Saya
tiba di sebuah masjid, yang biasa saya sambangi, daerah Sidomukti, Kopeng, Kabupaten
Semarang, suatu siang, pukul satu. Sambil beristirahat, saya memesan bakso.
Tempat ini tidak ada sesuatu istimewa, selain udaranya sejuk dan banyak
pepohonan. Saya terhibur, dibanding Semarang yang penuh polusi dan rumah-rumah
berimpitan. Alih-alih menanam pohon, warga menanam tanaman-tanaman di pot-pot.
Selain saya mencari suasana berbeda,
tempat ini juga menghilangkan sesak. Pagi hari saya memanggil pedagang
keliling, khusus menjual kebutuhan rumah tangga. Saya membeli spons cuci
piring.
“Tiwas manggil gak jadi beli,” kata
pedagang memprotes.
“Aku kan mau beli, Pak. Bapak bilang
barangnya habis.”
Kami berdebat, di antara rintik hujan
belum reda. Saya menolak tawarannya membeli pencuci piring lain: serat kawat,
atau serabut. Saya pergi, dia menceracau.
Pesanan bakso datang, bersamaan
dengan seorang wanita sekitar 30 tahun turun dari mobil, diiringi wanita lansia
berkain kebaya. Dari pintu depan keluar dua anak laki-laki dan seorang lelaki
dewasa. Tiga lelaki jalan di depan. Wanita itu mengiringi jalan wanita lansia,
selangkah demi selangkah. Bakso segera saya habiskan, untuk segera salat.
Pengunjung
penuh. Saya bertemu lagi wanita 30 tahun dan wanita lansia. Kami berdiri di
depan air kocehan: air khusus di depan kamar mandi dan tempat wudu, untuk orang
baru datang agar membersihkan kakinya sebelum berwudu.
“Bunga kertas itu bagus,” ungkap wanita
lansia melihat tanaman bunga dari kejauhan. Suaranya putus-putus. Langit terang
memantulkan rambut peraknya yang digelung. Rintik hujan baru saja berhenti,
menyisakan bau khas. Angin dingin melintas.
“Itu bunga betulan, Ma,” jawab
wanita 30 tahun dengan suara meninggi. “Ini daerah pedesaan. Ngapain nanam
tanaman plastik! Memangnya rumah kita?” tambahnya ketus.
Saya langsung menoleh ke wanita itu.
Ia ganti memandang saya. Sorot matanya tajam, seakan mengatakan, “Ngapain lu, orangtua
gue!”
Sekelompok orang keluar dari area
wudu dan kamar mandi; saya mempersilakan keduanya.
Tak ingin berlama-lama berteman dengan
udara dingin, selesai salat, saya jalan-jalan ke pasar, tidak jauh dari masjid.
Pasar itu selesai direnovasi. Sebagian bangunannya baru dan berganti fungsi. Tempat
parkir berada di depan, di alam terbuka, yang dulu ditempati para pedagang
buah-buahan, dan beratap. Kini, lapak-lapak buah-buahan menyatu dengan
lapak-lapak tanaman, di dalam pasar.
Saya
belum masuk pasar ketika seorang wanita lansia, berkain kebaya, menghampiri. Kerudungnya
kresek hitam totol-totol air. Ia menggendong dunak dan baskom blirik hijau, berisi
jualannya, camilan terbuat dari kacang tanah dan gula merah, dalam
kantung-kantung plastik.
“Beli ampyang… beli ampyang…,”
pintanya sambil menyodorkan sekantung ampyang. Saya teringat wanita lansia di
masjid tadi. Tanpa menawar, saya membeli. Apakah saya terenyuh? Apakah saya
iba? Entah. Setelah menerima uang sepuluh ribu, dengan langkah sigap dia pergi
untuk menghampiri pembeli lain.
Saya pulang dengan hati masygul. Pedagang
keliling tadi pagi kesal, mungkin karena belum laku satu pun barang
dagangannya.
@@@