Bosan.
Itu keadaan saya alami suatu ketika. Selama ini saya menulis cerpen-cerpen
kontemporer. Ide-ide timbul dari pengalaman sendiri, atau mendengar cerita-cerita
orang lain. Bosan menggerakkan pikiran saya untuk mencari sesuatu lain, keluar
dari lingkaran yang selama ini melingkari, melihat dunia baru, dan berharap
memperluas model karya.
Seperti biasa, membaca adalah
kebutuhan sehari-hari saya, dan hari Minggu saatnya membaca koran cetak. Saya membaca
karya atau cerpen berbeda. Kali ini berlatar belakang sejarah. Saya mendapat
wawasan baru, menjadi bersemangat, dan menantang pada diri saya, mengapa saya
tidak menulis cerpen berlatar belakang sejarah. Sesuatu yang belum pernah saya kerjakan.
Untuk mempermudah dan mendedikasikan
cinta tanah kelahiran, saya akan menulis cerpen berlatar belakang sejarah Kota Semarang.
Saya pergi ke Perpusda (Perpustakaan
Daerah) Jawa Tengah. Saya naik ke lantai dua, tempat biasa saya meminjam buku. Saya
bertanya kepada petugas, di mana saya bisa menemukan buku-buku tentang sejarah
Kota Semarang. Petugas meminta saya turun. Di lantai satu, bagian referensi, di
sana saya akan menemukan buku tentang sejarah Kota Semarang. Di bagian
referensi, saya bertanya kepada petugas di mana saya bisa menemukan buku-buku sejarah
Kota Semarang. Petugas menunjuki rak paling depan. Saya menemukan buku yang saya
cari.
Ternyata
buku-buku di bagian referensi tidak boleh dibawa pulang. Saya diminta
memfotokopi bagian-bagian penting. Nahas, petugas fotokopi Perpusda absen,
kabarnya karena sakit. Salah satu petugas perpustakaan baik hati. Ia memberikan
kunci motornya dan menyuruh petugas parkir mengantar saya di jasa fotokopi
terdekat. Meski tidak dekat, karena kami harus pergi ke wilayah Undip, di sana
banyak jasa fotokopi. Jalan Sriwijaya, tempat Perpusda berdiri, adalah kawasan perkantoran
dan toko-toko.
Cerpen
ini menceritakan tentang seorang anak yang menginginkan kebebasan. Sehingga ia
bersekolah dengan tenang. Ia bersekolah di Jalan Bojong, sekarang
Jalan Pemuda, hingga kini sekolah itu masih ada: SMA
Negeri 3.
Waktu
itu penjajah Jepang masih bercokol di Indonesia, jelang Indonesia merdeka. Para
Guinseikan (petinggi Jepang) sering mengitari Jalan Bojong,
tempat kantor berita Domei berada, untuk memantau berita-berita penting dari jakarta.
Alhamdulillah cerita itu berjodoh,
di buku Antologi Cerpen Suara Perempuan yang diadakan oleh Arsip dan Perpustakaan
Kota Semarang, setelah melalui penyesuaian, sesuai tema.
Selamat membaca bagi teman-teman yang mendapatkan
bukunya, semoga bermanfaat dan menghibur.
@@@


Tidak ada komentar:
Posting Komentar