Kopi
maniak. Bagi Arinal bukanlah ahli penyicip macam rasa kopi dengan kelebihannya
masing-masing. Tetapi rutinitas minum kopi, dia menyebutnya kopi maniak.
Seperti
ungkapan klise sayur tanpa garam atau taman tanpa bunga, jika dalam sehari
Arinal tidak minum kopi. Padahal yang diminum cuma kopi warung dengan harga per
sachet kecil beberapa ratus rupiah,
ukuran satu gelas, dan tanpa gula. Sejatinya Arinal tidak mengetahui rasa kopi
secara detail selain rasa pahit.
Pernah
suatu malam Arinal sulit tidur. Padahal badan lelah karena banyak mengerjakan
tugas. Beberapa pelajaran juga mengadakan ulangan. Malam itu puncak
kelelahannya. Tubuhnya terlentang sekian lama di tempat tidur. Tapi mengapa
matanya belum dapat terpejam? Dalam perenungan barulah terjawab, dari pagi
hingga malam belum meneguk minuman kopi. Sontak saat itu juga Arinal ke dapur
dan menyeduh kopi yang dibelinya sore tadi di supermaket. Bila stok habis
bertepatan dengan tanggal muda, lebih ekonomis membeli kopi di supermarket. Uang
jajan Arinal diberikan per minggu, atau saat tanggal muda. Supermarket tidak
melayani pembelian ketengan dan bila dihitung harga per sachet lebih murah. Sesaat kantuk pun menyerang dan ia tetidur
lelap hingga pagi. Itu salah satu perbincangan yang pernah diutarakan di depan
kedua sahabatnya.
Akhir-akhir
ini perihal kopi agaknya tak lagi termasuk dalam agenda pembicaraan. Tepatnya
sejak Andre menaruh hati padanya. Kendati kedua sahabatnya yakin, Arinal tetap
meminum kopi setiap hari. Mereka sengaja tidak bertanya mengapa begitu.
Diam-diam mereka justru khawatir bila diingatkan tentang kopi kemudian tak ada
lagi nama Andre di hatinya.
Di
sela-sela pertemuan, Andrelah yang dibicarakan walau masih meragukan cinta
Andre. Andre yang anak orang mampu, menarik dari tampang maupun aura, terkenal,
penuh karisma sebagai ketua OSIS. Dari sejumlah kelebihannya itu, Andre justru
dingin soal asmara. Hingga detik ini belum memiliki cewek. Bagi Arinal, di
situlah kelebihannya.
Entah
mengapa dari pandangan pertama saat Arinal bersama kedua sahabatnya, berlanjut
hingga kini. Jika memilih sebetulnya Arinal ingin cowok yang biasa. Sebagaimana
dirinya dari keluarga sederhana. Anak seorang penjual nasi kucingan di pinggir
jalan. Setiap saat harus membantu, setiap saat pula bergelut dengan kebutuhan
yang kurang tercukupi.
Sementara
Andre yang bukan teman sekelas, naksir Arinal lantaran tidak banyak bicara. Arinal
tidak punya kegiatan selain bersekolah. Tapi justru dari situlah tidak banyak
cowok yang naksir. Andre tidak merasa memiliki pesaing. Dibanding kedua
sahabatnya yang begitu familiar oleh prestasi akademik atau aktif di OSIS
sehingga banyak pula yang tertarik.
@@@
Andre
mengajak Arinal makan siang. Sengaja dipilihnya hari Jumat. Selesai salat Jumat
kegiatan sekolah baru dimulai lagi nanti sore.
Mungkin
karena baru pertama, terlebih bagi Arinal yang tak mengenal banyak cowok, ia
grogi. Kedua sahabatnya menyertai. Saat sampai di kantin mereka mengamati dari
luar. Mereka senang, tidak lama lagi sahabatnya itu mendapatkan pedamping hidup
sebagaimana mereka.
“Sudah
lama, Ndre?” Arinal tak kuasa menahan degup di dadanya begitu mendatangi cowok
yang sudah menunggu. Di depannya segelas es teh tinggal separuh.
“Ah,
tidak begitu lama. Kamu mau pesan apa, Rin?” tawar Andre. Apalah arti Arinal,
gadis lugu, sebentar lagi menjadi miliknya. Batin Andre penuh percaya diri.
“Snak
saja, gorengan dan air mineral.”
Setelah
yakin tidak ingin makan besar, Andre memesan mendoan, tahu isi, dan bakwan
serta sebotol air mineral. Sambil menikmati hidangan, Andre mengungkapkan isi
hati.
“Kamu
mungin bisa menebak maksud undanganku siang ini. Kuharap kau tidak menolak. Aku
ingin kamu menjadi pendamping hidupku.”
Arinal
menanggapi dengan tersenyum. Andre bingung menerjemahkan senyum itu. Arinal
bukan gadis zaman dulu yang dengan senyum dan menunduk itu berarti menerima
cintanya. Andre butuh kepastian.
“Jadi...
bagaimana, Rin?” tanya Andre setelah beberapa saat.
Arinal
mendongakkan wajahnya. Lalu matanya memberi kode pada seseorang. Tidak lama
datang pelayan kantin membawa minuman.
“Kopi
ini memang pahit, Ndre. Tapi ituah yang aku suka. Artinya jika kau ingin hidup
bersamaku, silakan terima pahitnya juga. Karena mungkin kau tidak menyukai
kopi. Hidup tak selalu manis. Bila kau tak sanggup, silakan tarik lamaranmu.
Waktumu satu minggu untuk menyelami kopi pahit ini,” ungkap Arinal kemudian
pergi dengan meninggalkan secangkir kopi di hadapan Andre.
Andre
terbengong. “Dasar kopi maniak. Baiklah, kamu tetap aku kejar sampai dapat,” batin
Andre.
Kedua sahabat Arinal bingung melihat Arinal
keluar kantin. Langkahnya tegap, wajahnya tidak sedih, juga tidak gembira.
@@@
Cerma ini pernah terbit di koran Minggu Pagi, Kamis, 12 November 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar