Iis Soekandar: September 2019

Minggu, 29 September 2019

Menciptakan Keluarga Bahagia Menuju Masyarakat Literat


Oleh: Iis Soekandar

Bangsa yang maju tidak saja didukung oleh penduduknya yang padat dan hasil kekayaan alam melimpah, tetapi juga masyarakat yang literat. Demikian sambutan tertulis Mentri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy dalam Panduan Gerakan Literasi Nasional. Untuk itu pembangunan pendidikan dan kebudayaan digalakkan dalam lingkup kegiatan-kegiatan literasi melalui pembangunan ekosistem pendidikan, baik di lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat, sebagaimana yang termaktub dalamRencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015–2019. Kemendikbud pun menyelenggarakan berbagai program GerakanLiterasi Nasional (GLN). Apalagi menurut PISA (Program for International Student Assessment), budayamembaca anak-anak Indonesia rendah. Indonesia menduduki urutan 62 dari 70 negara yang disurvei. Demikian dilansir Detiknews (5/12/2019).
Di lingkungan sekolah program pemerintah tersebut mudah diimplementasikan. Karena sekolah terikat dengan peraturan. Pemerintah menggalakkan literasi seperempat jam sebelum pembelajaran dimulai. Peserta didik diminta membaca buku bacaan kemudian menuliskan intisari yang dibacanya. Sehingga peserta didik diharapkan terbiasa membaca. Apalagi pemerintah mewajibkan belajar 12 tahun bagi anak-anak. Pemerintah memberi dana BOS untuk menunjang pendidikan. Dengan demikian diharapkan semua anak Indonesia mengenyam pendidikan dari SD hingga SMA/ SMK. Selanjutnya semua generasi muda gemar membaca.
Lalu bagaimana implementasi literasi di lingkungankeluarga dan masyarakat yang tidak ada ikatan langsung dengan pemerintah?
Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat. Kebiasaan dalam keluarga akan terbawa di masyarakat, termasuk dalam berliterasi. Bagi keluarga menengah ke atas di antaranya ditandai dengan pentingnya menempuh pendidikan. Membaca menjadi kebutuhan untuk menunjang disiplin ilmu yang dipilihnya. Bahkan mereka memiliki perpustakaan sendiri di rumah. Tetapi bagi kalangan keluarga menengah ke bawah, membaca belum menjadi kebiasaan. Mereka disibukkan dengan urusan ekonomi.Padahal dengan membaca berbagai persoalan terpecahkan dari buku yang dibaca. Buku-buku yang dijual di pasaran tidak semua berharga mahal. Ada kemauan ada jalan. Jika buku sudah menjadi kebutuhan, harga bisa dipertimbangkan, mengingat manfaat yang didapat.
Inilah pentingnya kesadaran membaca. Pemerintah melalui tangan panjangnya kelurahan atau lebih spesifik RT, perlu mengimbau budaya membaca. Pojok baca salah satu alternatif sarana menyediakan buku-buku bagi setiap keluarga. Pojok baca dibuat fleksibel tergantung kemampuan keluarga. Bahkan pojok baca adalah tempat yang mulanya tidak terpakai kemudian diberdayakan menjadi tempat yang representatif menyimpan buku-buku. Pojok baca ramah terhadap kemampuan keluarga, sehingga tidak harus luas dan dengan biaya mahal. Buku-bukunya pun dibeli menurut kemampuan keuangan keluarga. Setiap anggota keluarga menyumbangkan buku sesuai kebutuhannya. Sehingga pojok baca menjadi #sahabatkeluarga. Dengan demikian #literasikeluarga pun tercipta dan menjadi kebutuhan yang tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Kesan selama ini bahwakebutuhan membaca hanya diperlukan bagi masyarakat yang memiliki akademik pun terkikis.
Di luar rumah, pemerintah menyediakan buku-buku dalam pojok baca di tempat-tempat biasanya warga mengadakan pertemuan-pertemuan, seperti pertemuan PKK sebulan sekali, posyandu, dan masih banyak lagi kegiatan yang dilenggarakan dari program PKK. Membaca terintegrasi dengan kegiatan, yiatu sebelum acara inti dimulai. Atau setidaknya sambil menunggu acara dimulai, masyarakat mengisi waktu dengan membaca. Membaca pun menjadi kebutuhan seiring masyarakat sering melakukan kegiatan tersebut.
Hal ini ditunjang dengan kunjungan perpustakaan keliling ke kelurahan-kelurahanatau kampung-kampung. Berdasarkan survei daerah tempat saya tinggal, perpustakaan lebih banyak melayani sekolah-sekolah. Pemerintah perlu menambah perpustakaan keliling melalui armada roda empat. Dengan demikian tidak ada alasan masyarakat tidak dapat mengakses buku-buku. Kegiatan membaca dilakukan bersama-sama, dari anak-anak hingga orangtua. Perpustakaan keliling juga diharapkan rajin hadir dalam momen-momen, baik yang diselenggarakan pemerintah maupun masyarakat, seperti pasar murah, perayaan hari besar, dan acara-acara yang banyak dikunjungi masyarakat.
Buku-buku yang disediakan perpustakaan keliling beragam. Hal ini sekaligus memberi pemodelan bagi keluarga-keluarga yang telah memiliki pojok baca.  Tidak hanya buku-buku bersifat menghibur seperti cerita-cerita fiksi, tetapi juga berkaitan dengan keenam literasi dasar. Agar masyarakat dapat menjawab tantangan abad 21.
Pertama, buku-buku berkaitan denganliterasi bahasa. Literasi bahasadimaknai sebagai membaca dan menulis pada konteks umum. Tidak hanya mengimplementasikan yang dibaca dari buku, tetapi juga yang tertulis danditemui dalam kehidupan sehari-hari, seperti membaca tanda rambu-rambu lalu lintas saat berkendaraan. Sehingga tidak ada lagi kecelakaan disebabkan human error. Selama ini kecelakaan di jalan sebagian dikarenakan pengendara tidak mematuhi peraturan lalu lintas. Itu artinya masyarakat baru sebatas membaca tanda rambu lalu lintas, tetapi belum mampu mempraktikkan. Perlu penanganan langsung dari polisi lalu lintas untuk menindaklanjuti bagi pelanggar lalu lintas. Bukankah cctv dipasang di area-area strategis jalan?
Kedua, buku berkaitan dengan literasi numerasi, memecahkan masalah praktis dan mengomunikasikan bilangan dalam berbagai bentuk seperti tabel, untuk mengambil keputusan.
Ketiga, buku atau bacaanberkaitan dengan literasi sains.  Kemauan membuka diri menerima, terlibat, dan peduli isu-isu terkait sains atau ilmu pengetahuan.
Keempat, buku atau bacaan berhubungan dengan literasi digital. Hal ini berkaitan dengan media digital yang marak di masyarakat. Android atau ponsel pintar sekarang bukan hal asing.Dari masyarakat atas hingga bawah memiliki android. Ditambah internet mudah didapat secara gratis melalui wifi.Penggunaan android yang tepat juga dapat meningkatkan kesejahteraan hidup. Android memberikan informasi-informasi berguna. Diharapkan tidak ada lagi masyarakat yang gaptek atau gagap teknologi.
Kelima, buku-buku berkaitan dengan literasi finansial. Hal ini berkaitan dengan pengelolaan keuangan. Dengan pengelolaan yang cerdas, tidak ada lagi koruptor-koruptor yang hampir setiap hari menghiasi berita-berita politik. Apapun alasan perbuatan korupsi itu. Begitupun tidak ada seorang ibu yang dengan terpaksa membunuh anak-anak dengan memberi obat racun alasan ekonomi. Sebagaimana pernah tersiar di media. Dengan pengolaan keuangan yang baik, tidak ada yang tidak terselesaikan dalam menangani kebutuhan sehari-hari.
Keenam, buku-buku berkaitandengan literasibudaya dan kewargaan, menyikapi kebudayaan Indonesia dan memahami hak dan kewajiban sebagai warga masyarakat. Budaya, termasuk kearifan lokal tidak saja sebagai identitas bangsa tetapi juga mengandung nilai-nilai positip bagi masyarakat setempat. Sedangkan literasi kewargaan berkaitan dengan tidak menggaggu hak-hak orang lain sehingga tidak terjadi benturan-benturan di masyarakat.
Keenam literasi dasar telah memberi pedoman lengkap bagi terbentuknya keluarga bahagia. Jika hal ini benar-benar dijalankan─ sementara sekarang baru digalakkan literasi bahasa─ masyarakat yang literat pun mudah terbentuk. Dengan demikian, keluarga dan masyarakat sangat berperan dalam membudayakan literasi di bumi tercinta ini.
Semakin kokohbangsa Indonesiadalam mengisi abad 21, memiliki penduduk banyak, hasil alam yang melimpah, dan masyarakat literat.
@@@
           

Pojok Baca, Sarana Mengatasi Krisis Literasi

                                                                                 


       Penggunaan waktu seperempat jam sebelum pembelajaran dimulai untuk berliterasi  telah berlangsung sejak tahun 2015. Hal ini mengacu pada payung hukum Permendikbud nonor 23 tahun 2015. Tetapi sudahkah semua sekolah telah melaksanakan pesan yang terkandung dengan optimal?
            Pada sekolah-sekolah tertentu, terutama sekolah swasta, literasi seperti yang termaktub dalam undang-undang tersebut menjadi bermakna luas. Literasi dalam konteks baca dan tulis bisa diimplementasikan pada huruf-huruf Arab untuk menunjang ciri khusus sekolah tersebut. Akibatnya literasi yang dimaksud hanya berlangsung pada pelajaran bahasa Indonesia.  Padahal fungsi bahasa Indonesia sebagai penghela atau pengantar semua mata pelajaran. Untuk itu setiap siswa diharapkan berminat membaca semua buku mata pelajaran dan kelak pada waktunya juga buku-buku bacaan umum.
       
      Sementara sekolah swasta juga mengemban amanah dari stakeholder. Yang tentu semua itu bertujuan untuk kemaslahatan masyarakat sekitarnya. Apalagi salah satu tujuannya berdampak pada penerimaan para calon peserta didik pada tahun ajaran baru.
            Guru bahasa Indonesia perlu menjembatani antara pesan undang-undang dengan amanah stakeholder sehingga tidak terjadi krisis literasi. Satu sisi keinginan stakeholder terpenuhi, sisi lain siswa tetap mendapatkan pengalaman-pengalaman berliterasi sebagaimana yang didapatkan para siswa pada umumnya dari sekolah lain.
          
          Pojok baca adalah salah satu sarana menjembatani pesan kedua belah pihak. Hal ini berlaku bagi kelas dengan siswa bernilai akademik tinggi maupun kurang. Bagi kelas dengan siswa gemar membaca, buku-buku yang disediakan cukup meminjam dari perpustakaan sejumlah siswa satu kelas, bila memungkinkan bisa lebih tergantung jumlah buku yang dimiliki. Sedangkan bagi kelas dengan siswa minat membaca rendah, buku yang disediakan berdasarkan swadaya mereka. Setiap siswa diminta membawa buku sesuai keinginannya. Bacaan yang dibawa bisa berupa komik, buku cerita, koran, majalah, bahkan resep masakan ibunya bila terpaksa siswa tidak memiliki buku bacaan. Yang terpenting siswa membaca.
Dengan tidak mengesampingkan fungsi perpustakaan-bagaimanapun perpustakaan adalah pintu gerbang jendela dunia- siswa dengan membawa buku sendiri lebih efektif memintanya untuk membaca.Diharapkan dengan cara seperti ini siswa gemar membaca, dan pada akhirnya punya minat baca tinggi. Kelak pada tingkat baca tinggi, siswa diberi buku-buku dari perpustakaan yang tentu sudah disesuaikan dengan tingkatan mereka.
Pojok baca dibuat berdasarkan kreativitas siswa satu kelas, terletak pada kelas bagian belakang sehingga tidak menggangu pembelajaran. Di samping itu, menghapus citra pojok kelas yang selama ini hanya untuk para siswa yang malas dan enggan mengikuti pelajaran. Buku-buku ditata di rak yang ditempel di dinding dengan model seperti yang mereka kehendaki, begitu pun hiasan-hiasannya. Hal ini diharapkan mengundang siswa bersemangat membaca. Pelaksaan literasi bisa kapan saja, seperti saat istirahat dan jam kosong, tentunya juga pada pelajaran bahasa Indonesia.
            Setiap kali selesai membaca siswa diminta menuliskan intisari dari buku bacaannya di buku jurnal membaca yang dikumpulkan di kelas. Hal ini untuk memantau bahwa siswa telah melaksanakan kegiatan literasi. Guru membuat skor. Penilain tertinggi diberikan kepada siswa dengan kegiatan literasi paling sering. Hasil penilaian ini berguna untuk menambah hasil PTS (Penilaian Tengah Semester) dan PAT (Penilaian Akhir Semester), terutama bagi siswa dengan akademik rendah.
         Diharapkan dengan pojok baca semua siswa dari semua tingkat akademik memiliki pengalaman membaca sebagaimana yang termaktub dalam undang-undang. Dengan demikian bahasa Indonesia sebagai penghela atau pengantar pelajaran-pelajaran lain menjadi tidak terkendala. Pojok baca telah menyelesaikan masalah krisis literasi. Semoga terlahir generasi-generasi yang selalu berhasrat memajukan bangsa ini.
@@@
                         Artikel ini pernah dimuat di harian Solopos, Minggu 29 September 2019