Iis Soekandar

Kamis, 14 Agustus 2025

Satai Bumbon

                                                                                          

         Kedatangan kami di tempat penjual satai bersamaan dengan embusan angin dari arah barat, dengan desah suara keras, membawa debu-debu yang menampar wajah. Tapi kami tak menutupinya dengan benda apa pun, termasuk tisu, karena segera masuk ke tempat penjual satai lebih aman, yang jarak menuju ke pintunya dua langkah. Sinar matahari tak menyisakan bayangan bagi penduduk bumi.

            Tempat ini layaknya warteg, jauh dari bayangan saya, sebuah tempat representatif, terlebih bagi pengunjung dari luar kota, yang butuh makan sambil beristirahat, dan menjual makanan satai seporsi Rp60.000,00.

            “Kita makan siang di Kendal, makan satai bumbon. Kamu pasti belum pernah coba!” putus teman saya langsung meminta Pak Sopir mampir di tempat langganannya, menikmati makanan khas, selesai kunjungan kami dari Pekalongan.

Atas dasar rasa penasaran, saya mengiyakan, meski satai bagi saya adalah satai kambing, dan daging sapi cocok untuk masakan bistik dan rendang.

            Saya, teman, dan Pak Sopir masing-masing memesan setengah porsi, lima tusuk. Begitu satai terhidang, lagi-lagi atas dasar menyenangkan hati teman, saya bersemangat menyantap. Aroma pedas tercium dari sambal kacang, dan  kacang tanahnya digerus kasar, dan dicampur dalam tusukan-tusukan satai. Itu artinya tidak memberi kesempatan saya yang tidak suka pedas, untuk mengukur pedasnya cabe, dibanding sambal dipisah. Mungkin dari semua itu dinamai satai bumbon.

            Potongan-potongan daging sapinya besar-besar, tapi empuk. Sehingga tidak terasa saya habis lima tusuk. Ada makanan lain untuk menyantap satai bumbon, selain nasi: sayur lodeh tewel, dan tauge rebus yang diletakkan di atas nasi.  

            Konon, masyarakat Indonesia zaman dulu tidak mengenal daging bakar. Mereka memasak daging dengan cara direbus. Letak Indonesia strategis menjadi tujuan para pedagang India dan Timur Tengah. Mereka memberi pengaruh makanan Indonesia. Satai adalah hasil evolusi kebab dari India dan Timur Tengah. Masyarakat dari negara-negara tersebut, makan kebab dari aneka jenis, di antaranya ditusuk seperti satai.

Nama satai mungkin berasal dari bahasa India, catai, yang artinya daging. Nama ini pun berevolusi, agar mudah mengucapkan, catai menjadi satai.   

Irisan-irisan tomat mengurangi rasa pedas. Namun udara masuk dari kanan kairi pintu yang dibiarkan terbuka, kami tidak bisa berlama-lama di warung, begitu makan selesai. Kami beranjak dan melanjutkan perjalanan, pulang ke Semarang.

@@@


Jumat, 08 Agustus 2025

Kejutan Nasi Soto

                                                                                          

        Sore ramai anak-anak ketika saya melewati kampung menuju toko alat-alat tulis. Saya baru teringat, jelang tujuh belas Agustus, kampung-kampung biasanya mengadakan aneka lomba. Dua remaja laki-laki memasang tali rafia di kanan kiri tiang jalan. Basah di sebagian baju kaus mereka menandakan matahari masih garang memancarkan sinarnya. Di belakang saya, seorang anak nyeletuk,

            “Umi, aku mau ikutan lomba makan krupuk.”

            Lalu ibunya mengiyakan.

            Seringkali ingatan saya tertuju pada majalah Ummi setiap kali mendengar panggilan ‘Umi’. Ingatan saya melambung pada karya saya yang pernah dimuat di majalah itu. Namun, perasaan saya berada pada titik nadir. Saya tidak bisa mengarsipkannya sebagaimana karya-karya saya setiap dimuat media. Majalah Ummi yang memuat karya saya itu termakan banjir lalu saya buang.

            Pulang dari toko alat-alat tulis, pikiran saya melintas: Mengapa tidak saya tulis pengalaman saya seputar karya saya itu? Lalu saya menghubungi teman yang karyanya berkali-kali dimuat di majalah Ummi. Saya minta memfotokan majalah Ummi sebagai gambar ilustrasi. Tidak lama saya mendapatkan gambar majalah Ummi.

             “Kejutan Nasi Soto” adalah judul cerita anak itu. Ia berkisah tentang seorang anak lelaki dari keluarga sederhana. Saat anak lelaki itu khitan orangtuanya hanya menyajikan panganan-panganan di piring-piring saji. Tetangga sebelahnya adalah pemilik warung soto. Ia membuka warungnya untuk sarapan. terdorong rasa empati, ia memberi kejutan dengan menyuguhi semangkuk nasi soto kepada setiap tamu yang hadir.

Ide cerita itu timbul saat saya berkunjung ke rumah teman. Tetangga sebelahnya menjual nasi soto. Ketika teman saya masuk dan meninggalkan saya sendiri, pikiran saya berandai-andai. Malam menjadi sempurna jika yang terhidang nanti tidak hanya minuman, tetapi juga semangkuk nasi soto. Tapi warung itu gelap karena hanya buka pagi hari.

“Kejutan Nasi Soto” satu-satunya karya saya yang pernah dimuat di majalah Ummi. Sebagaimana nasib media-media lain, akhirnya media itu juga tutup.

Kini, setiap kali saya merindukan “Kejutan Nasi Soto”, saya tinggal membaca tulisan ini.

@@@


Kamis, 31 Juli 2025

Kue Klepon

                                                                                      

              Pasar memperlihatkan kesibukannya: aneka transaksi dari bahan makanan, makanan siap santap, hingga non makanan seperti baju-baju dan perkakas rumah tangga berbahan plastik. Mereka beraktivitas di bawah sinar lampu jalan sebab matahari belum menampakkan wajahnya.

            Pagi itu saya menyusuri pasar krempyeng, seperti biasa, yang para pedagangnya menjual dagangannya di kanan kiri jalan, dan jelang pertokoan buka, mereka selesai. Saya menuju ke penjual getuk, demikian orang-orang menyebut, meski yang dijual tidak hanya getuk (berbahan singkong). Ia menjual aneka jajan pasar lain seperti cenil, putu mayang, dan klepon.

            Pedagang getuk zaman dulu menjual banyak varian jajan pasar. Selain makanan-makanan tersebut, ada juga getuk tolo, ketan hitam, ketan putih, gobet, jongkong, kacamata, gatot, mungkin masih ada yang lain. Dan pedagangnya tidak hanya seorang.  

            Saya sengaja melihat dari jauh pedagang getuk. Sebab saya berkali-kali makan getuk, cenil, dan putu mayang, tanpa klepon. Untuk kesekian kali saya kecele. Orang makan jajan pasar lebih enak jika bermacam-macam, lalu taburi parutan kelapa, kucuri kinca (sirop gula merah), dalam kemasan daun. Atau mungkin pedagang getuk tidak lagi membuat klepon karena pembuatannya yang rumit.

            Tanpa sengaja saya bertemu teman lama. Hampir setiap ke pasar saya bertemu dengannya. Ia berjualan nasi, anek sayur, dan lauk. Saya utarakan unek-unek.

            “Gak usah di pedagang getuk. Di penjual aneka panganan, kan’ juga jual klepon,” jelasnya. Saya pun buru-buru ke penjual yang dia maksud, agar tidak kehabisan. Saya lupa ada penjual aneka panganan yang menjual klepon dalam satu kemasan. Saya membeli beberapa kemasan klepon.

            Ada beberapa lapisan terkuak jajan pasar berbentuk bulat kira-kira sebesar kelereng ini. Bagian luar klepon kenyal dan gurih, berbalut parutan kelapa. Begitu lidah merasakan isinya, manis dan lembut gula merah beradu, dan lumer di mulut.

            Menurut asal usul namanya, klepon diambil dari bahasa Jawa, berarti ‘indung telur hewan’. Selain dikonsumsi pribadi, klepon juga disajikan dalam jamuan. Saya pernah datang ke resepsi pernikahan, klepon dan aneka jajan pasar terhidang sebagai makanan pembuka, berbeda dari kebanyakan pemilik hajat menyajikan kue-kue masa kini atau kue-kue modifikasi dari barat. Menurut buku Main Rasa Bersama Sasa, klepon pertama kali diperkenalkan di Negeri Kincir Angin oleh imigran dari Pasuruan, Jawa Timur. Saat itu klepon tersedia di toko dan restoran Indonesia-Belanda.

            Di antara banyaknya makanan kekinian, kue klepon menjadi makanan langka. Saya bahagia masih bisa menikmati klepon, walaupun tidak bersama jajan pasar-jajan pasar lain, dengan taburan parutan kelapa dan kucuran kinca, dalam kemasan daun.

@@@


Kamis, 24 Juli 2025

Mengetuk Hati Nurani

                                                                                    

         Dingin amat terasa, beberapa hari terakhir. Di luar, matahari masih setia memancarkan sinarnya. Tak ada satu pun pedagang mangkal, begitupun anak-anak yang biasa bermain, mungkin karena libur sekolah telah usai.

Saya biasa menghabiskan sore dengan bersih-bersih rumah, sembari mendengarkan berita-berita televisi. Sesekali saya melihat tayangannya jika ada yang menarik. Saya saklek pada satu stasiun televisi, kecuali Tim Garuda berlaga, saya pindah televisi lain. Sebab televisi langganan saya itu tidak menyiarkan pertandingan sepakbola dalam negeri. Berita-beritanya tak melulu hiburan, dan tak memihak partai tertentu.

Ada tayangan khusus berita-berita kriminal dari berbagai daerah. Kejadian-kejadian kriminal seringkali tak bisa dihindari dan menjadi bagian hidup manusia. Pengalaman mengajari saya agar berhati-hati pada transportasi pribadi. Suatu malam sehabis Magrib saya akan berkunjung ke rumah teman. Saya menggunakan ojek daring. Tak biasanya sopir bercerita tanpa jeda sepanjang perjalanan. Ternyata hal itu untuk mengelabuhi saya dengan menyesatkan jalan. Saya tersadar dan meminta dia melewati jalan biasanya. Beruntung dia tak melanjutkan niat buruknya.

Kejadian itu menghantui saya saat tamasya ke Ambarawa. Penumpang angkot hanya beberapa orang, dan pada akhirnya tinggal saya. Saya langsung deg-degan begitu angkutan tak lewat jalan raya,“Lo kok belok, Pak?”

Kulo manut mawon, namung riyaya utawa sak lawase, la niku tergantung pemerintahe,” jelas pengemudi. Ternyata pengalihan jalan itu kebijakan pemerintah, dan tidak hanya saat Lebaran, mungkin menghindari macet. Jalanan panjang, sepi, sesekali melewati hamparan pepohonan. Saya lega begitu sampai di tempat tujuan. Ongkosnya sama seperti saat lewat jalan raya. Sebelum turun sopir memberi saya petunjuk angkot yang harus saya naiki ketika pulang dan dari arah mana.

            Sebelum pulang ke Semarang saya mampir ke penjual serabi ngampin, makanan khas Ambarawa. Penjual menawari saya sampel hampir setiap serabi turun dari cetakan, semata-mata untuk memuaskan pembeli agar tidak kecewa. Jika saya mau mungkin saya mendapatkan serabi satu porsi gratis. Padahal saya hanya memberi satu porsi di tempat dan satu porsi saya bawa pulang.  

            Pelayanan memuaskan juga saya terima dari penjual leker di Bandungan. Ia menggunakan tungku berbahan bakar arang untuk memasak. Saya bertanya mengapa ia tidak menggunakan kompor, efisien, dengan demikian keuntungan yang didapat juga banyak.

            “Leker dimasak dengan kompor kalau dingin tidak enak, berbeda dimasak dengan arang. Walaupun dingin masih tetap renyah,” jelasnya. Saya segera membayar dan pergi. Saya  tidak meremehkan keterangan ibu itu. Saya tidak berniat membuktikannya. Sebab saya lebih senang makan leker panas, terlebih berada di daerah dingin seperti Bandungan.

            Rumah telah bersih. Tanyangan berita-berita kriminal berganti berita-berita politik dan peristiwa-peristiwa terkini lain. Di antara orang-orang mudah bertindak kriminal, sebagian lain tetap memelihara hati nurani untuk membahagiakan sesama.

@@@


Rabu, 23 Juli 2025

Sendang Nyatnyono

                                                                               

        “Kamu ke sini tidak mandi? Trus ngapain?” ledek teman, suatu saat ketika kami tamasya ke Sendang Nyatnyono. Sejak awal kedatangan saya sibuk jalan-jalan, sambil menikmati alam perbukitan dengan udaranya yang sejuk, makan-makan, swafoto, dan memperhatikan kegiatan masyarakat sekitar, begitupun kunjungan-kunjungan sebelumnya. Ketika seorang teman menegur, saya tersadar. Mengapa saya tidak ikut mandi? Bagaimana rasa mandi di sendang? Waktu merambat jauh; kami bersiap pulang.

            Rasa penasaran mandi di sendang beramai-ramai terbayar setelah menunggu sekian lama. Ada rombongan mengajak saya ke sana. Namanya Sendang Kalimah Toyyibah. Masyarakat luas mengenal Sendang Nyatnyono. Mungkin karena nama itu diambil dari nama desa setempat, orang-orang lebih mudah mengingatnya.

            Tidak ada tiket masuk ke sendang tersebut, yang letaknya di Kabupaten Semarang. Pengunjung laki-laki masuk di pintu kiri area sendang, pengunjung wanita masuk di pintu kanan.

Saya mengenakan pakaian dobel dari rumah. Pengunjung yang tidak membawa pakaian ganti, tersedia persewaan sarung. 

                                                                     

Ada beberapa pancuran kecil dan satu pancuran besar. Sumpal dari gabus saya tarik,  seketika air mengguyur tanpa henti, kecuali saat bersabun dan keramas, sumpal kembali saya katupkan di pancuran.

             Mulanya kami risi mandi beramai-ramai. Walaupun kami mengenakan pakaian, berbeda saat mandi sendiri di kamar mandi. Namun, mandi di bawah guyuran air pancuran yang jernih, diiringi senda gurau tak henti, dan memberi pengalaman menyenangkan, lambat laun rasa risi lebur.

            Kami beruntung waktu itu hanya bersamaan dengan satu rombongan, dan mereka segera selesai. Kami mandi dan bermain air sampai puas, tanpa was-was. Sebab tas-tas pengunjung hanya diletakkan begitu saja di tempat terbuka, dekat sendang.  

            Kulit badan terasa lebih bersih dibanding mandi di rumah. Entah hal itu karena lama berkecimpung dengan air, atau khasiat air sendang.

            “Air sendang tidak pernah berhenti mengalir. Hanya airnya berkurang,” jelas penduduk setempat ketika saya tanya apakah air tetap mengalir walau musim panas. “Khasiat air sendang tergantung niat masing-masing,” tambahnya.

                                                                                       

            Setelah puas mandi, saya jalan-jalan sambil melihat-lihat kedai-kedai penjaja makanan oleh-oleh. Ada banyak kudapan, mayoritas dengan olahan goreng. Saya tertarik keripik daun. Saya pikir keripik bayam. Ternyata daun-daun hijau berbalut tepung itu keripik daun pegagan. Ada juga samiler atau kerupuk singkong, emping jagung, intip atau kerak nasi. Semua seharga lima ribu rupiah per bungkus.

            Matahari di atas ubun-ubun ketika angkutan kami bergerak pergi. Tertinggal jejak-jejak kaki, terukir kelak kembali.

@@@


 



Kamis, 12 Juni 2025

Kedelai yang Melalai

                                                                                             

          Pukul empat sore bukan waktu tepat untuk menyantap makanan berat bagi saya. Walau saya telah bertamasya sejak pagi, dan perut lapar minta diisi. Saya pun tidak berselera menyantap kudapan, seperti leker dan bakso pentul, yang dijajakan di pinggir-pinggir jalan daerah Bandungan, Kabupaten Semarang.

Saya terus menyusuri jalan mencari makanan yang tepat. Hingga sampailah saya di jalan dekat pasar Bandungan. Kedai-kedai khusus menjual tahu siap santap, berjejer di pinggir jalan. Tahu Bandungan khas. Teksturnya lembut.

Di antara kedai-kedai itu, ada gang-gang. Salah satu gang terdapat sebuah pabrik menjual makanan dari kedelai: tahu jadi, dan tempe dalam kemasan daun. Pabrik itu juga menjual tahu setengah jadi, seperti bentuk tahu dalam wedang tahu. Saat digoreng dengan balutan telur, tahu setengah jadi terasa otak sapi.

Demi mengakrabkan dengan para pengunjungnya, pabrik itu juga melayani pembelian tahu goreng dan tempe mendoan, siap santap di tempat. Tempat itu tak pernah sepi. Saya sering bersamaan dengan para pengunjung dari luar kota, setelah perjalanan liburan. Sambil beristirahat mereka menyantap tahu goreng dicocol sambal kecap, dan mendoan dengan ceplusan cabe rawit. Lalu sebelum pulang mereka biasanya membeli oleh-oleh.

Ada satu hal yang membuat saya ingin selalu mampir di sana setiap lewat Bandungan: menikmati susu kedelai, produksinya selain tahu dan tempe.

Susu kedelai jarang dijumpai di tempat saya tinggal, tak seperti susu sapi. Setiap hari penjual susu sapi menjajakan dagangannya di kampung. Saya membeli satu cup susu kedelai. Saya suka rasa original. Rasa kedelai begitu sempurna. Tegukan pertama, dalam kapasitas sedikit, karena susu dituangkan dalam cup, langsung dari pemanas, mulai menghangatkan mulut. Tegukan kedua dan selanjutnya, hangatnya memenuhi mulut dan sudut-sudutnya. Setelah setengah cup, susu kedelai layak disantap dengan sedotan.  

Sebagian pengunjung tak suka rasa kedelai murni. Mereka menambahi gula, jahe, atau bahan-bahan minuman lain. Harganya menambah dibanding susu kedelai murni.

Sore semakin larut. Saya pulang dengan perut kenyang dan badan hangat, cukup dengan membayar Rp6.000,00, sebagai bekal pulang ke Semarang.

@@@

   

Kamis, 29 Mei 2025

Kabut

                                                                             

          Saya dan rombongan tiba di daerah Nyatnyono, Ungaran, Kabupaten Semarang, saat waktu jelang pukul dua belas siang. Suasana pegunungan, berkebalikan dengan di daerah saya tinggal, yang pasti sedang terik. Sesekai dedaunan pepohonan sekitar melambai-lambai. Para pedagang bakso di depan gerobak-gerobaknya, berjejer menunggu kami, dan memanggil-manggil agar membeli. Makanan familiar, berbahan dan berbumbu simpel itu, cocok disantap pada suasana dingin.

Saya berburu spot foto yang ciamik. Sebuah kesenangan tersendiri ketika saya tamasya ke alam bebas, di daerah tinggi. Saya bisa melihat daerah bawah.  Dari ketinggian, saya bebas memotret laut, pantai, pepohohan, lalu lintas perkotaan, atau sekadar genting-genting rumah-rumah penduduk.

Beberapa kali saya memotret lancar, mendapatkan pemandangan bagus dan gambar terang. Selanjutnya, hasil cepretan buram. Apakah ada masalah dengan kamera ponsel saya?

“Ada kabut!” celetuk seorang teman, juga gagal mengambil foto. Kemudian ia berlalu.

Kabut menutup hal-hal sekitarnya, sebagaimana perjumpaan saya dengan seorang wanita di ruang religi, setelah menunggu kabut tak kunjung pergi. Kami duduk bersila di depan pusara seorang wali, berharap rahmat dan berkahnya yang meluber, jatuh kepada kami. Kemudian hajat-hajat kami dikabulkan. Kami hanya dipisahkan beberapa dudukan, tanpa seorang penghalang. Walaupun sinar lampu ruangan temaram, dan saya melihatnya dari samping, tampak hidungnya mancung, matanya bulat lebar, postur tubuhnya tinggi. Setelan gamis-celana dan kerudungnya, semua berwarna pink, tak selaras dengan keadaannya. Kabut telah menutup kebahagiaannya. Sejak saya berjumpa, hingga kami sama-sama beranjak keluar ruang, ia terus menangis.

Tangisnya begitu dalam menunjukkan derita yang sedang menimpanya. Mungkinkah ia dikhianati suaminya, padahal ia tulang punggung keluarga, terlihat penampilannya yang rapi layaknya seorang pegawai? Atau ia sedang menjalin hubungan dengan lawan jenis, dan jelang pernikahan, nyawa teman dekatnya itu terenggut? Atau peristiwa-peristiwa lain yang memilukan? Entahlah.  

Ingin rasanya saya mengulurkan tangan. Setidaknya sebagai pendengar sesak hatinya jika saya tak mampu memberikan solusi. Namun, ada kabut di antara kami.

Saya mengikuti rombongan dan keluar ruangan, begitu pun wanita itu. Saya kembali ke spot foto. Kabut menebal. Saya turun mengikuti langkahnya, merasa bersyukur masih bisa mencari spot foto bagus, lain kesempatan.

@@@