sedang bertugas di Korea. Ia dan keluarganya ikut serta. Gayuh bersambut, ternyata ayah Jung Yun sudah akrab dengan Zaim. Karena dulu saat ayah Jung Yun bertugas di Indonesia, Zaim dan keluarganya banyak menolong.

     Awalnya Zaim tidak disukai teman-temannya. Menurut mereka sikap Zaim aneh, diantaranya suka menolak ketika ditawari makanan. Sampai suatu saat ketika lomba sience, Zaim memberikan masukan. Dan masukannya itu sangat berarti hingga akhirnya kelas mereka menjadi juara. Apa masukan yang berarti hingga kelasnya menjadi juara? Tentunya hanya bisa dibaca lewat novel berjudul “Teman Baru Jung Yun”.
       Hal positip dari novel ini melihat indahnya persahabatan. Jung Yun mengenal akhlak mulia dari Zaim. Zaim yang ramah, suka senyum. Bahkan ketika ia dibenci teman-temannya karena salah sangka, Zaim tidak marah. Perbedaan agama yang membuat mereka salah sangka. Seperti ketika Zaim menolak ditawari makanan. Ia dianggap sombong, padahal Zaim sedang berpuasa Senin-Kamis. Dari sinilah anak-anak bisa belajar tentang ajakan puasa sunnah Senin-Kamis. Tidak hanya puasa sunnah, Zaim juga mengajak salat Dhuha. Sebab salat Dhuha banyak memberikan kebaikan.
       Novel ini bermanfaat dibaca bagi anak-anak SD. Disamping mengajarkan sariat agama, juga pentingnya memilih sahabat yang berakhlak mulia. Sebab dengan memiliki sahabat berakhlak mulia, secara langsung atau tidak, mereka juga belajar memiliki akhlak mulia pula. Bahasa yang digunakan juga mudah dipahami oleh anak-anak. Beberapa halaman bergambar membuat anak-anak tertarik membaca. Selayaknya novel ini menambah koleksi perpustakaan pribadi.
@@@