Iis Soekandar: Semur Tanpa Pala

Kamis, 15 Mei 2025

Semur Tanpa Pala

                                                                                         


          Aroma tanah basah samar-samar melintas. Seharian hingga semalam kemarin, Yogyakarta diguyur hujan deras. Hari ini matahari tak bersinar cerah. Suara klakson, tukang parkir yang memberi aba-aba, keceriaan para wisatawan, dan kendaraan-kendaraan yang melintasi seputar alun-alun, meramaikan sore itu. Saya menyusuri kedai-kedai makanan, berniat mengembalikan energi, dengan makan makanan enak. Pilihan saya jatuh pada kedai khusus menjual aneka sup.

            Saya duduk satu meja dengan seorang wanita. Ia sibuk memencet ponsel. Percakapan kami terjadi seperti teman akrab. Saya sedang menghabiskan waktu libur dua hari; dia sedang menunggu temannya. Sesekali keningnya bergaris-garis seakan tidak setuju keputusan lawan bicaranya.

            Hidangan utuh di hadapannya. Setelah pesanan saya datang, kami menyantap hidangan masing-masing. Sesuap demi sesuap nasi sup terasa segar. Suapan ketiga mengintimidasi lidah saya. Sepotong makanan saya kira daging, ternyata pala. Saya langsung teringat buku tentang semur, dengan rempah pala sebagai ciri khasnya. Saya berujar suka-suka: Bagaimana jika kita masak semur tanpa pala?

            “Itu sama dengan masak kecap,” tanggapnya terkekeh. Kami melanjutkan makan. Pikiran saya mengurai pada buku, yang dari judulnya menarik perhatian saya.

            Semur adalah masakan dari daging, biasanya daging sapi, diolah bersama bumbu sederhana dan dipersedap dengan kecap manis. Kemudian semur berkembang dengan olahan daging kambing, ikan, telur, tahu, seafood, dan sayuran.

            Semur tampil dalam segala suasana: dimakan bersama nasi uduk sebagai menu sarapan, hidangan sehari-hari ibu rumah tangga, dan makanan pesta, bersanding dengan makanan-makanan kekinian.

          Semur termasuk hidangan tradisional Indonesia. Ia hadir sejak lama. Penamaan semur berasal dari bahasa Belanda, “smoor”, yang artinya, masakan daging yang direbus dengan tomat dan bawang secara perlahan. Kemudian ia menjadi menu utama dalam budaya Rijstafel Belanda (budaya penyajian nasi dan lauk pauk ala kuliner Nusantara, di meja makan)

            Buku ini juga menyatakan bahwa semur dapat diterima semua kalangan dan generasi. Itu sebabnya masakan semur tetap lestari hingga sekarang. Semur dijumpai hampir di semua daerah di Indonesai, dari barat sampai timur, dengan keunikan masing-masing. Di Samarinda dan Manado, semur dihidangkan bersama nasi kuning untuk sarapan. Di Gresik, semur diolah dari ikan bandeng, sebab di sana banyak dijumpai produksi ikan bandeng.

            Lambat laun, rasa manis-pedas pala larut bersama cecapan demi cecapan, dan tak terasa yang terakhir. Namun, wanita di hadapan saya belum didatangi temannya. Ketika saya ungkapkan barangkali temannya itu sedang ada musibah, dia menjawab jengkel.

            “Dia selalu ngajak adiknya. Paling dia sedang nunggu adiknya. Mereka adik kakak yang kompak. Kalau tidak ada salah satu, ya itu tadi, seperti Anda bilang: seperti semur tanpa pala!”

            Saya tertawa, dan, beranjak.

@@@


Tidak ada komentar:

Posting Komentar