Iis Soekandar: Oktober 2025

Jumat, 31 Oktober 2025

Serabi Ngampin

                                                                                        

Jalan Ngampin, Ambarawa, menyambut kedatangan saya dengan cuacanya yang cerah. Walaupun matahari tak menampakkan wajahnya, sinarnya menghangatkan tubuh. Lalu lintas ramai. Jalan Ngampin dilalui kendaraan-kendaraan dari dalam dan luar kota. Kanan kiri Jalan Ngampin terdapat tempat peribadatan dan perkantoran. Saya menyusuri sisi kiri jalan dari arah Semarang, berniat membeli serabi ngampin, makanan khas Ambarawa.  

Sepuluh menit saya berjalan, tak ada satu pun penjual serabi ngampin, di kanan kiri jalan, sebagaimana keterangan penduduk setempat.

“O mau nyari srabi ngampin? Masih jauh. Naik angkot, tuh!” jelas pedagang buah-buahan di mobil terbuka yang saya temui, ketika saya mengutarakan niat. Dalam waktu bersamaan mobil angkot berwarna kuning melintas. Pedagang buah melambaikan tangan. Mobil berhenti; saya naik.

Benar kata pedagang buah, tidak mungkin kaki saya berjalan hingga menemui  penjual-penjual serabi ngampin. Saya minta berhenti di depan penjual serabi ngampin seorang diri. Dengan demikian, saya leluasa mengulik serabi ngampin. Sebab ada satu kedai luas, diisi beberapa pedagang serabi  ngampin.

 Kami saling menyapa akrab, bertanya kabar. Saya duduk di depannya, di dingklik kayu. Pedagangnya seorang wanita. Keramahannya tidak saja ia sebagai pedagang, namun juga tuan rumah, yang ingin menjamu tamunya, khas penduduk desa. Saya ditawari mencicipi, begitu serabi matang dari cetakan. Padahal sudah saya utarakan bahwa saya hanya membeli satu porsi dan saya makan di tempat. Saya menolak. Saya minta seporsi sesuai keinginan.

Akhirnya saya mendapatkan semangkuk serabi ngampin. Isinya lima buah, 3 rasa 3 warna: gurih warna putih, pandan warna hijau, cokelat warna cokelat. Teksturnya lembut dan empuk. Berbeda dengan serabi-serabi lain, serabi ngampin ditambah juruh atau kuah. Rasanya gurih dan manis, terbuat dari santan dan saus gula merah.

“Kenapa mesti tepung beras baru? Bukankah di warung dan di pasar dijual tepung beras?” tanya saya ketika ia menjelaskan bahwa tepung beras serabi ngampin harus baru. Artinya, baru saja keluar dari mesin penggilingan beras. Setiap kali akan berjualan, ia menggilingkan beras di penggilingan beras tetangganya.  

“Rasanya beda. Tepung beras di warung atau di pasar terkadang apek. Dan kalau diadoni suka ada printilan. Akhirnya nanti terbawa, tepung beras belum matang, di serabi yang sudah matang.”

Saya mengangguk-angguk. Saya hanya tahu serabi ngampin lezat. Ditambah sesendok demi sesendok menikmati kuahnya. Tidak lama seorang lelaki menghentikan sepeda motornya di depan kedai. Ia membeli dua bungkus. Plastik mika sebagai bungkus jika pembeli ingin membawa pulang. Isinya sama, lima buah serabi ditambah juruh yang dibungkus kantung plastik bening. Kemudian ia melajukan sepeda motornya setelah membayar.

“Memasak pakai tungku juga membuat serabi menjadi lezat,” lanjutnya kembali bercerita. Seperti pembelaan diri bahwa ia juga diuntungkan karena tidak perlu menggunakan gas LPG sebagaimana memakai kompor. Di lingkungnnya bahan bakar kayu lebih mudah didapat dibanding gas LPG, harganya pun murah.

            Tidak terasa sambil mendengarkan cerita, semangkuk serabi ngampin di tangan saya tak tersisa setetes pun. Perut kenyang hanya membayar Rp7.000,00. Saya pulang, dengan harapan suatu saat kembali menikmati serabi ngampin dan kuahnya yang lezat.

@@@


Jumat, 17 Oktober 2025

Ganti Suasana

                                                                                               

            Saya selalu bersemangat setiap hari Minggu tiba. Ada satu kegiatan yang saya nanti satu minggu: belajar seni baca Alquran atau membaca Alquran yang dilagukan. Saya terlambat mengetahuinya. Lebaran tahun ini saya baru mengikutinya. Program ini ada sejak 2018, di masjid tidak jauh dari rumah.

            Namun tidak Minggu ini, ketika saya teringat, Pak Ustaz yang mengajar sedang umroh. Beliau izin beberapa pekan. Beliau tidak mengatakan berapa lama beribadah di tanah suci, dan pesan terakhirnya, agar kami tetap datang pada hari dan jam sama.

Udara panas semakin terasa. Debu-debu diterbangkan angin di antara  pertokoan sekitar Masjid Agung Semarang. Benar, ada yang mengisi, dari pelantang suara yang saya dengar. Saya terlambat seperempat jam dari jadwal, hal yang tidak pernah saya lakukan sebelumnya. Saya duduk begitu saja, di area wanita, seorang diri. Tiga teman lelaki khusuk mengikuti. Selesai membaca satu ayat, Pak Ustaz Pengganti menyapa saya di balik tirai kain hijau, sebagai pembatas lelaki perempuan, setinggi bahu orang duduk. Saya diminta menyesuikan, pembacaan ayat suci berlagu dilanjut, sesuai not-notnya.

Seperempat jam jelang akhir diisi ramah tamah. Di antaranya, Pak Ustaz merekomendasikan obat tertentu jika peserta terganggu tenggorokannya. Hal yang tidak pernah saya dapatkan sebelumnya. Saya catat nama obat itu. Obat itu tidak ditelan seperti obat-obat biasa, melainkan diemut. Harganya pun murah. Suara jernih mutlak dibutuhkan ketika membacakan ayat suci berlagu.

Sepekan berikutnya, malam hari, saat saya baru saja dari alun-alun dan beristirahat di masjid, saya bertemu sesama pengunjung, seorang wanita. Kami duduk bersebelahan. Seperti biasa, saya beramah tamah setiap bertemu orang asing, sejauh keadaan memungkinkan.

“Rumahnya Semarang aja?”

“Di Genuk.”

“Ada acara khusus ke sini?”

“Saya, suami, dan anak biasa refreshing ke alun-alun setiap Sabtu Minggu.”

Kemudian ia menyatakan bahwa refreshing perlu dilakukan. Agar melakukan kegiatan hari Senin, ia, suami, dan anaknya, penuh semangat. Hasilnya pun optimal.

Saya mengangguk-angguk teringat Pak Ustaz Pengganti. Pak Ustad Penganti secara langsung atau tidak, memberi suasana segar. Hasilnya, saya mendapat rekomendasi nama obat penghalau serak.

@@@


Jumat, 10 Oktober 2025

Nasi Tumpang

                                                                                                

          Saya suka makan. Bukan saja karena saya manusia dan untuk mempertahankan hidup di antaranya butuh makan. Terkadang saya datang ke suatu tempat hanya untuk menikmati makanan tertentu, karena hanya daerah itu menjual makanan tersebut. Terkadang saya datang ke warung tertentu, karena warung tersebut representatif bagi saya, jauh dari gangguan pengamen dan teguran para tetangga, yang itu bisa mengganggu makan saya. Dan alasan-alasan lain, yang intinya untuk mendukung kegiatan makan saya.

Nasi tumpang termasuk makanan kesukaan saya. Ia makanan khas Ambarawa, Kabupaten Semarang. Saya makan pertama kali secara tak sengaja. Suatu saat, setelah tamasya, saya lapar. Posisi saya berada di pasar. Saya masuk di salah satu warung. Saya mengenal semua makanan dari daftar menu yang tertempel di dinding, termasuk nasi tumpang.

Sependek saya mengenal, nama “tumpang” berkaitan dengan sambal tumpang: sambal diberi tempe semangit yang dihaluskan, lalu diberi santan. Dan lama saya tak menyantapnya. Nasi tumpang berarti nasi putih dengan sambal tumpang. Ternyata definisi saya tentang nasi tumpang berbeda jauh dengan sambal tumpang, walaupun nama belakangnya sama, begitu nasi tumpang berada di hadapan saya.

Dua jam naik kandaraan umum, dua kali, saya sampai di warung tempat saya pertama, dan seterusnya, menyantap nasi tumpang. Saya tidak tahu dan enggan mencoba-coba warung lain, untuk makan nasi tumpang. Di warung tersebut saya cocok.

“Nasi tumpang,” pinta saya kepada penyambut, begitu saya masuk warung dan duduk di bangku kayu panjang. Depannya meja panjang. Warung sederhana. Beberapa orang sedang makan, hanya saya pembeli baru.

Seorang lelaki, pemilik sekaligus pelayan warung tersebut, meminta saya menunggu sejenak. Nasi tumpang tidak cukup nasi putih dan beberapa makanan lain dituang dalam satu piring makan. Seperti penjual menyajikan nasi rames. Ada bahan makanan yang harus diolah mendadak agar bisa dimakan hangat.

Akhirnya nasi tumpang tersaji di hadapan saya. Sepiring nasi putih, semangkuk lauk berisi tetelan dan beberapa irisan tahu kulit, dan sepiring telur dadar. Nasinya tidak pulen, tapi di situlah nikmatnya saat beradu dengan kuah manis, gurih, sambil menikmati tetelan dan tahu kulit. Apalagi kuahnya tidak pedas walaupun warnanya merah. Itu saya suka. Sesekali saya makan nasi hanya dengan telur dadar yang hangat, tanpa kuah. Dari pembicaraan para pembeli, udara masuk melalui pintu, terasa khas suasana makan dengan latar pasar tradisional.

Seperti biasa, saya ditawari nasi jika ingin menambah. Setiap kali saya menyantap nasi tumpang, timbul pertanyaan dalam benak: Apakah tarip Rp7.000,00 seporsi sesuai dengan bahan-bahan yang dibeli? Apakah penjual mendapat untung? Apalagi tidak ada bahan makanan murah sekarang. Beras, telur, tahu, tetelan, santan, dan sejumlah bumbu. Seringkali dalam kehidupan nyata, banyak hal tidak logis terjadi. Walaupun dalam membuat cerita, kelogisan dalam setiap adegan, adalah keniscayaan. Saya tersenyum masygul.

@@@


Jumat, 03 Oktober 2025

Seperti Lukisan Awan

                                                                                         

Segumpal awal menyembul di hamparan abu-abu langit pagi. Pinggirnya melengkung-lengkung mengingatkan saya ketika kecil. Melukis atau menggambar langit terlihat monoton tanpa dihiasi awan. Melukis awan menjadi keasyikan tersendiri. Awan menjadi lukisan sentral. Selanjutnya lukisan burung-burung mengepakkan sayap-sayapnya, menyempurnakan.

Kegembiraan saya tentang awan berbalik saat seorang wanita melintas di perempatan jalan menuju utara. Sementara saya akan pergi ke pasar. Jalanan lengang membuatnya melenggang bebas, dibanding lalu lintas siang yang padat. Bentuk badan, baju selutut, pipi tembam, tak bisa diingkari sosoknya. Setelah saya perhatikan, ia bukan wanita yang saya kenal.

Kemarin sore ia bertandang ke rumah saya, dan kekesalan saya belum sepenuhnya hilang. Kedatangannya selalu untuk meminta-minta. Tentu saja saya memberinya uang tidak seperti seorang pengemis sebab ia kenalan. Saya mengacuhkannya karena saya sedang menyetrika. Ia pergi mengomel seakan saya berutang padanya dan tak membayar. Sungguh terlalu!

            Saya melangkah menyusuri satu per satu deretan pedagang pasar. Ada sesuatu menggelitik ketika sampai di penjual nasi jagung langganan. Di sebelah kirinya seorang lelaki duduk di dingklik sambil membungkusi makanan jualannya: tape singkong. Ia berbekal satu dunak, berisi tape singkong, di atasnya papan untuk menjajakan tape singkong dalam kantung-kantung plastik bening. Lapaknya kontras dengan lapak nasi jagung, di meja setinggi pinggang orang dewasa. Ia menjajakan juga aneka getuk, beberapa macam pisang mentah, belum lagi tape ketan dalam bugkus daun pisang yang laris. Semua makanan jualannya, andalan. Sebab masing-masing punya penggemar sendiri-sendiri.

            “Numpang laris ya, Bu?” tanya saya sambil melirik penjual tape singkong.  

Ia tersenyum. Mungkin ia tak mau dikatakan sombong jika mengiyakan. Itu hal logis. Pedagang kecil berjualan di samping pedagang besar. Seorang pembeli dari penjual nasi jagung, kemudian juga membeli tape singkong.

Selesai membeli nasi jagung saya pergi.

Menyusuri jalan pulang ingatan saya tertuju pada penjual gorengan yang nebeng di tempat penjual aneka es, di antaranya es kuwut. Waktu itu puasa Ramadan. Rasa haus setelah tertahan seharian, minum es adalah kenikmatan. Ada empat wadah kaca besar diletakkan di meja setinggi orang dewasa. Pembeli mengantre. Sementara pedagang gorengan di sampingnya adalah pedagang kecil. Ia mengais rezeki di samping penjual es yang laris. Seringkali pembeli es juga membeli gorengannya.

Keadaan sama juga saya rasakan pada penjual aneka bakaran: sosis, bakso, dan makanan-makanan lain, semua dalam olahan bakar. Di sampingnya penjual minuman teh. Juga pedagang kecil. Para pembeli makanan aneka bakaran dan makan di tempat, pasti butuh minum. Dan pedagang minuman ketiban rezeki.

Para pedagang besar itu mudah untuk menyediakan makanan atau minuman yang dijual para pedagang kecil. Namun, rasa berbagi itulah yang mereka tunjukkan. Saya teringat wanita berbaju selutut, pipi tembam, dan kelak saya bersikap padanya. Seperti lukisan awan, memberi sesuatu bagi penikmatnya.

@@@