Iis Soekandar: Januari 2025

Kamis, 09 Januari 2025

Sekilat Mata Melihat

 

               Saya tiba di sebuah masjid, yang biasa saya sambangi, daerah Sidomukti, Kopeng, Kabupaten Semarang, suatu siang, pukul satu. Sambil beristirahat, saya memesan bakso. Tempat ini tidak ada sesuatu istimewa, selain udaranya sejuk dan banyak pepohonan. Saya terhibur, dibanding Semarang yang penuh polusi dan rumah-rumah berimpitan. Alih-alih menanam pohon, warga menanam tanaman-tanaman di pot-pot.

            Selain saya mencari suasana berbeda, tempat ini juga menghilangkan sesak. Pagi hari saya memanggil pedagang keliling, khusus menjual kebutuhan rumah tangga. Saya membeli spons cuci piring.

            “Tiwas manggil gak jadi beli,” kata pedagang memprotes.

            “Aku kan mau beli, Pak. Bapak bilang barangnya habis.”

            Kami berdebat, di antara rintik hujan belum reda. Saya menolak tawarannya membeli pencuci piring lain: serat kawat, atau serabut. Saya pergi, dia menceracau.

            Pesanan bakso datang, bersamaan dengan seorang wanita sekitar 30 tahun turun dari mobil, diiringi wanita lansia berkain kebaya. Dari pintu depan keluar dua anak laki-laki dan seorang lelaki dewasa. Tiga lelaki jalan di depan. Wanita itu mengiringi jalan wanita lansia, selangkah demi selangkah. Bakso segera saya habiskan, untuk segera salat.


           Pengunjung penuh. Saya bertemu lagi wanita 30 tahun dan wanita lansia. Kami berdiri di depan air kocehan: air khusus di depan kamar mandi dan tempat wudu, untuk orang baru datang agar membersihkan kakinya sebelum berwudu.

            “Bunga kertas itu bagus,” ungkap wanita lansia melihat tanaman bunga dari kejauhan. Suaranya putus-putus. Langit terang memantulkan rambut peraknya yang digelung. Rintik hujan baru saja berhenti, menyisakan bau khas. Angin dingin melintas.

            “Itu bunga betulan, Ma,” jawab wanita 30 tahun dengan suara meninggi. “Ini daerah pedesaan. Ngapain nanam tanaman plastik! Memangnya rumah kita?” tambahnya ketus.

            Saya langsung menoleh ke wanita itu. Ia ganti memandang saya. Sorot matanya tajam, seakan mengatakan, “Ngapain lu, orangtua gue!”

            Sekelompok orang keluar dari area wudu dan kamar mandi; saya mempersilakan keduanya.

            Tak ingin berlama-lama berteman dengan udara dingin, selesai salat, saya jalan-jalan ke pasar, tidak jauh dari masjid. Pasar itu selesai direnovasi. Sebagian bangunannya baru dan berganti fungsi. Tempat parkir berada di depan, di alam terbuka, yang dulu ditempati para pedagang buah-buahan, dan beratap. Kini, lapak-lapak buah-buahan menyatu dengan lapak-lapak tanaman, di dalam pasar. 

         Saya belum masuk pasar ketika seorang wanita lansia, berkain kebaya, menghampiri. Kerudungnya kresek hitam totol-totol air. Ia menggendong dunak dan baskom blirik hijau, berisi jualannya, camilan terbuat dari kacang tanah dan gula merah, dalam kantung-kantung plastik.

            “Beli ampyang… beli ampyang…,” pintanya sambil menyodorkan sekantung ampyang. Saya teringat wanita lansia di masjid tadi. Tanpa menawar, saya membeli. Apakah saya terenyuh? Apakah saya iba? Entah. Setelah menerima uang sepuluh ribu, dengan langkah sigap dia pergi untuk menghampiri pembeli lain.

            Saya pulang dengan hati masygul. Pedagang keliling tadi pagi kesal, mungkin karena belum laku satu pun barang dagangannya.

@@@



Jumat, 03 Januari 2025

Tamasya Bersama Jip Wisata Merapi

 

          “Minum Kuku Bima Energi, roso.” Itu kata-kata terkenal Mbah Maridjan, yang tiap hari saya lihat di televisi, sebelum Gunung Merapi erupsi pertama, dan menewaskannya, akhir Oktober 2010. Lereng Gunung Merapi semakin terkenal sejak dibuka tempat-tempat wisata. Saya tertarik karena pengelola menyediakan mobil jip. Saya membayangkan tentara-tentara zaman perang, mengendarai mobil jip, sebagaimana saya lihat di film-film. Tapi saya harus berombongan pergi ke sana. Teman-teman tertarik setiap kali saya bercerita wisata tersebut. Tapi rencana tinggal rencana, kami punya kesibukan masing-masing, dan tak punya kata sepakat.

            Setelah menunggu sekian lama, keinginan itu tersampaikan, 25 Desember, saya bersama tiga keponakan pergi ke Sleman, Yogyakarta, ke tempat wisata tersebut. Satu mobil jip berisi empat penumpang, dan sopir, sekaligus sebagai pemandu wisata. Waktu menunjuk pukul 12.30. Sebelum berangkat, di sebuah kedai, kami makan siang. Keponakan-keponakan protes, tidak ada makanan kekinian; mereka pergi ke supermarket terdekat. Saya menikmati makanan daerah: sepiring ketupat tahu: tahu putih digoreng, ketupat, tauge, kol, sambal kacang manis, daun seledri, topping: bawang goreng yang krispi, ditambah kerupuk di piring berbeda.

Wisata ini menawarkan paket 1, paling murah, Rp400.000,00, paket 2 Rp500,000,00, begitu seterusnya, hingga Rp1.000.000,00 lebih, bergantung sedikit banyak tempat wisata yang dikunjungi. Setiap pengendara jip wajib memakai topi tentara, yang disedikan pengelola, dan pelindung air seperti jas hujan, sekali pakai; kami membelinya Rp10.000,00, dari penjaja di sekitar lokasi. Setengah jam berikutnya kami berangkat. Petualangan dimulai.

Mobil melintas di jalan beraspal dengan kanan kiri pepohonan. Hawa dingin merasuki kulit, tertutup oleh kebahagiaan kami naik kendaraan tak biasa. Suasana semakin seru oleh suara knalpot brong mobil. Sebagian besar pengguna jalan adalah mobil-mobil Jip Wisata Merapi. Saya pikir hanya satu penyedia sewa Jip Wisata Merapi. Di pinggir jalan banyak saya temui pos-pos sewa Jip Wisata Merapi.

            Wisata pertama kami diajak ke Museum Mini Sisa Hartaku. Museum ini rumah pemberian warga. Sesuai namanya, museum menyimpan barang-barang tersisa, pada erupsi kedua, awal November 2010: jam dinding, perkakas-perkakas dapur, televisi, seperangkat gamelan, kerangka tulang sapi dan ayam, dll. Ada juga foto-foto terpampang di dinding seputar erupsi Merapi: para korban dan keadaan Gunung Merapi saat mengeluarkan awan panas dan lahar. Kami terenyuh melihat foto wanita lansia, bersama wanita muda yang menggendong anaknya. Wajah mereka bertabur debu. Mereka, dan penduduk sekitar tidak menyangka erupsi terjadi pada jarak 20 km dari Gunung Merapi, ketika tengah malam, tiba-tiba, genting rumah mereka seperti dilempari kerikil, dan itu material dari Gunung Merapi, berbeda rumah Mbah Maridjan berjarak 5 km.

            “Tapi tidak boleh ambil foto!” larang Mas Sopir ketika saya akan mengambil foto gunung Merapi memuntahkan lahar.

            “Memang kenapa?” tanya keponakan. Saya pikir akan terjadi semacam peristiwa mistis, wisatwan yang mengambil gambar dari museum itu.

            “Maksud saya, foto itu jangan diambil terus dibawa pulang ke rumah,” jelasnya. Kami langsung tertawa. Ia menghibur kami yang larut kesedihan.

            Kami puas melihat semua memori di museum; mobil jip kembali bergerak. Kami dibawa ke The Lost World Park. Taman itu dibangun untuk menyejahterakan penduduk sekitar. Setelah erupsi mereka kehilangan mata pencarian. Selain makanan daerah, mereka menjual makanan kekinian seperti es krim. Ada juga persewaan kain, kebaya lurik, dan selendang jumputan, untuk berfoto, dan permainan flying fox.

            Wisata berlanjut ke Bunker Kaliadem. Bunker ini dibangun untuk menyelamatkan penduduk dari erupsi. Bunker itu cukup ditempati 20 orang. Dari arah luar, sebelah kiri pintu masuk, tempat tabung gas, sebelah kanan kamar mandi.

            “Tapi bunker itu tak berfungsi, bisa dimasuki material erupsi. Dua relawan meninggal di dalam. Ada yang nyebur ke bak mandi. Tapi yang namanya erupsi, air juga panas. Tubuhnya seperti direbus,” cerita Mas Sopir.

            Kami sedih dan ngeri mendengarnya.


               Menuju perjalanan pulang, kami diminta mengenakan jas hujan. Saatnya kami bermain air, dan uji nyali. Ada kubangan, mobil jip digas, lalu… byur, beradu dengan mobil-mobil jip lain, selama beberapa putaran. Badan terbungkus jas hujan basah oleh air lumpur, dari kepala hingga kaki. Begitu permainan selesai, tas ransel yang sejak tadi saya dekap, saya periksa isinya. Syukurlah airnya tidak tembus ke dalam, Hp, kertas-kertas catatan, utuh. Saya lega.

             Dua setengah jam terlewat. Kami kembali ke pos, bersama Jip Wisata Merapi, laksana tentara-tentara menang perang.  

@@@