Iis Soekandar: Cerita Remaja

Jumat, 10 November 2017

Cerita Remaja


Teratai


         Namanya Teratai. Aku memanggilnya Tera, sebagaimana dia memperkenalkan namaya padaku dulu, dengan huruf e dilafalkan seperti orang mengatakan kata tempe, makanan berbahan baku kedelai. Sekilas terbersit rasa rendah diri mengajak pertemanan dengannya. Buat penghuni baru  di kampung ini, apalah artinya diriku. Dibanding Tera yang selalu banyak teman. Kalau bukan dia membawa teman selepas pergi, ada saja teman-temannya yang datang.
         Namun tanpa kusangka dia mendatangiku suatu sore.
       "Hai... rajin amat, nyapu sendiri," sapanya ramah. Bahkan dia membuka sendiri pintu pagar rumahku. Lalu tanpa sungkan menyodorkan tangan kanannya. Sikapnya yang sok akrab, walaupun saat itu kami baru berkenalan, membuatku tak lagi rendah diri.
       "Salam kenal, namaku Teratai, panggil saja Tera.”
      "Aku Danila, panggil saja Nila. Tapi maaf tanganku kotor, belum mandi lagi," kataku sungkan dengan tangan kiri masih memegang sapu  sementara tangan kanan menyambutnya.
      "Seperti nama ikan, ikan nila, xixixixi." Begitulah dia mengakhiri kalimatnya dengan tawa yang tertahan di kerongkongan sehingga jika ditulis kira-kira...  xixixixi.
      "Ha ha ha..." kutanggapi dia dengan tawa juga. Padahal aku tertawa karena tawanya, bukan karena ikan nila. Bukankah begitu biasanya orang tertawa? Ha ha ha atau he he he.
      "Kotor dan belum mandi bukan berarti haram kan?"
      Aku tersenyum.
      "Masuk, yuk! Kebetulan menyapuku sudah selesai,"pintaku kemudian.
     "Enakan di teras."
       Lalu kami duduk berdua di bangku panjang sembari menikmati semilir angin. Terutama buatku yang baru saja bersih-bersih rumah. Peluh membasahi wajah dan badan.  Aku juga cerita kalau aku mengerjakan sendiri pekerjaan rumah karena mama bekerja dan tidak lagi punya asisten. Ketika di rumah lama, kami punya asisten rumah tangga yang bekerja dari pagi hingga sore. Lalu rumah waris itu dijual dan kami beli rumah di sini. Setelah dipikir-pikir, kurasa mama tidak perlu cari asisten lagi. Zaman sekarang serba elektrik dan praktis. Mesin cuci, setrika listrik, penanak nasi listrik, semua itu membuat kami bisa melakukan pekerjaan rumah berdua tanpa asisten rumah tangga.
        "Ngomong-ngomong, kamu pasti suka kucing,” tanyaku sejak tadi melihatnya membawa boneka kucing.
       "Ah, iya, sampai lupa. Ini terbawa. Sebetulnya aku tadi ke luar untuk panggil Bibi. Eh ternyata kamu ada di depan. Pelampiasan, sih. Sebetulnya aku selalu pelihara kucing persia. Tapi yang terakhir, juga diminta saudaraku. Ya, sudah aku berikan, yang penting dia bisa pelihara. Ketika Mama mau beliin lagi, Bibi cerita kalau kucingnya di kampung tidak ada yang ngurus. Cucunya yang memelihara kucing itu meninggal karena sakit.  Aku jadi berpikir seribu kali buat beli kucing lagi.”
      "Maksudmu kamu akan memeliharanya?"
     "Iya. Aku paling sedih kalau lihat binatang telantar, apalagi kucing. Yah, sekali tempo nggak apalah memelihara kucing kampung."
     Sayang pembicaraan yang akrab itu harus terhenti. Mama pulang. Setelah menyampaikan salam kenal, Tera pamit. Walaupun mama bersikeras meminta Terà tidak pulang.
    Tentu saja mama suka kedatangan Tera sore itu. Semenjak tinggal di daerah ini selama sebulan waktuku hanya kuhabiskan di rumah sekembali dari sekolah. Renita, sahabatku, datang kemari hanya pada saat kami pindah. Apalagi teman-teman lain. Ah, siapa yang mau datang di daerah pinggir seperti rumah kami.
    Tentu berbeda dengan orangtua Tera. Bagi orang kaya seperti mereka membeli rumah di piggir kota bermaksud mencari udara segar dan ketenangan di antara rutinitas kota yang bising dan penuh polusi.
      Kamu pasti bisa menduga. Jika pertemuan awal Tera begitu terbuka, bagaimana hubungan kami selanjutnya. Yah, kami akrab. Terkadang aku ke rumahnya, terkadang dia ke rumahku.
       Tapi beberapa minggu terakhir aku kehilangan Tera, sahabatku di kampung ini. Tidak lagi kulihat keceriaannya, tawanya yang ... xixixi, juga boneka kucing yang selalu dalam pelukannya.
       Seperti yang diutarakan, di kampung ini tidak ada remaja seusiaku kecuali dia. Selebihnya anak-anak yang masih belajar di sekolah dasar dan kakak-kakak mahasiswa. Setiap kali bertemu paling kami cuma bertegur sapa dan tersenyum. Mungkin sangkaan mereka “nggak nyambung bicara dengan anak SMA”. Sebagaimana aku juga tidak berhasrat berteman dengan kakak-kakak mahasiswa itu.
         Akhir-akhir ini rumah Tera selalu tertutup. Tidak ada pula kehadiran teman-temannya. Bukan berarti tidak bisa mengetuk pintu jika aku ingin berkunjung. Tapi rasanya sudah menjadi peraturan tak tertulis, jika rumah tertutup itu berarti kami sedang tidak ingin menerima tamu. Begitupun Tera, selalu datang pada saat aku menyapu halaman. Lagi pula pertemuan kami tidak didasar atas sesuatu penting kecuali sekadar tanya kabar. Walau begitu kedatangan Tera amat berarti.
Aku semakin tidak berani berharap bertemu dengannya ketika bibi yang sedang menyapu di halaman memberi  jawaban yang tidak kuduga.
"Sudah lama saya tidak melihat Tera."
"Non Tera memang lagi sibuk ke rumah sakit...”
"Siapa yang sakit,  Bi?”
"Tresna. Dia...
"Bi..... " tiba-tiba mamanya nongol. "Eh Nila. Ayo main ke sini. Tapi Tera lagi di rumah sakit.”
"Terima kasih, Tante, lain kali aja. Saya juga baru saja dari supermarket, disuruh belanja Mama.” Kutunjukkan sekantung plastik bahan makanan.
Sampai di rumah kutumpahkan keterkejutanku kepada mama.
"Ma, ternyata Tera lama tidak kelihatan karena sibuk nungguin pacarnya." Ungkapku begitu menyerahkan belanjaan kepada mama.
"Pacar? Kamu bilang Tera tidak punya pacar?"
"Waktu itu dia tidak menjawab iya atau nolak. Tapi senyum-senyum. Bibi tadi bilang dia sibuk nungguin Tresna di rumah sakit. Itu kan nama cowok. Iya kan ma?"
"Iya, tepatnya cowok dari Jawa. Yah, mungkin dia malu. Ini menyangkut privasi, Nil."
"Kalau saja dia berterus terang, Nila mau besuk."
"Tidak semua yang kita anggap baik diterima orang lain. Lebih baik nunggu dia datang lagi kemari.”
 Aku masuk kamar dan mencerna kata-kata mama. Betul juga ya, kalau dalam keadaan dia bingung aku datang, memang aku bisa bantu? Jangankan ikut nyelesein masalah sepasang remaja yang lagi kasmaran, deketan dengan lawan jenis saja aku belum pernah. Selama ini mereka sekadar teman biasa. Apalagi semenjak papa tiada setahun lalu. Aku mesti berhati-hati dalam bargaul. Jangan sampai karena urusan cinta kemudian mengganggu sekolahku. Kasihan mama yang sudah menjadi single parent.
@@@
 Kulalui hari-hari seorang diri. Kegiatan bersih-bersih rumah yang kulakukan setiap sore menjadi semakin berat. Tiada lagi teman berbincang satu nasib, sama-sama anak semata wayang dan sama-sama nggak punya teman di kampung ini, kecuali kami berdua.
"Hai, ikan Nila xixixixi."
Aku terperanjat dan ternganga, benarkah yang kudengar?
"Hai, Kucing,” kataku tak kalah senang, ganti meledek.
Seperti biasa dia langsung membuka pintu pagar. Sebagaimana kedatangannya yang selalu setelah aku menyelesaikan pekerjaan rutinku di halaman, kami pun melepas kangen di bangku teras.
"Duh yang punya pacar nggak bilang-bilang. Maafin, aku nggak sempat nengok di rumah sakit.”
"Pacar? Di rumah sakit?”
Tera bingung.
"O, Tresna maksudmu? Lha, ini Tresna,” katanya sambil menunjuk seekor kucing di pangkuannya. Kali ini bukan boneka. “ Kucing ini dari kampung Bibi, yang pernah aku critain dulu. Bibi bilang namanya jangan diganti. Tresna itu dari bahasa Jawa, artinya setia. Jadi biar dia setia juga sama aku. Mungkin di sini dia lagi adaptasi, terus diare, aku bawa ke rumah sakit, dokter bilang harus opname.”
“Jadi Tresna nama kucing?” ulangku tak percaya campur dongkol.
“Xixixixi...”
Betapapun dia telah membuatku dongkol dengan ceritanya, yang penting aku telah menemukan tawanya lagi.
@@@








2 komentar:

  1. Ceritanya menghibur, mbak Iis 😊

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih Mbak Maharani Aulia sudah mampir di blog saya. Senang bisa menghibur Mbak

      Hapus