Iis Soekandar: Maret 2025

Kamis, 20 Maret 2025

Apa Ini?

                                                                                                

            Pak Ustaz menerjemahkan dan memberi keterangan-keterangan ayat-ayat suci yang dilantunkan. Keterangan-keterangan itu, selalu dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari. Ia akan kembali membacakan ayat-atat suci lalu menerjemahkan dan memberi keterangan-keterangan, demikian seterusnya hingga waktu jelang Asar. Dan menurut jadwal pengurus, pengajian dan khataman akan dilakukan tanggal 25 Ramadan.

            Langit mendung. Angin bertiup sejuk. Suara kendaraan-kendaraan terdengar ramai, dari para pembeli yang memenuhi kebutuhan Lebaran. Mereka berbelanja di pertokoan seberang jalan sisi kanan masjid.

Sebagian jemaah mendengarkan. Sebagian lain mencatat. Sebagian lagi mengantuk. Pandangan saya menyapu jemaah yang duduk di tengah, dan di pojok-pojok serambi masjid. Saya tak menemui pedagang keripik. Saya suka keripik tumpi(keripik kacang hijau). Mungkinkah pedagangnya tidak berjualan? Atau ia duduk di masjid bagian dalam? Saya duduk di undakan. Gerak saya leluasa.

Pedagang keripik menjual dagangannya sambil lalu. Ia duduk santai di tempat-tempat strategis. Ia menawarkan dagangannya di dalam tas anyaman, kepada orang-orang yang lalu lalang di depannya.   

Berbeda dengan pedagang-pedagang makanan lain, mereka menemui para calon pembelinya satu per satu. Ada pedagang tetap menawari walaupun saya tidak pernah membeli karena tak suka dagangannya.

Ada juga pedagang datang di tengah pengajian berlangsung. Ia duduk sebentar, sambil mencari-cari orang-orang yang pernah membeli dagangannya. Setelah menemukannya, ia tak segan nimbrung dan duduk di sebelah orang tersebut.

Saya harus menunda makan keripik jika tak menemukan pedagangnya. Karena kesibukan malam, saya tak punya waktu menikmati keripik. Saya tadarus bersama teman-teman setelah tarawih. Dan tadarus 30 juz selesai pertengahan Ramadan. Saya berjanji akan membeli keripik setelah tadarus selesai.

            Kami menutup Al-Qur’an. Pak Ustaz baru saja mengakhiri pengajian dengan doa. Tak lama kemudian…

            Pluk!

            “Apa ini?” tanya saya kaget.

            Saya belum sempat mengucapkan terima kasih kepada teman yang menjatuhkan tas kresek di pangkuan saya. Ia gegas pergi, tak mau tersalip mendung menjatuhkan airnya. Dan, sebahagia mendapatkan baju Lebaran, saat saya mengetahui isinya: sebungkus keripik tumpi.

            Suara azan terdengar; saya segera memenuhi panggilannya.

@@@


Kamis, 13 Maret 2025

Langit Terang di Ujung Sana

                                                                                         

Setelah setengah hari beraktivitas, sambil menahan lapar dan dahaga, tidur siang adalah langkah tepat. Tapi pengajian dimulai sekitar pukul satu siang. Pergi tidur dan pergi mengaji, berkelindan di benak saya.

Jika pertentangan dua hal itu merasuki pikiran, saya segera melintaskan dua pedagang yang biasa hadir dalam pengajian itu. Dan saya pun bergegas pergi mengaji.

Berbeda dari pedagang-pedagang lain yang menjual makanan, pedagang balon rajin menyambangi tempat pengajian. Ia menawarkan dagangannya kepada jemaah yang mengajak anak-anak kecil. Ia terkadang datang dua kali dalam durasi pengajian hampir dua jam. Padahal, jemaah yang hadir dan anak-anak kecil yang diajak tak berbeda. Sewajarnya, orang membeli mainan yang sama satu kali. Tapi ia lalu lalang, ke jemaah wanita, lalu ke jemaah lelaki.

                                                                                         

Satu lagi wanita lansia pedagang asongan yang menjual bermacam-macam jepit rambut, karet rambut, cotton bud, serabut pencuci piring, tutup termos, dll. Ketika jalan tanpa beban, saya yakin kakinya terseok-seok. Apalagi ia harus menarik gerobak minimalisnya. Gerobak beroda dua itu disangganya dengan kotak bekas wadah es krim agar berdiri ketika ia duduk bergabung dengan jemaah. Ia beristirahat sambil mendengarkan bacaan Al-Qur’an diselingi ceramah dari Pak Ustaz. Sesekali kantuk menyetainya.

Tak seperti para pedagang makanan yang laris manis, saya pernah duduk di sampingnya hingga pengajian selesai, tak satu pun pembeli membeli dagangannya.

“Setiap hari pasti ada yang beli, ya, Bu?” tanya saya berempati, bagaimana dia makan dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan lain.

“Yah, disyukuri saja,” jawabnya senyum-senyum, tak mau menjelaskan detail. Kami berbincang selesai salat Asar. Sesekali kami menyalami jemaah, yang menuruni undakan masjid, untuk pulang. 

Lalu dia bercerita tentang anak-anaknya yang tak pernah menyantuni. Ia tinggal di sebuah rumah yang tidak lagi ditempati pemiliknya. Sebetulnya ia juga menjual beberapa mainan anak-anak. Tapi modalnya tak kembali karena uangnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Saya manggut-manggut dan mendoakan dalam hati agar ia diberi rezeki sehingga dagangannya tetap ada. Ketika saya bertanya apakah ia juga berbuka puasa di masjid ini, saya tersadar mendengar jawarabannya. Ia berbuka di masjid lingkungan tempat tinggalnya. Ia tidak berani pulang malam. Ia butuh waktu lama berjalan dari masjid ke rumahnya, sambil menarik gerobak minimalisnya.

Satu orang bersandar di pilar serambi masjid dengan mata terpejam. Dua lainnya tergeletak di lantai. Aroma sedap makanan dari penjaja makanan di alun-alun melintas. Daun-daun kemboja bergerak-gerak saat angin bertiup. Kami berpisah. Pedagang asongan menarik gerobaknya; jalannya satu langkah satu langkah. Di antara perjalanan pulang, saya melihat langit terang di ujung sana.

@@@


Kamis, 06 Maret 2025

Impas

            Puasa Ramadan identik cuaca panas. Dahaga adalah salah ujian yang harus dilalui setiap Muslim, begitu terasa. Namun, Ramadan tahun ini bertepatan bulan Maret, yang menurut penanggalan, hujan rajin menyambangi.

            Pengajian selesai. Kami menuntaskan dengan salat Asar di masjid. Saya bersama jemaah berburu takjil. Saya mencari ketan biru, makanan khas Semarang, terbuat dari beras ketan berwarna biru, di atasnya diberi enten-enten. Saya berkeliling alun-alun dan sekitarnya, membaca satu per satu tulisan makanan di depan kedai-kedai. Pedagang ketan biru biasanya juga menjual lontong opor.

            “Wah, di mana ya. Saya nggak lihat tuh, penjual ketan biru,” jawab penjual aneka jus buah yang saya tanya. Saya tinggalkan wanita itu bersama suara berisik alat jus yang sedang melumat jambu biji merah.

            Tak lama air dari langit turun rinai. Saya gegas pulang. Tidak bijaksana jika saya terus memburunya di tempat-tempat lain.  Saya harus menjaga kesehatan. Demi mengurangi rasa kecewa, saya lewati sore-sore bersama buku bacaan.

            Saya pikir buku ini hanya membahas kuliner Semarang. Istilah Semarangan mengacu kuliner Semarang dan daerah-daerah pantai utara Jawa Tengah: Batang, Demak, Kudus, Jepara, Pati, Lasem, Grobogan, dan Purwodadi. 

            Kuliner akulturasi masyarakat Tionghoa, Islam, Hindu, merupakan bagian dari makanan keseharian masyarakat Semarangan. Bangsa-bangsa asing itu datang di Indonesia untuk berdagang.

            Di Semarang, lumpia, bakso, lontong cap go meh, bolang baling adalah contoh akulturasi masyarakat Tionghoa, juga swike khas Purwodadi. Begitu pun bacang: makanan berbahan beras ketan yang diberi isian daging, dan dibungkus daun bambu, sangat mudah ditemui di Lasem pada hari-hari biasa. Sedangkan kuliner Jepara mendapat pengaruh dari Tionghoa, Arab, dan Belanda. Jepara dikenal sebagai kota pelabuhan yang sering disinggahi kapal-kapal asing.

            Kuliner Demak dan Kudus dipengaruhi agama Hindu. Masyarakatnya tidak makan daging sapi, melainkan daging kerbau.

            Selain pengaruh negara-negara asing, kuliner Semarangan juga dipengaruhi kondisi alam. Potensi Semarangan adalah padi, ubi, jagung, kedelai, kacang tanah, dan kacang hijau.

            Getuk runting adalah kudapan khas Pati, terbuat dari ubi kayu, di atasnya ditaburi serudeng. Sedangkan olahan jagung, seperti nasi jagung dan jagung goreng, banyak dijumpai di Grobongan.

            Beberapa daerah Semarangan mempunyai gunung dan pengunungan sehingga potensi produksi buah dan sayur mencukupi.

            Buku ini juga dilengkapi resep kuliner Semarangan dan gambar-gambar makanan dan minuman yang menarik.

            Mendapatkan pengetahuan kuliner Semarangan, impas bagi saya, sebagai kompensasi tak menemui ketan biru.

@@@