Kedatangan
kami di tempat penjual satai bersamaan dengan embusan angin dari arah barat, dengan
desah suara keras, membawa debu-debu yang menampar wajah. Tapi kami tak
menutupinya dengan benda apa pun, termasuk tisu, karena segera masuk ke tempat
penjual satai lebih aman, yang jarak menuju ke pintunya dua langkah. Sinar matahari
tak menyisakan bayangan bagi penduduk bumi.
Tempat ini layaknya warteg, jauh dari
bayangan saya, sebuah tempat representatif, terlebih bagi pengunjung dari luar
kota, yang butuh makan sambil beristirahat, dan menjual makanan satai seporsi
Rp60.000,00.
“Kita makan siang di Kendal, makan satai
bumbon. Kamu pasti belum pernah coba!” putus teman saya langsung meminta Pak Sopir
mampir di tempat langganannya, menikmati makanan khas, selesai kunjungan kami
dari Pekalongan.
Atas
dasar rasa penasaran, saya mengiyakan, meski satai bagi saya adalah satai
kambing, dan daging sapi cocok untuk masakan bistik dan rendang.
Saya, teman, dan Pak Sopir
masing-masing memesan setengah porsi, lima tusuk. Begitu satai terhidang, lagi-lagi
atas dasar menyenangkan hati teman, saya bersemangat menyantap. Aroma pedas
tercium dari sambal kacang, dan kacang
tanahnya digerus kasar, dan dicampur dalam tusukan-tusukan
satai. Itu artinya tidak memberi kesempatan saya yang tidak suka pedas,
untuk mengukur pedasnya cabe, dibanding sambal dipisah. Mungkin dari semua itu
dinamai satai bumbon.
Potongan-potongan daging sapinya
besar-besar, tapi empuk. Sehingga tidak terasa saya habis lima tusuk. Ada makanan
lain untuk menyantap satai bumbon, selain nasi: sayur lodeh tewel, dan tauge
rebus yang diletakkan di atas nasi.
Konon, masyarakat Indonesia zaman
dulu tidak mengenal daging bakar. Mereka memasak daging dengan cara direbus. Letak
Indonesia strategis menjadi tujuan para pedagang India dan Timur Tengah. Mereka
memberi pengaruh makanan Indonesia. Satai adalah hasil evolusi kebab dari India
dan Timur Tengah. Masyarakat dari negara-negara tersebut, makan kebab dari aneka
jenis, di antaranya ditusuk seperti satai.
Nama
satai mungkin berasal dari bahasa India, catai, yang artinya daging. Nama ini
pun berevolusi, agar mudah mengucapkan, catai menjadi satai.
Irisan-irisan
tomat mengurangi rasa pedas. Namun udara masuk dari kanan kairi pintu yang
dibiarkan terbuka, kami tidak bisa berlama-lama di warung, begitu makan
selesai. Kami beranjak dan melanjutkan perjalanan, pulang ke Semarang.
@@@
Tidak ada komentar:
Posting Komentar