Waktu
belum menunjuk pukul setengah delapan pagi ketika saya sampai di halte. Beberapa
menit kemudian bus Transjateng jurusan akhir terminal Bawen datang. Hanya ada
dua penumpang wanita duduk di belakang. Mereka sedang berbincang masalah pekerjaan.
Hawa dingin menusuk kulit. Kota Semarang adalah tempat awal pemberangkatan.
Hari
ini spesial. Saya akan memanfaatkan promosi, dalam rangka memperingati hari
jadi Provinsi Jawa Tengah ke-80. Bayarnya seribu kan, saya pakai Kris, pinta
saya kepada petugas sambil menyodorkan Hp, bermaksud memindai, sebagai
persyaratan. Wah, promonya sudah habis, sejak jam setengah tujuh tadi, jawab
petugas. Kalau bayar normal mending pakai uang tunai, gerutu saya lalu memberi
selembar lima ribu rupiah.
Kekesalan
hati terkadang mengacaukan semua urusan. Tujuan utama saya memanfaatkan promosi,
selain ke pasar hewan, dari terminal Bawen naik angkot menuju Ambarawa. Kuota 1000
per hari harus dibagi penumpang 7 koridor, selama Juli-September. Sebelum bus
melaju jauh, saya merenung. Hati saya leleh. Kapan lagi saya melihat kelinci-kelinci
sesungguhnya. Waktu melaju tak terulang. Saya telanjur membayar lima ribu
rupiah. Saya putuskan melanjutkan perjalanan.
Satu
setengah jam kemudian saya sampai di tempat tujuan. Jalanan menurun dari jalan
raya menuju pasar hewan. Sisi kanan jalan, lelaki lansia membawa tas khusus
dari rajut janur, lalu mengeluarkan isinya.
“Niki
pinten, Pak?” tanya lelaki muda di sebelahnya tentang harga ayam, mungkin jenis
ayam aduan. Ternyata lelaki lansia adalah pedagang ayam.
“Tiga
ratus ribu rupiah,” jawab pedagang.
Lalu lelaki muda melebarkan bulu-bulu ayam, bagian
ekor dan kedua sayap, sebelum menawar, “Seratus tujuh puluh lima, nggih?”
Pedagang
ayam meminta dagangannya kemudian memasukkannya ke tas khusus dan melesat pergi,
menuju pasar. Ia tak menghiraukan lelaki muda berjalan di belakangnya dan menawar hingga Rp275.000,00. Sikap pedagang seakan
mengatakan kalau tidak punya uang sebaiknya tidak membeli ayam berkualitas
tinggi.
Akhirnya
saya sampai di tempat kelinci-kelinci dijajakan. Pandangan saya tertuju pada
lelaki berjaket hitam, yang sibuk memvideo, kelinci-kelinci dalam satu keranjang
besi, dengan Hp. Hewan-hewan imut berbalut bulu-bulu putih itu seperti sekelompok
artis sedang shooting. Mereka asyik makan dedaunan, sesekali mata mereka
melihat Hp.
Kelinci-kelinci
lain, berbeda ukuran, juga berada di keranjang-keranjang besi. Kelinci-kelinci besar menempati kandang-kandang
kayu. Lelaki itu terkesan sudah dari tadi berada di tempat tersebut.
“Sepasang
berapa, Bu?” tanyanya, selesai memvideo.
“Delapan
puluh ribu,” jawab penjual, berkonde cepol. Baju selututnya berisi penuh
badannya yang padat. “Kalau mau yang bibit, itu?” tunjuknya pada keranjang di
sebelahnya berisi kelinci-kelinci lebih besar. “Mereka cepat berkembang dan
menjadi besar,” jelasnya kemudian sambil menunjuk kelinci besar di kandang.
“Yang
bibit sepasang berapa?” tanyanya.
“Seratus
lima puluh ribu,” jawab pedagang. Wajahnya mulai kusut.
“Seratus
ribu boleh?” tawarnya.
“Dari
tadi nawar terus,” umpat pedagang lalu pergi. Tidak ada pembeli lain. Ia menambahi
dedaunan untuk kelinci-kelinci kecil yang makanannya menipis. Lelaki itu belum
beranjak.
Sebelum
pedagang itu marah, saya buru-buru pergi. Sebab saya hanya melihat-lihat. Saya
masuk ke salah satu deretan warung di pinggir pasar, untuk makan siang.
Kekecewaan
saya tidak mendapatkan harga promosi mungkin sama dirasakan pedagang ayam, yang
pembelinya tidak mengerti ayam berkualitas tinggi, dan pedagang kelinci,
menghadapi calon pembeli rumit, terlepas setiap orang beda visi.
@@@