Iis Soekandar: April 2016

Sabtu, 02 April 2016

Fabel


Pengalaman Baru Muri Murai
Oleh : Iis Soekandar

       Seekor Muri Murai senantiasa berada dalam sarangnya di dahan. Kedua orangtuanya selalu mencarikan makanan untuknya. Mungkin karena ia anak tunggal. Ia amat manja.
       “Muri Murai, ayo keluar. Di sana banyak buah-buahan. Tinggal pilih mana yang kita mau,” ajak Pipit.
       “Aku sedang flu, tidak boleh terkena udara luar.” Jawab Muri Murai malas-malasan.
       “Hari ini flu, kemarin batuk, kemarin lusa pusing.” Gasak Kenari.
       “Kamu kurang berolah raga, sih,” Pancawarna menambahi.
      Muri Murai, Pipit, Kenari, dan Pancawarna, teman seumuran. Hanya Muri Murai yang tidak pernah keluar. Tetapi Pipit, Kenari, dan Pancawarna selalu bermain bersama sembari mencari makan sendiri. Terkadang pepaya, atau pisang, atau jambu, ah apa saja buah yang sudah masak, mereka santap.
       Suatu saat mereka membawakan Muri Murai buah kecil-kecil sebesar biji kelereng. Tapi bentuknya lonjong. Warnanya  hijau. Rasanya manis-segar. Selama ini kedua orangtuanya belum pernah membawakan buah semenarik itu. Ternyata buah anggur namanya. Seketika itu Muri Murai minta diantar ke pohon anggur. Di sana ia makan anggur sepuasnya.
       Benar, ternyata enak terbang sendiri. Bisa menikmati alam bebas. Menghirup udara segar. Semenjak itu Muri Murai minta disamperi setiap kali Pipit, Kenari, dan Pancawarna terbang mencari buah-buahan. Tentu saja kedua orangtuanya senang. Disamping tidak membebani mencarikan buah-buahan, Muri Murai pun tidak sakit-sakitan.
       Suatu saat seperti biasa mereka terbang berempat. Ternyata tidak ada buah yang masak. Pepaya, pisang, masih berwarna hijau. Tanpa disangka Muri Murai mencium bau harum. Diam-diam ia mendekati bau harum itu. Perutnya yang keroncongan bakal terisi. Muri Murai makan sendiri. Namun baru menikmati lezatnya buah itu sesaat, kerongkongannya sakit.
       “Aduh, tolooong,” seketika itu Muri Murai memuntahkan makanannya. Ketiga temannya kaget mendengar suaranya. Ternyata Muri Murai jauh dari mereka.
      “Wah Muri Murai dapat buah sirkaya besar dan masak.”
       “Makan jangan dengan bijinya. Terang saja kerongkonganmu sakit.”
      “Jadi...itu buah sirkaya namanya.” Kata Muri Murai bertambah satu lagi perbendaharaan buahnya. “Maafkan aku bermaksud serakah. Kurasa buah sebesar ini bisa kita santap berempat, daripada kita pulang dengan perut kosong.”
       Tidak sedikit pun mereka sakit hati. Hari itu mereka bersuka cita. Mereka pulang dengan perut terisi.
@@@
 [ karakter : pemaaf, peduli sosial, cinta damai]

Fabel ini pernah dimuat di Nusantara Bertutur, Kompas Minggu.