Iis Soekandar: Penantian Suroso

Jumat, 05 Desember 2025

Penantian Suroso

                                                                                         

           Bosan. Itu keadaan saya alami suatu ketika. Selama ini saya menulis cerpen-cerpen kontemporer. Ide-ide timbul dari pengalaman sendiri, atau mendengar cerita-cerita orang lain. Bosan menggerakkan pikiran saya untuk mencari sesuatu lain, keluar dari lingkaran yang selama ini melingkari, melihat dunia baru, dan berharap memperluas model karya.

            Seperti biasa, membaca adalah kebutuhan sehari-hari saya, dan hari Minggu saatnya membaca koran cetak. Saya membaca karya atau cerpen berbeda. Kali ini berlatar belakang sejarah. Saya mendapat wawasan baru, menjadi bersemangat, dan menantang pada diri saya, mengapa saya tidak menulis cerpen berlatar belakang sejarah. Sesuatu yang belum pernah saya kerjakan.

            Untuk mempermudah dan mendedikasikan cinta tanah kelahiran, saya akan menulis cerpen berlatar belakang sejarah Kota Semarang.

            Saya pergi ke Perpusda (Perpustakaan Daerah) Jawa Tengah. Saya naik ke lantai dua, tempat biasa saya meminjam buku. Saya bertanya kepada petugas, di mana saya bisa menemukan buku-buku tentang sejarah Kota Semarang. Petugas meminta saya turun. Di lantai satu, bagian referensi, di sana saya akan menemukan buku tentang sejarah Kota Semarang. Di bagian referensi, saya bertanya kepada petugas di mana saya bisa menemukan buku-buku sejarah Kota Semarang. Petugas menunjuki rak paling depan. Saya menemukan buku yang saya cari.

Ternyata buku-buku di bagian referensi tidak boleh dibawa pulang. Saya diminta memfotokopi bagian-bagian penting. Nahas, petugas fotokopi Perpusda absen, kabarnya karena sakit. Salah satu petugas perpustakaan baik hati. Ia memberikan kunci motornya dan menyuruh petugas parkir mengantar saya di jasa fotokopi terdekat. Meski tidak dekat, karena kami harus pergi ke wilayah Undip, di sana banyak jasa fotokopi. Jalan Sriwijaya, tempat Perpusda berdiri, adalah kawasan perkantoran dan toko-toko.

                                                                          

      Cerpen ini menceritakan tentang seorang anak yang menginginkan kebebasan. Sehingga ia bersekolah dengan tenang. Ia bersekolah di Jalan Bojong, sekarang Jalan Pemuda, hingga kini sekolah itu masih ada: SMA Negeri 3.

Waktu itu penjajah Jepang masih bercokol di Indonesia, jelang Indonesia merdeka. Para Guinseikan (petinggi Jepang) sering mengitari Jalan Bojong, tempat kantor berita Domei berada, untuk memantau berita-berita penting dari jakarta.

            Alhamdulillah cerita itu berjodoh, di buku Antologi Cerpen Suara Perempuan yang diadakan oleh Arsip dan Perpustakaan Kota Semarang, setelah melalui penyesuaian, sesuai tema.

            Selamat membaca bagi teman-teman yang mendapatkan bukunya, semoga bermanfaat dan menghibur.

@@@


Tidak ada komentar:

Posting Komentar