Sore
itu, Galih disuruh membeli beras oleh ibu di warung. Kebetulan persediaan beras
di rumah habis. Ibu belum sempat pergi ke pasar.
“Beli beras tiga kilo, Bu Min!”
pinta Galih. Bu Min, pemilik warung, sedang menimbang gula.
“Tunggu sebentar, Galih,” jawab Bu
Min sambil menyelesaikan timbangan gula setengah kilo. Di sebelahnya sudah ada
beberapa bungkus gula pasir ukuran setengah kilo.
“Lih, ternyata kamu juga belanja di warung,” sapa Andi di
balik masker wajahnya, tiba-tiba sudah berada di sebelah Galih.
Galih dan Andi teman sekelas. Mereka
sama-sama sedang disuruh ibunya membeli sembako. Galih merasa kebetulan bisa
bertemu dengan teman sekelas sekaligus tetangganya itu. Dia bisa menyampaikan
keluh kesah yang dirasakan wali kelasnya, Bu Ning. Sebagian teman-temannya
tidak mengerjakan tugas, termasuk Andi. Galih sebagai ketua kelas.
“Tugas-tugasmu sudah selesai, Ndi?” tanya Galih.
“Masih ada yang kurang,” jawab Andi.
“Bukankah besok hari Sabtu, saatnya
mengumpulkan tugas-tugas satu minggu?” Galih mengingatkan.
“Ah, tenang,” jawab Andi santai.
Galih geleng-geleng kepala.
Setelah mendapatkan beras tiga kilo
dan membayar, Galih pergi. Sedangkan Andi masih menunggu Bu Min menimbang beras
pesanannya.
Seminggu lalu ketika Galih mengumpulkan
tugas-tugas di sekolah, Bu Ning mengeluh. Beliau mengatakan bahwa masih ada
teman-teman sekelas Galih yang malas mengerjakan tugas. Mereka ingin Bu Ning
menjelaskan dan menuliskan materi di papan tulis sebagaimana di kelas. Padahal
para orangtua belum menyetujui pembelajaran tatap muka.
@@@
Galih baru saja menyelesaikan tugas
sekolah ketika ibu menyuruhnya membersihkan warung. Walaupun belum dipakai lagi
berjualan, setiap hari warung itu dibersihkan. Warung itu terletak di sebelah
rumah. Sejak pandemi bapak tidak berjualan mi ayam di tempat. Para pembeli datang
ke rumah lalu dibawa pulang. Tetapi pembeli tidak seramai dulu.
Galih membuka pintu dan jendela warung
agar udaranya segar. Setelah itu mengelap debu yang menempel di meja, kursi, dan
perkakas lain dengan kemucing. Tidak lupa Galih juga mengelap baki bundar yang
sengaja bapak gantung di dinding. Baki itu biasa digunakan bapak bila pembeli
datang berombongan. Tujuannya agar pesanan cepat sampai ke pembeli. Sedangkan
mangkuk, sendok, garpu, dan gelas disimpan di lemari. Setelah itu barulah Galih
menyapu lantai.
Ada spidol tertinggal di meja. Pasti
milik Mas Bagas, kakaknya. Warung ini sering menjadi tempat belajar Mas Bagas karena
mejanya panjang dan lebar. Mas Bagas leluasa mengerjakan tugas-tugas sekolah.
Galih menemukan ide. Ia segera
menghubungi wali kelasnya itu melalui android ibu. Begitu mendengar usul Galih,
Bu Ning langsung menyetujui.
@@@
Pagi itu, Galih, Andi, Lesti, Dewi,
dan Bimo berkumpul di warung mi ayam bapak. Mereka sedang menunggu Bu Ning. Mereka
akan belajar secara tatap muka.
“Lih, kenapa baki itu kamu sandarkan
di kotak etalase? Bukankah biasanya kamu gantungkan di dinding?” tanya Andi.
Kotak etalase dulu untuk meletakkan mi dan bahan-bahan mi ayam lain.
“Ini baki sakti,” jelas Galih.
Tentu saja yang lain penasaran.
Tidak lama Bu Ning datang dengan mengendarai sepeda
motor.
“Anak-anak, hari ini Ibu sengaja
mengajak kalian belajar secara tatap muka. Ibu berterima kasih kepada keluarga
Galih. Keluarga Galih telah menyediakan tempat ini untuk dipakai belajar,”
jelas Bu Ning.
Murid-murid tampak senang. Mereka
rindu sekolah di kelas seperti dulu. Rumah mereka satu lokasi. Bu Ning sengaja mendatangi
anak-anak yang rumahnya berdekatan.
Sesekali Bu Ning menerangkan,
sesekali menuliskan materi di baki dengan spidol.
“Ternyata baki itu sebagai pengganti
papan tulis,” tukas Desi dengan lirih.
“O ... jadi itu yang kamu bilang
baki sakti?” kata Andi kepada Galih.
“Iya, selain sebagai tempat
menghidangkan makanan, juga sebagai papan tulis. Maaf, Bu, saya harus
menjelaskan,” ungkap Galih.
“Tidak apa-apa, Galih. Ibu tidak
kuat membawa papan tulis, anak-anak. Syukurlah, Galih memberikan ide. Jadi
bagaimana, apakah kalian merasa jelas dengan tulisan Ibu di baki?” tanya Bu Ning.
“Jelas, Bu,” jawab mereka serempak
dengan senang hati.
Tidak hanya dengan Galih, Andi,
Lesti, Desi, dan Bimo, Bu Ning juga mendatangi murid-muridnya yang lain. Bu Ning
meminta salah satu menyediakan baki sebagai pengganti papan tulis. Jika tidak
ada, Bu Ning yang membawa dari rumah.
Sejak itu tidak ada lagi anak-anak
yang malas. Mereka rajin mengerjakan tugas-tugas berkat baki sakti, ide dari Galih.
@@@
Cerpen
ini pernah dimuat di koran Kedaulatan Rakyat, Jumat 30 Juli 2021