Iis Soekandar: 2016

Sabtu, 24 Desember 2016

Dongeng

Meme dan Sisi

Oleh: Iis Soekandar



Meme meja guru dan Sisi kursi guru selalu bahagia bila pagi tiba. Tidak lama lagi Pak Tresno, pembantu sekolah, akan membersihkan mereka. Sedangkan siang hari sepulang sekolah Pak Tresno menyapu lantai.
       Kreeeek... Pintu kelas terbuka.
       “Asyiiiiik... Pak Tresno datang!” kata Meme girang.
       “Kita akan dibersihkan,” Sisi menambahkan.
       Vas bunga di atas taplak diambil. Begitu pun taplak yang menempel Meme. Kemudian Meme dilap dengan kemoceng. Sesaat ketika dilihat ada yang terkena lem, beliau mengambil sedikit air. Bagian Meme yang terkena lem dihilangkan hingga licin kembali.
       “Lihatlah, aku kinclong kembali!” ungkap Meme penuh rasa bangga kepada meja-meja siswa. Meja-meja siswa menaruh rasa iri. Apalagi pagi itu Pak Tresno mengganti taplak lama dengan yang baru.
       “Ah ya Meme ini kan hari Senin. Pantas saja Pak Tresno mengganti taplakmu. Dan wajahmu semakin cantik dengan vas dan bunga mawar warna pink,” puji Sisi.
       Meme bertambah senyum-senyum bangga memamerkan dirinya kepada meja-meja siswa.
       “Saatnya aku dibersihkan,” ganti Sisi yang bangga.
       Kursi-kursi siswa menaruh rasa iri.
       Sisi dibersihkan pada bagian duduk dan sandaran. Sebelum Pak Tresno pergi diperiksanya sekali lagi Meme dan Sisi. Setelah Meme dan Sisi tampak bersih dan rapi, beliau memperhatikan meja-meja dan kursi-kursi siswa. 
       Meme dan Sisi melihat Pak Tresno berdiri di depan kelas. Beliau tidak jadi membersihkan meja-meja dan kursi-kursi siswa. Sesaat kemudian beliau keluar lagi.
       “Kasihan semua meja dan kursi siswa, Me,” ungkap Sisi mengejek.
        Meme dan Sisi melihat semua meja dan kursi siswa iri. Tempat duduk mereka tidak diberi bantalan begitu pun sandarannya. Meja-mejanya pun tidak diberi taplak dan vas bunga.
@@@
       Suatu pagi seperti biasa, Meme dan Sisi bahagia melihat kedatangan Pak Tresno. Tapi kali ini beliau tidak hanya membawa lap dan kemoceng. Di tangan kanannya ada sesuatu. Oh ternyata Pak Tresno membawa jam dinding baru. Jam dinding yang terpasang di dinding di atas papan tulis rusak. Jarumnya tidak dapat bergerak lagi.
      Vas bunga dan taplak yang menempel Meme dilepas Pak Tresno. Meme girang, pasti tidak lama lagi beliau akan membersihkannya. Tapi tiba-tiba...
       Kreeeeek....
       Meme didorong Pak Tresno, begitu pun Sisi. Mereka ditempatkan tepat di bawah jam dinding yang rusak. 
       “Aduh...!” kata Sisi. Tempat dudukan Sisi diinjak Pak Tresno.
       “Aduuuuh, gimana sih Pak Tresno! Mengapa aku diinjak-injak?” protes Meme.
       “Ha ha ha... “ semua meja dan kursi siswa tertawa. Kini mereka bersenang-senang karena tidak diinjak kaki Pak Tresno.
       Uh mentang-mentang kita letaknya paling depan.Kita dijadikan pijakan, gerutu Meme dan Sisi.
       Ternyata dalam hidup ini tidak selalu beruntung. Ada kalanya merasakan tidak enak. Semenjak itu barulah Meme dan Sisi menyadari bahwa mereka tidak boleh sombong.
@@@



      
      
       

Sabtu, 17 Desember 2016

Jalan-jalan

Mengenal Lebih Dalam Kota Lama Semarang

       Belanda menjajah Indonesia selama tiga setengah abad. Banyak pengaruh dan peninggalan yang tersisa di Indonesia. Diantaranya peninggalan bangunan bergaya Eropa. Tidak heran bila kota lama tidak hanya terdapat di satu tempat seperti Jakarta, Semarang pun memiliki Kota Lama. Kawasan Kota Lama di Semarang terletak di seputar Jalan Letjen Suprapto. Dan mungkin ada lagi kota lama di kota-kota lain sebagai peninggalan Belanda.
       Berkunjung ke Kota Lama Semarang, tidak bisa lepas dari Gereja Blenduk. Gereja yang memiliki nama asli Gereja Immanuel ini menjadi ikon Kota Lama Semarang. Sehingga Gereja Blenduk tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah tapi juga banyak dikunjungi wisatawan domestik maupun asing. Setiap hari banyak wisatawan yang datang, sekadar ingin melihat dan berfoto. Bentuknya yang khas, mblenduk dengan genting berwarna merah bata, membuat gereja ini lebih dikenal dengan Gereja Blenduk dibanding Gereja Immanuel.   Gereja Blenduk dibangun oleh pemerintah Belanda pada tahun 1763 dan mengalami perbaikan pada tahun 1894. Hingga kini Gereja Blenduk masih berdiri megah.


       Sayang tidak semua bangunan peninggalan Belanda dilestarikan. Sebagian dibiarkan rusak bahkan ada yang musnah karena tidak terawat. Berikut ini beberapa bangunan lain, selain Gereja Blenduk,  yang masih tersisa dan berfungsi dengan baik.
        Gedung Jiwasraya ini letaknya berseberangan dengan Gereja Blenduk. Gedung berlantai tiga lantai  didirikan oleh perusahaan pelaksana bangunan gedung zaman Belanda bernama Hollandsche Beton Maatschappij (HBM).


       Berderet dengan Gedung Jiwasraya adalah kantor pengadilan. Tapi gedung ini sekarang menjadi restoran ikan bakar.


       Masih terletatak di Jalan Letjen Suprapto berdiri megah gedung berlabel Spiegel. Gedung ini adalah toko H Spiegel yang menjual berbagai macam barang milik perusahaan Winkle Maaatschappij. Barang yang dijual kain, peralatan rumah tangga, dan keperluan olahraga. Dibangun pada tahun 1895 oleh Tuan Addler. Awalnya Tuan H Spiegel menjadi manager, kemudian menjadi pemiliknya. Gedung ini sekarang menjadi sebuah kafe.


       Bangunan lain adalah Gedung Neherlands Handel Mascaapi. Gedung ini terletak di Jalan Mpu Tantutar,  bersebelahan dengan Jalan Letjen Suprapto. Sekarang gedung ini ditempati salah satu kantor bank nasional.


       Berbeda dari gedung-gedung lain yang telah beralih fungsi, kantor pos pada zaman Belanda masih berfusngsi hingga sekarang. Bahkan menjadi Kantor Pos Besar di Kota Semarang. Bedanya dulu kantor pos menyatu dengan kantor telegraf. Tapi kemudian hanya berfungsi sebagai kantor pos. Kantor pos yang dibangun pada tahun 1906 terletak di Jalan Pemuda, tidak jauh dari Jalan Mpu Tantular. Kota Semarang termasuk tiga kota pertama di Indonesia yang memelopori jasa pos, disamping Jakarta dan Surabaya. Pada tahun 1979 pernah dilakukan pemugaran.


       Tentunya masih ada gedung-gedung lain yang tidak kalah menarik. Jadi jangan segan mampir ke kota lama jika Anda kebetulan berwisata ke Kota Semarang. Atau bahkan sengaja berkunjug ke Kota Lama Semarang, sebagaimana para turis lain. Selamat menikmati liburan!

                                                                            @@@

Selasa, 29 November 2016

Resensi


                       Cara Lain Mengenal Tempat-Tempat Terkenal Dunia

Judul Buku : Keliling Dunia dengan Becak Ajaib
Penulis: Fida Zalfa
Editor: Hariyadi
Penerbit            : Tiga Ananda
Ketebalan         : 95 halaman
Ukuran              : 21 cm
ISBN                 : 978-602-366-165-7
Cetakan 1         : Juni 2016
Harga         : Rp 25.000,00
       Cerita ini berawal dari Lisha yang menagih ibunya mengunjugi Taman Bermain Rainbow Peak. Taman Bermain Rainbow Peak dambaan setiap anak. Itu sebabnya ketika Lisha berhasil mendapat peringkat satu di kelasnya, ia ingin ibu memenuhi janjinya. Dan ibu pun menepatinya. 
       Ketika tiba di Taman Bermain Rainbow Peak, Lisha mendatangi Pedicap Fastival. Maka petualangan Lisha bersama teman baru yang dikenalnya di Padicap Festival, Kety dan Danella, pun dimulai. Mereka bertiga mengendarai becak. Tapi bukan becak pada umumnya. Sebab becak ini bisa menerbangkan mereka ke penjuru dunia. Dari Benua Asia, Benua Eropa, Benua Afrika, hingga Benua Amerika. Hanya Benua Australia yang tidak mereka kunjungi. Sebab mereka terlanjur letih setelah perjalanan keliling dunia. Akhirnya setelah dari Benua Amerika, mereka langsung pulang ke Indonesia. Becak yang mereka kendarai tiba kembali di Padicap Festival, Taman Bermain Rainbow Peak.
       Novel berjudul “Keliling Dunia dengan Becak Ajaib” sangat berguna bagi anak-anak. Tidak saja novel ini sebagai teman pengisi waktu, tapi juga memberitahukan tempat-tempat terkenal di dunia. Seperti sungai terpanjang di dunia, Sungai Nil, gurun terluas di dunia, Gurun Gobi, dan tempat-tempat terkenal dunia lain.
       Sisi lain novel ini mengajarkan kepada anak-anak pentingnya bebas polusi. Becak dipilih sebagai kendaraan untuk mengelilingi dunia. Karena becak adalah jenis kendaraan bebas polusi. Walaupun mereka hidup pada tahun 3001 yang semua peradaban canggih, bebas polusi untuk menjaga kesehatan tetap diperhatikan. Disamping itu, beberapa halaman bergambar membuat anak-anak semakin senang membaca.
       Hanya saja, bahasa yang digunakan sebagian dialog kurang santun untuk ukuran anak-anak. Bacaan secara langsung atau tidak juga sebagai pemodelan bagi mereka, termasuk pemakaian bahasa. Namun terlepas dari kekurangannya, novel ini layak dikoleksi, setidaknya sebagai penumbuh minat baca anak-anak.
@@@



Sabtu, 12 November 2016

Cerita Anak


Asyiknya Bermain Bersama Teman
Oleh: Iis Soekandar



       “Hu… hu… hu… “Andi menangis sambil berlari kencang. Ia mengejar Om Wawan yang akan ke rumah teman kuliahnya. “Hu… hu… hu… Om Wawan ikut… Om Wawan ikut…” Andi terus berlari. Padahal Om Wawan naik kendaraan.
“Andi… Andi… “ teriak Mama.
       Tidak lama mama berhasil mengejar Andi. Beruntung Om Wawan pergi belum begitu jauh dan mendengar tangisan Andi. Om Wawan berhenti. Mama pun lega. Sebab setelah gang, jalan raya. Andi kemudian didudukkan di boncengan kendaraan Om Wawan. Lalu mereka mengelilingi gang.
       Setelah itu Om Wawan menyerahkan Andi kepada mama. Andi kembali menangis ingin ikut Om Wawan. Mama terus menghibur hingga Andi melupakan Om Wawan dan tidak  menangis. Tapi mama tidak lagi khawatir karena Andi menangis di dalam rumah. 

       Begitulah Andi setiap kali melihat orang pergi. Entah papa, Om Wawan, atau Tante Mira. Om Wawan dan Tante Mira adalah dua adik mama yang masih kuliah. Mereka tinggal bersama mama dan papa karena kuliah di kota ini. Sementara kakek dan nenek tinggal di kampung.
                                                                  @@@
       Suatu saat Papa sedang tugas ke luar kota. Om Wawan dan Tante Mira pulang kampung menengok nenek dan kakek. Andi sendirian di rumah hingga berhari-hari. Ia merasa kesepian. Maklumlah Andi anak tunggal. Terpaksa Andi bermain mobil-mobilan koleksinya.
     Hari pertama dan kedua Andi sendirian di teras bermain mobil-mobilan. Hari ketiga Faza, tetangganya, melihat dan nyeletuk.
“Andi, mobil-mobilanmu banyak. Bagus-bagus lagi.” kata Faza masih di depan pintu pagar.
“Iya, semua ini koleksiku.” Ungkap Andi.
“Aku boleh tidak ikut bermain?” tanya Faza.
“Tentu saja boleh, daripada aku sendirian. Ayo ke mari!” ajak Andi.
       Mereka pun bermain mobil-mobilan. Andi mempunyai tujuh mobil-mobilan. Sore itu Andi pura-pura berdagang mobil. Faza sebagai pembelinya. Mereka tawar menawar. Faza sempat bermain mobil setelah memiliki salah satu mobil itu. Sayang, tidak lama kemudian menjelang senja.
“Andi, sayang sudah sore. Sebetulnya aku masih ingin main mobil-mobilan bersamamu.” Kata Faza sedih.
“Iya, ya, kalau begitu, bagaimana kalau besok sore kamu main lagi kemari?” ajak Andi.
“Setuju,” jawab Faza penuh semangat.
       Faza segera pulang ke rumah.
       Hari berikutnya, seperti yang sudah dijanjikan, Andi kembali bermain bersama Faza. Bahkan tidak hanya Faza, Arka, tetangga lainnya yang mengetahui keasyikan mereka, ikut bergabung. Apalagi Arka juga mempunyai koleksi mobil-mobilan yang tidak kalah banyak. Mereka pun bermain balap mobil bersama.
       Semenjak itu Andi tidak lagi menangis bila melihat papa, Om Wawan, atau Tante Mira pergi. Ternyata lebih asyik bermain bersama teman-temannya di rumah. Mama pun tidak khawatir Andi sampai di jalan raya yang bisa membahayakan keselamatannya.
                                                                          @@@

Sabtu, 01 Oktober 2016

Cepen Anak


Makanan Tradisional
Oleh: Iis Soekandar



       Waktu menunjuk pukul tujuh kurang seperempat. Ruri bergegas turun dari mobil. Kedatangannya selalu mengundang perhatian. Ruri yang selalu diantar dan dijemput dengan mobil. Sementara yang lain pada umumnya naik sepeda. Wajarlah karena kebanyakan bertempat tinggal seputar sekolah. Kalau pun ada yang rumahnya jauh diantar pakai kendaraan roda dua.
       Ruri paling besar di antara teman-teman sekelasnya. Tubuh Ruri tinggi dan gemuk. Belum lagi bawannya. Tidak hanya tas di punggung, bahu kirinya mencangklong tas tali panjang berisi makanan.
       Pagi itu jam pertama dan kedua ulangan pelajaran bahasa Indonesia. Satu jam berikutnya Bu Netty menerangkan bab baru tentang bilangan pecahan. Bu Netty sebagai wali kelas melihat anak didiknya jenuh. Tidak heran begitu terdengar bel istirahat, mereka buru-buru ke luar. Ke mana lagi kalau bukan ke kantin.
       “Ayo, Rur, kita ke kantin!” ajak Sabrina, teman sebangkunya.
       “Aku bawa pizza. Tadi pagi Mama sengaja bikinin aku buat bekal ke sekolah,” jawab Ruri sambil mengeluarkan kotak plastik tempat makanan. Tidak lupa ia juga mengambil minuman jus dari kantung samping tas punggungnya.
       Sabrina lalu keluar menuju kantin bersama teman-teman lain. Begitulah Ruri, ia jarang ke kantin, kecuali sekali waktu, makan batagor atau siomay.
       Tidak lama teman-temannya kembali ke kelas. Mereka sekarang berwajah ceria. Maklumlah perut sudah terisi. Sebagian membawa makanan dari kantin.
       Pizza yang dibawa Ruri sudah habis. Ia melihat Sabrina sedang menghabiskan nagasari yang tadi dibelinya dari kantin. Ruri melihat Vita asyik menikmati getuk singkong yang dibungkus daun pisang. Vita makan begitu nikmat. Apalagi getuk itu dicampur parutan kelapa dan saus gula merah.
       “Kamu mau, Rur, enak getuk singkong, manis dan gurih,” Kata Vita.
       “Enggak,” Jawab Ruri menggeleng.
      “Ruri mana mau. Dia kan makannya makanan seperti pizza, burger, spageti,” Kata Bella.
      “Iya, percuma menawari Ruri,” Sambung Ira.
       Semua teman Ruri sudah menyangka kalau ia tidak suka makan makanan tradisional. Yang Ruri makan selalu makanan asli luar negeri.
@@@
       Suatu hari, Ruri melihat kertas putih kecil di bawah meja kelasnya. Saat itu kelas sepi. Semua pergi ke kantin.
       Ruri mengambil kertas itu. Ternyata sampul surat. Depannya tertulis nama Sabrina Wulandari. Ia iseng membuka. Betapa Ruri kaget ketika mengetahui isinya. Sebuah kartu berwarna pink berupa undangan ulang tahun Ira besok sore.
       Mengapa aku tidak diundang? Bukankah aku juga teman sekelasnya? Pasti kartu ini telah diterima Sabrina beberapa hari lalu. Kata Ruri dalam hati. Tidak lama Sabrina kembali dari kantin. Disusul teman-teman lain.
       Ruri memberikan kartu undangan Sabrina yang terjatuh.
       “Sab, mengapa aku tidak diundang ulang tahun Ira?” tanya Ruri sedih.
       “Sebetulnya ia ingin mengundangmu juga. Tapi mana mungkin kamu mau datang. Tempatnya di kedai Dapur Bunda. Dapur Bunda menjual makanan tradisional, semacam jajan pasar. Bukankah kamu selama ini hanya makan makanan dari luar, seperti pizza?”
       Ah ya, Dapur Bunda menyajikan khusus makanan tradisonal, ulang Ruri dalam hati. Tapi ia tidak mau tertinggal kebahagiaan bersama teman-temannya.
       “Sab, maukah kamu bilang pada Ira untuk mengundangku juga. Aku pasti mau makan makanan di sana. Bukankah aku juga orang Indonesia? Aku ingin bersenang-senang pada ulang tahun Ira,” ungkap Ruri sedih.
       Sabrina juga sedih. Ia mencoba menyampaikannya pada Ira.
       “Wah gimana ya, Mamaku sudah terlanjur memesan 19 porsi. Bukankah Ruri tidak suka makanan tradisional?” tanya Ira.
       Sabrina terus membujuk Ira. Ira kasihan.
      “Baiklah, nanti aku bilang pada Mamaku, ya!” kata Ira.
       Ruri senang sekali mendengarnya. “Terima kasih, Ira!”
       “Sama-sama, Ruri!” balas Ira.
       Esok harinya, Ira memberikan undangan pada Ruri.
      “Syukurlah, Mama bersedia memesan 20 porsi. Kamu jangan lupa hadir nanti sore, ya!” pesan Ira.
       Ruri senang sekali. “Terima kasih, Ira! Aku pasti akan datang!” janji Ruri.
       Sore harinya, Ruri sudah hadir di pesta ulang tahun Ira di Dapur Bunda. Ternyata Ruri menikmati makanan tradisional. Seperti jadah rasanya gurih, wajik yang manis, klepon yang bentuknya bulat sebesar biji kelereng berisi gula merah, dan masih banyak lagi.
       Sejak itu Ruri tidak lagi menolak bila diajak makan bersama ke kantin. Ia menikmati makanan yang ada, termasuk makanan tradisional. Karena makanan tradisional, tidak kalah dengan makanan asal luar negeri.
@@@

Cerita ini telah dimuat di laman Rumah Jamur Kurcaci, 30 Sepetember 2016

Kamis, 01 September 2016

Cerpen Anak


Meja Lipat 
Oleh: Iis Soekandar

       Bel istirahat berbunyi. Adi dan teman-temannya menuju ke kantin. Saat itu hari spesial bagi mereka.
       “Aku nggak jadi masuk kantin ini,” Alfian yang berjalan paling depan mendadak ke luar lagi begitu sampai di pintu kantin milik Bu Nely.
       “Kenapa sih?!” Sigit tidak mengerti.
       “Ada apa, Al?!” tanya Adi tak kalah bingung.
       Kukuh juga bermaksud bertanya, tapi Alfian lebih dulu menjelaskan.
       “Robby dan kelompoknya duduk di pojok. Sementara kulihat sekilas tidak ada tempat kosong, kecuali bangku dekat mereka. Apa kalian mau jadi bahan ejekannya?” jawab Alfian penuh emosi.
       Hem .... Adi menghela nafas panjang.
       “Kalau itu masalahnya, aku juga tidak setuju. Kita ke kantin lain.” Sigit langsung menimpali.
       “Kalian kenapa sih? Bukankah yang akan mentraktir Kukuh, bukan mereka?” Adi berusaha menengahi.
       “Terserah kamu, Kuh. Pokoknya kalau kamu mau makan nasi kuning, aku pilih makan di kantin lain. Aku bayar sendiri tidak apa. Setiap hari aku diberi uang jajan mamaku.” Putus Alfian.
       “Aku sependapat dengan Alfian. Kamu sendiri gimana, Kuh, dari tadi diam saja? Kamu kan yang akan mentraktir” tanya Sigit.
       Sementara Kukuh yang ditanya malah garuk-garuk kepala walaupun tidak gatal. Tentu saja Kukuh bingung. Sebetulnya dalam hati ia juga tidak suka kelompok Robby. Tapi karena dia yang mentraktir, niat semula menyerahkan acara makan-makan kepada mereka. Tapi akhirnya diputuskan makan di kantin lain.
       Padahal dua kantin lain cuma menjual makanan cemilan. Kalaupun ada nasi, paling nasi  bungkus yang lauk dan sayurnya seadanya. Sementara kantin Bu Nely menjual menu spesial, yaitu nasi kuning, lengkap dengan lauk telur dadar, perkedel kentang, sambal goreng ati, dan kerupuk udang. Tentu saja satu piring harganya mahal. 
       Hari itu Kukuh sedang berulang tahun. Ia bermaksud mengajak teman-teman satu kelompoknya makan-makan. Mumpung makan gratis, tentu pilih yang paling enak. Begitu pikir teman-temannya.Tapi kalau harus bertemu dengan Roby dan kelompoknya, terpaksa mereka mengurungkan niat makan nasi kuning Bu Nely.
       Di kelas ada delapan siswa putra. Tapi mereka berseteru. Yaitu kelompok Adi cs dengan kelompok Roby cs. Mulanya ketiga teman Roby bersikap tidak memusuhi. Tapi karena sering ditraktir Roby dan diberi alat-alat tulis, mereka ikut membenci Adi cs. Sedangkan sisanya, siswa putri rukun.
       Sebetulnya Adi bertetangga dengan Roby. Tapi Roby sombong. Karena kaya ia suka memamerkan baju, sepatu, tas. Ah, pokoknya semua yang dikenakan bermerk dan berharga mahal. Tidak hanya itu, ia tidak segan mengejek yang lain. Itu yang membuat Sigit, Alfian, dan Kukuh tidak suka. Sementara Adi biasanya yang mendamaikan. Adi ingin teman-teman satu kelas rukun. Adi memang anak yang baik. Itu sebabnya teman-teman memilihnya menjadi ketua kelas.
@@@
       Malam ini Adi sedang menyiapkan semua keperluan yang akan digunakan lomba menggambar besok. Meja lipat, pensil, penghapus, penggaris, dan krayon, dipastikan sudah berada di tas. Setelah meraut pensil, ia ke luar untuk membuang sampah. Tempat sampah di kamarnya sudah penuh.
       Di luar, ia melihat Roby dan mamanya seperti kebingungan. Mereka mondar mandir di teras. Rumah Adi dan rumah Roby berseberangan.
       Walau samar-samar, Adi dapat mendengar persoalan mereka. Ternyata meja lipat Roby rusak. Roby teledor. Mama menyalahkannya. Setelah menggunakan ia tidak menyimpannya lagi. Kebetulan ketahuan adiknya yang masih balita. Adiknya mengira, itu tempat duduk lalu diduduki. Maka rusaklah kakinya yang sebelah.  
       Adi yakin, Roby mampu membeli meja lipat paling mahal. Tapi masalahnya, papanya sedang bertugas ke luar kota. Roby tidak punya kakak. Mana mungkin ia berani pergi sendiri. Mamanya juga mungkin enggan ke luar malam.
       Adi teringat sesuatu. Lalu ia mendatangi rumah Roby yang letaknya persis di depan rumahnya.
       “Roby, kalau kamu mau di rumahku masih ada satu meja lipat yang tidak terpakai. Kakakku kan dua. Aku memakai milik Kak Kiki, nah kamu pakai milik Kak Riri. Tapi tentu tidak sebagus punyamu.” Kata Adi bercerita tentang kakaknya yang kembar. Kini mereka duduk di bangku SMP.
       Roby kaget melihat kedatangan Adi. Apalagi Adi datang dengan menawarkan sesuatu yang amat dibutuhkan.
       “Adi, kenapa kamu sebaik ini padaku? Bukankah setiap hari aku dan teman-temanku memusihi kalian?” tanya Roby.
       “Sudahlah, Roby, kita tidak punya waktu banyak. Yang penting kamu mau berjanji pada dirimu sendiri untuk berubah menjadi baik. Aku ambilkan meja lipat itu untukmu ya.” Adi menawarkan.
       “Jangan Adi! Biar aku saja yang ke rumahmu.” Pinta Roby.
       Sebelum Adi mengantar mengambil meja lipat, mama sempat memintakan maaf atas sikap Roby. Saat itu juga Roby berjanji tidak lagi sombong. Besok ia akan mengajak ketiga temannya agar berbuat baik kepada siapapun.
@@@

 Cernak ini telah dimuat di laman Rumah Jamur Kurcaci, Rabu, 31 Agustus 2016 


Sabtu, 27 Agustus 2016

Cerpen Anak


Soto Pak Karmin
Oleh: Iis Soekandar

       Setiap berangkat dan pulang sekolah Anto melewati jualan soto Pak Karmin. Tapi ia hanya mencium bau kuah soto yang lezat itu. Ia ingin menikmati nasi sotonya. Apalagi siang hari saat pulang dari sekolah. Perut keroncongan dan minta diisi. Tapi ibu selalu menyediakan sarapan dari rumah. Uang jajan pun hanya cukup untuk membeli cemilan di kantin sekolah.
       Pak Karmin tidak memasang papan nama. Tapi semua orang sudah mengetahui kelezatan sotonya. Pembeli soto Pak Karmin tidak hanya penduduk sekitar. Tapi juga orang dari luar. Beberapa kendaraan roda dua bahkan mobil terparkir dekat gerobaknya. Tidak heran bila tempat duduk yang disediakan tidak memenuhi. Sebagian duduk di dalam mobil mereka.
        Setiap kali melewati Anto suka jalan pelan-pelan. Entah sekadar membau aromanya yang lezat, atau melirik makanan lain yang menyertai nasi soto. Hm, ada sate kerang dan sate telur puyuh. Warnanya sampai kecoklatan. Pasti bumbunya banyak dan rasanya tidak kalah lezat dengan kuah soto. Lalu tempe goreng yang garing. Ada juga perkedel kentang. Kapan aku bisa menikmati seperti mereka. Katanya dalam hati.
       “Hei, Anto, kenapa kamu ngelihatin mereka? Memang kamu ada yang kenal?” Sapa Jeremy sekaligus bertanya kepada teman sebangkunya. Tentu saja ia tidak bertanya tentang nasi soto Pak Karmin. Karena Anto pernah bercerita ibunya selalu menyediakan sarapan.
       Anto pun kaget. Tanpa ia sadari sahabatnya sudah berada di sebelahnya.
       “Eh, Jeremy. Mana mobil papamu? Biasanya kamu naik mobil dan turun di depan sekolah. I ... iya, aku rasanya mengenal lelaki itu. Seperti teman ayahku. Tapi setelah kuperhatikan ternyata bukan. Ayo kita ke sekolah, keburu terlambat nanti.” Jawab Anto berbohong.
       Keduanya lalu segera menuju ke sekolah. Di perjalanan Jeremy sempat bercerita mobil papa disuruh berhenti begitu melihat Anto. Mas Viqi, sopir papa pun mengikuti keinginan Jeremy. Lima menit sebelum bel masuk berbunyi, mereka telah sampai di sekolah.
       Hari itu ada pelajaran prakarya. Bu Yanti akan membuat bunga dari kertas krep. Beliau sudah memberikan tugas kepada anak-anak supaya membawa kertas krep dari rumah. Semua anak sudah menyiapkan. Tapi Jeremy terperanjat begitu melihat teman-temanya sibuk memperlihatkan kertas krep. Ternyata ia lupa membeli.
       “Tenang, Jeremy. Aku akan antar kamu membeli saat istirahat nanti. Di dekat sekolah ada toko kelontong lengkap. Termasuk menjual kertas krep.” Kata Anto menenangkan sahabatnya.
       “Benar, ya To. Aku takut nih, nanti kalau Bu Yanti marah gimana?” Jeremy begitu ketakutan.
       “Tenang saja. Pelajaran prakarya kan jam terakhir.” Sambung Anto.
       Hari itu Jeremy benar-benar berterima kasih kepada Anto. Ia mendapatkan kertas krep sebagaimana yang ditugaskan Bu Yanti. Ternyata Anto menolong Jeremy tidak hanya satu kali itu. Ia mengantar Jeremy ke tempat fotokopi, membeli alat-alat tulis, dan perlengkapan sekolah lain. Maklumlah Jeremy murid baru. Ia berpindah karena mengikuti tugas papanya. Sehingga dia dan keluarganya belum mengenal banyak tempat di kota ini. 
@@@
       Siang ini Anto melihat Jeremy dijemput papanya. Oh ya, ia teringat, Mas Viqi sedang pulang kampung karena ada hajatan keluarga. Terpaksa papanya yang mengantar dan menjemput ke sekolah.
       Seperti biasa Anto pulang sekolah dengan malas-malasan. Maklumlah perutnya sudah keroncongan minta diisi. Hm, andai aku bisa makan nasi soto Pak Karmin. Begitulah kata hatinya setiap kali melewati nasi soto yang menjadi langganan banyak orang itu.
       “Anto... Anto... “
       Tiba-tiba Anto mendengar ada suara memanggilnya. Anto tidak kesulitan mencari sumber suara. Suara itu jelas dari jualan soto Pak Karmin.
       “Anto, ayo ke sini. Kita makan bersama. Aku tahu kamu pasti juga lapar. Kan kita sama-sama dari pulang sekolah.” ajak Jeremy setengah memaksa. Anto pun tak dapat mengelak.
       Anto kemudian dikenalkan papa Jeremy, begitupun sebaliknya. Sementara mereka bercakap-cakap, Jeremy memesan satu mangkuk lagi untuk Anto.
       “Jadi ini yang namanya Anto? Papa ikut berterima kasih Anto senang menolong Jeremy.” Kata Papa Jeremy. Anto tersenyum malu.
        “Ngomong-ngomong kenapa kamu nggak pernah cerita kalau di sini ada soto selezat ini?” tanya papa kepada Jeremy.
       “Habis Papa sibuk kerja sih!” jawab Jeremy.
       Semenjak itu papa sering menjemput Jeremy. Beliau sekalian makan siang di tempat soto Pak Karmin. Dan Anto tidak pernah lupa diajak makan bersama. Bahkan selesai makan ia diantar ke rumah dengan mobil. Anto pun tak pernah penasaran lagi kelezatan soto Pak Karmin.
@@@
      
Cernak ini telah dimuat di laman Rumah Jamur Kurcaci, Jumat, 26 Agustus 2016 

Sabtu, 09 Juli 2016

Resensi


Mengenal Budaya Indonesia Melalui Membaca Novel
Judul buku                : Misteri Sosok Wangi
Penulis                      : Erlita Pratiwi
Penyunting bahasa  : Yessy Sinubulan
Ilustrator                    : Indra Bayu
Penerbit                    : Kiddo
Ketebalan                 : 175 halaman
Ukuran                       : 13 x 19,5 cm
ISBN                          : 978-602-6208-04-0
Cetakan I                  :  Maret 2016
Harga                        : Rp 38.000,00

        Cerita ini berawaldari Andara yang akan berlibur di tempat nenek Ica.Kebetulan mama mendapat tugas meliput acara di Sumenep. Nenek Ica tinggal di Bangkalan, Sumenep, Madura. Tentu saja Andara menerima tawaran sahabatnyayang akan menghabiskan waktu libur di rumah neneknya. Sambil menunggu mama menyelesaikan tugasnya sebagai penulis. Tapi tanpa disangka, di sana sedang ada masalah.
       Tidak tanggung-tanggung, nenek Ica yang pemilik toko batik terkenal di Madura  kehilangan batik termahalnya. Yaitu batik Gentongan yang harganya hingga puluhan juta per lembar. Maklumlah, karena membuatnyamembutuhkan waktu satu tahun dan rumit. Maka tidak heran bila banyak diburu kolektor batik. Disamping itu batik-batik itu peninggalan buyut Ica. Karena harganya sangat mahal dibanding kain-kain batik pada umumnya, kain batik ini hilang.
       Dari sinilah kemudian Andara dan Ica berpetualang mencari pencurinya. Walaupun penyelidikan menyangkut “orang dalam”, tidak berarti petualangan mereka hanya seputar rumah. Mereka juga mendatangi beberapa tempat yang mencurigakan. Usaha mereka membuahkan hasil. Benar kata Mbah Nek, nenek Ica, pencurinya “orang dalam” yaitu pegawainya. Serapi apapun pencuri menyembunyikan hasil curiannya, akhirnya ketahuan.Indra, pegawai Mbak Nek pencurinya. Dia mengelabuhi orang lain dengan menggunakan minyak wangi yang sama dengan Om Yono, saudara Ica yang ikut dicurigai. Dengan begitu Mbah nek dan keluarganya akan menuduh Om Yono.
       Novel ini tidak hanya memberi manfaat bagi adik-adik yang masih duduk dibangku SD sebagai pengisi waktu luang. Jauh dari itu sarat dengan ilmu pengetahuan. Adik-adik dapat mengenal banyak budaya yang dimiliki daerah Madura. Dari mengetahui logat bicara, hasil kerajinan, makanan, sampai pakaian adat. Hasil kebudayaan itu disajikan dalam bentuk rangkuman dan tempat tersendiri. Kelak jika mereka membutuhkannya berkaitan dengan pelajaran di sekolah, mereka tidak kesulitan mencari dalam buku.
       Begitupun dalam segi bahasa. Bahasa yang digunakan komunikatif disamping disajikan dalam kalimat-kalimat pendek. Adik-adik mudah memahaminya. Gambar-gambar yang menyertai membuat novel ini semakin sempurna.
       Sampai penulis membaca halaman terakhir, nyaris tidak menemukan kekurangan. Barangkali dari segi harga. Bagi ekonomi menengah ke bawah mungkin menjadi halangan membaca karena tidak terbeli. Begitupun tidak setiap toko buku menjual novel yang sarat dengan misi budaya ini. Maka ada baiknya perpustakaan-perpustakaan daerah atau perpustakaan sekolah untuk mengoleksi. Sayang, jika upaya memperkenalkan salah satu budaya yang dimiliki Indonesia tidak tersampaikan bagi mereka yang membutuhkan.
@@@