Iis Soekandar: Agustus 2025

Jumat, 22 Agustus 2025

Sekilas Tentang Ikan Koi

                                                                                      

          Buku ini saya pinjam di perpustakaan setelah kunjungan dari panti asuhan. Lama mengikuti serangkaian prosedur kunjungan bersama anak-anak panti dan para pengurusnya, gerah yang mendera akibat sinar matahari siang itu, sebelum pulang, saya dekati tanaman-tanaman di sisi kanan panti asuhan. Ternyata ada sebuah kolam. Ikan-ikannya berenang melenggak-lenggok dalam pancaran warna cerah merah, putih, dan hitam, yang banyak orang mengenalnya dengan baik: koi.

            “Ini kok tidak dipanen, padahal ikan-ikannya sudah besar-besar,” kata saya. Kolam yang tidak luas itu menjadi semakin sempit.

            “Ya, tidak dipanen. Memangnya lele, terus digoreng?” jawab teman yang berada di sebelah saya. Kami tertawa. Kami tidak pernah mendengar ikan koi digoreng. Dalam perjalanan pulang terlintas pertanyaan: Mungkin koi-koi itu dibiarkan hingga mati, setelah hidup, layaknya ikan-ikan, dalam hitungan beberapa tahun.

            Sebetulnya sudah terjawab kepenasaran saya pada bab pertama. Ikan koi tahan hidup sampai puluhan bahkan ratusan tahun. Sebagian orang percaya, ikan koi menyimpan banyak mistis dan berbagai macam feng shui. Namun, melihat gambar kaver, warna ikan koi mirip bendera Jepang, kelak setelah saya baca termasuk jenis tancho, dan harganya paling mahal, saya tertarik menuntaskannya.  

            Asal mula ikan koi dari Cina, sejak 2500 tahun lalu. Kaisar menghadiahi putranya ikan pada hari ulang tahunnya. Lalu ikan itu dinamai koi. Kemudian Jepang menyerbu Cina dan membawa ikan koi. Ikan koi dikembangkan warna merah dan putih dengan kualitas tinggi. Sehingga Jepang identik dengan koi, selain juga bonsai. Di sana ada bangunan dinamai koi. Ada juga kastil dikelilingi parit, yang identik ikan koi.

            Di Jepang, ikan koi terbagi dalam 13 garis keturunan. Penanam ikan koi berdasar corak warna. Tancho: corak merah di kepala, gordan: 5 corak merah, yordan: 4 corak warna merah, dll.

            Memelihara ikan koi tidak perlu kolam luas. Sebagian orang memelihara ikan koi di balkon, atau lantai atas rumah. Yang penting kualitas air terjaga. Sebab kualitas air memengaruhi warna ikan koi. Kolam tidak terkena hujan atau di bawah pohon. Air hujan dan sampah daun-daun memengaruhi kualitas air, begitupun saat memberi pakan. Musim panas ikan koi makan banyak. Musim hujan ikan koi makan sedikit sehingga jika diberi banyak pakan akan sisa dan menjadi sampah. Dan ikan koi senang diberi pakan yang mengambang.

            Ikan koi perlu dipantau. Ikan koi sehat berenang lincah dan bergerombol dengan rombongannya. Ikan koi sakit menyendiri, tidak memberi respon walaupun diberi rangsangan, misalnya disentuh, termasuk saat diberi makan. Ia dikarantina dan dirawat. Penanganan ikan koi sakit diobati dengan beberapa cara: direndam air yang telah diberi obat, disuntik, atau diberi obat melalui mulut, bergantung penyakitnya.

            Ikan koi bisa juga dilombakan, dengan perawatan khusus.

Tidak terasa dari keingintahuan sedikit, saya mengenal banyak ikan koi.

@@@


Jumat, 15 Agustus 2025

Satai Bumbon

                                                                                          

         Kedatangan kami di tempat penjual satai bersamaan dengan embusan angin dari arah barat, dengan desah suara keras, membawa debu-debu yang menampar wajah. Tapi kami tak menutupinya dengan benda apa pun, termasuk tisu, karena segera masuk ke tempat penjual satai lebih aman, yang jarak menuju ke pintunya dua langkah. Sinar matahari tak menyisakan bayangan bagi penduduk bumi.

            Tempat ini layaknya warteg, jauh dari bayangan saya, sebuah tempat representatif, terlebih bagi pengunjung dari luar kota, yang butuh makan sambil beristirahat, dan menjual makanan satai seporsi Rp60.000,00.

            “Kita makan siang di Kendal, makan satai bumbon. Kamu pasti belum pernah coba!” putus teman saya langsung meminta Pak Sopir mampir di tempat langganannya, menikmati makanan khas, selesai kunjungan kami dari Pekalongan.

Atas dasar rasa penasaran, saya mengiyakan, meski satai bagi saya adalah satai kambing, dan daging sapi cocok untuk masakan bistik dan rendang.

            Saya, teman, dan Pak Sopir masing-masing memesan setengah porsi, lima tusuk. Begitu satai terhidang, lagi-lagi atas dasar menyenangkan hati teman, saya bersemangat menyantap. Aroma pedas tercium dari sambal kacang, dan  kacang tanahnya digerus kasar, dan dicampur dalam tusukan-tusukan satai. Itu artinya tidak memberi kesempatan saya yang tidak suka pedas, untuk mengukur pedasnya cabe, dibanding sambal dipisah. Mungkin dari semua itu dinamai satai bumbon.

            Potongan-potongan daging sapinya besar-besar, tapi empuk. Sehingga tidak terasa saya habis lima tusuk. Ada makanan lain untuk menyantap satai bumbon, selain nasi: sayur lodeh tewel, dan tauge rebus yang diletakkan di atas nasi.  

            Konon, masyarakat Indonesia zaman dulu tidak mengenal daging bakar. Mereka memasak daging dengan cara direbus. Letak Indonesia strategis menjadi tujuan para pedagang India dan Timur Tengah. Mereka memberi pengaruh makanan Indonesia. Satai adalah hasil evolusi kebab dari India dan Timur Tengah. Masyarakat dari negara-negara tersebut, makan kebab dari aneka jenis, di antaranya ditusuk seperti satai.

Nama satai mungkin berasal dari bahasa India, catai, yang artinya daging. Nama ini pun berevolusi, agar mudah mengucapkan, catai menjadi satai.   

Irisan-irisan tomat mengurangi rasa pedas. Namun udara masuk dari kanan kairi pintu yang dibiarkan terbuka, kami tidak bisa berlama-lama di warung, begitu makan selesai. Kami beranjak dan melanjutkan perjalanan, pulang ke Semarang.

@@@


Jumat, 08 Agustus 2025

Kejutan Nasi Soto

                                                                                          

        Sore ramai anak-anak ketika saya melewati kampung menuju toko alat-alat tulis. Saya baru teringat, jelang tujuh belas Agustus, kampung-kampung biasanya mengadakan aneka lomba. Dua remaja laki-laki memasang tali rafia di kanan kiri tiang jalan. Basah di sebagian baju kaus mereka menandakan matahari masih garang memancarkan sinarnya. Di belakang saya, seorang anak nyeletuk,

            “Umi, aku mau ikutan lomba makan krupuk.”

            Lalu ibunya mengiyakan.

            Seringkali ingatan saya tertuju pada majalah Ummi setiap kali mendengar panggilan ‘Umi’. Ingatan saya melambung pada karya saya yang pernah dimuat di majalah itu. Namun, perasaan saya berada pada titik nadir. Saya tidak bisa mengarsipkannya sebagaimana karya-karya saya setiap dimuat media. Majalah Ummi yang memuat karya saya itu termakan banjir lalu saya buang.

            Pulang dari toko alat-alat tulis, pikiran saya melintas: Mengapa tidak saya tulis pengalaman saya seputar karya saya itu? Lalu saya menghubungi teman yang karyanya berkali-kali dimuat di majalah Ummi. Saya minta memfotokan majalah Ummi sebagai gambar ilustrasi. Tidak lama saya mendapatkan gambar majalah Ummi.

             “Kejutan Nasi Soto” adalah judul cerita anak itu. Ia berkisah tentang seorang anak lelaki dari keluarga sederhana. Saat anak lelaki itu khitan orangtuanya hanya menyajikan panganan-panganan di piring-piring saji. Tetangga sebelahnya adalah pemilik warung soto. Ia membuka warungnya untuk sarapan. terdorong rasa empati, ia memberi kejutan dengan menyuguhi semangkuk nasi soto kepada setiap tamu yang hadir.

Ide cerita itu timbul saat saya berkunjung ke rumah teman. Tetangga sebelahnya menjual nasi soto. Ketika teman saya masuk dan meninggalkan saya sendiri, pikiran saya berandai-andai. Malam menjadi sempurna jika yang terhidang nanti tidak hanya minuman, tetapi juga semangkuk nasi soto. Tapi warung itu gelap karena hanya buka pagi hari.

“Kejutan Nasi Soto” satu-satunya karya saya yang pernah dimuat di majalah Ummi. Sebagaimana nasib media-media lain, akhirnya media itu juga tutup.

Kini, setiap kali saya merindukan “Kejutan Nasi Soto”, saya tinggal membaca tulisan ini.

@@@


Jumat, 01 Agustus 2025

Kue Klepon

                                                                                      

              Pasar memperlihatkan kesibukannya: aneka transaksi dari bahan makanan, makanan siap santap, hingga non makanan seperti baju-baju dan perkakas rumah tangga berbahan plastik. Mereka beraktivitas di bawah sinar lampu jalan sebab matahari belum menampakkan wajahnya.

            Pagi itu saya menyusuri pasar krempyeng, seperti biasa, yang para pedagangnya menjual dagangannya di kanan kiri jalan, dan jelang pertokoan buka, mereka selesai. Saya menuju ke penjual getuk, demikian orang-orang menyebut, meski yang dijual tidak hanya getuk (berbahan singkong). Ia menjual aneka jajan pasar lain seperti cenil, putu mayang, dan klepon.

            Pedagang getuk zaman dulu menjual banyak varian jajan pasar. Selain makanan-makanan tersebut, ada juga getuk tolo, ketan hitam, ketan putih, gobet, jongkong, kacamata, gatot, mungkin masih ada yang lain. Dan pedagangnya tidak hanya seorang.  

            Saya sengaja melihat dari jauh pedagang getuk. Sebab saya berkali-kali makan getuk, cenil, dan putu mayang, tanpa klepon. Untuk kesekian kali saya kecele. Orang makan jajan pasar lebih enak jika bermacam-macam, lalu taburi parutan kelapa, kucuri kinca (sirop gula merah), dalam kemasan daun. Atau mungkin pedagang getuk tidak lagi membuat klepon karena pembuatannya yang rumit.

            Tanpa sengaja saya bertemu teman lama. Hampir setiap ke pasar saya bertemu dengannya. Ia berjualan nasi, anek sayur, dan lauk. Saya utarakan unek-unek.

            “Gak usah di pedagang getuk. Di penjual aneka panganan, kan’ juga jual klepon,” jelasnya. Saya pun buru-buru ke penjual yang dia maksud, agar tidak kehabisan. Saya lupa ada penjual aneka panganan yang menjual klepon dalam satu kemasan. Saya membeli beberapa kemasan klepon.

            Ada beberapa lapisan terkuak jajan pasar berbentuk bulat kira-kira sebesar kelereng ini. Bagian luar klepon kenyal dan gurih, berbalut parutan kelapa. Begitu lidah merasakan isinya, manis dan lembut gula merah beradu, dan lumer di mulut.

            Menurut asal usul namanya, klepon diambil dari bahasa Jawa, berarti ‘indung telur hewan’. Selain dikonsumsi pribadi, klepon juga disajikan dalam jamuan. Saya pernah datang ke resepsi pernikahan, klepon dan aneka jajan pasar terhidang sebagai makanan pembuka, berbeda dari kebanyakan pemilik hajat menyajikan kue-kue masa kini atau kue-kue modifikasi dari barat. Menurut buku Main Rasa Bersama Sasa, klepon pertama kali diperkenalkan di Negeri Kincir Angin oleh imigran dari Pasuruan, Jawa Timur. Saat itu klepon tersedia di toko dan restoran Indonesia-Belanda.

            Di antara banyaknya makanan kekinian, kue klepon menjadi makanan langka. Saya bahagia masih bisa menikmati klepon, walaupun tidak bersama jajan pasar-jajan pasar lain, dengan taburan parutan kelapa dan kucuran kinca, dalam kemasan daun.

@@@