Iis Soekandar: Desember 2019

Selasa, 31 Desember 2019

Penuh Warna

                                                                                               
          Dunia menulis penuh warna. Melalui proses kreatif, apa saja bisa ditulis. Ada kalanya untuk sebuah tulisan harus membaca berbuku-buku, bertemu narasumber, belum lagi mencari diksi yang tepat. Sementara tulisan lain dengan bebas menuangkan kalimat-kalimat, mengembara bersama tokohnya mengiikuti alur cerita. Ada juga karena keterbatasan halaman harus pandai mengutak-ngatik sedemikian rupa, sehingga persyaratan dari media tujuan terpenuhi. Yah, hidup menjadi tidak membosankan.
Kilas Balik saatnya intronspeksi yang telah terjadi sekaligus menata diri untuk hari depan. Tidak terlalu menggembirakan karena masih ada yang terlepas. Tapi harus disyukuri. Setidaknya untuk media koran 12 karya terpenuhi sepanjang tahun 2019.
1.      “Persahabatan Sempi dan Pusi”, cerpen anak, terbit di Koran Solopos, 6 Januari 2019
2.      “Persahabatan Wijay, Raka, dan Andi”, cerpen anak, terbit di Koran Lampung Post, 24 Februari 2019
3.      “Cerita dari Desa Suka Makmur”, cerpen anak, terbit di Koran Kedaulatan Rakyat, 10 Maret 2019
4.      “Jerapah yang Serakah”, cerita fabel, terbit di Koran Lampung Post, 14 April 2019
5.      “Menumbuhkembangkan Budaya Membaca dengan Metode KWL”, esai, terbit di Koran Solopos, 23 Juni 2019
6.      “Pentingnya Literasi dalam Keluarga”, opini, terbit di Koran Analisa, 22 Juli 2019
7.      “Njagong di Seberang Jalan”, cerita lucu, terbit di Koran Solopos, 23 Juli 2019
8.      “Pojok Baca, Sarana Mengatasi Krisis Literasi”, esai, terbit di Koran Solopos, 29 September 2019
9.      “Kok Bukan Pak Jon?”, cerita lucu, terbit di Koran Solopos, 24 Oktober 2019
10.  “Es Krim Bola-Bola Tante Kayla”, cerpen anak, terbit di Majalah Bobo, 14 November 2019
11.  “Laki Lucky”, cerpen remaja, terbit di Koran Padang Ekspres, 15 Desember 2019
12.  “Menjadi Guru Abad Ke-21”, esai, terbit di Koran Solopos, 22 Desembar 2019
Selain menulis untuk media koran dan majalah, beberapa lomba menulis juga saya ikuti.
1.      “Tembong”, cerpen remaja, karya terpilih dalam buku antologi, Lomba Menulis Cerpen Bersama Uda Agus, tema Putih Abu-abu.
2.      “Warak, Antara Ikon dan Lelakon”, esai, karya terpilih dalam buku Antologi, Lomba Menulis Esai bagi Guru Jawa Tengah, penyelenggara Balai Bahasa Jawa Tengah
3.      Laundry Ibu, novel anak, finalis lomba menulis novel anak, penyelenggara Penerbit Indiva.
4.      “Halaman Bergaris Pink” cerpen remaja, karya terpilih dalam buku antologi, penyelenggara Dodolibret Publishing (entah bagaimana nasibnya, sampai sekarang bukunya belum dicetak).
Berharap tahun 2020 masih diberi kesempatan berkontribusi pada media-media yang tertuju. Dengan menulis berarti ikut mencerdaskan bangsa dan berguna bagi banyak orang. Semoga! Amin!
@@@


Senin, 23 Desember 2019

Menjadi Guru Abad Ke-21

                                                                                       

        Zaman terus berkembang. Agar tidak tertinggal dengan bangsa-bangsa lain, Pemerintah perlu menciptakan generasi-generasi yang mampu menjawab tantangan abad ke-21 ini. Lebih jauh terwujud Indonesia Emas 2045. Kurikulum Tingkat Satuan Pelajaran (KTSP) yang menjadikan guru sebagai subjek, kini diganti dengan Kurikulum 13. Peserta didik sebagai subjek, guru sebagai fasilitator. Peserta didik menjadi pribadi mandiri dan mampu  mememcahkan permasalahan dalam pembelajaran dengan baik.
Maka agar dapat menjalankan tugasnya sebagai fasilitator, guru perlu menanamkan pada dirinya terlebih dahulu keterampilan abad ke-21 yang meliputi: kemampuan beradaptasi dengan lingkungannya yang dinamis dalam Penguatan Pendidikan Karakter (PPK), menerapkan keterampilan dasar sehari-hari dengan berliterasi, dan memecahkan masalah kompleks.
            Pendidikan karakter berhubungan dengan perilaku dan pembiasaan yang termaktub dalam relegius, nasionalis, mandiri, gotong royong, dan integritas. Ada falsafah Jawa yang mengatakan, guru digugu dan ditiru. Semua tingkah laku dan tutur kata guru menjadi contoh bagi peserta didiknya. Dalam kesempatan apapun bersama peserta didik sebaiknya guru menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar sebagai sikap nasionalis. Tidak ada manusia yang terbebas dari masalah, termasuk guru. Seberat apapun masalah yang sedang dihadapi, guru tidak boleh membawanya ke kelas. Jika tidak dapat menahan, maka integritas guru bisa tercoreng dengan melampiaskan amarah di depan peserta didik. Begitupun pembiasaan nilai-nilai pendidikan karakter lain yang diimplentasikan dalam kehidupan sehari-hari.
            Literasi tidak hanya baca dan tulis, tetapi juga menyangkut lima literasi dasar lain. Guru mampu menganilisis berkaitan dengan bilangan, grafik, tabel, dan simbol-simbol dalam literasi bilangan, menjelaskan, mengevaluasi, menginterpretasi data dan bukti sains, serta sensitif menangapi fenomena alam dalam literasi sains, mengelola keuangan dengan baik dalam literasi keuangan, yang tidak kalah penting adalah melek teknologi sebagai amalan literasi digital. Zaman sekarang masih ada guru yang gaptek. Padahal dengan menguasai teknologi digital, guru dengan mudah menciptakan pembelajaran bervariasi, tidak hanya metode ceramah yang membosankan. Tidak membedakan peserta didik berkaitan dengan ras, suku, dan agama serta menghargai budaya setempat yang termasuk pengamalan literasi budaya dan kewargaan.
            Sedangkan memecahkan masalah kompleks berkaitan dengan Membiasakan diri berpikir kritis, di antaranya membuat Rancangan Pelaksaan Pembelajaran (RPP) yang inovatif. Tidak ada peserta didik yang bodoh. Melainkan guru kurang mampu mencari model pembelajaran yang sesuai dengan macam-macam karakter siswa.
            Menjadi guru tidak cukup sebagai pegawai yang menerima gaji sesuai kewajiban mengajar. Tetapi juga memiliki jiwa layaknya orangtua yang sedang mendidik anak kandungnya. Dengan demikian akan timbul dari hati untuk memandaikan mereka dengan penuh ketulusan, tidak semata-mata mentrasfer ilmu. Semoga kelak terwujud generasi emas 2045 yang berdaya saing dan berjiwa Pancasila.
@@@
esai ini pernah terbit di Koran Solopos, Minggu 22 Desember 2019

Jumat, 20 Desember 2019

Laki Lucky

                                                                                       

Tha tha tha that
            Rima buru-buru membuka ponsel begitu bunyi chat terdengar. Namun yang ditunggu jawaban dari teman sebangku tentang pekerjaan rumah tak seperti yang diharapkan.
            Maaf, Rim, aku Arjuna, ini nomor ponselku yang baru
            Uh, siapa nanya? Rima lunglai. Hampir saja ponselnya terjatuh. Tak sulit menemukan nama Arjuna dalam ensiklopedi daftar nama kenalannya. Hanya satu, yah hanyaArjuna si Tetangga satu kampung. Beberapa bulan terakhir gerak-geriknya `mencurigakan`, begitu istilah Rima, bagi seseorang yang membuat badannya meriang tak karuan. Terlepas orang itu sebetulnya ingin memberikan panah-panah asmara kemudian membuatnya berbunga-bunga kelak. Rima yang manis, rambut ikal sebahu, tinggi semampai, berkulit bersih,  ah apa yang kurang darinya.
            Arjuna adalah laki-laki kesekian yang mengharap cinta Rima. Rizky yang agresif, sering datang ke rumah dan membawakan kebab, camilan kesukaannya. Zulfan yang senantiasa ingin mengulurkan tangannya perihal tugas sekolah, hingga membuat Rima tersinggung. Sebab Rima tidak termasuk siswa pas-pasan kemampuan akademiknya. Mereka hanyalah laki-laki yang terang-terangan menunjukkan keinginannya. Entah siapa yang secara diam-diam juga punya hasrat sama tapi tak kesampaian.
            “Lagi suntuk ya Rim?” ledek Lia tetangga sebelah rumah. Dia baru saja pulang dari kegiatan sekolah.
            “Ah...eh ... enggak,” Rima terperanjat lalu buru-buru memperbaiki sikapnya yang manyun.
            Padahal satu kali pun Rima tidak pernah memberikan nomor ponsel. Kembali pikirannya merutuk pada sikap Arjuna begitu dirinya kembali seorang diri. Barulah dia tersadar, mudah bagi laki-laki itu mendapatkan nomor ponselnya. Melalui RT, kelurahan, atau dari data administrasi lain. Bahkan berpapasan berusaha keras membentengi diri agar laki-laki ceking itu tak menegurnya. Yang terjadi seperti yang diharap, Ajuna hanya memandangi paras wajahnya yang putih, namun jutek.
            Kisah Arjuna segera berlalu begitu ponsel berbunyi untuk kedua kali dan itu dari sahabatnya. Ditumpahkan segala uneg-uneg. Namun tidak seperti yang diharapkan, sesaat setelah teman sebangkunya memberikan jawaban soal.
            Kau tak perlu terus-terusan menghindar. Coba selami. Terbuka, Rim
            Saat itu juga ponsel ditutup dan langsung masuk ke rumah. Rima mengerjakan soal dengan hati jengkel.
@@@
            Hari-hari terakhir,hati Rima tak menentu.Dia sendirian semenjak teman sebangkunya ikutan merutuki sikapanya yang tidak membuka diri terhadap Arjuna.
            “Kenapa sih langsung menolak? Kamu belum tahu isinya. Sebagai sahabat aku tidak mau kau menyesal kelak karena dia sudah keburu disambar gadis lain,” sergah teman sebangkunya suatuketika.
Tahuapa dia, mengharuskan aku mencoba menyelami hati Arjuna. Cinta itu datang dari pandangan pertama. Dan tak perlu dipaksa jika memang harus sendiri. Bukannya dari seringnya bertemu kemudian lama-lama menjadi suka. Mentang-mentang dia orang Jawa, ngutip pepatah Jawa, tresno jalaran soko kulino. Buktinya beberapa kali berpapasan malah membuat badan  kemudian panas.Tak sedikit pun ada getar.
Mungkin Rima yang terlalu keras kepala.
Kali ini Rima duduk-duduk manja di bawah pohon sirkaya depan rumahnya, kebiasaan yang lama tak dilakoni semenjak hujan berhari-hari mengguyur. Entah sore ini, sepertinya hujan sedang mempersilakan Rima untuk menikmati sore, setelah tadi turun begitu deras. Langit terang walaupun sedikit awan bergerombol di atas sana. Sedikit menghibur hatinya. Terasa Rima mendapatkan teman baru dari sesuatu lain dengan adanya suasana yang berbeda. Angin mengayun rambutnya yang bergelombang. Udara sejuk mengingatkannya situasi kontras saat musim panas mengganas begitu lama.
Keindahan sore terganggu dengan lintasan seseorang yang justru sedang dihalau. Langkah Arjuna membelok di rumah sebelah membuat Rima dapat memandang dengan jelas. Tak sengaja pandangannya mengarah ke rumah Lia sambil menyelonjorkan kaki,  menghilangkan penat. Kini gangguan itu tak hanya matanya tapi merambah ke pikiran.
Untuk apa Arjuna ke rumah Lia. Kalaupun ingin menemui saudara lelaki Lia, bukankah mereka sedang tidak berada di sini, tetapi kuliah di luar kota? Lia juga tidak satu sekolah dengan Arjuna.
Walaupun satu tingkat, Rima, Arjuna, dan Lia tidak pernah saling berhubungan, termasuk urusan sekolah. Mereka hanya sebatas tetangga dan bertegur sapa saat bertemu. Hanya belakangan karena tak berkehendak di hati, sikap Arjuna tak diterima Rima.
Tapi benarkah tak berkehendak di hati? Kali ini Rima benar-benar terusik. Tanda tanya mengapa Arjuna tak hanya sekali datang ke rumah Liapada kemudian hari terus menghantui. Yang membuat tak disangka karena gadis yang didekati adalah tetangga sebelah rumahnya. Hal yang akan dilihatnya di depan mata bila sesuatu yang tak disangka bakal terjadi. berbeda dengan Zulfan, Rizky dan entah siapa lagi. Rima bisa menghindar.
Diam-diam dia menyesali sikapnya selama ini. Kalau saja waktu boleh berulang....
Kelak Arjuna tak bakal ditolak lagi. Siasatnya mendekati Lia yang sengaja direncanakan keduanya,  berhasil mengelabuhi Rima. Arjuna sungguh laki lucky.
@@@

Cerpen remaja ini pernah terbit di koran Padang Ekspres, Minggu 15 Desember 2019

Selasa, 17 Desember 2019

Warak, Antara Ikon dan Lelakon

                                                                                       

             Sebetulnya saya tidak sengaja menulis pengalaman ini untuk dikutsertakan ke dalam lomba. Karena saya sudah menulis dua karya lain dalam Lomba Menulis Esai bagi Guru Jawa Tengah 2019 yang diadakan oleh Balai Bahasa Jawa Tengah. Tetapi karena keresahan selalu nyesek bila tidak ditulis, akhirnya saya tulis pengalaman ini. Biasanya saya menuangkannya ke dalam cerita fiksi. Kebetulan batas waktu lomba di Balai Bahasa Jawa Tengah belum usai,  seru nih ditulis dalam bentuk esai.
                                                                                   

           Alahamdulillah, tulisan yang tidak disangka terpilih mendampingi pemenang utama dan masuk dalam buku antologi Esai bagi Guru Jawa Tengah 2019. Saya pun diundang dalam peluncurannya bersamaan dengan penyerahan piala Prasidatama. Prasaditama adalah piala yang diberikan kepada para pengguna dan apresiator bahasa dan sastra di Jawa Tengah oleh Balai Bahasa Jawa Tengah. Para penerima Prasidatama sebagian dari instansi pemerintah, sekolah, sebagian lagi para seniman penulis puisi, cerpen, dan novel. Semua berdomisili di Jawa Tengah. Bertambah pengalaman dengan membaca esai dari teman-teman guru. 
                                                                                


          “Warak, Antara Ikon dan Lelakon” bertutur tentang warak. Bagi masyarakat Semarang warak bukan hal asing. Warak sebagai ikon saat tradisi megengan atau dugderan. Tradisi dugderan diadakan dua minggu menjelang puasa Ramadan di alun-alun Masjid Besar Semarang. Puncak dugderan pada hari terakhir dihadiri Walikota Semarang. 
Warak adalah replika binatang yang mencerminkan kondisi masyarakat Kota Semarang. Masyarakat Semarang yang terbuka dalam keberagaman budaya. Warak berkaki empat melambangkan hewan kambing sebagai implementasi orang Jawa, badannya seperti onta sebagai implementasi bangsa Arab, sedangkan kepala yang mirip naga melambangkan bangsa Cina. Cerita yang ada sejak zaman Kanjeng Bupati Semarang sangat relawan dengan kondisi Kota Semarang sebagai ibukota provinsi. Layaknya ibukota yan harus menerima masyarkaat urban tentu saja persatuan di antara perbedaan sangat dibutuhkan demi keamanan, kedamaian, dan kenyamanan. 
                                                                     
gambar warak
Dulu ketika saya kecil, warak banyak dijual bahkan sebagian disertai endhog (Jawa) atau telur. Tentu saja telur asin agar tahan hingga berhari-hari. Jadi, namanya warak ngendhok. Endhok sebagai isyarat bahwa setelah puasa satu bulan mendapatkan hadiah pahala. Tetapi sudah lama warak tidak disertai endhog. Bahkan tahun ini, saat dugderan  tidak satu pun saya temui pedagang warak, dari pangkal hingga ujung alun-alun. Hal inilah yang menjadi keresahan. Mengapa warak tidak ada, mengapa pedagang tidak lagi memproduksi.

Ada keraguan saat proses hingga menjadi tulisan. Bertutur pada kejadian yang terjadi di Kota Semarang. Jadi, belum tentu dari daerah lain mengetahui objek yang saya tulis.  Apalagi saat survei. Baru pencarian keempat berhasil menemui perajinnya. Hampir saja saya gagalkan dan tidak jadi menulis. Dulu masyarakat kampung tersebut terkenal pembuat warak. Sekarang tinggal satu orang. Itu pun hanya melayani pemesanan.
                                                                        
Mungkin karena esai ini berkaitan dengan kearifan lokal, dan tentu saja memenuhi syarat sebagai penulisan sebuah esai dan layak dibukukan. Mengutip catatan panitia, ada 104 karya yang mengikuti lomba, tetapi hanya 40 % memenuhi syarat sebagai penulisan esai.

Warak masih menjadi ikon. Di sana sini banyak terdapat gambar warak, dari pintu gerbang, posko kemanan, dan beberapa pembatas jalan selama tradisi dugderan berlangsung. Tetapi perjalanan atau lelakon warak tidak secemerlang posisinya sebagai ikon.

Semoga pemerintah daerah lebih menguri-uri kearifan lokal dengan menggairahkan para perajin warak. Agar para generasi penerus, anak-anak kecil, mengenal warak ngendhok. Warak tidak saja sebagai permaianan anak, tetapi filosofi yang terkandung di dalamnya begitu mulia.
@@@