Iis Soekandar: Februari 2018

Minggu, 11 Februari 2018

Cernak

Polan dan Pongpongan Pak Pohan


          “Ayo, laba-laba, kemari! Ayo... ayo... kok diam saja...”
       Polan sedang menyuruh pongpongan keluar dari kolong tempat tidurnya. Ia memanggilnya laba-laba karena cangkangnya dilukis gambar laba-laba. Begitulah Pak Pohan, nama penjual pongpongan itu untuk menarik hati pembeli. Setiap cangkang pongpongan yang dijual dicat aneka gambar.
     Tapi pongpongan itu tidak mau berjalan dan tetap berada di pojok dinding. Akhirnya Polan mengambil sapu ijuk untuk meraih pongpongan. Sesaat kemudian pongpongan sudah berada di hadapannya.
      “Laba-laba, kenapa sih kamu sembunyi terus. Ayo, jalan!” Pinta Polan.“Hah... hah... hah...” Karena tidak mau mengeluarkan kakinya dari cangkang, Polan meniup-niup.
      Sesaat kemudian pongpongan mengeluarkan kaki-kakinya. Polan meletakkan pongpongan di lantai. Maka berjalanlah pongpongan. Polan pun bersorak-sorai melihat pongpongan berjalan.
       Setelah beberapa lama....
       “Laba-laba, kenapa berhenti? Hah... hah... hah...” Polan meniup-niup kaki pongpongan. Lalu pongpongan mengeluarkan kaki-kakinya dan berjalan lagi.
       Polan senang. Pongpongan berjalan. Sesaat kemudian ketika pongpongan berhenti, lagi-lagi ia meniup-niup. Begitu seterusnya. Tapi sayang, ketika berhenti lagi lalu Polan meniup-niup, pongpongan tidak mau mengeluarkan kaki-kakinya. Polan jengkel, dan....
       Praaakkkkkkk.... Polan membanting pongpongan. Cangkang pongpongan pecah menjadi berkeping-keping. Pongpongan segera berlari tanpa cangkang. Tentu saja sudah tidak menarik karena tanpa cangkang. Apalagi cangkang itu dilukis menyerupai laba-laba. Maka Polan membiarkan pongpongan pergi dan keluar dari kamarnya.
       Begitulah Polan kalau pongpongan tidak mau berjalan maka ia membanting. Dengan hati kesal ia menyapu kepingan cangkang.
@@@
       Keesokan hari sepulang sekolah Polan mendatangi jualan Pak Pohan. Pak Pohan menjual pongpongan yang diletakkan di ember. Anak-anak membeli sesuai gambar yang mereka suka.
      “Pak Pohan, beli pongpongan,” kata Polan penuh semangat. Kemudian ia memilih pongpongan dengan cangkang bergambar kepala kucing.
       “Beli lagi, Lan,” ungkap Pak Pohan. Tentu saja Pak Pohan senang karena dagangannya laku.
       “Iya, Pak.”
       “Lan, kamu beli lagi. Jadi yang laba-laba juga kamu banting? Tempo hari gambar beruang, sebelumnya gambar serigala, semua kamu banting. Payah kamu, Lan!” umpat Sani tahu-tahu sudah berada di samping Polan. Kemudian Sani memilah-milah gambar yang ada pada cangkang pongpongan.
        “Kamu saja beli lagi,” ledek Polan.
       “Aku beli untuk adikku. Nih gambar boneka karena adikku perempuan,” jelas Sani sambil menunjukkan cangkang pongpongan dengan gambar wajah boneka berwarna pink.
       “Jadi kamu beli lagi karena pongpongan yang lama kamu banting, Lan?” tanya Pak Pohan heran sambil melayani pembeli lain.
       “I..iya, Pak. Habis jalan sebentar berhenti, jalan lagi berhenti lagi,” jawab Polan sambil cengar-cengir.
       “Kirain buat dipelihara, Lan. Kemudian kamu kasih makan dengan buah-buahan rasa manis. Pongpongan itu suka buah-buahan rasa manis. Kasihan kalau kamu banting. Mereka kan makhluk hidup seperti kita. Coba kalau kita jalan tarus, kan lelah.” jelas Pak Pohan panjang lebar.
       Tapi Polan tidak peduli dengan nasihat Pak Pohan. Kemudian Pak Pohan memberikan kantung plastik berisi pongpongan kepada Sani dan Polan. Mereka membeli seribu lima ratus rupiah untuk satu buah pongpongan.
       “Lan, sepedamu mana,kok langsung pulang?” tanya Sani. Polan dan Sani sering pulang bersama dengan mengendarai sepeda masing-masing. Lalu mereka berpisah ketika sampai di perempatan.
       “Sepedaku rantainya lepas. Rantainya memang sudah aus. Ayah belum sempat membelikan yang baru. Kata ayah karena sekolahku dekat makanya aku disuruh jalan kaki.”
       “Ayo, aku antar sampai ke rumahmu!” ajak Sani.
      “Makasih, San, nggak usah, rumahku dekat sedangkan rumahmu jauh.”
       “Kalau begitu, aku duluan!”
       “Yoi!”
       Walaupun rumah Polan dekat dengan sekolahan, sebetulnya ia capek jalan kaki. Maklumlah biasanya ia naik sepeda. Tapi ia kasihan kalau Sani mengantar.
       Sampai di rumah, seperti biasa Polan melihat ibu sibuk menjahit. Jahitan ibu akhir-akhir ini banyak. Langganan ibu para tetangga dan sebagian teman kantor ayah.
       “Lan, setelah makan siang, tolong belikan Ibu benang seperti warna kain ini. Juga kancing yang seperti ini. Ibu sudah beli tapi ternyata kurang dua buah. Sekalian reslueting ukuran tujuh belas setengah sentimeter,” pinta ibu dengan memperlihatkan kain perca dan contoh kancing.
       “Ibu, Polan kan baru saja pulang sekolah. Lelah. Sepeda Polan rusak. Masa Polan mesti jalan kaki lagi ke toko benang.”
       Walaupun Polan menolak, ibu bersikeras memintanya untuk membelikan. Terpaksa setelah makan siang, Polan pergi ke toko benang.
       Sampai di toko benang, Polan melihat banyak pembeli. Polan harus mengantre. Beruntung ia mengenal baik salah satu karyawannya. Karyawan itu biasa duduk di teras toko. Karena sibuk melayani, Polan meminjam kursi yang biasanya ia duduki. Kedua kakinya terasa sangat pegal.
       Sambil duduk, Polan jadi ingat kata-kata Pak Pohan, “Mereka kan makhluk hidup seperti kita. Coba kalau kita jalan tarus, kan lelah.”
       Polan berjanji sampai di rumah nanti tidak akan membanting Pongpongan yang baru saja dibelinya dari Pak Pohan. Ia akan memeliharanya dengan baik.
@@@

 Cernak ini pernah dimuat di www.simalaba.com, 10 Februari 2018

Kamis, 08 Februari 2018

Cerpen



          “Iya, Pak, iya, saya tunggu di depan kantor,”suara Yuanita memberi konfirmasi pada taksi online yang sedang dipesan sembari mulai menahan dingin. Napasnya mendesah merasakan hujan yang sedang dalam musimnya dan tak memberi kesempatan jeda walau sesaat. Tragisnya, transportasi yang biasa mengantarnya kemana pun pergi malah masuk bengkel.
         Jejeran sesama orang berteduh di depan kantor yang sudah tutup bertambah satu-satu. Yuanita semakin merapatkan kedua tangan di dalamsweater-nya. Tidak ada alasan lagi melihat penanda waktu di pergelangan tangan layaknya pagi hari alasan tak mau keduluan si Bos. Sekalipun terlambat pun si Bos tidak mempermasalahkan. Dia tahu hanya sekali tempo dan oleh halangan. Yuanita memang sedang menginginkan kesendirian. Kesendirian untuk terus mengurai persoalan namun tak kunjung menemui jalan keluar.
@@@
       “Kamu harus bisa menjawab tantangan Ibu, Nit! Please, aku tidak ingin kita berpisah gara-gara kamu keberatan melakukan yang Ibu inginkan pada calon menantu perempuannya.”
       “Iya, iya, Wi, kamu kenapa snewen begitu. Aku kan juga butuh waktu untuk belajar. Nggak bisalah dengan serta merta melakukannya. Surve dulu,nyaribahan-bahannya yang mudah didapat, lalumempratikkannya. Baru kemudian berani melakukannya di depan Ibu.” Yuanita mulai menyebut ibu bukan lagi ibumu, itu pertanda sekian persen hidupnya sudah menjadi bagian keluarga Wibowo.Berharap lelaki itu juga merasakan sehingga tak terus menekannya.
        Aroma kopi mendadak hambar, Yuanita menyayangkan. Nyatanya Wibowo begitu gusar bahkan menyinggung tidak mau kehilangan dirinya. Alunan gending Jawa semakin menyayat-nyayat dalam resto berkonsep joglo.
       “Mas Irul?” suara dari balik jendela mobil yang datang membuyarkan lamunannya. Lelaki yang berada di antara jejeran itu pun segera menghampiri taksi online.
       Suasana kembali seperti semula begitutaksi berlalu.Gemuruh hujandengan sesekali diiringi petir masih menyelimuti. Hubungan Yuanita dengan Wibowodirundung rasa gelisah semenjak pernyataan ibu, kendati tak juga diwarnai pertengkaran.
       “Istrimu nanti harus bisa masak sayur gudeg. Itu tradisi dalam keluarga kita. Canggah, buyut, eyang,ibu, saudara-sadaramu, bahkan cucu, cicit, semua keturunan keluarga kita harus meneruskan tradisi,” kata ibu waktu itu.
       Yuanita yang tidak tahu menahu soal memasak tentu saja syok mendengarnya.Apalagi pada kemudian hari, mendengar sayur gudeg yang dimaksud ibu. Tidak sekadar sayur gudeg menurut ukuran orang umum. Yuanita baru sekali itu mendengar memasak sayur gudeg dengan campuran batok kelapa dan daun jati. Dia bergidik mendengar penuturan Wibowo. 
       Begitulah permintaan ibu, keharusan memasak sayur gudeg dengan istilah “meneruskan tradisi”. Terang saja setelah itu Wibowo kelimpungan, takut kehilangan dirinya.Dia benar-benar tidak menyangka ibu juga memberlakukan `meneruskan tradisi` kepada menantunya. Wibowo hanya sendiko dawuh, menerima begitu saja, tidak ada kamus dalam keluarganya membantah hal-hal yang sudah digariskan orangtua, bahkan oleh tradisi yang tidak lazim ukuran zaman sekarang, sekalipun.
        Yuanita wanita karir, sehari-hari hidupnya dihabiskan di meja kantor, makanan tinggal memesan katering, apalagi sekarang ada jasa online yang siap melayani makanan apa pun yang ia mau, tiba-tiba disuruh memasak.  
       Waktu itu perkenalan keluarga, Lebaran kemarin. Setelah acara perkenalan, ibu memanggil Wibowo ke dalam. Maharani, satu-satunya anggota keluarga yang ada waktu itu selain ibu, ke belakang mengambil minuman. Yuanitaleluasa mendengar semua pembicaraan Wibowo dengan ibunya. Meski dalam bahasa Jawa Kromo,dia tak bego-bego amat mengerti maksudnya.
       “Kalau tidak memintanya sekarang, Ibu tidak yakin dia mau melakukannya setelah menjadi istrimu kelak. Setinggi dan sesukses wanita berkarir harus bisa melayani suaminya, termasuk urusan dapur,” kata ibu.
@@@
       Semenjak itu, Yuanita rajin menghabiskan ritual paginya di dapur, tempat yang selama ini terlepas dari perhatiannya. Ia lebih senang menikmati secangkir kopi dan setangkup roti berisi meses atau selai di depan televisi.Kendati jarak antara ruang tengah dengan dapur hanya beberapa langkah dan tanpa sekat.
       Dilihatnya sudut demi sudut dapur, tidak ada perkakas dapur, kecualialat makan dan minum yang dibawanya dari rumah mamanya, juga beberapa alat memasak sederhana, lalu kulkas dan dispenser.Kompornya sudah lama menganggur semenjak jasa online juga menyediakan pemesanan makanan dengan mudah. Itu sebabnya ia akan meminta tolong temannya kelak jika sudah siap `meneruskan tradisi`. Seorang teman sekantornya kebetulan asli kota ini dan masih singgel. Temannya bersedia meminjamkan dapur beserta semua perlengkapan membuat sayur gudeg. Tinggal menunggu Yuanita siap.
       “Ma, tidak masak gudeg?” tanya Yuanita saat mudik, memancing mamanya walau dia tahu wanita yang melahirkannya itu tidak pernah memusingkan soal masakan. Memasak bagi mama bukan hal penting. Terbukti tanggapan mama berbeda.

       “Gudeg? Kamu kangen gudeg Pungkuran? Jelas saja, semenjak Lebaran baru sekarang kamu pulang. Biar nanti Mama suruh Suri membeli,” berondong mama. Pungkuran adalah nama tempat dan lebih terkenal ketimbang penjualnya.
        “Ah, enggak, Ma, cuma tanya aja.” Surut sudah rencananya. Jawaban mama melencengkan niat semula yang ingin bertanya bagaimana cara memasak sayur gudeg sekaligus mempraktikkan seperti yang diingini ibunya Wibowo.
       Jujur, semenjak ibunya Wibowo menyuruh agar membuat sayur gudeg, dia tidak begitu berselera lagi makan gudeg. Sulit dibayangkan batok kelapa dan daun jati yang biasanya berada di tong sampah harus dicampur dalam masakan. Terlepas alasan batok kelapa diletakkan di dasar panci agar gudeg tidak gosong dan daun jati digunakan sebagai pemberi warna cokelat. Kendati dia percaya kedua penghuni sampah itu pasti tejamin kehigienisannya setelah dicuti bersih, hingga detik ini Yuanita belum bisa menerima.
       Sekali waktu mama memang memasak sayur nangka muda, bahan yang sama untuk membuat gudeg, tapi cukup diberi santan banyak dan bumbu dengan pengolahan jauh lebih sederhana dibanding memasak gudeg yang diingini ibunya Wibowo. Itu pun mama merasa rumit maka jarang mengolahnya dibanding masakan tanpa santan seperti cap cay, sayur sup, sayur asam, masakan kesukaan keluarga.
@@@
             “Ibu benar-benar tidak fair. Masak Mbak Nita disuruh memasak gudeg. Zaman modern begini,” gerutu Maharani, adik bungsu Wibowo yang kuliah di Bandung. Waktu itu Yuanita baru datang, kemudian Wibowo diminta mengantar ibu ke rumah saudara.
            “Iya, kasihan Mbak Nita, wanita karir yang kehidupnya dari pagi hingga senja berada di kantor malah disuruh masak gudeg,” tambah Nadine, kakak Maharani yang sedang menyelesaikan skripsinya di Institut di Bogor. Yuanita yang duduk di antara mereka hanya senyum-senyum.
            “Kalian lebih baik tidak usah ikut bicara. Kalian belum merasakan berumah tangga,” tanggap Mbak Kartika, kakak nomor dua Wibowo.
            “Gudeg itu filosofi keluarga kita,” serang Mbak Sari, kakak sulung Wobowo yang juga sudah berumahtangga.
            “Masa gudeg sebagai filosofi, ini zaman now, Mbak, bukan old,” sanggah Maharani nyinyir. Yuanita tidak menyangka pembicaraan menjadi meruncing. Sementara dia hanya terdiam tidak tahu harus berbuat apa.
            “Filosofi bahwa rido Allah itu ridho orangtua.”
           “Tapi kan tidak harus masak gudeg, Mbak.”
          “Dik Rani, Dik Nadine, sudahlah, tidak apa, niat Ibu itu baik. Lagi pula sesibukapapun, setelah menjadi istri Mas Wibowo aku pasti juga masuk dapur. Jadi apa salahnya mulai memasak dari sekarang, diantaranya ya ... masak sayur gudeg itu,”Yuanita mencoba mencairkan suasana.
       “Tuh, dengar, Nita saja mau menyadari, kalian malah membangkang.”
       Kedua adik Wibowo memilih pergi. Yuanita cuma senyum-senyum. Lalu kedua kakaknya itu mengatakan kalau ibu harus dijaga perasaannya. Ibu sudah kehilangan separo keping hatinya, siapa lagi kalau bukan almarhum bapak. Tragisnya Wibowo tidak hanya satu-satunya anak lelaki,ia juga tinggal bersama ibu. Maka lengkaplah kesempurnaan yang harus Yuanita tunjukkan kepada keluarga itu, terutama di depan ibu.
      Terbayang dua lelaki yang pernah mampir dalam kehidupannya. Cinta pertamanya dengan Rivaldo kandas karena keduanya sama-sama tak mampu menjalin hubungan jarak jauh. Setelah tak menemukan jalan keluar akhirnya mereka berpisah. Kemudian Rivaldo mendapatkan pengganti teman satu kuliah yang sekarang menjadi istrinya. Mereka sekarang menjadi interpreneur muda di bidang kuliner. Sementara Yuanita jadian sama Irvan. Tapi sayang, cinta keduanya juga kandas karena planning ke depan tidak lagi cocok.Irvan yang ekonom kini juga hidup bahagia bersama istrinya.
       Yuanita merasa putusnya lantaran sesuatu prinsip, sangat menyangkut masa depan. Dan tidak pernah sedikit pun mempersoalkan masalah makanan. Mereka tinggal mendatangi restoran yang diingini. Sedikit pun tidak membahas sesuatu yang yang tidak perlu. Ah tidak perlu menurut siapa? Mungkin setiap orang punya filosofi dan budaya yang berbeda. Dan memasak, terlebih sayur gudeg, benar-benar di luar dugaan Yuanita.
@@@
       “Dengan Mbak Yuanita?” akhirnya nama Yuanita disebut dari balik kaca jendela mobil.
       “Iya, Mas,” tanpa berpikir panjang ia pun melangkah dan masuk dalam mobil.
       Mobil memutar balik.Yuanita duduk dalam diam. Kebiasaan menyetir mobil sendiri membuatnya tak pernah duduk di belakang. Tidak lama setelah mobil melaju dalam perlahan...
      “Sendirian saja, Nit?” Nita terkaget dalam penyapaan tidak biasa antara penumpang dengan driver.
       “Anda...” memaksa Yuanita untuk menoleh.
       “Tidak usah sok resmi. Bagaimana mungkin aku tidak mengenal Yuanita Larasati, nama yang terakses dalam panggilan orderan. Analisis Kredit sebuah bank yang pernah hadir dalam kehidupanku.”
       “Rivaldo?” sikap tak peduli dan lebih cenderung merendahkan membuat Yuanita tak pernah membaca nama driver setiap memesan ojek atau taksi online
       “Namaku belum berubah.”
       “Kamu...” tak tega Yuanita melanjutkan kalimatnya.
       “Tidak perlu sungkan. Harus menatap kenyataan, Nit. Inilah hidup yang harus kujalani...”
       Lalu meluncurlah cerita Rivaldo yang tidak disangka. Tingginya persaingan bisnis sementara ia dan istrinya tidak mampu mengikuti kemajuan teknologi, membuatnya mencari jalan lain untuk menghidupi anak dan istrinya. Sementara bisnis kuliner yang omsetnya tidak sebanyak dulu cukup istrinya yang mengelola. Irvan juga tak jauh beda dengannya. Lelaki yang pernah satu kelas itu juga memanfaatkan mobil pribadinya menjadi bagian taksi online di kotanya demi menambah pendapatan keluarga. Dia menunjukkan, sebuah tantangan harus dihadapi dengan penuh “keberanian”.
        Yuanita terpaku hingga kepulangannya di apartemen. Nyaris dia terlupa, tiada yang sempurna di dunia ini. Sesegera mungkin aku mulai mencoba memasak gudeg. Untuk kemudian menyajikannya di depan ibu. Yah, demi menjawab tantangan calon ibu mertua.
@@@
Cerpen ini perndah dimuat di tabloid NOVA edisi 5-11 Februari 2018