“Kamu
ke sini tidak mandi? Trus ngapain?” ledek teman, suatu saat ketika kami tamasya
ke Sendang Nyatnyono. Sejak awal kedatangan saya sibuk jalan-jalan, sambil
menikmati alam perbukitan dengan udaranya yang sejuk, makan-makan, swafoto, dan
memperhatikan kegiatan masyarakat sekitar, begitupun kunjungan-kunjungan sebelumnya.
Ketika seorang teman menegur, saya tersadar. Mengapa saya tidak ikut mandi?
Bagaimana rasa mandi di sendang? Waktu merambat jauh; kami bersiap pulang.
Rasa penasaran mandi di sendang
beramai-ramai terbayar setelah menunggu sekian lama. Ada rombongan mengajak
saya ke sana. Namanya Sendang Kalimah Toyyibah. Masyarakat luas mengenal
Sendang Nyatnyono. Mungkin karena nama itu diambil dari nama desa setempat,
orang-orang lebih mudah mengingatnya.
Tidak ada tiket masuk ke sendang
tersebut, yang letaknya di Kabupaten Semarang. Pengunjung laki-laki masuk di
pintu kiri area sendang, pengunjung wanita masuk di pintu kanan.
Saya
mengenakan pakaian dobel dari rumah. Pengunjung yang tidak membawa pakaian
ganti, tersedia persewaan sarung.
Ada
beberapa pancuran kecil dan satu pancuran besar. Sumpal dari gabus saya tarik, seketika air mengguyur tanpa henti, kecuali saat
bersabun dan keramas, sumpal kembali saya katupkan di pancuran.
Kami
beruntung waktu itu hanya bersamaan dengan satu rombongan, dan mereka segera selesai.
Kami mandi dan bermain air sampai puas, tanpa was-was. Sebab tas-tas pengunjung
hanya diletakkan begitu saja di tempat terbuka, dekat sendang.
Kulit badan terasa lebih bersih
dibanding mandi di rumah. Entah hal itu karena lama berkecimpung dengan air,
atau khasiat air sendang.
“Air sendang tidak pernah berhenti mengalir. Hanya airnya berkurang,” jelas penduduk setempat ketika saya tanya apakah air tetap mengalir walau musim panas. “Khasiat air sendang tergantung niat masing-masing,” tambahnya.
Setelah
puas mandi, saya jalan-jalan sambil melihat-lihat kedai-kedai penjaja makanan
oleh-oleh. Ada banyak kudapan, mayoritas dengan olahan goreng. Saya tertarik
keripik daun. Saya pikir keripik bayam. Ternyata daun-daun hijau berbalut
tepung itu keripik daun pegagan. Ada juga samiler atau kerupuk singkong, emping
jagung, intip atau kerak nasi. Semua seharga lima ribu rupiah per bungkus.
Matahari di atas ubun-ubun ketika
angkutan kami bergerak pergi. Tertinggal jejak-jejak kaki, terukir kelak
kembali.
@@@
Tidak ada komentar:
Posting Komentar