Iis Soekandar: Kisah Berhikmah

Sabtu, 10 Maret 2018

Kisah Berhikmah



       Ihsan rajin beribadah, terutama menjalankan kewajiban shalat lima waktu. Dia lebih senang pergi ke masjid. Padahal dia harus berjalan melewati beberapa kampung untuk sampai ke sana. Semua dilakukan demi kewajiban dan kecintaannya kepada Allah. Anak laki-laki lebih utama shalat di masjid dibanding di rumah.
       “Biarlah di dunia kita hidup sederhana, asalkan di akhirat kelak bahagia. Yang terpenting jangan lupa menjalani kewajiban, terutama shalat lima waktu. Disamping itu ringan tangan dalam beramal soleh. Walaupun hanya berupa tenaga. Untuk bekal di akhirat nanti,” pesan emak untuk kesekian kali. Biasanya emak menghibur sekaligus memberi nasihat saat makan malam bersama.
       Di rumah berdinding kayu, Ihsan mendengarkan sembari makan nasi dengan lauk tempe goreng ditambah sambal terasi. Sedang Ahmad, adiknya, sibuk menonton film animasi kesayangannya. Ahmad masih duduk di TK. Sebagai anak sulung Ihsan ingin cepat membantu emak. Tapi tidak mungkin karena dia masih kelas dua SD.
       Emak sangat sibuk. Pagi buta emak sudah mencuci lalu sore menyetrika  pakaian milik orang lain. Ihsan dan Ahmad masih tidur. Sebelum pergi emak tidak lupa menyediakan sarapan dan makan siang. Menjelang senja emak baru pulang. Emak bekerja di rumah tetangga. Beliau menghidupi kedua putranya karena ayah Ihsan meninggal beberapa tahun lalu. 
       “Ihsan, baju kokomu sobek di samping,” celetuk Hanif suatu ketika, tetangganya yang juga baru saja selesai melakukan shalat jumat. Mereka suka membantu takmir masjid mengumpulkan beberapa kotak amal yang beredar di antara jamaah. Kotak amal itu keempat ujungnya beroda. Kemudian kotak-kotak itu didorong ke kantor untuk dibuka kemudian dihitung uangnya. Selain Hanif dan Ihsan, ada pula Deny, teman seangkatan mereka.
       “Ah iya,” kata Ihsan dengan memegangi bawah ketiak yang sobek sambil memendam rasa malu. “Sebetulnya ini bukan sobek, tapi jahitannya lepas. Emak sudah pernah menjahitnya tapi lepas lagi,” Ihsan memberi alasan.
       “Jahitannya lepas atau sobek tetap saja lubang dan kelihatan sebagian badanmu,” Deny menambahi bernada mengejek.
       Semua kotak amal sudah terkumpul di kantor. Saatnya Abah Nasikhin bersama takmir lain membuka lalu menghitung semua uang. Anak-anak diizinkan pulang.
       Ihsan pulang dengan bersepeda. Ia ingin marah, tapi tidak mungkin. Emak bisa menghidupi sekaligus menyekolahkan sudah untung. Kelak setelah besar dia akan membantunya dengan bekerja. Biarlah di dunia kita sederhana asal di akhirat kelak hidup bahagia. Pesan emak yang selalu menyemangati hidupnya.
@@@
       Seperti biasa, setiap Jumat anak-anak yang gemar membantu masjid mengumpulkan kotak amal untuk dibawa ke kantor. Sebelum ke kantor Ihsan terlihat mencari sesuatu. Ada 3 kotak amal yang diurusnya dan masih berada di serambi masjid.
       “Kamu sedang mencari apa, San?” tanya Hanif sambil mendorong 3 kotak amal yang akan diserahkan ke kantor.
       “Aku mencari lidi,” jawab Ihsan sembari ke halaman mencari lidi.
       Deny yang mendengar pembicaraan mereka, meletakkan 2 kotak amal lalu menghampiri Hanif. 
       “Ihsan mencari lidi. Dia pegang 3 kotak amal, apa pendapatmu ?” tanya Hanif membisiki Deny.
       “Yah, apalagi kalau bukan mencukil uang yang ada dalam lubang kotak amal,” jawab Deny tepat, diiyakan Hanif.
       “Mungkin dia ingin membeli baju koko tapi tidak punya uang.”
       “Iya, tempo hari baju kokonya sobek. Tapi kalau kita yang menegur, sungkan.”
       “Kita lapor saja sama Abah Nasikhin sebagai ketua takmir.”
       Abah Nasikhin kaget mendengar laporan Hanif dan Deny. Selama ini Ihsan dikenal sebagai anak yang rajin ke masjid dan suka membantu. Dengan penuh hati-hati, Abah Nasikhin minta cepat-cepat diantar ke tempat Ihsan berada bersama kotak amal yang belum diserahkan ke kantor masjid. Mereka mengamati dari jauh.
       Meski kesulitan mencari, akhirnya Ihsan menemukan sebuah lidi. Lidi itu kemudian dipangkas dengan jari-jari tangannya sehingga menjadi pendek. Namun Ihsan tidak mencukil tetapi justru mendorong uang itu dengan lidi agar masuk ke dalam. Tujuannya supaya kalau dilihat orang jahat tidak diambil uangnya. Kemudian Ihsan mendorong ketiga kotak amal itu ke kantor masjid.
       Hanif dan Deny kecele. Lalu kata Abah Nasikhin kepada keduanya.
       “Jangan suka su`dhon. Jangan menilai orang hanya dari kulit luarnya. Bisa jadi orang yang berpenampilan sederhana, justru di mata Allah dia lebih mulia dibanding yang lain. Ayo kumpulkan semua kotak amal yang kalian bawa ke kantor masjid!” pinta Abah Nasikhin sambil cepat-cepat ke kantor masjid untuk menghitung uang.
       Pulang dari masjid, Hanif dan Deny mendapat pelajaran sangat berharga. Mereka berjanji nanti sore akan ke rumah Ihsan untuk meminta maaf.
@@@
                                                                                        
 Kisah ini telah dimuat di majalah anak adzkia, Maret 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar