Iis Soekandar: Maret 2019

Selasa, 19 Maret 2019

Mengenal Pendidikan Karakter dari Penulis Cilik

                                                                                           

          Buku ini berisi kumpulan cerita para penulis cilik. Terdiri 12 cerita dari 12 penulis cilik, seperti Aliyah Khuzama, Khonsa Tazkiyya S.M., Atikah Rajwa K., Eryna Shafa S., Anindita Haura W., dan kawan-kawan. Diterbitkan pada bulan Februari 2019 oleh Penerbit Indiva Media Kreasi dengan ilustrator Dhamas Iki. Dengan harga buku 39 ribu.
            Mengawalicerita pertama sekaligus sebagai judul buku “Kekurangan Bukanlah Keterbatasan”. Cerita ini ditulis oleh Aliyah Khuzama. Berkisah tentang Dita,seorang anak dengan berkebutuhan khusus. Matanya buta. Tidak hanya di lingkungan sekolah, di rumah juga diejek. Tapi mamanya terus memberikan semangat agar Dita berusaha, bersyukur, dan optimis. Termasuk ketika Dita mempunyai keinginan mengikuti lomba tadarus Al Quran. Mamanya mendatangkan ustadzah hingga tanpa disangka karena kegigihan dalam berlatih, Dita memenangkan sebagai juara pertama. Semenjak itu Dita menjadi percaya diri. Ternyata kekurangan bukanlah keterbatasan.

                                                                                 

          Cerita lain ketika tokoh aku dalam judul “Buku Sejuta Inspirasi” mendapatkan sebuah buku. Dengan membaca buku yang diperoleh dari seseorang, aku mendapatkan banyak ilmu. Di antaranya mengakrabkan kembali dengan sahabatnya. Melalui buku itu pula aku dan sahabatnya tidak hanya rajin membaca, tetapi juga menulis. Hingga suatu saat mereka mempunyai ide menulis kumpulan cerpen dan dikirimkan ke penerbit. Gayung bersambut, kumpulan cerpentersebut diterima dan diterbitkan. Yah,dengan membaca banyak pengetahuan yang didapat.
            Sedangkan Fanzi Muwahid Esha Putra, satu-satunya penulis cilik putra dalam buku antologi ini berkisah tentang petualangan tiga detektif cilik. Ikhsan, Farhan, dan Ubaid menyelidiki tingkah laku seorang teman lama. Shani, demikian nama teman lamanya, setelah lama tak bertemu sikapnya aneh. Dia anak pejabat, tetapi berpakaian compang-camping. Mengapa Sani berperilaku demikian? Ikhsan, Farhan, dan Ubaidlah yang menguak rahasia itu.  

          Semua cerita disajikan bernapas islami. Sehingga dengan membaca buku tersebutanak-anak tidak saja mendapatkan pendidikan karakter gemar membaca, percaya diri, peduli teman, dan lain-lain, tetapi juga belajar bagaimana membentuk pribadi muslim atau muslimah dalam pergaulan di rumah terlebih di masyarakat. Pembaca anak-anak mudah menangkap pesan tersebut karena diungkapkan dalam narasi dan gambar-gambar yang mendukung. Apalagi ditunjang pengungkapan bahasa yang khas anak-anak: sederhana, kalimat-kalimat pendek, dan mudah dimengerti. Karena ditulis oleh para penulis cilik. Secara langsung atau tidak juga memberi inspirasi bagi anak-anak yang membacanya mengikuti jejak mereka: menjadi penulis cilik.
          
                                                                                 


                                 Semoga bermanfaat dan sampai jumpa pada resensi berikutnya.
@@@



Senin, 11 Maret 2019

Cerita dari Desa Suka Makmur

                                                                                 

          Desa Suka Makmur baru saja dilanda bencana banjir. Selama satu minggu hujan deras tidak reda. Di sampng itu ada tanggul yang jebol.Tapi penduduk bersyukur. Yang terpenting tidak ada anggota keluarga mereka yang menjadi korban. Semua selamat. Hanya perabot-perabot rumah tangga yang rusak.
            Setelah air surut, Pak Kades atau Pak Kepala Desa meminta semua warga bekerja bakti membersihkan rumah mereka masing-masing, juga lingkungannya. Tidak lupa anak-anak juga diminta berpartisipasi.
            Ipung pergi ke dapur. Ibu sedang memasak makanan untuk makan siang. Pagi tadi mereka sarapan nasi goreng. Walaupun tidak ada lauknya, rasanyaterasa nikmat. Maklumlah selama berhari-hari mereka hanya makan mi instan. Karena ibu tidak dapat ke pasar untuk membeli beras dan bahan-bahan makanan lain. 
          “Kamu mencari apa, Pung?” tanya ibu sambil meracik sayur lodeh. Ibu juga membeli ikan asin dan tempe. Kedua lauk itu akan digoreng.
            “Ipung mencari sampah plastik, Bu. Oya, tadi ibu membeli bahan-bahan makanan dibungkus pakai apa?” tanya Ipung.
            “Beberapa bahan makanan dibungkus pakai kantung plastik. Sebagian kertas koran dan daun. Memangnya buat apa kamu mencari sampah plastik?” tanya Ibu heran.
            “Tadi Pak Kades bilang supaya anak-anak ikut membantu kerja bakti, yaitu dengan mengumpulkan sampah plastik. Bagi yang mengumpulkan paling banyak, ada hadiahnya, Bu. Karena sampai plastik sulit diurai oleh tanah. Disamping itu bahan-bahannya bisa membunuh binatang-binatang di dalam tanah, seperti cacing. Juga mengganggu peresapan air ke dalam tanah. Mungkin banjir yang terjadi selain tanggul jebol juga banyaknya sampah plastik, Bu,” jelas Ipung panjang lebar.
            Ibu manggut-manggut sambil ber-o.
            “Sebelum mencari sampah plastik di luar rumah, terlebih dahulu harus yang berada di dalam rumah, Bu,” tambah Ipung sambil mengumpulkan sampah plastik dari tempat sampah. Lalu sampah-sampah itu dimasukkan dalam kantung plastik besar.
Ibu senang mendengar ide Pak Kades. Maklum pagi tadi saat Pak Kades memberi pengumuan, ibu sedang berbelanja di pasar. Selesai meracik dan menunggu air panas, ibu membantu mencarikan bekas bungkus-bungkus plastik yang berada di rumah.

                                                                                 

Di dalam rumah, Ipung menemukan beberapa kantung plastik. Yaitu bekas bungkus bahan makanan yang ibu belanja tadi pagi. Disamping itu ada bekas botol air mineral. Mungkin ayah atau Mas Hanung, kakaknya, yang membeli air mineral. Setelah itu barulah ia keluar rumah.
Di luar Ipung bertemu Radit, tetangga sebelah rumahnya. Radit juga baru saja membersihkan sampah plastik dari rumahnya.
“Radiat, kamusudah mendapatkan banyak sampah plastik,” tukas Ipung. Radit juga membawa kantung plastik hitam. Tetapi ukurannya lebih besar dibanding milik Ipung.
“Maklumlah keluargaku kan banyak. Mereka suka membeli air mineral saat bepergian. Karena masih tersisa lalu dibawa ke rumah. Makanya botolnya terkumpul banyak.Untuk mengurangi sampah plastik,lain kali ibu menyarankan supaya membawa botol dan air putih dari rumah,” jelas Radit.
Lalu keduanya mulaimencari sampah-sampah plastik di lingkungan rumah. Sampah plastik yang ditemukan tidak hanya kantung plastik dan bekas botol air mineral. Banyak juga sedotan. Lalu mereka juga mencari sampah plastik di lapangan dan taman. Mereka berlomba mencari sampah-samah plastik bersama anak-anak lain Desa Suka Makmur.
Siang hari, Pak Kades meminta anak-anak supaya mengumpulkan sampah-sampah plastik yang didapat. Pak Wawan, selaku humas desa, dibantu perangkat desa lain yang akan mencatat. Mereka memberi label bagian depan kantung yang dijadikan tempat sampah. Tentu saja sesuai nama pemiliknya. Kemudian sampah-sampah plastik yang didapat akan dihitung untuk dicari pemenangnya.
@@@
Hari Minggu, pukul sepuluh anak-anak mulai berdatangan di balaidesa. Untuk mengurangi sampah, terutama sampah plastik, mereka diminta membawa tempat makanan dan botol minunam dari rumah. Kemudian tempat makanan dikumpulkan di meja yang sudah disediakan. Para perangkat desa memberikan nasi, lauk, dan sayur di tempat makanan mereka. Sementara minuman, mereka bebas mengambil sendiri. Ada jus mangga, jus jambu biji merah, dan air mineral dalam galon.
Sebelum pengumuman para pemenang, Pak Kades memberikan sambutan. Beliau senang anak-anak bersemangat mengumpulkan sampah plastik.
“Setelah kami kumpulkan dan hitung, ternyata paling banyak mendapatkan lima puluh enam buah sampah plastik, kedua, empat puluh buah, ketiga, tiga puluh sembilan buah....”
Mereka menunggu dengan hati dag dig dug ketika Pak Wawan mulai mengumumakan para pemenang.
“Dan sebagai pemenang ketigaadalah... Lutfi...” semua bertepuk tangan. Lutfi maju ke depan. “Kedua.. Indah...” Indah pun maju ke depan. “sebagai pemenang pertama... Radit.”
Karena bangga melihat semangat anak-anak mengumpulkan sampah-sampah plastik, Pak Kades menambah lima pemenang lagi. Tentu berdasarkan nomor urut pengumpul sampah plastik terbanyak. Walaupun Ipung tidak memenangkan hadiah utama, dia termasuk yang mendapatkan lima hadiah hiburan. Karena termasuk lima orang pemenang tambahan.
Setelah pengumuman pemenang, tibalah makan siang. Setiap anak mengambil tempat makanan yang sudah diisi. Mereka juga mengambil minuman sesuai keinginan ke dalam botol.Semua bersuka cita menikmati hari bahagia.
@@@
Cernak ini pernah dimuat di harian Kedaulatan Rakyat, Minggu, 10 Maret 2019               



Jumat, 01 Maret 2019

Persahabatan Wijay, Raka, dan Andi

                                                                                     

Bel pulang baru saja berbunyi. Setelah berdoa, anak-anak berhamburan keluar dari kelas. Mereka ingin segera pulang.
            “Wijay, kamu mau ke mana? Ayo, kita pulang!” ajak Raka sudah berada di atas sepeda. Begitupun Andi. Wijay menuju ke belakang. Mungkin dia akan ke kamar mandi.
            “Kalian pulang sendiri saja. Aku akan mengerjakan tugas di sini. Kalian tahu sendiri di rumah adikku banyak. Aku sering terganggu.”
            “Kita bisa belajar bersama. Seperti biasa di rumahku atau rumah Raka,” saran Andi. Wijay tidak mengindahkan. Dia terus berjalan menuju ke belakang.
            Tidak  lama Raka dan Andi pulang dengan mengendarai sepeda.
Walaupun tidak satu kelas, Raka, Andi, dan Wijay selalu berangkat dan pulang bersama.
            “Kenapa sih akhir-akhir ini Wijay tidak mau bersama-sama dengan kita lagi?” tanya Raka.
            “Aku juga tidak tahu. Tempo hari saat ibuku pergi ke pasar melihatnya. Dia berangkat pukul setengah enam pagi,” cerita Andi.
            “Ngapain dia berangkat sepagi itu?” tanya Raka terheran.
            Mereka membericarakan Wijay dengan menyayuh sepeda secara perlahan. Maklumlah, sudah siang, perut keroncongan. Mereka ingin segera sampai di rumah. Tidak terasamereka sampai di pengkolan, saatnya berpisah menuju rumah masing-masing.
@@@
           
            Pagi hari mereka sengaja berangkat awal. Mereka mencegat di depan gang, tetapi dengan sembunyi. Mereka ingin membuktikan apakah benar Wijay berangkat pagi sekali. Karena biasanya dia harus mengasuh adiknya yang balita pagi hari. Sehingga Wijay sering tiba di kelas menjelang bel masuk berbunyi.  
            “Nah itu Wijay!” tukas Raka saat melihat Wijay keluar dari gang.
            “Wijay... mengapa kamu berangkat sepagi ini?” tanya Andi.
            Wijay terpaksa berhenti. Keduanya kaget begitu melihat tas yang berada di stang sepeda. Biasanya Wijay membawatas punggung.
            “Aku malu. Aku terpaksa memakai tas kantung plastik. Itu sebabnya aku berangkat pagi sekali dan pulang paling akhir. Aku tidak  mau menjadi ejekan teman-teman.”
            Raka dan Andi manggut-manggut.
            “Kalian beruntung. Kedua orangtua kalian bekerja. Sedangkan ibuku mengasuh ketiga adikku. Sehingga tidak dapat membantu ayahku yang tukang becak,” ungkap Wijay sedih. 
Tidak hanya Wijay, Raka dan Andi sebetulnya juga sedih. Beberapa kali tas Wijay lepas jahitannya. Ibunya menjahit. Tetapi kali ini tidak dapat dipakai lagi. Keduanya mengetahui keluarga Wijay tidak mampu. Kemudian Raka, Wijay, dan Andi mengayuh sepeda bersama menuju ke sekolah.
            Pada saat istirahat Raka dan Andi sengaja menemui Wijay. Wijay diajak ke taman. Keduanya membicarakan rencana ingin menolong Wijay agar dapat membeli tas. Mulanya Wijay menolak. Tapi akhirnya dia menerima saran kedua sahabatnya. Yang terpenting dia dapat memiliki tas baru.


            Lawang Sewu salah satu tempat wisata di Kota Semarang. Tempat itu selalu ramai dikunjungi turis, baik lokal maupun mancanegera. Selain suvenir, dijual pula makanan khas.
            “Beli lumpia, Mbak. Ini makanan khas Semarang. Satu buah cuma tujuh ribu lima ratus rupiah. Mbak bisa pilih, yang goreng atau basah,” tawar Andi kepada dua orang gadis yang duduk di pinggir lokasi wisata. Mereka sedang beristirahat setelah berjalan-jalan.
            “Beli dua.” Masing-masing mengambil satu buah dengan tambahan cabe rawit.
            “O, iya, kalau Mbak butuh minuman, saya bisa usahakan es teh,” tambah Andi.
            “Wah, terima kasih, Dik, saya pesan es teh dua,” jawab salah satu gadis itu dengan senang. Kemudian Andi menghampiri Wijay.
Wijay tampak membagi uang dengan Raka. Kemudian mereka menuju ke tempat kedua gadis tadi.
“Ini, Mbak, teman saya yang jualan minuman.” Kedua gadis itu pun mengambil dua cup berisi es teh dalam nampan.
            “Selain lumpia, Semarang juga terkenal dengan wingko babat. Ada rasa stroberi, cokelat, durian, dan original,” tawar Raka.
            “Rasa stoberi?” Karena penasaran mereka pun membeli. Mereka membayar semua makanan dan minuman yang dibeli secara bersamaan.
            Begitulah kegiatan Andi, Wijay, dan Raka pada hari Minggu. Mereka saling membantu.
            Sore tiba. Wijay menghitung uangnya yang harus disetor ke Bu Mimin. Beliau penjual nasi rames. Tapi juga menjual minuman es teh dalam cup. Setiap cup Wijay mendapatkan keuntungan lima ratus rupiah. Sedangkan Andi membantu ibunya berjualan lumpia. Sementara Raka membantu ibunya berjualan wingko babat. Mereka menyetor setiap kali laku.
            “Terima kasih, kalian sahabat yang baik. Hari ini aku dapat laba dua puluh empat ribu. Aku yakin, selama beberapa minggu ke depan, uangku terkumpul banyak sehingga bisa membeli tas baru.”
            “Sahabat itu tidak hanya bersama saat senang, tapi dalam susah pun harus ikut merasakan dan membantu,” ungkap Andi. Raka mengiyakan.
            Ketiganya pulang ke rumah dengan hati gembira.
@@@
Cernak ini pernah dimuat di harian Lampung Post, Minggu 24 Februari 2019