Langit tampak cerah. Berbeda dari biasanya, hujan
turun beberapa hari terakhir. Di ufuk barat, matahari masih menyinarkan
sinarnya. Suasana kampung ramai. Apalagi ini hari Minggu, hari libur. Sebagian
anak bermain sepeda. Ada pula yang membeli kue. Beberapa tukang kue menjajakan
jualannya. Ada juga yang hanya jalan-jalan.
Tidak lama Dhimas dan orangtuanya pulang dari
bepergian. Mereka mengendarai sepeda motor. Begitu turun dari sepeda motor,
Dhimas langsung menghampiri penjual putu bumbung yang mangkal di seberang
rumahnya. Putu bumbung banyak disukai anak-anak. Selain rasanya lezat, putu
bumbung menimbulkan bunyi
ngiiiiiing saat dimasak.
“Tumben kamu pakai masker,” tegur Alvin yang sudah
terlebih dahulu mengantre membeli putu bumbung. Biasanya, Dhimas enggan memakai
masker saat keluar rumah. Kecuali dia pergi bersama kedua orangtuanya.
“Sssttt…. jangan keras-keras, nanti terdengar orangtuaku. Mereka juga
menunggu ingin segera makan putu bumbung,” jelas Dhimas. Kedua orangtuanya
sedang bercakap-cakap di teras.
Dhimas dan orangtuanya baru saja dari tempat wisata.
Karena masih masa pandemi, mereka berwisata ke tempat wisata dalam kota.
Sebagaimana kesenangan Dhimas, mereka pergi ke Monumen Tugu Muda. Monumen Tugu
Muda dibuat untuk mengenang jasa pahlawan sehingga Kota Semarang terbebas dari
penjajah. Di sekeliling Tugu Muda ada kolam dan air mancur. Dhimas paling suka
berswafoto dengan latar belakang air mancur. Apalagi, sore itu cuaca cerah
sehingga air mancur dinyalakan. Di sana juga ada taman untuk tempat bermain.
Setelah menunggu beberapa lama, Dhimas pulang dengan
membawa sepuluh buah putu bumbung. Mereka menikmati putu bumbung yang masih
hangat.
ilustrasi: Bobo
Jika cuaca tidak hujan, Dhimas dan Alvin bermain
sepeda. Hal ini untuk menghindari rasa bosan karena pembelajaran sekolah masih
berlangsung di rumah secara daring.
“Dhimas, maskermu mana?” tanya Alvin saat Dhimas
sudah sampai di depan pagar rumahnya.
“Malas pakai masker, ribet. Ayo, kita segera bermain
sepeda. Mumpung tidak hujan,” ungkap Dhimas langsung mengayuh sepedanya dengan
kencang. Alvin selalu gagal setiap kali meminta sahabatnya itu memakai masker.
Mereka bersepeda mengitari taman. Selain bersepeda
ada anak-anak yang duduk-duduk menikmati bunga-bunga yang sedang mekar.
Saat mereka sedang asyik bersepeda, tiba-tiba
seseorang memanggil Dhimas dari samping. Ternyata beliau Pak Lurah.
“Dhimas, berapa kali Bapak minta agar kamu memakai
masker,” tegur Pak Lurah. “Sekarang masih pandemi. Pemakaian masker berguna
agar kita tidak terpapar atau memaparkan virus COVID-19,” jelas Pak Lurah
berulang kali, tetapi Dhimas tetap memandel.
Walaupun di luar jam kerja, Pak Lurah mengelilingi daerahnya.
Beliau menindak warganya yang tidak mengikuti protokol kesehatan, di antaranya
tidak memakai masker saat keluar rumah.
Dhimas hanya senyum-senyum. Setelah itu, dia mengerti apa yang
harus dilakukan.
Seperti biasa, bagi siapa saja yang melanggar
protokol kesehatan diminta menyanyikan lagu perjuangan. Selain sebagai hukuman,
juga agar cinta tanah air. Dhimas menyanyikan lagu “Garuda Pancasila”. Garuda
Pancasila. Akulah pendukungmu. Patriot proklamasi. Satria berkorban untukmu….
Anak-anak yang menonton pun bersorak-sorai. Mereka
bertepuk tangan begitu Dhimas selesai menyanyikan lagu “Garuda Pancasila”.
Wajah Dhimas merah padam karena malu. Namun,
Dhimas tidak jera. Dia sudah berkali-kali terkena hukuman karena tidak memakai
masker, kemudian diminta
menyanyikan lagu perjuangan.
@@@
Suatu sore,
Dhimas kembali menemui Alvin untuk bersepeda. Kali ini ada
yang berbeda dari Alvin. Alvin memakai masker motif batik. Warnanya kombinasi
hijau dan kuning.
“Alvin, maskermu baru, ya?
Bagus, gambarnya lawang
sewu,” tukas Dhimas tertarik.
“Aku membeli di tempat Pak Tikno. Pak Tikno menjual
masker batik dengan gambar-gambar ciri khas Kota Semarang. Selain lawang sewu,
ada juga gambar tugu muda, warak, burung blekok, gereja blenduk, dan buah asam.
Warnanya pun beragam,” jelas Alvin.
“Wah, ada gambar tugu muda dan warak. Antarkan aku ke Pak Tikno!” pinta
Dhimas penuh semangat. Dhimas buru-buru masuk mengambil uang.
“Ayo.” Tentu saja Alvin senang. Temannya itu akan
memakai masker.
Setelah mengambil uang, Dhimas dan Alvin pergi ke
rumah Pak Tikno. Rumah Pak Tikno di gang sebelah.
Sejak di-PHK dari perusahaan konveksi, Pak Tikno
menjual masker kain batik dengan gambar ciri khas Kota Semarang. Selain untuk
menghidupi keluarganya, beliau ingin anak-anak bersemangat memakai masker saat
keluar rumah. Masker yang dibuat terdiri dari dua lapis kain. Namun,
Pak Tikno tetap mengingatkan untuk
memakai 2 lapis masker. Masker buatannya yang unik digunakan di sebelah luar.
Dhimas membeli masker batik dengan gambar tugu muda
dan warak, warna kesukaannya, merah dan putih. Sore itu dia memakai masker
gambar tugu muda. Dia berjanji akan mengoleksi masker batik berciri Kota
Semarang yang dibuat Pak Tikno. Ternyata,
tidak hanya Dhimas dan Alvin, anak-anak lain juga senang membeli masker di
tempat Pak Tikno.
Kini tidak terdengar lagi ada anak menyanyikan lagu perjuangan.
Semua tertib mengikuti protokol kesehatan. Pak Lurah pun senang semua warganya
menaati peraturan.
@@@
Cerita anak ini pernah dimuat di majalah Bobo, 24 Maret 2022