RUMAH KAYU LANTAI DUA
Oleh
: Iis Soekandar
Kakinya melangkah menaiki anak tangga
satu per satu demi mengejar waktu. Seember cucian yang biasa dikerjakan dua
hari sekali berselang dengan menyetrika terangkat di tangan kanannya. Entah waktu
mana yang membuatnya terburu-buru karena sebenarnya tak ada sesuatau pun yang
mengharuskannya segera selesai. Baik cucian itu tergerai di tali bahkan harus
kering. Begitupun tak ada kegiatan lain seperti yang biasa dikerjakan,
sebagaimana filosofinya, selesai pekerjaan satu lanjutkan pekerjaan lain. Tidak
lain hanya ingin segera menyelesaikan. Setelah itu saatnya beristirahat siang.
Dilembarkannya setiap potong baju di
tali yang sengaja disiapkan untuk menggerai jemuran. Sedangkan baju-baju resmi
tergantung di hanger. Tidak saja sebagai batas etika bagi pemandangan,
dibanding menjemur di luar sebagaimana tetangganya yang tidak memiliki lahan,
yang lebih penting supaya terhindar dari seseorang yang memburu dan membuatnya
semakin merasa resah sekaligus bersalah.
Rumah lantai dua semua bahan terbuat
dari kayu sengaja diperuntukkan sebagai
penangkal aib jemuran. Dibangun sejak kedua orang tuanya masih hidup. Selebihnya
berfungsi sebagai gudang. Barulah kemudian lantaran kebutuhan dibuat sebuah
kamar sekedarnya. Meski begitu tak ada yang terganggu, karena seiring
perkembangan jaman menggelar cucian tidak lagi meneteskan air. Ada mesin cuci
disertai pengering membuat cucian tak lagi seratus persen membutuhkan sinar
matahari. Angin yang berhembus semakin lama mengeringkan cucian itu.
Semua telah dilembarkan. Berujung tepat
di depan jendela. Pandangannya lurus ke depan, tak mungkin lepas dari luar. Dadanya
langsung naik turun begitu menatap pemandangan tak asing. Seorang lelaki dengan
headset menempel di kedua telinga.
Segera dihindari, perasaan berdesir, pikiran miris.
Namun meninggalkan sepenuhnya tak kuasa.
Ada sesuatu yang menahan untuk segera berpaling. Begitulah setiap kejadian ini
terulang. Pikirannya tetap mengarah kepada lelaki itu. Tubuhnya lunglai,
mendelosor terduduk dengan kedua tangan mengapit kedua kaki. Supaya kalau dia
tiba-tiba mengarah ke arah jendela tidak melihatnya. Bukankah lelaki itu berada
di situ dengan pandangan persis mengarah ke jendela agar bisa melihatnya ?
Rumahnya terletak bersebelahan dengan
masjid. Kalau saja lelaki itu mau ia bisa duduk di teras masjid yang lebih luas
dan nyaman. Namun menyamping dengan
rumah kayu lantai dua dan jelas tidak mengarah pada jendela. Nyatanya ia
memilih di bawah pohon palem yang justru hanya sedikit diplester dan mungkin
tempat duduknya terkotori dengan tanah, tempat pohon itu berpijak.
Beruntung dia membunyikan musik tidak
dari tape recorder yang bisa didengar orang lain. Mengingat di masjid, tempat
kebayakan orang beribadat. Ah bukan, bukan itu masalahnya, dia tidak bakalan
memerdulikan musik itu mengganggu orang lain atau tidak. Orang lain juga tidak
bakalan memarahinya jika itu yang terjadi. Mereka dengan caranya yang halus akan
memintanya pergi. Dia tidak merasa menjadi manusia spesial yang orang lain
harus memaklumi. Namun memang begitulah yang dia tahu. Kesadarannya bermusik
seiring pekembangan jaman, lebih praktis dan efisien, dengan headset di kedua telinganya. Sembari
geleng-geleng, matanya terpejam, jidatnya mengerut, begitu menghayati lagu, serasa
dunia ini miliknya. Teronggok dua travelbag
di kanan kirinya.
Dia bisa menebak lelaki itu selesai
jalan-jalan berkeliling kota dengan berkendaraan bis. Demi menyejahterakan
masyarakat, pemerintah membuat angkutan baru dengan sistem baru pula. Haltenya
khusus, tidak bersamaan dengan angkutan lain. Mereka hanya diwajibkan membayar satu
kali tiket namun bisa digunakan lebih dari satu tujuan asalkan belum melampaui
terminal tempat angkutan itu bermuara. Sangat menguntungkan masyarakat.
Namun berbeda tujuan dengan lelaki ber-headset yang sekarang berada di lingkungan
masjid, di bawah pohon palem. Halusinasinya terus mengembara. Ia membawa sejumlah
pakaian dan menempuh beberapa rute seolah pergi ke luar kota. Layaknya sebuah keluarga
yang bepergian jauh tentu butuh pakaian ganti, apalagi kalau lama sampai
berhari-hari. Sebagai seorang suami yang setia ia pun membawakan pakaian
banyak. Beberapa rute yang harus ditempuh karena perjalanan jauh tentu membutuhkan
berjam-jam berada di dalam kendaraan. Hal itu diimplementasikan dengan lama di
kendaraan.
Menurut kabar dari orang-orang yang
pernah melihat sepak terjangnya, lelaki itu setelah sampai di tempat tujuan
hanya duduk-duduk, terkadang berbicara sendiri, mungkin membayangkan sedang
bersama orang yang dikasihi. Sesekali pula melakukan kegiatan rutinnya, apalagi
kalau bukan mendengarkan musik melalui headset,
kegiatan yang waktu itu orang getol mendengarkan musik tidak lagi melalui kaset
yang bisa membuat bising orang sekitarnya yang kebetulan ingin ketenangan.
Geleng-geleng kepala, kalau perlu, dua jari telunjuk menunjuk-nunjuk ke atas.
Biasanya tempat yang dituju bernuansa
alam. Dengan berbagai tanaman dan pemandangan terbuka, bila perlu terdapat
aneka permainan anak. Banyak pengunjung yang datang. Sebuah tempat yang diidamkan
bagi siapapun keluarga demi mendapatkan suasana berbeda dari kehidupan sehari-hari
yang banyak dihabiskan di tempat kerja. Ataupun di dalam rumah bagi yang
sehari-hari sebagai ibu rumah tangga biasa.
Sebagai insan yang masih awal dalam
berumah tangga mereka belum memikirkan kehadiran anak. Namun pergi ke tempat-tempat
hiburan sebagai bentuk refreseing tetap dibutuhkan. Bukankah dengan
sering-sering menghabiskan waktu di tempat rekreasi pikiran menjadi bahagia ?
Dengan ketenangan batin maka menggapai tujuan hidup biasanya mudah tercapai,
begitupun keinginan memiliki buah hati.
Uang belum banyak digunakan, kebutuhan
masih sebatas untuk mereka berdua. Kehadiran anak apalagi jika masih kecil
seringkali menghabiskan uang banyak. Namun mereka belum dikaruniai. Pergi
berdua masih menjadi prioritas. Mungkin karena bulan madu pada awal pernikahan dulu
belum terealisir maka sebagai penebus selalu pergi berdua setiap kesempatan
yang ada. Ke luar kota dengan menginap di hotel dan biaya banyak tidak menjadi
masalah.
Tentu tidak cukup hanya bermodal biaya.
Sejumlah pakaian selama bepergian harus pula dibawa. Tidak lupa kebutuhan
pribadi lain. Tak heran bila dua travelbag
memenuhi kedua tangan. Tak perlu travelbag
bermerek terkenal, karena tak memikirkan gengsi. Tetapi lebih kepada pemenuhan kebutuhan.
Mereka orang biasa dan tinggal di rumah perkampungan. Menyempatkan pergi berlibur,
apalagi dengan alasan berbulan madu, sudah menjadi kabar mewah tersendiri.
Terlintas pembayangan, pernikahan yang tak
direncanakan. Walau pernikahan adalah hal yang diidamkan setiap orang.
Begitupun pasti bagi lelaki itu dan calon istrinya. Namun pasangan belum kian
datang. Keluarganya mulai resah. Terlebih bagi Munaroh, calon istrinya waktu
itu, bapaknya sudah tidak ada. Ibunya takut terjadi sesuatu dengan anak
bungsunya. Semua saudaranya sudah berumah tangga. Maka pencarian pasangan pun
segera dilakukan.
Sekian waktu ditunggu Munaroh belum
mendapatkan pendamping hidup. Diantara penantiannya, tiba-tiba telinganya
memerah. Ibunya lebih dulu menemukan seseorang yang bakal menemaninya seumur
hidup.
“Ini bukan lagi jaman Siti Nurbaya, Bu.
Saya sudah dewasa. Pada waktunya saya pasti akan menemukan pasangan hidup.”
Sanggah Munaroh berusaha menjelaskan.
“Jaman moderen tidak berarti menolak
perjodohan, Mun. Kalau seseorang itu sudah berada di depan mata, berarti itulah
waktunya.” Ibunya tak kalah mempertahankan keyakinannya. ”Karunia tidak selalu
datang dari diri sendiri. Bisa juga melalui orang lain.” tambah ibunya tentang
jodoh.
Nasi memang belum menjadi bubur, namun
janji suci antara kedua belah keluarga sudah membaur. Tanpa ada dasar saling
cinta pernikahan pun digelar. Semua berharap mereka berdua saling mengerti.
Bukankah nenek moyang mereka, termasuk kedua orang tua mereka juga jadian
begitu saja dengan pasangan masing-masing ? Hanya dengan perantantara kedua
orang tua, akhirnya mereka menikah. Tanpa ada tuntutan macam-macam, apalagi
cinta, mereka menjalani kehidupan ini apa adanya. Dan mereka beranak pinak
hingga punya cucu, sampai maut memisahkan mereka.
Namun Munaroh bukanlah orang jaman dulu
yang pasrah begitu saja menerima keadaan. Semakin hari hatinya semakin
tersiksa. Bahkan ia menolak menikmati malam pertama. Terakhir pada puncaknya ia
tidak mau lagi tidur sekamar. Sang lelaki pun menyadari sikap istrinya.
Pernikahan ini begitu dipaksakan.
Lelaki itu memang tidak mempermasalahkan
nasib. Sebagai seorang anak yang berbakti, ia terbiasa mengikuti semua kehendak
orang tuanya. Termasuk menerima pernikahan melalui perjodohan. Ia pun memaklumi
keinginan istrinya yang enggan berkumpul. Dari tidak mau lagi tinggal serumah
di rumah mertua, lalu pindah di rumahnya sendiri, sampai tidak lagi bersedia
sekamar.
Namun ternyata menerima nasib tak
disertai dengan keikhlasan batin. Perasaannya bergejolak. Dadanya menolak. Tapi
mulutnya tak mampu memberontak. Di tempat pekerjaannya ia sering melamun. Hanya
di situlah tidak terlihat keluarga ataupun istrinya. Sementara di dalam rumah
ia nampak tegar.
Akhirnya karena kerja tak becus dan
seringkali membuat kesalahan, perusahaan tak mau lagi menerimanya. Ia
dipindahkan di bagian `kering`, tentu dengan gaji lebih sedikit pula. Lagi-lagi
ia tidak bisa tenang dan membuat kesalahan. Pikirannya sering limbung. Terkadang
nampak berbicara sendiri dan sedih. Akhirnya karena tidak lagi bisa bekerja,
perusahaan memecatnya.
Ia kembali ke rumah sendiri. Pikirannya
tidak lagi waras. Sejak pernikahan istrinya sebetulnya enggan tinggal bersama.
Apalagi bepergian berdua. Akhirnya ia melampiaskan segala sesuatunya dengan berhalusinasi.
Pergi dengan dua travelbag menenteng
kiri kanan, layaknya keluarga yang ingin pergi ke luar kota. Tidak lupa sembari
mengisi waktu di perjalanan yang bisa terasa menjemukan, ia pun sibuk dengan
musik melalui headset di kedua
telinganya.
Istrinya benar-benar tak lagi mau
memperpanjang hubungan. Dan perpisahan menjadi sesuatu yang tak dapat
dihindari. Ia tidak lagi memberi nafkah lahir maupun batin. Kedua belah
keluarga baru menyadari bahwa perjodohan tak selamanya berbuah bahagia. Membina
hubungan untuk sekedar saling menjajaki keduanya sebelum pernikahan sangatlah
penting. Maka dengan ikhlas pun mereka berpisah baik-baik.
Efek dari perpisahan itu Munaroh tidak
tenang berada di rumahnya sendiri. Ia sering didadatangi walau tidak lagi menjadi
istrinya. Semua orang memang tahu mereka tidak lagi sebagai suami istri. Namun
rasa malu seringkali hinggap. Tidak hanya itu, rasa tergila-gila lelaki itu sekaligus
merasa bersalah terkadang hadir. Warung kelontong menyatu dengan rumah dari
orang tua yang dipercayakan kepadanya dijaga oleh pembantunya. Munaroh bagian
mengelola dan menyediakan bahan-bahan.
Apa tujuannya kalau bukan menghindari
lelaki yang tidak lagi menjadi pasangannya itu. Karena kenyataan belum bisa
menerimanya. Pernah suatu saat ia terlihat di warung, lelaki itu menyambanginya
dan tak mau pergi. Memang tidak mengganggu, tapi apa yang masih bisa diperbuat
dari hubungan yang tidak lagi tersambung. Semenjak itu ia mencari asisten untuk
menunggui warung. Dan lelaki itu pun tidak pernah lagi mendatanginya.
Kalau ingat semua itu bercampur aduk pikirannya.
Lelaki itu masih geleng-geleng kepala menikmati musik melalui headset. Kedua telunjuknya mengarah ke
atas menghayati lagu. Tak disangka, tiba-tiba kedua matanya mengarah ke
jendela, lalu...
“Munaroooooh....”
Ia
terperanjat, dan menyeret tubuhnya dari pintu jendela untuk segera berlalu dari
rumah kayu lantai dua.
@@@SELESAI@@@
Cerpen ini telah dimuat di tabloid Nova 1473/XXIX 16 - 22 Mei 2016