Iis Soekandar: 2019

Selasa, 31 Desember 2019

Penuh Warna

                                                                                               
          Dunia menulis penuh warna. Melalui proses kreatif, apa saja bisa ditulis. Ada kalanya untuk sebuah tulisan harus membaca berbuku-buku, bertemu narasumber, belum lagi mencari diksi yang tepat. Sementara tulisan lain dengan bebas menuangkan kalimat-kalimat, mengembara bersama tokohnya mengiikuti alur cerita. Ada juga karena keterbatasan halaman harus pandai mengutak-ngatik sedemikian rupa, sehingga persyaratan dari media tujuan terpenuhi. Yah, hidup menjadi tidak membosankan.
Kilas Balik saatnya intronspeksi yang telah terjadi sekaligus menata diri untuk hari depan. Tidak terlalu menggembirakan karena masih ada yang terlepas. Tapi harus disyukuri. Setidaknya untuk media koran 12 karya terpenuhi sepanjang tahun 2019.
1.      “Persahabatan Sempi dan Pusi”, cerpen anak, terbit di Koran Solopos, 6 Januari 2019
2.      “Persahabatan Wijay, Raka, dan Andi”, cerpen anak, terbit di Koran Lampung Post, 24 Februari 2019
3.      “Cerita dari Desa Suka Makmur”, cerpen anak, terbit di Koran Kedaulatan Rakyat, 10 Maret 2019
4.      “Jerapah yang Serakah”, cerita fabel, terbit di Koran Lampung Post, 14 April 2019
5.      “Menumbuhkembangkan Budaya Membaca dengan Metode KWL”, esai, terbit di Koran Solopos, 23 Juni 2019
6.      “Pentingnya Literasi dalam Keluarga”, opini, terbit di Koran Analisa, 22 Juli 2019
7.      “Njagong di Seberang Jalan”, cerita lucu, terbit di Koran Solopos, 23 Juli 2019
8.      “Pojok Baca, Sarana Mengatasi Krisis Literasi”, esai, terbit di Koran Solopos, 29 September 2019
9.      “Kok Bukan Pak Jon?”, cerita lucu, terbit di Koran Solopos, 24 Oktober 2019
10.  “Es Krim Bola-Bola Tante Kayla”, cerpen anak, terbit di Majalah Bobo, 14 November 2019
11.  “Laki Lucky”, cerpen remaja, terbit di Koran Padang Ekspres, 15 Desember 2019
12.  “Menjadi Guru Abad Ke-21”, esai, terbit di Koran Solopos, 22 Desembar 2019
Selain menulis untuk media koran dan majalah, beberapa lomba menulis juga saya ikuti.
1.      “Tembong”, cerpen remaja, karya terpilih dalam buku antologi, Lomba Menulis Cerpen Bersama Uda Agus, tema Putih Abu-abu.
2.      “Warak, Antara Ikon dan Lelakon”, esai, karya terpilih dalam buku Antologi, Lomba Menulis Esai bagi Guru Jawa Tengah, penyelenggara Balai Bahasa Jawa Tengah
3.      Laundry Ibu, novel anak, finalis lomba menulis novel anak, penyelenggara Penerbit Indiva.
4.      “Halaman Bergaris Pink” cerpen remaja, karya terpilih dalam buku antologi, penyelenggara Dodolibret Publishing (entah bagaimana nasibnya, sampai sekarang bukunya belum dicetak).
Berharap tahun 2020 masih diberi kesempatan berkontribusi pada media-media yang tertuju. Dengan menulis berarti ikut mencerdaskan bangsa dan berguna bagi banyak orang. Semoga! Amin!
@@@


Senin, 23 Desember 2019

Menjadi Guru Abad Ke-21

                                                                                       

        Zaman terus berkembang. Agar tidak tertinggal dengan bangsa-bangsa lain, Pemerintah perlu menciptakan generasi-generasi yang mampu menjawab tantangan abad ke-21 ini. Lebih jauh terwujud Indonesia Emas 2045. Kurikulum Tingkat Satuan Pelajaran (KTSP) yang menjadikan guru sebagai subjek, kini diganti dengan Kurikulum 13. Peserta didik sebagai subjek, guru sebagai fasilitator. Peserta didik menjadi pribadi mandiri dan mampu  mememcahkan permasalahan dalam pembelajaran dengan baik.
Maka agar dapat menjalankan tugasnya sebagai fasilitator, guru perlu menanamkan pada dirinya terlebih dahulu keterampilan abad ke-21 yang meliputi: kemampuan beradaptasi dengan lingkungannya yang dinamis dalam Penguatan Pendidikan Karakter (PPK), menerapkan keterampilan dasar sehari-hari dengan berliterasi, dan memecahkan masalah kompleks.
            Pendidikan karakter berhubungan dengan perilaku dan pembiasaan yang termaktub dalam relegius, nasionalis, mandiri, gotong royong, dan integritas. Ada falsafah Jawa yang mengatakan, guru digugu dan ditiru. Semua tingkah laku dan tutur kata guru menjadi contoh bagi peserta didiknya. Dalam kesempatan apapun bersama peserta didik sebaiknya guru menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar sebagai sikap nasionalis. Tidak ada manusia yang terbebas dari masalah, termasuk guru. Seberat apapun masalah yang sedang dihadapi, guru tidak boleh membawanya ke kelas. Jika tidak dapat menahan, maka integritas guru bisa tercoreng dengan melampiaskan amarah di depan peserta didik. Begitupun pembiasaan nilai-nilai pendidikan karakter lain yang diimplentasikan dalam kehidupan sehari-hari.
            Literasi tidak hanya baca dan tulis, tetapi juga menyangkut lima literasi dasar lain. Guru mampu menganilisis berkaitan dengan bilangan, grafik, tabel, dan simbol-simbol dalam literasi bilangan, menjelaskan, mengevaluasi, menginterpretasi data dan bukti sains, serta sensitif menangapi fenomena alam dalam literasi sains, mengelola keuangan dengan baik dalam literasi keuangan, yang tidak kalah penting adalah melek teknologi sebagai amalan literasi digital. Zaman sekarang masih ada guru yang gaptek. Padahal dengan menguasai teknologi digital, guru dengan mudah menciptakan pembelajaran bervariasi, tidak hanya metode ceramah yang membosankan. Tidak membedakan peserta didik berkaitan dengan ras, suku, dan agama serta menghargai budaya setempat yang termasuk pengamalan literasi budaya dan kewargaan.
            Sedangkan memecahkan masalah kompleks berkaitan dengan Membiasakan diri berpikir kritis, di antaranya membuat Rancangan Pelaksaan Pembelajaran (RPP) yang inovatif. Tidak ada peserta didik yang bodoh. Melainkan guru kurang mampu mencari model pembelajaran yang sesuai dengan macam-macam karakter siswa.
            Menjadi guru tidak cukup sebagai pegawai yang menerima gaji sesuai kewajiban mengajar. Tetapi juga memiliki jiwa layaknya orangtua yang sedang mendidik anak kandungnya. Dengan demikian akan timbul dari hati untuk memandaikan mereka dengan penuh ketulusan, tidak semata-mata mentrasfer ilmu. Semoga kelak terwujud generasi emas 2045 yang berdaya saing dan berjiwa Pancasila.
@@@
esai ini pernah terbit di Koran Solopos, Minggu 22 Desember 2019

Jumat, 20 Desember 2019

Laki Lucky

                                                                                       

Tha tha tha that
            Rima buru-buru membuka ponsel begitu bunyi chat terdengar. Namun yang ditunggu jawaban dari teman sebangku tentang pekerjaan rumah tak seperti yang diharapkan.
            Maaf, Rim, aku Arjuna, ini nomor ponselku yang baru
            Uh, siapa nanya? Rima lunglai. Hampir saja ponselnya terjatuh. Tak sulit menemukan nama Arjuna dalam ensiklopedi daftar nama kenalannya. Hanya satu, yah hanyaArjuna si Tetangga satu kampung. Beberapa bulan terakhir gerak-geriknya `mencurigakan`, begitu istilah Rima, bagi seseorang yang membuat badannya meriang tak karuan. Terlepas orang itu sebetulnya ingin memberikan panah-panah asmara kemudian membuatnya berbunga-bunga kelak. Rima yang manis, rambut ikal sebahu, tinggi semampai, berkulit bersih,  ah apa yang kurang darinya.
            Arjuna adalah laki-laki kesekian yang mengharap cinta Rima. Rizky yang agresif, sering datang ke rumah dan membawakan kebab, camilan kesukaannya. Zulfan yang senantiasa ingin mengulurkan tangannya perihal tugas sekolah, hingga membuat Rima tersinggung. Sebab Rima tidak termasuk siswa pas-pasan kemampuan akademiknya. Mereka hanyalah laki-laki yang terang-terangan menunjukkan keinginannya. Entah siapa yang secara diam-diam juga punya hasrat sama tapi tak kesampaian.
            “Lagi suntuk ya Rim?” ledek Lia tetangga sebelah rumah. Dia baru saja pulang dari kegiatan sekolah.
            “Ah...eh ... enggak,” Rima terperanjat lalu buru-buru memperbaiki sikapnya yang manyun.
            Padahal satu kali pun Rima tidak pernah memberikan nomor ponsel. Kembali pikirannya merutuk pada sikap Arjuna begitu dirinya kembali seorang diri. Barulah dia tersadar, mudah bagi laki-laki itu mendapatkan nomor ponselnya. Melalui RT, kelurahan, atau dari data administrasi lain. Bahkan berpapasan berusaha keras membentengi diri agar laki-laki ceking itu tak menegurnya. Yang terjadi seperti yang diharap, Ajuna hanya memandangi paras wajahnya yang putih, namun jutek.
            Kisah Arjuna segera berlalu begitu ponsel berbunyi untuk kedua kali dan itu dari sahabatnya. Ditumpahkan segala uneg-uneg. Namun tidak seperti yang diharapkan, sesaat setelah teman sebangkunya memberikan jawaban soal.
            Kau tak perlu terus-terusan menghindar. Coba selami. Terbuka, Rim
            Saat itu juga ponsel ditutup dan langsung masuk ke rumah. Rima mengerjakan soal dengan hati jengkel.
@@@
            Hari-hari terakhir,hati Rima tak menentu.Dia sendirian semenjak teman sebangkunya ikutan merutuki sikapanya yang tidak membuka diri terhadap Arjuna.
            “Kenapa sih langsung menolak? Kamu belum tahu isinya. Sebagai sahabat aku tidak mau kau menyesal kelak karena dia sudah keburu disambar gadis lain,” sergah teman sebangkunya suatuketika.
Tahuapa dia, mengharuskan aku mencoba menyelami hati Arjuna. Cinta itu datang dari pandangan pertama. Dan tak perlu dipaksa jika memang harus sendiri. Bukannya dari seringnya bertemu kemudian lama-lama menjadi suka. Mentang-mentang dia orang Jawa, ngutip pepatah Jawa, tresno jalaran soko kulino. Buktinya beberapa kali berpapasan malah membuat badan  kemudian panas.Tak sedikit pun ada getar.
Mungkin Rima yang terlalu keras kepala.
Kali ini Rima duduk-duduk manja di bawah pohon sirkaya depan rumahnya, kebiasaan yang lama tak dilakoni semenjak hujan berhari-hari mengguyur. Entah sore ini, sepertinya hujan sedang mempersilakan Rima untuk menikmati sore, setelah tadi turun begitu deras. Langit terang walaupun sedikit awan bergerombol di atas sana. Sedikit menghibur hatinya. Terasa Rima mendapatkan teman baru dari sesuatu lain dengan adanya suasana yang berbeda. Angin mengayun rambutnya yang bergelombang. Udara sejuk mengingatkannya situasi kontras saat musim panas mengganas begitu lama.
Keindahan sore terganggu dengan lintasan seseorang yang justru sedang dihalau. Langkah Arjuna membelok di rumah sebelah membuat Rima dapat memandang dengan jelas. Tak sengaja pandangannya mengarah ke rumah Lia sambil menyelonjorkan kaki,  menghilangkan penat. Kini gangguan itu tak hanya matanya tapi merambah ke pikiran.
Untuk apa Arjuna ke rumah Lia. Kalaupun ingin menemui saudara lelaki Lia, bukankah mereka sedang tidak berada di sini, tetapi kuliah di luar kota? Lia juga tidak satu sekolah dengan Arjuna.
Walaupun satu tingkat, Rima, Arjuna, dan Lia tidak pernah saling berhubungan, termasuk urusan sekolah. Mereka hanya sebatas tetangga dan bertegur sapa saat bertemu. Hanya belakangan karena tak berkehendak di hati, sikap Arjuna tak diterima Rima.
Tapi benarkah tak berkehendak di hati? Kali ini Rima benar-benar terusik. Tanda tanya mengapa Arjuna tak hanya sekali datang ke rumah Liapada kemudian hari terus menghantui. Yang membuat tak disangka karena gadis yang didekati adalah tetangga sebelah rumahnya. Hal yang akan dilihatnya di depan mata bila sesuatu yang tak disangka bakal terjadi. berbeda dengan Zulfan, Rizky dan entah siapa lagi. Rima bisa menghindar.
Diam-diam dia menyesali sikapnya selama ini. Kalau saja waktu boleh berulang....
Kelak Arjuna tak bakal ditolak lagi. Siasatnya mendekati Lia yang sengaja direncanakan keduanya,  berhasil mengelabuhi Rima. Arjuna sungguh laki lucky.
@@@

Cerpen remaja ini pernah terbit di koran Padang Ekspres, Minggu 15 Desember 2019

Selasa, 17 Desember 2019

Warak, Antara Ikon dan Lelakon

                                                                                       

             Sebetulnya saya tidak sengaja menulis pengalaman ini untuk dikutsertakan ke dalam lomba. Karena saya sudah menulis dua karya lain dalam Lomba Menulis Esai bagi Guru Jawa Tengah 2019 yang diadakan oleh Balai Bahasa Jawa Tengah. Tetapi karena keresahan selalu nyesek bila tidak ditulis, akhirnya saya tulis pengalaman ini. Biasanya saya menuangkannya ke dalam cerita fiksi. Kebetulan batas waktu lomba di Balai Bahasa Jawa Tengah belum usai,  seru nih ditulis dalam bentuk esai.
                                                                                   

           Alahamdulillah, tulisan yang tidak disangka terpilih mendampingi pemenang utama dan masuk dalam buku antologi Esai bagi Guru Jawa Tengah 2019. Saya pun diundang dalam peluncurannya bersamaan dengan penyerahan piala Prasidatama. Prasaditama adalah piala yang diberikan kepada para pengguna dan apresiator bahasa dan sastra di Jawa Tengah oleh Balai Bahasa Jawa Tengah. Para penerima Prasidatama sebagian dari instansi pemerintah, sekolah, sebagian lagi para seniman penulis puisi, cerpen, dan novel. Semua berdomisili di Jawa Tengah. Bertambah pengalaman dengan membaca esai dari teman-teman guru. 
                                                                                


          “Warak, Antara Ikon dan Lelakon” bertutur tentang warak. Bagi masyarakat Semarang warak bukan hal asing. Warak sebagai ikon saat tradisi megengan atau dugderan. Tradisi dugderan diadakan dua minggu menjelang puasa Ramadan di alun-alun Masjid Besar Semarang. Puncak dugderan pada hari terakhir dihadiri Walikota Semarang. 
Warak adalah replika binatang yang mencerminkan kondisi masyarakat Kota Semarang. Masyarakat Semarang yang terbuka dalam keberagaman budaya. Warak berkaki empat melambangkan hewan kambing sebagai implementasi orang Jawa, badannya seperti onta sebagai implementasi bangsa Arab, sedangkan kepala yang mirip naga melambangkan bangsa Cina. Cerita yang ada sejak zaman Kanjeng Bupati Semarang sangat relawan dengan kondisi Kota Semarang sebagai ibukota provinsi. Layaknya ibukota yan harus menerima masyarkaat urban tentu saja persatuan di antara perbedaan sangat dibutuhkan demi keamanan, kedamaian, dan kenyamanan. 
                                                                     
gambar warak
Dulu ketika saya kecil, warak banyak dijual bahkan sebagian disertai endhog (Jawa) atau telur. Tentu saja telur asin agar tahan hingga berhari-hari. Jadi, namanya warak ngendhok. Endhok sebagai isyarat bahwa setelah puasa satu bulan mendapatkan hadiah pahala. Tetapi sudah lama warak tidak disertai endhog. Bahkan tahun ini, saat dugderan  tidak satu pun saya temui pedagang warak, dari pangkal hingga ujung alun-alun. Hal inilah yang menjadi keresahan. Mengapa warak tidak ada, mengapa pedagang tidak lagi memproduksi.

Ada keraguan saat proses hingga menjadi tulisan. Bertutur pada kejadian yang terjadi di Kota Semarang. Jadi, belum tentu dari daerah lain mengetahui objek yang saya tulis.  Apalagi saat survei. Baru pencarian keempat berhasil menemui perajinnya. Hampir saja saya gagalkan dan tidak jadi menulis. Dulu masyarakat kampung tersebut terkenal pembuat warak. Sekarang tinggal satu orang. Itu pun hanya melayani pemesanan.
                                                                        
Mungkin karena esai ini berkaitan dengan kearifan lokal, dan tentu saja memenuhi syarat sebagai penulisan sebuah esai dan layak dibukukan. Mengutip catatan panitia, ada 104 karya yang mengikuti lomba, tetapi hanya 40 % memenuhi syarat sebagai penulisan esai.

Warak masih menjadi ikon. Di sana sini banyak terdapat gambar warak, dari pintu gerbang, posko kemanan, dan beberapa pembatas jalan selama tradisi dugderan berlangsung. Tetapi perjalanan atau lelakon warak tidak secemerlang posisinya sebagai ikon.

Semoga pemerintah daerah lebih menguri-uri kearifan lokal dengan menggairahkan para perajin warak. Agar para generasi penerus, anak-anak kecil, mengenal warak ngendhok. Warak tidak saja sebagai permaianan anak, tetapi filosofi yang terkandung di dalamnya begitu mulia.
@@@

Rabu, 20 November 2019

Es Krim Bola-Bola Tante Kayla

                                                                                   

Dona baru saja mandi sore. Badannya kembali segar. Tadi siang, sepulang sekolah, ia merasa lelah sekali. Ada ulangan dan banyak tugas yang ia kerjakan di sekolah. Itu sebabnya, setiba di rumah, ia langsung beristirahat dan tidur siang.
Kini, Dona duduk-duduk santai di teras rumah. Tiba-tiba mama datang menghampirinya.
"Don, tolong ajak main Dini! Mama mau melanjutkan bikin tumpeng," pinta mama sambil menggandeng tangan Dini.
Setelah itu, mama masuk ke dapur meninggalkan Dona dengan adik kecilnya itu. Teman-teman mama sering meminta mama membuatkan kue ulang tahun dan tumpeng. Kini, mama jadi sering menerima pesanan.
Walaupun begitu, Dona dan Dini belum pernah merayakan ulang tahun. Uang penghasilan mama digunakan untuk membantu membeli kebutuhan sehari-hari. Kalau dari penghasilan papa Dona saja, tidak akan cukup untuk biaya kebutuhan keluarga mereka.
Dini tampak senang membawa dua boneka dan pernak-perniknya. Lalu ia bermain di lantai. Dona yang kelelahan, sebetulnya masi ingin bersantai. Namun, ia tidak bisa lagi santai. Dona harus banyak bicara pada Dini. Jika tidak, Dini pasti menangis karena merasa bermain sendirian.
“Kak Dona yang jadi kakak ya. Dini jadi adik,” pinta Dini sambil memberikan boneka besar kepada Dona. Sedangkan Dini memegang boneka kecil.
“Iya,” jawab Dona malas-malasan.
“Kak, aku pergi dulu ya,” kata Dini yang memerankan sebagai adik kecil.
“Iya,” sahut Dona.
“Kakak mau pesan apa?” tanya Dini ramah.
“Nggak!” jawab Dona.
“Kaaak!” teriak Dini jengkel. “Kakak kenapa nggak mau bicara?”
“Kakak, kan, udah bicara,” tukas Dona keras sambil berdiri hendak pergi.
Mulut Dini lambat laun mewek dan akhirnya menangis.
“Huu... huuu.....“
Mama muncul terburu-buru dari dapur. Mama masih memakai celemek.
“Dona, kenapa Dini malah nangis? Kamu tidak mau diajak bermain, ya..." tukas mama.
“Aku lagi capek, Ma. Dini ngajak ngomong terus. Dona duduk di sini, kan, mau santai, Ma. Dona malas ngomong,” jawab Dona agak kesal.
Begitulah sikap Dona satiap kali mama memintanya mengajak Dini bermain bersama.
Dengan sedih, Mama sekali lagi meminta tolong Dona menjag adiknya, sampai mama selesai membuat kue.
Dona jadi tidak tega juga melihat wajah mama yang kusut.
Dengan terpaksa, Dona mengikuti kemauan Dini untuk bermain bersama di teras. Saat sedang menamani Dini, tiba-tiba terdengar  seseorang memanggil nama Dona.
Ketika Dona sedang menemani Dini, tiba-tiba seseorang memanggilnya.
“Dona, kamu sudah lama tidak datang ke tempat Tante. Ke mana saja?”
Dona mendongak, melihat ke arah pagar. Ternyata Tante Kayla datang. Dona menyambut adik mamanya yang baru masuk ke halaman.
“Hai, Dini... Kamu sedang mai apa?”
“Main boneka, Tane Kayla...” sahut Dini, lalu asyik menyisir rambut bonekanya lagi.
“Aku diminta Mama menemani Dini. Pesanan tumpeng dan kue Mama sekarang banyak, Tante Kayla,” jawab Dona.
“Ajak sekalian adikmu bermain ke rumah Tante, yuk! Pasti dia senang. Sekarang di rumah Tante ada banyak anak kecil seumuran Dini, lo. Kamu kangen enggak, pada Kuci dan es krim bola-bola bikinan Tante?” tanya tanya Kayla.
Kuci adalah nama kucing milik Dona. Dona kesulitan merawat kucing itu karena setiap hari harus menemani Dini. Syukurlah, Tante Kayla yang penyayang binatang bersedia merawat Kuci.
“Wah, Dini pasti senang kalau dapat teman seusia. Apalagi sambil makan es krim bola-bola bikinan Tante. O iya... Tentu saja Dona kangen Kuci, Tante.”
“Tante tunggu, ya. Sekarang, Tante mau ke warung dulu!” ujar Tante Kayla sambil melangkah keluar dari halaman rumah Dona.
Dona pun kembali bermain bersama Dini. Dulu, Dona suka berkunjung ke rumah Tante Kayla sebab Dona bisa makan es krim bola-bola gratis. Selain itu, Tante Kayla suka anak kecil.
Beberapa bulan lalu, suami Tante Kayla meninggal dunia. Karena kesepian sendirian, Tante Kayla sering mengundang anak-anak kecil tetangga sekitar untuk berkunjung ke rumahnya.
Sore itu Tante Kayla akan membeli sagu mutiara. Karena pembantunya sedang pulang kampung, terpaksa Tante Kayla ke warung sendiri. Sagu mutiara bila dimasak akan mengembang menjadi bulat-bulat seperti bola-bola kecil. Bola-bola itu lalu dicampur dengan es krim. Itu sebabnya Tante Kayla menyebutnya es krim bola-bola.
@@@
Hari berikutnya, seperti biasa mama meminta Dona menemani Dini bermain. Mama sedang membuat kue pesanan. Dona teringat kata-kata Tante Kayla agar berkunjung ke rumahnya.
Ternyata benar, rumah Tante Kayla ada banyak anak kecil. Tante Kayla memperkenalkan Dini kepada anak-anak lain. Dini merasa senang dan langsung bermain bersama mereka.Dona hanya mengawasi sambil menggendong Kuci. Setelah beberapa lama, Tante Kayla datang membawa nampan.
“Ini es krim bola-bola buat kalian,” kata Tante Kayla dengan membawa nampan.
“Asyiiiik...,” teriak anak-anak serempak.
Tentu saja mereka tahu isi gelas-gelas di atas nampann itu. Mereka tidak sabar ingin segera menikmatinya.
Gelas-gelas itu berisi es krim yang dicampur sagu mutiara sehingga terlihat seperti bola-bola. Tante Kayla membagikan gelas-gelas es krim pada mereka. Juga stik-stik es krim terbuat dari kayu kepada setiap anak. Mereka gembira bermain di rumah Tante Kayla.
Sejak itu Dona rajin mengajak bermain Dini di rumah Tante Kayla. Dona tidak harus selalu menemani Dini karena ada banyak anak lain yang ingin bermain dengannya.
Pesanan yang mama terima pun bertambah banyak. Mama berjanji akan merayakan ulang tahun Dona bulan depan. Bahkan mama sudah memesan baju khusus untuknya. Begitu pun untuk adiknya, Dini.
@@@
Cerpen ini pernah dimuat di majalah Bobo, terbit 14 November 2019



Selasa, 19 November 2019

Tak Lekang oleh Waktu



         Yah, seperti itulah yang saya rasakan mengikuti kegiatan Peningkatan Kompetensi Pembelajaran (PKP), benar-benar tak lekang oleh waktu. Baik karena belajar tak mengenal batas usia-yang berpengalaman mengajar pun wajib mengikuti- maupun dari segi waktu. Hari Minggu saatnya libur harus melaksanakan karena tiba-tiba jadwal yang mulanya Sabtu harus diganti. Ditambah sistem yang tidak lancar sehingga harus mengerjakan tugas bertumpuk-tumpuk.Beruntung saya biasa bekerja malam hari berkaitan dengan kegiatan menulis.
            Tetapi menerima konten dari kegiatan tersebut, jauh dari merugi. Rasanya cucok pengorbanan saya kehilangan hari Minggu yang biasanya benar-benar me time- senam pagi,  ngopi-ngopi sambil baca koran, ke tobuk, semua terbayar oleh manfaat yang saya dapat.
           Terlebih belajar dalam suasana nyaman dan menyenangkan. Nyaman karena berada di ruangan yang dilingkupi pepohonan. Bahkan saat isoma, kami berjalan-jalan menyusuri tempat tempat rindang menuju musala. Saya dan teman-teman disuguhi pemandangan seperti hutan mini, lumayanlah sebagai refresing mata maupun suasana. Di tengah kehidupan kota yang penuh hiruk pikuk dan penuh dengan gedung-gedung. Menyenangkan karena kami bekerja saling membantu. Sehingga kesulitan apapun dapat teratasi, termasuk kesulitan menggunakan teknologi informatika. Sebab zaman online, semua tugas harus diunggah. Terkadang sistem tidak lancar membuat kami kesulian mengunggah.

                                                                         
Ibu Iin Sulistyowati sebagai GI

            Ada tiga belas Pendidik atau Guru Sasaran (GS), baik dari sekolah swasta maupun negeri. Sebagai Guru Sasaran (GS), saya dan teman-teman dimentori oleh Guru Inti (GI) Ibu Iin Sulistyowati, dari SMP Negeri 31 Semarang, yang juga sebagai Pusat Belajar (PB). Sedangkan sebagai narasumber tamu seperti Pengawas dan Pejabat dari Dinas Pendidikan, ikut memberikan penguatan-penguatan yang intinya setelah mengikuti kegiatan ini menjadi Pendidik yang dapat menciptakan generasi emas.
            Kegiatan minggu pertama adalah simulasi Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) dan Literasi, seperti mandiri, gotong royong, nasionalis, baca-tulis. Kami bekerja berkelompok. Setiap peserta berbagi pengalaman kegiatan PPK dan Literasi di sekolah masing-masing. Kemudian menuliskannya dalam kartu-kartu yang akan ditempel. Awal kegiatan sudah mengundang perhatian. Saya banyak mendapatkan pengalaman dari teman-teman. Saya bisa memilih kegiatan literasi yang sesuai diterapkan di sekolah tempat saya mengajar. 

                                                                               

                                                         penulis di antara kegiatan PKP

         Kegitan berikutnya adalah pembuatan Rancangan Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) berorientasi HOTS (Higher Order Thinking Skills). Kami menjadi tahu bagaimana pengembangan RPP yang membentuk siswa berpikir kritis.  Diawali dari merancang desain, penulisan RPP, hingga presentasi.
            Padatnya agenda acara membuat kegiatan berjalan tanpa terasa. Pada hari Minggu dari pukul setengah delapan pagi, tahu-tahu pukul sepuluh saatnya coffe break. Tahu sendirilah, saya yang suka ngopitentu kesempatan emas bisa menikmati minuman kesukaan di sela-sela bekerja. Apalagi juga disediakan snak. Hm, kesempatan nihwisata kuliner. Terlebih bisa nyicipi sukun goreng-yang dengar-dengar dari pohon sendiri, hasil budi daya sekolah setempat. Wah, benar-benar memanfaatkan kearifan lokal. Memang benar sih, saat ada waktu jalan-jalan di belakang, ada pohon sukun yang buahnya besar-besar. Mungkin memang sudah matang, saatnya diunduh dan dikonsumsi. Baru dua jam berkegiatan tiba saatnya isoma. Rasanya baru sesaat bekerja sudah kembali break dan makan snak sore hari. Hingga tiba pulang ke rumah masing-masing.
            Semua tugas kami lalui, tentunya dukungan dari GI yang selalu memberi semangat juga teman-teman untuk menuntaskan semua tagihan. Hingga tidak terasa dengan berat hati hari memasuki minggu kelima, saatnya kegiatan berakhir dan berpisah. Tapi kami saling berjanji bahwa silaturahmi tidak berhenti sampai di sini. Ada media sosial. Karena situasi dan kondisi silaturahmi tidakharus dengan bertatap wajah. Untuk saling melengkapi dalam menghadapi permasalahan pembelajaran. Sebab guru adalah pembelajar yang tak lekang oleh waktu.
            Kegiatan Peningkatan Kompetensi Pembelajaran (PKP) telah usai. Bagi saya ini justru awal dari kegiatan lain. Apalagi kalau bukan menulis. Saatnya mengeksekusi satu per satu ide-ide yang bertebaran selama lima kali mengikuti kegiatan. Semoga masing-masing karya menemukan muaranya. Amin.
@@@
                                                                                            

Minggu, 29 September 2019

Menciptakan Keluarga Bahagia Menuju Masyarakat Literat


Oleh: Iis Soekandar

Bangsa yang maju tidak saja didukung oleh penduduknya yang padat dan hasil kekayaan alam melimpah, tetapi juga masyarakat yang literat. Demikian sambutan tertulis Mentri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy dalam Panduan Gerakan Literasi Nasional. Untuk itu pembangunan pendidikan dan kebudayaan digalakkan dalam lingkup kegiatan-kegiatan literasi melalui pembangunan ekosistem pendidikan, baik di lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat, sebagaimana yang termaktub dalamRencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015–2019. Kemendikbud pun menyelenggarakan berbagai program GerakanLiterasi Nasional (GLN). Apalagi menurut PISA (Program for International Student Assessment), budayamembaca anak-anak Indonesia rendah. Indonesia menduduki urutan 62 dari 70 negara yang disurvei. Demikian dilansir Detiknews (5/12/2019).
Di lingkungan sekolah program pemerintah tersebut mudah diimplementasikan. Karena sekolah terikat dengan peraturan. Pemerintah menggalakkan literasi seperempat jam sebelum pembelajaran dimulai. Peserta didik diminta membaca buku bacaan kemudian menuliskan intisari yang dibacanya. Sehingga peserta didik diharapkan terbiasa membaca. Apalagi pemerintah mewajibkan belajar 12 tahun bagi anak-anak. Pemerintah memberi dana BOS untuk menunjang pendidikan. Dengan demikian diharapkan semua anak Indonesia mengenyam pendidikan dari SD hingga SMA/ SMK. Selanjutnya semua generasi muda gemar membaca.
Lalu bagaimana implementasi literasi di lingkungankeluarga dan masyarakat yang tidak ada ikatan langsung dengan pemerintah?
Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat. Kebiasaan dalam keluarga akan terbawa di masyarakat, termasuk dalam berliterasi. Bagi keluarga menengah ke atas di antaranya ditandai dengan pentingnya menempuh pendidikan. Membaca menjadi kebutuhan untuk menunjang disiplin ilmu yang dipilihnya. Bahkan mereka memiliki perpustakaan sendiri di rumah. Tetapi bagi kalangan keluarga menengah ke bawah, membaca belum menjadi kebiasaan. Mereka disibukkan dengan urusan ekonomi.Padahal dengan membaca berbagai persoalan terpecahkan dari buku yang dibaca. Buku-buku yang dijual di pasaran tidak semua berharga mahal. Ada kemauan ada jalan. Jika buku sudah menjadi kebutuhan, harga bisa dipertimbangkan, mengingat manfaat yang didapat.
Inilah pentingnya kesadaran membaca. Pemerintah melalui tangan panjangnya kelurahan atau lebih spesifik RT, perlu mengimbau budaya membaca. Pojok baca salah satu alternatif sarana menyediakan buku-buku bagi setiap keluarga. Pojok baca dibuat fleksibel tergantung kemampuan keluarga. Bahkan pojok baca adalah tempat yang mulanya tidak terpakai kemudian diberdayakan menjadi tempat yang representatif menyimpan buku-buku. Pojok baca ramah terhadap kemampuan keluarga, sehingga tidak harus luas dan dengan biaya mahal. Buku-bukunya pun dibeli menurut kemampuan keuangan keluarga. Setiap anggota keluarga menyumbangkan buku sesuai kebutuhannya. Sehingga pojok baca menjadi #sahabatkeluarga. Dengan demikian #literasikeluarga pun tercipta dan menjadi kebutuhan yang tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Kesan selama ini bahwakebutuhan membaca hanya diperlukan bagi masyarakat yang memiliki akademik pun terkikis.
Di luar rumah, pemerintah menyediakan buku-buku dalam pojok baca di tempat-tempat biasanya warga mengadakan pertemuan-pertemuan, seperti pertemuan PKK sebulan sekali, posyandu, dan masih banyak lagi kegiatan yang dilenggarakan dari program PKK. Membaca terintegrasi dengan kegiatan, yiatu sebelum acara inti dimulai. Atau setidaknya sambil menunggu acara dimulai, masyarakat mengisi waktu dengan membaca. Membaca pun menjadi kebutuhan seiring masyarakat sering melakukan kegiatan tersebut.
Hal ini ditunjang dengan kunjungan perpustakaan keliling ke kelurahan-kelurahanatau kampung-kampung. Berdasarkan survei daerah tempat saya tinggal, perpustakaan lebih banyak melayani sekolah-sekolah. Pemerintah perlu menambah perpustakaan keliling melalui armada roda empat. Dengan demikian tidak ada alasan masyarakat tidak dapat mengakses buku-buku. Kegiatan membaca dilakukan bersama-sama, dari anak-anak hingga orangtua. Perpustakaan keliling juga diharapkan rajin hadir dalam momen-momen, baik yang diselenggarakan pemerintah maupun masyarakat, seperti pasar murah, perayaan hari besar, dan acara-acara yang banyak dikunjungi masyarakat.
Buku-buku yang disediakan perpustakaan keliling beragam. Hal ini sekaligus memberi pemodelan bagi keluarga-keluarga yang telah memiliki pojok baca.  Tidak hanya buku-buku bersifat menghibur seperti cerita-cerita fiksi, tetapi juga berkaitan dengan keenam literasi dasar. Agar masyarakat dapat menjawab tantangan abad 21.
Pertama, buku-buku berkaitan denganliterasi bahasa. Literasi bahasadimaknai sebagai membaca dan menulis pada konteks umum. Tidak hanya mengimplementasikan yang dibaca dari buku, tetapi juga yang tertulis danditemui dalam kehidupan sehari-hari, seperti membaca tanda rambu-rambu lalu lintas saat berkendaraan. Sehingga tidak ada lagi kecelakaan disebabkan human error. Selama ini kecelakaan di jalan sebagian dikarenakan pengendara tidak mematuhi peraturan lalu lintas. Itu artinya masyarakat baru sebatas membaca tanda rambu lalu lintas, tetapi belum mampu mempraktikkan. Perlu penanganan langsung dari polisi lalu lintas untuk menindaklanjuti bagi pelanggar lalu lintas. Bukankah cctv dipasang di area-area strategis jalan?
Kedua, buku berkaitan dengan literasi numerasi, memecahkan masalah praktis dan mengomunikasikan bilangan dalam berbagai bentuk seperti tabel, untuk mengambil keputusan.
Ketiga, buku atau bacaanberkaitan dengan literasi sains.  Kemauan membuka diri menerima, terlibat, dan peduli isu-isu terkait sains atau ilmu pengetahuan.
Keempat, buku atau bacaan berhubungan dengan literasi digital. Hal ini berkaitan dengan media digital yang marak di masyarakat. Android atau ponsel pintar sekarang bukan hal asing.Dari masyarakat atas hingga bawah memiliki android. Ditambah internet mudah didapat secara gratis melalui wifi.Penggunaan android yang tepat juga dapat meningkatkan kesejahteraan hidup. Android memberikan informasi-informasi berguna. Diharapkan tidak ada lagi masyarakat yang gaptek atau gagap teknologi.
Kelima, buku-buku berkaitan dengan literasi finansial. Hal ini berkaitan dengan pengelolaan keuangan. Dengan pengelolaan yang cerdas, tidak ada lagi koruptor-koruptor yang hampir setiap hari menghiasi berita-berita politik. Apapun alasan perbuatan korupsi itu. Begitupun tidak ada seorang ibu yang dengan terpaksa membunuh anak-anak dengan memberi obat racun alasan ekonomi. Sebagaimana pernah tersiar di media. Dengan pengolaan keuangan yang baik, tidak ada yang tidak terselesaikan dalam menangani kebutuhan sehari-hari.
Keenam, buku-buku berkaitandengan literasibudaya dan kewargaan, menyikapi kebudayaan Indonesia dan memahami hak dan kewajiban sebagai warga masyarakat. Budaya, termasuk kearifan lokal tidak saja sebagai identitas bangsa tetapi juga mengandung nilai-nilai positip bagi masyarakat setempat. Sedangkan literasi kewargaan berkaitan dengan tidak menggaggu hak-hak orang lain sehingga tidak terjadi benturan-benturan di masyarakat.
Keenam literasi dasar telah memberi pedoman lengkap bagi terbentuknya keluarga bahagia. Jika hal ini benar-benar dijalankan─ sementara sekarang baru digalakkan literasi bahasa─ masyarakat yang literat pun mudah terbentuk. Dengan demikian, keluarga dan masyarakat sangat berperan dalam membudayakan literasi di bumi tercinta ini.
Semakin kokohbangsa Indonesiadalam mengisi abad 21, memiliki penduduk banyak, hasil alam yang melimpah, dan masyarakat literat.
@@@
           

Pojok Baca, Sarana Mengatasi Krisis Literasi

                                                                                 


       Penggunaan waktu seperempat jam sebelum pembelajaran dimulai untuk berliterasi  telah berlangsung sejak tahun 2015. Hal ini mengacu pada payung hukum Permendikbud nonor 23 tahun 2015. Tetapi sudahkah semua sekolah telah melaksanakan pesan yang terkandung dengan optimal?
            Pada sekolah-sekolah tertentu, terutama sekolah swasta, literasi seperti yang termaktub dalam undang-undang tersebut menjadi bermakna luas. Literasi dalam konteks baca dan tulis bisa diimplementasikan pada huruf-huruf Arab untuk menunjang ciri khusus sekolah tersebut. Akibatnya literasi yang dimaksud hanya berlangsung pada pelajaran bahasa Indonesia.  Padahal fungsi bahasa Indonesia sebagai penghela atau pengantar semua mata pelajaran. Untuk itu setiap siswa diharapkan berminat membaca semua buku mata pelajaran dan kelak pada waktunya juga buku-buku bacaan umum.
       
      Sementara sekolah swasta juga mengemban amanah dari stakeholder. Yang tentu semua itu bertujuan untuk kemaslahatan masyarakat sekitarnya. Apalagi salah satu tujuannya berdampak pada penerimaan para calon peserta didik pada tahun ajaran baru.
            Guru bahasa Indonesia perlu menjembatani antara pesan undang-undang dengan amanah stakeholder sehingga tidak terjadi krisis literasi. Satu sisi keinginan stakeholder terpenuhi, sisi lain siswa tetap mendapatkan pengalaman-pengalaman berliterasi sebagaimana yang didapatkan para siswa pada umumnya dari sekolah lain.
          
          Pojok baca adalah salah satu sarana menjembatani pesan kedua belah pihak. Hal ini berlaku bagi kelas dengan siswa bernilai akademik tinggi maupun kurang. Bagi kelas dengan siswa gemar membaca, buku-buku yang disediakan cukup meminjam dari perpustakaan sejumlah siswa satu kelas, bila memungkinkan bisa lebih tergantung jumlah buku yang dimiliki. Sedangkan bagi kelas dengan siswa minat membaca rendah, buku yang disediakan berdasarkan swadaya mereka. Setiap siswa diminta membawa buku sesuai keinginannya. Bacaan yang dibawa bisa berupa komik, buku cerita, koran, majalah, bahkan resep masakan ibunya bila terpaksa siswa tidak memiliki buku bacaan. Yang terpenting siswa membaca.
Dengan tidak mengesampingkan fungsi perpustakaan-bagaimanapun perpustakaan adalah pintu gerbang jendela dunia- siswa dengan membawa buku sendiri lebih efektif memintanya untuk membaca.Diharapkan dengan cara seperti ini siswa gemar membaca, dan pada akhirnya punya minat baca tinggi. Kelak pada tingkat baca tinggi, siswa diberi buku-buku dari perpustakaan yang tentu sudah disesuaikan dengan tingkatan mereka.
Pojok baca dibuat berdasarkan kreativitas siswa satu kelas, terletak pada kelas bagian belakang sehingga tidak menggangu pembelajaran. Di samping itu, menghapus citra pojok kelas yang selama ini hanya untuk para siswa yang malas dan enggan mengikuti pelajaran. Buku-buku ditata di rak yang ditempel di dinding dengan model seperti yang mereka kehendaki, begitu pun hiasan-hiasannya. Hal ini diharapkan mengundang siswa bersemangat membaca. Pelaksaan literasi bisa kapan saja, seperti saat istirahat dan jam kosong, tentunya juga pada pelajaran bahasa Indonesia.
            Setiap kali selesai membaca siswa diminta menuliskan intisari dari buku bacaannya di buku jurnal membaca yang dikumpulkan di kelas. Hal ini untuk memantau bahwa siswa telah melaksanakan kegiatan literasi. Guru membuat skor. Penilain tertinggi diberikan kepada siswa dengan kegiatan literasi paling sering. Hasil penilaian ini berguna untuk menambah hasil PTS (Penilaian Tengah Semester) dan PAT (Penilaian Akhir Semester), terutama bagi siswa dengan akademik rendah.
         Diharapkan dengan pojok baca semua siswa dari semua tingkat akademik memiliki pengalaman membaca sebagaimana yang termaktub dalam undang-undang. Dengan demikian bahasa Indonesia sebagai penghela atau pengantar pelajaran-pelajaran lain menjadi tidak terkendala. Pojok baca telah menyelesaikan masalah krisis literasi. Semoga terlahir generasi-generasi yang selalu berhasrat memajukan bangsa ini.
@@@
                         Artikel ini pernah dimuat di harian Solopos, Minggu 29 September 2019