Iis Soekandar: Februari 2020

Senin, 24 Februari 2020

Kasih Buat Sifa

                                                                                 

Hari ini ada yang spesial dari kelas XI A. Kabar itu mereka dengar beberapa hari lalu. Semua akan menyambutnya dengan penuh suka cita. Wajarlah karena seseorang itu amat teristimewa di sekolah.
            Bu Reni adalah  pengganti sementara Bu Silvi yang sedang cuti melahirkan. Hari ini beliau mengajar untuk pertama kali di kelas yang selama ini tidak diampunya.
            “Selamat siang, anak-anak...” sapa Bu Reni. Bu Reni yang cantik, murah senyum, tidak saja karena ingin disegani meski bukan guru Bahasa Indonesia sebenarnya,  tapi beliau memang ramah.
            “Selamat siang, Buuuu...,” sambut anak-anak satu kelas serempak.
            Para siswa riuh rendah menyambut guru barunya.
            “Kalian pasti sudah mengenal saya, walaupun sebelumnya saya tidak mengajar kalian,” jelas Bu Reni setelah suasana tenang. Maklumlah meski mengerti Bu Reni juga guru yang mengajar di sekolah tersebut, sepertinya mereka tidak ingin melewatkan pertemuan pertama ini.
            Mereka tetap menginginkan Bu Reni memperkenalkan diri. Bahkan hobi dan makanan kesukaannya, mereka ingin tahu. Bu Rini geleng-geleng kepala.
            Acara perkenalan dengan Bu Reni usai. Beliau juga tak mau kalah ingin mengenal setiap siswa. Diabsennya satu per satu menurut alfabet.
            “Andika Saputra...”
            “Saya, Bu,” jawab Andika sambil mengangkat tangan.
            “Anita Lestari...”
            “Saya, Bu.”
            Ketika Bu Reni memanggil satu anak  dan ternyata tidak masuk, tanggapan seluruh siswa berbeda.
            “Namanya bukan Sifa Savitri, Bu, tapi Anak Baru...” celetuk salah satu.
            “O... jadi dia anak baru? Pindahan dari luar kota?” tanya Bu Reni penasaran.
            Mereka tidak langsung menjawab, tapi malah cekikikan. Bu Reni semakin bingung. Barulah seseorang menjelaskan.
            “Dia jarang masuk, Bu. Anaknya tertutup. Makanya setiap masuk seperti anak baru. Maka kami satu kelas memanggilnya Anak Baru.”
            Jidat Bu Reni mengerut.
            “Kalau sering tidak masuk mengapa kalian sebagai teman satu kelas tidak berusaha mencari tahu? Dekatilah sehingga dia terbuka. Pasti dia punya masalah. Jangan-jangan di antara kalian pernah menyakitinya.”
            Bu Reni mendesak agar di antara mereka mengaku. Tapi mereka bersikeras bahwa kelasnya damai. Tidak ada satu pun yang membuat permusuahan. Jadi, kalaupun Sifa menemui masalah, pasti di luar kelas.
            Hari pertama Bu Reni sengaja menyelesaikan semua masalah. Beliau tidak ingin ada yang mengganjal saat pembelajaran kelak. Beliau mendesak teman sebangkunya mendatangi rumah Sifa. Dengan pendekatan persuasif, Bu Reni berharap siswa kelas itu lengkap.
            Setelah masalah menemukan penyelesaian, barulah Bu Reni memulai pembelajaran.
@@@
            Veronika benar-benar terpanggil dengan saran Bu Reni. Di samping itu desakan teman-teman satu kelas sehingga tidak ada pilihan lain selain menemui Sifa di rumahnya. Dia menyesal selama ini terpancing teman-temannya dengan membenci Sifa. Hari Jumat saatnya pulang awal, Vero tidak langsung ke rumah, melainkan menemui teman sebangkunya.
            Warung terlihat banyak pembeli. Sifa sedang membantu seorang wanita tengah baya, siapa lagi kalau bukan neneknya. Tapi Vero enggan mendekat. Dia takut mengganggu. Syukurlah tak lama berselang,  tanpa sadar Sifa mempersilakannya yang dikira pembeli.
            “Vero?” Sifa tak percaya teman sebangkunya berada di warungnya.
            Vero  dipersilakan duduk di ruang tamu yang bersebalahan dengan warung.
            “Ver... mengapa kamu ke sini? Bukankah aku tidak punya janji sama kamu?” ungkap Sifa berterus terang setelah menyajikan teh manis.
            “Memangnya kalau kamu tidak punya janji aku tidak boleh ke rumahmu? Jadi kamu sudah tidak menganggap aku teman sebangkumu lagi?” tantang Vero.
            Sifa menghela napas panjang. Tatapannya yang semula tajam, kali ini luluh dan menunduk.
            “Kita kan teman sabangku, Sif, masa sih kalau kamu punya masalah aku tidak boleh tahu? Aku ingin kita bersama lagi seperti dulu. Aku yakin setelah ini tidak ada yang mengatakan kamu anak baru. Mereka sudah janji. Teman-teman menginginkan kamu kembali ke sekolah.”
            Sifa memandang Vero. Maka mengalirlah tuturan demi tuturan.
            “Aku malas sekolah, Ver. Kedua orangtuaku benar-benar tak peduli. Berkas untuk pengajuan beasiswa yang diminta sekolah tidak diberikan padaku. Kamu tahu sendiri, nenekku tidak ada yang membantu kalau aku ke luar kota menemui ibuku. Bapakku aku mintai tolong malah mematikan nomornya dan tidak akitf. Sudah untung aku punya nenek yang baik  hati. Kalau tidak, aku pasti sudah menggelandang sejak dulu,” cerita Sifa tentang kedua orangtuanya yang bercerai.
            “Kalau begitu, hari Minggu nanti aku antar kamu mengurus berkas itu ke rumah ibumu. Siapa tahu belum terlmbat. Yah kalaupun terlambat mungin bisa diajukan tahun depan. Atau setidaknya kamu kembali ke sekolah, meraih masa depan.”
            “Kenapa kamu begitu peduli dengan masalahku, Ver?”
            “Karena kasih sayang tidak hanya untuk pacar, kan, tetapi juga dengan teman.”
            Mereka tersenyum dan tidak sabar ingin lagi ke sekolah dan duduk satu meja.
@@@
Cerma ini pernah terbit di Koran Padang Ekspres, Minggu 23 Februari 2020