Bagi
orang tinggal sehari-hari di kota, seperti saya, melihat sunset atau matahari terbenam
di puncak gunung pastilah punya keasyikan tersendiri. Bayangan seorang pendaki
dengan segala perlengkapannya, berjalan di jalan terjal, bebatuan, untuk
mencapai puncak gunung, terlintas di benak saya. Saya dan rombongan akan pergi
melihat sunset di Puncak Gunung Telomoyo.
Kami berangkat pukul setengah dua
belas siang, berniat salat Duhur dan Asar di perjalanan, sambil menikmati
tempat-tempat persinggahan.
Udara sejuk dengan matahari
samar-samar menyambut kedatangan kami di Dusun Dalangan, Desa Pandean, Kecamatan
Ngablak, Kabupaten Magelang, tepatnya di area Gunung Telomoyo. Waktu menunjuk
pukul empat sore. Sisi kanan area parkir kendaraan-kendaraan pribadi. Sisi kiri
terparkir jip-jip aneka warna. Tak seperti dugaan saya, naik ke puncak gunung
dengan menaiki jalan terjal, jip-jip itu siap mengantarkan wisatawan menuju ke
sana. Tarip tersedia, dari Rp400.000,00 hingga Rp1.000.000,00, tergantung jumlah
tempat wisata yang dikunjungi. Dengan membayar Rp15.000,00 per orang, sebagai
biaya masuk tempat wisata, kami berlima, ditambah sopir, mengendarai jip menuju Puncak Gunung Telomoyo.
Samar-samar
hujan rintik turun ketika jip baru saja melewati gardu tiket pembayaran. Tapi
terpal sebagai atap jip membuat saya tenang, jika tiba-tiba hujan turun deras. Syukurlah,
beberapa menit berikutnya, tak setetes pun air turun dari langit.
Bunga-bunga
bermekaran berwarna pink; sebagian lagi bunga-bunga berwarna
kuning dari tanaman lain. Warna-warna itu sangat kontras dengan hijau daun-daunnya. Pemandangan berikut
pohon-ponon pinus menjulang tinggi di kanan kiri jalan. Suasana menyenangkan,
kecuali suara berisik klakson setiap beberapa menit, seiring mobil akan
membelok. Tujuannya agar tidak bertabrakan saat berpapasan dengan mobil lawan arah.
Mobil terus menaiki jalan, dan
semakin ke atas. Kok tidak ada adelweis? tanya saya. Edelweis identik dengan
puncak gunung. Puncak Gunung Telomoyo kurang tinggi, jadi tidak ada edelweis,
jawab sopir. Saya manggut-manggut.
Setengah jam berikutnya kami tiba di
Puncak Gunung Telomoyo. Begitu turun dari mobil, pernyataan sopir membuat kami
tercengang.
“Kita tidak bisa lihat sunset.
Kabut keburu datang.”
Ada perasaan kecewa tidak tersampaikan
tujuan. Gunung Sindoro, Gunung Merbabu, Gunung Sumbing, juga tertutup kabut. Hanya
Gunung Andong sempat saya foto karena letaknya di bawah dekat parkir kendaraan. Tapi berada
di puncak gunung bersama wisatawan-wisatatan lain, cukup menghibur kami. Kapan
lagi berada di puncak gunung kalau tidak di Puncak Gunung Telomoyo, dengan
segala kemudahannya. Banyak jip-jip mengantarkan rombongan terparkir di
pinggir-piggir jalan. Begitu pun sepeda motor bagi yang bepergian berdua. Para pedagang
mi instan dan minuman-minuman saset sibuk melayani para wisatawan.
Akhirnya
kami memutuskan turun, mencari kafe.
Kami
memilih kafe representatif, selain tempat beristirahat, juga terdapat spot-spot
foto menawan. Biaya masuk sepuluh ribu per orang. Terasa ngeri ketika saya
berada di tempat berlantai kaca, saya bayangkan jika lantai itu retak lalu
pecah, kemudian saya terjatuh di jurang. Maksimal delapan orang berada di tempat
itu.
Berada di tempat dingin, makanan tepat dan mudah adalah mi instan. Sayang kami harus mengantre panjang. Kami putuskan turun,
setelah puas berfoto. Mungkin malam hari kami baru sampai di basecamp jika tetap
ingin menyantap mi rebus. Kembali pertanyaan saya ajukan ketika jip berpapasan
dengan mobil pribadi, dalam perjalanan pulang. Saya protes, awalnya kami akan
naik mobil sendiri ke Puncak Gunung Telomoyo. Tapi petugas melarang dan harus
sewa jip. Itu pemilik kafe. Biasanya mengantar karyawan, pergantian sip,
jawabnya.
Apa pun kendaraannya, melihat
pemandangan melalui Puncak Gunung Telomoyo adalah pengalaman tak terlupakan. Hingga
tak terasa kami sampai di basecamp.
@@@
Tidak ada komentar:
Posting Komentar