Iis Soekandar

Minggu, 08 Juli 2018

Cerma





       Aku tak pernah beranjak dari meja belajar. Meski begitu aku tahu semua kegiatan Resti. Akulah yang membantu Resti mengurangi rasa sedihnya. Ketika dia menulis di kertasku lalu menuangkan kekesalannya, legalah semua yang menyesakkan dada. Saat beruntung, aku juga menjadi luapan bahagianya. Sambil senyum-senyum, dia berbagi kebahagiaan itu, juga melalui tulisannya.Yah, rahasia tersembunyi, aku lebih tahu, dibanding siapa pun, termasuk mama. Bahkan urusan tertentu, Resti sengaja mengunci rapat-rapat hatinya kepada mama.

      Untuk itulah Resti membeliku. Kutahu pada tulisannya yang pertama. Dia mengatakan baru mengenal cowok yang mampu membuat hari-harinya indah, senyum-senyum sendiri, sekaligus merasa mendapat perhatian lebih dibanding cewek cantik mana pun.

       Lalu bak artis yang sedang berakting dia ungkapkan semua pengalamannya di hadapanku, lengkap dengan gerak tangan dan gestur.
    “Sudah membawa apel merah dan hijau?” ceritanya pada kegiatan pengenalan lingkungan sekolah awal menjadi peserta didik baru.

Jumat, 06 Juli 2018

Dongeng

Piala Raja Kelinci


      Rambo kelinci pulang berjalan kaki membawa seikat wortel. Seperti biasa setiap sore ia berjalan untuk mengambil wortel dari ladang wortel. Jaraknya kira-kira satu kilometer dari rumah. Sedangkan kelinci-kelinci muda lain biasanya naik sepeda kalau pergi ke ladang. Di perjalanan pulang Rambo melihat kelinci seumurannya bergerombol. Mereka sedang membicarakan perlombaan yang diadakan Kerajaan Kelinci. Raja Kelinci mengadakan lomba lari cepat bagi para kelinci muda. Pemenangnya akan mendapatkan Piala Raja Kelinci. Piala itu berbentuk worel, makanan kesukaan mereka.

       Lomba itu diselenggarakan dalam rangka ulang tahun Kerajaan Kelinci.
       “Kerajaan Kelinci harus tetap merdeka. Tidak boleh dijajah oleh hewan lain. Itu sebabnya, para kelinci muda harus cekatan berlari!” ujar Raja Kelinci pada sebuah pidato.
        Raja Kelinci juga berencana akan memberi pelatihan bela diri kepada para kelinci muda. Suatu saat jika ada musuh datang, para kelinci muda yang akan maju di medan perang.
      “Aku harus mendapatkan Piala Raja Kelinci!” kata Rambi, kembaran Rambo.
       Rambo yang baru saja sampai di rumah, hanya tersenyum.
    “Bagaimana mungkin kamu mendapatkan piala itu? Kamu tidak pernah mau latihan berlari. Setiap hari Rambo yang mengambil wortel di ladang,” kata bunda Rambi dan Rambo.
       Rambi hanya terdiam.
       “Otot kakiku masih bagus. Belum pernah terkilir, jatuh, dan luka seperti Rambo.  Lari sepanjang tiga kilometer pasti mudah. Rambo pasti cepat kelelahan. Dia kan setiap hari sudah berjalan menempuh jarak dua kilometer,” gumam Rambi di dalam hati.
@@@
       Waktu terus berjalan. Tibalah saat yang dinanti. Semua kelinci muda berkumpul di depan istana. Masing-masing memakai nomor punggung. Rambo mendapat nomor 55 sedangkan Rambi 101. Sebanyak 252 kelinci muda mengikuti lomba lari cepat.
       “Para kelinci muda, waktu menunjukkan tepat pukul enam pagi. Kalian akan berlari sepanjang tiga kilometer sesuai rute yang telah ditentukan,” Patih memberi keterangan.
       Dari balkon tampak Raja, Permaisuri, dan kedua pangeran kelinci menyaksikan pembukaan lomba.
       “Hitungan akan saya mulai dari angka 3. Kalian siap?” tambah Patih.
       “Siaaaap,” jawab semua kelinci muda penuh semangat.
       “Tiga... dua... satu....”
       Semua kelinci muda berlari. Bapak dan ibu mereka memberi dukungan di sepanjang jalan yang mereka lalui. Mereka pasti menginginkan anaknya mendapatkan Piala Raja Kelinci. Begitu pun ayah dan bunda Rambo-Rambi.
       Setelah beberapa menit berlalu, beberapa peserta mulai berguguran. Ada yang berhenti lari karena kakinya lecet. Ada yang otot kakinya kram dan pingsan.
       Rambo masih bertahan berlari. Sedangkan Rambi kakinya mulai kaku setelah menempuh jarak satu kilometer. Bahkan ia terjatuh
       “Aduh... kakiku... kenapa ini?” tanya Rambi.
       Rambi berhenti di tengah jalan. Ia mengerang. Sementara kelinci muda lain yang masih bertahan terus berlari. Rambo sudah berada jauh di depan. Ia tak tahu kalau kembarannya terjatuh.
       Pasukan istana tampak sigap menolong Rambi. Mereka sengaja ditugaskan untuk menolong para peserta lomba lari yang berhenti di jalan. Dua kelinci petugas lalu mengantar Rambi ke pos pertolongan pertama.
       Ayah dan Bunda menemani Rambi yang dirawat di pos itu. Mereka sudah menduga Rambi tidak mampu menempuh jarak tiga kilometer.
       Semula Rambi heran, mengapa ototnya bisa kram. Dokter menjelaskan, justru otot harus sering dilatih agar lentur dan kuat.
       Otot dan tulang Rambo sudah terlatih berlari. Saat pergi ke ladang dan pulang ke rumah membawa wortel, sebetulnya Rambo tanpa sengaja telah berlatih. Berjalan dan terkadang berlari sejauh dua kilometer setiap hari.
       Jadi tak heran kalau akhirnya Rambo sampai paling awal di depan istana. Disusul kelinci-kelinci muda lain beberapa saat kemudian. Setengah dari mereka gagal mencapai finish.
     Kini giliran penyerahan Piala Raja Kelinci untuk sang juara.
 “Para peserta dan semua rakyat kerajaan Kelinci, kini tiba saatnya penyerahan piala.  Pemenang lomba lari cepat tahun ini adalah... Rambo!” seru Patih.
       Tepuk tangan terdengar riuh-rendah.
       Raja Kelinci memberikan piala pada Rambo.
       “Rambo... Rambo... Rambo.... “ hadirin yang hadir mengelu-elukan Rambo yang menerima Piala Raja Kelinci.
       Sampai di rumah, Rambi masuk ke kamarnya dan termenung. Rambo mendekatinya dan menghibur.
       “Rambo, mulai besok kita bergantian ke ladang. Sehari kamu, sehari aku. Aku juga ingin punya Piala Raja Kelinci seperti kamu,” kata Rambi.
      “Aku bangga pada usahamu, Rambi. Jika kamu rajin ke ladang aku percaya suatu kamu juga bisa mendapatkan Piala Raja Kelinci,” kata Rambo.
       Mulai hari itu, bunda tidak lagi marah-marah. Rambi tidak lagi malas. Ia bergantian dengan Rambo mengambil wortel di ladang.   
@@@
Dongeng ini pernah dimuat di majalah Bobo, terbit 28 Juni 2018

Minggu, 24 Juni 2018

Cernak


Kue Lebaran Buat Tika


Bagi Tika dan keluarganya, Lebaran tahun ini berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Tika, mama, dan papa menemani nenek selama liburan di kampung. Sebab kakek meninggal beberapa bulan lalu. Biasanya mereka berkunjung ke rumah nenek hanya sehari.
            “Hai...,” sapa Tika kepada seorang anak yang melewati rumah nenek. Tika berada di luar pagar rumah. Tika sendirian dan ingin mencari teman.
            “Hai juga. Kamu kan cucunya Nek Rahma,” ungkap anak itu.
            “Iya, mainlah kemari!” ajak Tika.
            Anak itu menurut. Kemudian mereka saling berkenalan. Ternyata namanya Nina. Mereka duduk santai di teras sambil menikmati hidangan kue-kue Lebaran.
            “Wah, kue ini enak sekali, rasanya asin,” kata Nina sambil manggut-manggut.
            “Itu namanya castengel. Rasanya asin karena ada campuran kejunya,” jawab Tika.
            Selain castengel, ada juga tarnas berbentuk seperti keranjang. Lalu kue berbentuk pipih, namanya lidah kucing. Sedangkan kue berbentuk bulan sabit yang ditaburi dengan gula halus, namanya putri salju. Semua kue itu buatan mama Tika. Nina menyukai semua kue yang disajikan.
Setelah puas menikmati kue Lebaran dan segelas es sirup, Nina izin pulang.
            “Maaf, aku pulang dulu. Sebetulnya aku sedang disuruh bundaku ke warung,” ungkap Nina.
            “Oh, maaf. Pasti bundamu sedang menunggu di rumah.”
            Nina pun buru-buru pergi ke warung.
@@@
            Sore hari Tika kembali berdiri di depan pagar rumah. Tika berharap bertemu dengan Nina lagi. Sebetulnya dia bisa meminta petunjuk letak rumah Nina kepada nenek. Tapi Tika sungkan karena baru saja mengenal Nina.
            Keesokan hari ketika Tika akan membuang sampah, Nina lewat depan rumah nenek.
            “Nina, kamu mau ke mana?”  tanya Tika.
            “Aku mau ke warung membeli tepung,” jawab Nina.
            “Wah, pasti bundamu akan membuat kue Lebaran lagi. Kue-kue bikinan bundamu lezat-lezat hingga kehabisan,” tebak Tika senang.
            Nina hanya tersenyum.
          “Oya, bagaimana kalau aku ganti ke rumahmu. Lalu mencicipi kue-kue Lebaran bikinan bundamu,” usul Tika.
            “Mm ... tapi jangan sekarang ya. Aku sedang membantu bunda memasak,” jawab Nina.
            “Baiklah.”
            Setiap hari Tika menunggu Nina lewat. Tapi ketika bertemu dan ingin berkunjung ke rumahnya, Nina melarang. Tika bertanya kepada nenek mengapa Nina demikian.
            “Mungkin waktu itu dia akan berkunjung ke rumah saudara-saudaranya. Ini kan Lebaran. Jika cuma  mau silaturrahmi, mengapa tidak langsung pergi ke rumahnya. Kalau kecele, kamu datang lain waktu. Kamu kan lama liburan di rumah nenek,” saran nenek.
            “Iya, iya.”
            Tika berjanji suatu saat akan berkunjung ke rumah Nina.
@@@
            Suatu sore Tika pergi ke rumah Nina seperti saran nenek. Tika datang tanpa memberitahukan terlebih dahulu.
            Tok tok tok
            “Assalamualaikum,”
            “Walaikumsalam, ayo masuk,”
            Seorang wanita berjilbab membukakan pintu. Ternyata beliau bundanya Nina. Ketika Tika memperkenalkan diri, bunda langsung akrab.
            “Jadi ini cucunya Nek Rahma. Nina bercerita banyak tentang kamu. Bunda panggilkan Nina,” bunda lalu ke dalam.
            Di atas meja, Tika melihat kue-kue di stoples. Ada kue satru yang terbuat dari kacang hijau, opak gambir, lanting, dan ada satu lagi kue yang ia tidak mengerti. Bentuknya seperti roda. Satu stoples berwarna hijau muda, satu lagi pink.
            Tidak lama, Nina keluar sambil membawa nampan berisi dua gelas teh.
            “Maaf Tik, bundaku membuat kue-kue tradsional. Tidak seperti di rumah nenekmu. Kuenya lezat-lezat,” ungkap Nina sambil mempersilakan untuk mencicipi.
            “Mengapa kamu bilang begitu? Belum tentu kue tradisional tidak lezat.”    
Setelah mencicipi...
            “Hm, rasanya enak, renyah dan manis,” ungkap Tika ketika mencicipi kue seperti roda berwarna pink.
            “Itu namanya kembang goyang.” Kemudian Nina menerangkan mengapa dinamakan kembang goyang. Sebab ketika menggoreng harus digoyang-goyang hingga telepas dari cetakannya.
            “Benar kan, Nin, kue tradisional tidak kalah enak dengan kue modern,” jelas bunda kepada Nina. Ternyata di dalam, bunda mendengar semua pembicaraan keduanya.
            “Jadi selama ini kamu menolak aku ke mari karena malu. Bundamu benar, kue tradisional tidak kalah lezat dengan kue modern,” jelas Tika sambil menikmati kembang goyang.
“Kalau Tika mau, Bunda kasih. Kebetulan Bunda masih menyimpan. Tempo hari bunda membuat lagi karena kehabisan. Banyak tamu yang suka kembang goyang.”
Tentu saja Tika tidak menolak kue Lebaran buatan bunda itu. Bunda masuk tidak lama kemudian keluar dengan membawa sekantung plastik kembang goyang. Sejak saat itu Nina tidak malu lagi. Nina senang Tika datang dan menikmati kembang goyang karena di rumah neneknya tidak ada.
                                                                        @@@ 
Cernak ini pernah dimuat di harian Solopos, Minggu, 24 Juni 2018

Minggu, 20 Mei 2018

Cernak

Hari Pertama Puasa Bagi Fajar


      Badan Rafli terasa segar dibanding tadi siang. Hari ini puasa pertama Ramadan. Ia tidur sepulang sekolah hingga sore baru bangun. Setelah mandi sore dia pergi ke dapur. Ibu memintanya membantu memasak. Maklum ibu tidak mempunyai pembantu. Ketiga anak ibu lelaki. Kakak Rafli, Kak Fauzi, sibuk mengurus buka puasa bersama di sekolah. Sedangkan adiknya, Fajar, masih terlalu kecil. Dia belum dapat membantu ibu memasak.
       “Bu, mengapa ikan guraminya tinggal tiga? Bukankah tadi Bapak dapat empat ekor?” tanya Rafli setelah mengambil ikan-ikan dari kepis. Kepis adalah tempat menyimpan ikan setelah dipancing. Kepis terbuat dari bambu yang dianyam. Tadi pagi bapak memancing dari empang dan mendapat 4 ekor gurami. Lalu Rafli memberikan ikan gurami itu kepada ibu untuk diambil sisiknya.
       “Ibu lupa kalau hari ini sudah puasa Ramadan. Tadi ikan gurami yang ukuran kecil Ibu goreng untuk makan siang Fajar. Coba kamu tengok, apakah di meja makan masih ada sepiring nasi dan lauk ikan gurami yang ibu sediakan!” pinta ibu.
       Rafli langsung pergi ke meja makan. Dibukanya tudung saji. Benar dugaannya, di meja makan tidak ada sepiring nasi dan lauk ikan gurami. Rafli mencari Fajar. Tapi adiknya itu belum bangun dari tidur. Dia terlihat nyenyak.
       “Nasi dan ikan guraminya tidak ada, Bu, paling sudah dia makan dengan sembunyi-sembunyi. Ibu sih, sudah tahu puasa malah diberi makan,” tukas Rafli setelah sampai di dapur.
       “Iya, Ibu lupa,” jawab ibu dengan menyesal.
       “Kalau begitu nanti dia tidak boleh buka puasa bersama. Padahal tadi pagi ikut sahur. Nggak tahunya siang hari malah makan. Berarti dia bohong, mengaku puasa tapi siang hari makan,” kata Rafli jengkel.
       “Mungkin dia belum kuat puasa. Maklumlah, ini kan puasa pertamanya,” jelas ibu dengan sabar. “Sudah, sekarang segera diracik sayur lodeh itu. Ibu akan mengolah ikan gurami,” pinta ibu sambil menguliti sisik ikan gurami. Disamping itu ibu sambil menggoreng tahu dan tempe. Sore itu ibu memasak sayur lodeh dengan lauk ikan gurami, tempe, dan tahu goreng. Ibu juga akan membuat kolak pisang setup.
       “Nanti Ibu ingatkan lagi supaya puasa. Bukankah dia sudah janji mau puasa?”
       “Iya, nanti Ibu ingatkan lagi. Ayo cepat meraciknya. Nanti airnya keburu mendidih,” pinta ibu sambil memberi bumbu pada ikan gurami.
       “Baik, Bu. Ini sudah selesai tinggal dicuci.” Rafli pun segera mencuci sayur lodeh. Tidak lama kemudian dimasukkannya sayur-sayuran itu dalam air mendidih yang sudah diberi bumbu. Setelah itu diberi santan hingga matang.
      Rafli senang ketika Fajar berjanji akan berpuasa Ramadan. Sebelumnya Fajar tidak pernah puasa. Beberapa hari menjelang puasa Ramadan, ibu meminta Fajar supaya berpuasa. Mulanya Fajar menolak karena tidak tahan lapar dan haus. Begitu ibu menjanjikan hadiah, Fajar langsung bersemangat akan berpuasa.
      Jika kuat sebulan ibu memberi hadiah uang seratus ribu rupiah. Jika fajar tidak berpuasa sampai tiga hari, ibu memberi tujuh puluh lima ribu rupiah. Bila sampai satu minggu ibu memberi lima puluh ribu rupiah. Jika  kurang dari itu ibu hanya memberi sepuluh ribu rupiah.
      Setelah beberapa lama, azan Magrib berkumandang. Tanda waktu buka puasa tiba. Semua hidangan telah tersedia di meja makan. Rafli, ibu, dan bapak sudah bersiap di meja makan.  Sedangkan Kak Fauzi buka puasa bersama bapak dan ibu guru serta teman-temannya di sekolah. Pertama kali mereka minum teh manis hangat
      “Horeeee... buka puasa telah tiba,” sorak Fajar sambil menghampiri meja makan. Dia baru saja duduk-duduk di teras menunggu buka puasa. Kemudian dia menuangkan teh manis hangat dari dalam teko.
       “Kamu kan tidak puasa, Jar. Jadi kamu juga tidak buka puasa, tapi makan malam,” tukas Rafli.
       “Siapa bilang Fajar tidak berbuasa?” tanya Fajar agak marah.
       “Buktinya nasi dengan lauk ikan gurami pemberian Ibu tadi siang, kamu makan. Itu berarti kamu tidak puasa,” jelas Fajar.
       Fajar tidak menjawab, tapi buru-buru pergi ke belakang. Tidak lama kemudian dia keluar dengan membawa sepiring nasi dengan lauk gurami goreng.
       “Ini nasi pemberian Ibu. Fajar simpan di lemari belakang, supaya tidak kepingin.”
       Lemari belakang tempat ibu menyimpan perkakas dapur. Ibu jarang membukanya kecuali punya hajat.
       “O...,” Rafli manggut-manggut.
       “Puasa itu tidak hanya menahan haus dan lapar, Kak, tapi juga menjaga akhlak mulia. Diantaranya tidak berbohong atau berlaku jujur.”
       Rafli bangga melihat adik semata wayangnya bisa menjaga kejujuran. Hari pertama puasa mereka lalui dengan penuh suka cita. 
@@@
Cernak ini pernah dimuat di harian Lampung Post, Minggu, 20 Mei 2018.

<script async src="//pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>
<script>
  (adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({
    google_ad_client: "ca-pub-4969497520517963",
    enable_page_level_ads: true
  });
</script>



Minggu, 15 April 2018

Cernak

Ridho Anak Baru


         “Ridho mana?” tanya Fiky, sang ketua kelas, kepada teman-temannya yang masih berada di kelas. Beberapa waktu sebelum istirahat, Pak Alex menyerahkan surat pemberitahuan jadwal UTS (Ujian Tengah Semester) kepada Fiky agar dibagikan kepada teman-temannya. Pak Alex adalah wali kelas mereka. Begitu bel istirahat berbunyi, Fiky langsung membagikan. Tapi sebagian anak sudah keluar. Mungkin mereka segera ke kantin.
            “Ridho sudah keluar,” jawab Andre saat dicari Ridho tidak ada di kelas.
            “Itu Ridho sedang duduk di taman sambil membaca buku,” tukas Siswanto yang kebetulan akan ke kantin.Sebetulnya Siswanto teman sebangku Ridho. Tapi dia enggan berteman dengan Ridho.
            “Tolong panggilkan dia agar mengambil surat ini!” pinta Fiky. Fiky masih membawa beberapa surat pemberitahuan yang belum dibagikan kepada teman-temannya.
            “Malas, ah! Panggil saja sendiri!” jawab Siswanto.
            “Kalian kan teman sebangku,” ungkap Fiky heran.
            “Kamu tahu sendiri, Ridho budeg alias tuli. Kalau memanggil dia mesti teriak-teriak. Aku lapar mau ke kantin!” Kemudian Siswanto buru-buru pergi ke kantin. Begitu pun teman-teman lainnya.
            Fiky geleng-geleng kepala. Akhirnya dia memberikan sendiri surat berbentuk selembar kertas yang dilipat empat.
            “Ridho, “ panggil Fiky. Tapi Ridho tetap membaca buku sambil makan makanan yang dibawa dari rumah. Padahal jaraknya tidak jauh. Barulah setelah disentuh bahunya, Ridho menoleh.
            “Eh, Fiky.” Ridho tahu karena tidak disuka teman-temannya, ia suka menyendiri.
            “Ini surat pemberitahuan untuk orangtua,” setelah menyerahkan surat itu, Fiky buru-buru ke kantin.Disamping lapar, Fiky juga harus memberikan surat itu kepada teman-teman lain yang belum memeroleh.
            Begitulah Ridho, teman-temannya tidak suka bergaul dengannya. Karena Ridho agak tuli. Setiap kali berbicara dengannya harus keras.
            Sebagian teman-temannya menyangka Ridho tuli karena rambutnya yang gondrong. Sebagian rambut bagian samping menutupi telinganya.Mungkin karena itulah ia tidak begitu mendengar bila diajak berbicara. Beberapa hari lalu Pak Alex sudah mengingatkan supaya yang memiliki rambut gondrong dipotong. Disamping terlihat rapi, tidak mengganggu pendengaran.
@@@
            Ujian Tengah Semester sudah selesai. Pada hari Senin diadakan pemeriksaan kesehatan dari puskesmas. Sebagian murid sedih. Bahkan ada yang menangis. Sebetulnya pemeriksaan kesehatan dari puskesmas dilakukan tiga bulan sekali. Mereka diperiksa dari kesehatan rambut, telinga, gigi, mata, hingga bagian dalam, seperti amandel.
Biasanya sebelum pemeriksaan, beberapa hari sebelumnya setiap murid diberi surat pemberitahuan.Ternyata sebagian murid justru tidak masuk pada hari pemeriksaan. Mereka takut disuntik. Padahal tidak selalu dalam pemeriksaan ada suntikan. Oleh sebab itu pemeriksaan dilakukan secara tiba-tiba. Dengan demikian tidak ada yang membolos.
            “Sis, kepalaku pusing. Aku mau pulang saja,” ungkap Ridho tiba-tiba mengatakan kepalanya pusing.
            “Wah, kebetulan bukankah sedang ada pemeriksaan kesehatan dari puskesmas? Nanti kalau petugasnya sudah masuk dikelas kita, minta saja obat,” Siswanto memberi saran.
            “Tapi aku sudah tidak tahan. Aku minta izin pulang sama Pak Alex,”  jawab Ridho.
            Saat itu juga Ridho menemui Pak Alex yang sedang duduk di kursi guru. Ketika akan izin pulang, beliau melarang. Beliau juga menyarankan supaya nanti minta obat anti pusing dari petugas puskesmas. Tapi Ridho bersikeras ingin pulang. Syukurlah tidak lama setelah itu, dua petugas puskesmas masuk di kelas mereka.
            Karena mengeluh kepalanya pusing, Ridho diperiksa terlebih dahulu. Ketika diberi obat, Ridho malah menolak.
            “Saya tidak mau minum obat. Karena sebetulnya saya tidak pusing. Saya... saya... cuma takut disuntik... hu... hu... hu...,” ungkapnya sambil menangis.
            “Kami tidak akan menyuntik. Cuma memeriksa bagian organ-organ tubuh,” jelas petugas puskesmas. Petugas itu memeriksa rambut, mata, hidung. Ketika memerikasa telinga, petugas itu terheran.
            “Wah, banyak kotorannya.” Sampai beberapa lama petugas itu hanya membersihkan kotoran yang berada di dalam telinga Ridho. Petugas itu kaget.
            Barulah setelah itu Ridho mengaku tidak pernah memeriksakan kesehatannya. Setiap kali ada pemeriksaan dia tidak masuk sekolah. Alasannya karena takut disuntik.
            Semenjak itu Ridho tidak lagi tuli atau budeg. Teman-temannya senang bergaul dengannya. Apalagi dia juga memotong rambutnya. Sehingga seperti anak baru.
            “Wah, ada anak baru nih!” ledek Siswanto. Semua isi kelas yang pagi itu sudah datang ikut meledek. Mereka mengatakan Ridho anak baru.
            Semenjak itu bila ada pemeriksaan kesehatan, Ridho tidak takut. Bahkan dia senang. Sebab semua organ tubuhnya akan diperiksa supaya sehat. Bukankah di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat? Kini ia tidak minder lagi bergaul dengan teman-temannya.Begitu pun teman-temannya, senang bergaul dengannya.
@@@
Cerita ini pernah dimuat di surat kabar Fajar Makasar, Minggu, 15 April 2018 

Sabtu, 10 Maret 2018

Kisah Berhikmah



       Ihsan rajin beribadah, terutama menjalankan kewajiban shalat lima waktu. Dia lebih senang pergi ke masjid. Padahal dia harus berjalan melewati beberapa kampung untuk sampai ke sana. Semua dilakukan demi kewajiban dan kecintaannya kepada Allah. Anak laki-laki lebih utama shalat di masjid dibanding di rumah.
       “Biarlah di dunia kita hidup sederhana, asalkan di akhirat kelak bahagia. Yang terpenting jangan lupa menjalani kewajiban, terutama shalat lima waktu. Disamping itu ringan tangan dalam beramal soleh. Walaupun hanya berupa tenaga. Untuk bekal di akhirat nanti,” pesan emak untuk kesekian kali. Biasanya emak menghibur sekaligus memberi nasihat saat makan malam bersama.
       Di rumah berdinding kayu, Ihsan mendengarkan sembari makan nasi dengan lauk tempe goreng ditambah sambal terasi. Sedang Ahmad, adiknya, sibuk menonton film animasi kesayangannya. Ahmad masih duduk di TK. Sebagai anak sulung Ihsan ingin cepat membantu emak. Tapi tidak mungkin karena dia masih kelas dua SD.
       Emak sangat sibuk. Pagi buta emak sudah mencuci lalu sore menyetrika  pakaian milik orang lain. Ihsan dan Ahmad masih tidur. Sebelum pergi emak tidak lupa menyediakan sarapan dan makan siang. Menjelang senja emak baru pulang. Emak bekerja di rumah tetangga. Beliau menghidupi kedua putranya karena ayah Ihsan meninggal beberapa tahun lalu. 
       “Ihsan, baju kokomu sobek di samping,” celetuk Hanif suatu ketika, tetangganya yang juga baru saja selesai melakukan shalat jumat. Mereka suka membantu takmir masjid mengumpulkan beberapa kotak amal yang beredar di antara jamaah. Kotak amal itu keempat ujungnya beroda. Kemudian kotak-kotak itu didorong ke kantor untuk dibuka kemudian dihitung uangnya. Selain Hanif dan Ihsan, ada pula Deny, teman seangkatan mereka.
       “Ah iya,” kata Ihsan dengan memegangi bawah ketiak yang sobek sambil memendam rasa malu. “Sebetulnya ini bukan sobek, tapi jahitannya lepas. Emak sudah pernah menjahitnya tapi lepas lagi,” Ihsan memberi alasan.
       “Jahitannya lepas atau sobek tetap saja lubang dan kelihatan sebagian badanmu,” Deny menambahi bernada mengejek.
       Semua kotak amal sudah terkumpul di kantor. Saatnya Abah Nasikhin bersama takmir lain membuka lalu menghitung semua uang. Anak-anak diizinkan pulang.
       Ihsan pulang dengan bersepeda. Ia ingin marah, tapi tidak mungkin. Emak bisa menghidupi sekaligus menyekolahkan sudah untung. Kelak setelah besar dia akan membantunya dengan bekerja. Biarlah di dunia kita sederhana asal di akhirat kelak hidup bahagia. Pesan emak yang selalu menyemangati hidupnya.
@@@
       Seperti biasa, setiap Jumat anak-anak yang gemar membantu masjid mengumpulkan kotak amal untuk dibawa ke kantor. Sebelum ke kantor Ihsan terlihat mencari sesuatu. Ada 3 kotak amal yang diurusnya dan masih berada di serambi masjid.
       “Kamu sedang mencari apa, San?” tanya Hanif sambil mendorong 3 kotak amal yang akan diserahkan ke kantor.
       “Aku mencari lidi,” jawab Ihsan sembari ke halaman mencari lidi.
       Deny yang mendengar pembicaraan mereka, meletakkan 2 kotak amal lalu menghampiri Hanif. 
       “Ihsan mencari lidi. Dia pegang 3 kotak amal, apa pendapatmu ?” tanya Hanif membisiki Deny.
       “Yah, apalagi kalau bukan mencukil uang yang ada dalam lubang kotak amal,” jawab Deny tepat, diiyakan Hanif.
       “Mungkin dia ingin membeli baju koko tapi tidak punya uang.”
       “Iya, tempo hari baju kokonya sobek. Tapi kalau kita yang menegur, sungkan.”
       “Kita lapor saja sama Abah Nasikhin sebagai ketua takmir.”
       Abah Nasikhin kaget mendengar laporan Hanif dan Deny. Selama ini Ihsan dikenal sebagai anak yang rajin ke masjid dan suka membantu. Dengan penuh hati-hati, Abah Nasikhin minta cepat-cepat diantar ke tempat Ihsan berada bersama kotak amal yang belum diserahkan ke kantor masjid. Mereka mengamati dari jauh.
       Meski kesulitan mencari, akhirnya Ihsan menemukan sebuah lidi. Lidi itu kemudian dipangkas dengan jari-jari tangannya sehingga menjadi pendek. Namun Ihsan tidak mencukil tetapi justru mendorong uang itu dengan lidi agar masuk ke dalam. Tujuannya supaya kalau dilihat orang jahat tidak diambil uangnya. Kemudian Ihsan mendorong ketiga kotak amal itu ke kantor masjid.
       Hanif dan Deny kecele. Lalu kata Abah Nasikhin kepada keduanya.
       “Jangan suka su`dhon. Jangan menilai orang hanya dari kulit luarnya. Bisa jadi orang yang berpenampilan sederhana, justru di mata Allah dia lebih mulia dibanding yang lain. Ayo kumpulkan semua kotak amal yang kalian bawa ke kantor masjid!” pinta Abah Nasikhin sambil cepat-cepat ke kantor masjid untuk menghitung uang.
       Pulang dari masjid, Hanif dan Deny mendapat pelajaran sangat berharga. Mereka berjanji nanti sore akan ke rumah Ihsan untuk meminta maaf.
@@@
                                                                                        
 Kisah ini telah dimuat di majalah anak adzkia, Maret 2018

Minggu, 04 Maret 2018

Cerma

                                                                                       


Semilir angin Morosari menyibak rambut panjangmu penuh manja. Seakan menyambutmu bersama Ruwi menyongsong indahnya sunset di ufuk sana.
"Kamu haus kan, Dik, aku cari minuman dan makanan dulu, gimana? Nggak pa pa kan kamu nunggu di sini sendiri?" tawar Ruwi sementara kau duduk di atas sepeda motor.
            "Aku sih biasa-biasa aja, Wi, kan  kamu yang nyetir," tukasmu penuh pengertian.
           “Nunggu sunset sambil ngemil, biar seru!”
Tanpa menunggu jawaban, Ruwi langsung meninggalkanmu. Ruwi begitu baik hati, memboncengkanmu dengan sepeda motor dalam jarak  jauh. Entah mengapa tiba-tiba tempo hari kaurindu menikmati sunset. Ruwi yang selalu ingin membahagiakanmu pun dengan senang hati mengantar. Yang terpenting apa yang membuatmu bahagia, begitu semboyannya.
Kau menghela napas panjang. Hingga beberapa lama, sahabatmu itu belum kembali. Resah mulai menggelayuti. Sebetulnya kau tak ingin situasi seperti ini terjadi. Sendirian, berada di tempat kau menghabiskan masa indahmu dulu. Kau kerjap-kerjapkan kedua matamu. Berharap semua bayangan hilang. Namun di kejauhan sana, di lautan lepas, bayangan Rey mengelebat.
Rey.... ah, kendati kenangan pahit terakhir bersamanya, begitu banyak kenangan manis terajut. Saat-saat seperti inilah kau dan cowokmu itu gemar menikmati proses tenggelamnya sang surya di peraduan. Oh Tuhan, kau jadi merasa mengkhianati Ruwi, yang telah berjanji untuk melupakannya.
"Tumben angin Morosari terasa berbeda dari biasanya. Seperti ingin melepasi seluruh tulang,"ungkap Rey tiba-tiba begitu angin semilir berhembus, justru kau merasakan sejuk melepasi peluh. Seolah Rey merasa kepergiannya sore itu mengandug firasat lain.
"Kamu ada-ada aja. Kalau kamu nggak punya tulang, mati dong," ungkapmu tanpa beban mengatakan kematian walau teruntuk orang terkasih.
"Suatu saat pasti kita akan berpisah," ungkap Rey dalam pandangan ke laut lepas. Kau yang juga duduk di atas motor besarnya semakin resah dengan omongannya yang saat itu kauanggap aneh. Namun dalam pengertian lain.
"Berpisah ya berpisah. Bilang aja kamu ingin kita pisah. Tidak perlu nyinggung soal kematian," kau tersulut oleh gosip yang beredar hari-hari terakhir tentang kedekatanya dengan seorang cewek, adik kelas, sama-sama peserta ekstra Pramuka.
"Kamu kenapa sih sensi. Bukankah aku bicara soal kebenaran?"
"O jadi emang benar omongan teman-teman. Mereka tidak ngegosip." Suaramu meninggi membuat Rey semakin tersulut.
"Maksudmu apa, ngajak aku kemari? Hanya untuk bertengkar?”
"Justru kamu yang mengajak bertengkar,"
           Kalian berbantah-bantahan sampai akhirnya karena tidak menemukan jalan temu kau memilih pulang. Dua hari setelah itu, Rey terlibat tawur antarpelajar dan tertusuk dadanya. Saat itu juga nyawanya tak tertolong.
          Beruntung tidak lama setelah itu Ruwi, temanmu SD, hadir. Dia pindah lagi dari kampung halamannya Bandung dan kembali sekolah di sini. 
"Aku ikut berduka, Dik," ungkap Ruwi pada kedatangannya yang pertama. Kau tersanjung, teman dari jauh, lama tak bertemu, tapi perhatiannya tak kurang dari yang dekat.
          Tapi begitulah kau, yang tak dapat begitu saja melupakan orang terkasih yang jelas tak kembali. Seakan kau tak merelakan takdir Tuhan. Mungkin jika Rey pergi tidak atas dasar kematian, kau bisa menerima, apalagi bila pergi karena jatuh ke lain hati.
         “Sudahlah, Dika, dia sudah berada di alam lain,” hibur Ruwi bernada jengkel suatu ketika dalam pergaulan yang sudah akrab. Susah payah mengajakmu ke taman lalu membelikanmu kue maryam kesukaanmu, ujung-ujungnya tetap saja kau melamun.
        “Kamu sudah banyak menghiburku, Ruwi. Tapi jujur, aku memang belum bisa melupakannya. Jadi kalau kamu merasa terganggu dengan sikapku, tolong deh, menjauhlah dariku. Biarkan aku sendiri,” jawabmu bernada marah yang tak terbendung. Bahkan kau langsung berdiri, hendak beranjak. Tapi lagi-lagi sahabatmu yang baik hati itu mengalah dan membiarkanmu dalam kehendak.
        “Maaf, Dik, maaf, “ ranyunya ketakutan membuatmu tersadar lalu kau merasa kasihan dan kembali terduduk.
        Kau semakin tercampak. Kesedihan selalu berujung pada memorimu bersama Rey. Maka bisa dipastikan, tangismu tumpah. Ruwi pun menjatuhkan kepalamu dalam bahunya. Dibelai rambutmu yang lurus. Bau harum sampo semerbak seiring tertiupnya angin.
        Morosari selalu menjadi tujuanmu bersama Rey. Rey yang anak orang kaya tapi tak pernah melupakan dari mana dia berasal. Itu pula yang membuat kalian rajin mengunjungi tempat yang pernah menjadi kampung halaman mamanya masa kecil. Sebagaimana Rey, kau pun terlarut oleh keprihatinan yang mendalam. Hutan mangrov yang tersisa di tengah lautan itu sebagai saksi bahwa pernah ada perkampungan penduduk. Di sana pula mamanya tinggal bersama keluarganya, juga para tetangganya satu desa. Tapi air laut terus mengabrasi. Hingga akhirnya menutup daerah satu desa dan harus berpindah. Kendati satu dua keluarga masih bertahan. Dengan berdalih ingin menjaga makam alim ulama beserta keluarganya.
Kini makam itu ramai dikunjungi. Dibangunlah jalan setapak menuju ke sana. Tidak saja yang ingin berziarah, wisatawan umum juga tertarik mengunjungi karena ada makan di tengah lautan. Maka menjadi objek wisata yang unik. Dan penduduk yang masih bertahan mendapatkan keberkahan dengan menjajakan makanan dan minuman  bagi wisatawan. Dan kau pun ikut berbangga hati atas kisah asal-usul kekasihmu itu. Tak pernah mengeluh walau menempuh perjalanan jauh dari Semarang ke Morosari, Demak. Kini semua tinggal kenangan. Tak ada lagi motor besar membawamu kemari.
       “Kita pulang, yuk!” ajak Ruwi begitu tangismu tak lagi terdengar.
       Tanpa sepatah kata kau beranjak lalu jalan beriringan. Ruwi melindungimu dalam rangkulan yang hangat. Tubuh Ruwi yang lebih besar serta tinggi membuatmu teringat Rey, begitulah dulu pacarmu itu selalu melindungimu, jiwa dan raga. Dan kau merasa beruntung betapa Tuhan telah mengirim Ruwi pada saat kau berada pada titik nadir. Kau pun tak menyia-nyiakan pulang dalam dekapan roda dua di belakang boncengan.
        “Dik, maaf, kamu nunggu lama. Pengunjungnya membeludak. Aku nunggu bakwan matang dari penggorengan,” Ruwi datang dengan napas ngos-ngosan. Kedua tangannya memegang minuman kaleng dan satu kantung plastik berisi bakwan yang masih panas.
       “Ah, nggak pa pa.”
       Matahari mulai masuk ke peraduan. Segera kausiapkan ponselmu. Ini sunset kedua setelah bersama Rey.
       “Rey paling suka sunset. Kami sering menghabiskan waktu berdua demi berlama-lama menunggu saat indah ini,” katamu tanpa sadar terus mengambil gambar dengan sibuk menyebut nama Rey.
       “Dik, sampai kapan kamu berlaut dalam masa lalumu?”
       “Entahlah,” jawabmu nyaris tak terdengar. “Sampai kini aku tak bisa melupakan Rey.”
       “Bukankah sudah ada aku di sampingmu.”
       “Tapi sahabat dengan pacar kan beda, Wi.”
       “Dik, percayalah aku bisa menggantikan Rey.”
       “Ruwi... apa maksudmu?” Kau hentikan segera kegiataan cekrak-cekrek.“Kita kan sama-sama cewek, Wi,” ungkapmu menangkap sesuatu lain.
       “Zaman maju seperti ini kamu masih membedakan cinta cowok dan cewek?”
       “Jadi.. jadi.. kamu selama ini...tidaaaaak..... toloooooooong...” sontak kau bergidik dan lari menembus barisan wisatawan.
Sunset kedua telah menjebakmu dalam kenyataan lain.
@@@

 Cerma ini telah dimuat di harian Analisa, Minggu, 4 Maret 2018