Iis Soekandar: Mengetuk Hati Nurani

Kamis, 24 Juli 2025

Mengetuk Hati Nurani

                                                                                    

         Dingin amat terasa, beberapa hari terakhir. Di luar, matahari masih setia memancarkan sinarnya. Tak ada satu pun pedagang mangkal, begitupun anak-anak yang biasa bermain, mungkin karena libur sekolah telah usai.

Saya biasa menghabiskan sore dengan bersih-bersih rumah, sembari mendengarkan berita-berita televisi. Sesekali saya melihat tayangannya jika ada yang menarik. Saya saklek pada satu stasiun televisi, kecuali Tim Garuda berlaga, saya pindah televisi lain. Sebab televisi langganan saya itu tidak menyiarkan pertandingan sepakbola dalam negeri. Berita-beritanya tak melulu hiburan, dan tak memihak partai tertentu.

Ada tayangan khusus berita-berita kriminal dari berbagai daerah. Kejadian-kejadian kriminal seringkali tak bisa dihindari dan menjadi bagian hidup manusia. Pengalaman mengajari saya agar berhati-hati pada transportasi pribadi. Suatu malam sehabis Magrib saya akan berkunjung ke rumah teman. Saya menggunakan ojek daring. Tak biasanya sopir bercerita tanpa jeda sepanjang perjalanan. Ternyata hal itu untuk mengelabuhi saya dengan menyesatkan jalan. Saya tersadar dan meminta dia melewati jalan biasanya. Beruntung dia tak melanjutkan niat buruknya.

Kejadian itu menghantui saya saat tamasya ke Ambarawa. Penumpang angkot hanya beberapa orang, dan pada akhirnya tinggal saya. Saya langsung deg-degan begitu angkutan tak lewat jalan raya,“Lo kok belok, Pak?”

Kulo manut mawon, namung riyaya utawa sak lawase, la niku tergantung pemerintahe,” jelas pengemudi. Ternyata pengalihan jalan itu kebijakan pemerintah, dan tidak hanya saat Lebaran, mungkin menghindari macet. Jalanan panjang, sepi, sesekali melewati hamparan pepohonan. Saya lega begitu sampai di tempat tujuan. Ongkosnya sama seperti saat lewat jalan raya. Sebelum turun sopir memberi saya petunjuk angkot yang harus saya naiki ketika pulang dan dari arah mana.

            Sebelum pulang ke Semarang saya mampir ke penjual serabi ngampin, makanan khas Ambarawa. Penjual menawari saya sampel hampir setiap serabi turun dari cetakan, semata-mata untuk memuaskan pembeli agar tidak kecewa. Jika saya mau mungkin saya mendapatkan serabi satu porsi gratis. Padahal saya hanya memberi satu porsi di tempat dan satu porsi saya bawa pulang.  

            Pelayanan memuaskan juga saya terima dari penjual leker di Bandungan. Ia menggunakan tungku berbahan bakar arang untuk memasak. Saya bertanya mengapa ia tidak menggunakan kompor, efisien, dengan demikian keuntungan yang didapat juga banyak.

            “Leker dimasak dengan kompor kalau dingin tidak enak, berbeda dimasak dengan arang. Walaupun dingin masih tetap renyah,” jelasnya. Saya segera membayar dan pergi. Saya  tidak meremehkan keterangan ibu itu. Saya tidak berniat membuktikannya. Sebab saya lebih senang makan leker panas, terlebih berada di daerah dingin seperti Bandungan.

            Rumah telah bersih. Tanyangan berita-berita kriminal berganti berita-berita politik dan peristiwa-peristiwa terkini lain. Di antara orang-orang mudah bertindak kriminal, sebagian lain tetap memelihara hati nurani untuk membahagiakan sesama.

@@@


Tidak ada komentar:

Posting Komentar