Iis Soekandar

Kamis, 12 Juni 2025

Kedelai yang Melalai

                                                                                             

          Pukul empat sore bukan waktu tepat untuk menyantap makanan berat bagi saya. Walau saya telah bertamasya sejak pagi, dan perut lapar minta diisi. Saya pun tidak berselera menyantap kudapan, seperti leker dan bakso pentul, yang dijajakan di pinggir-pinggir jalan daerah Bandungan, Kabupaten Semarang.

Saya terus menyusuri jalan mencari makanan yang tepat. Hingga sampailah saya di jalan dekat pasar Bandungan. Kedai-kedai khusus menjual tahu siap santap, berjejer di pinggir jalan. Tahu Bandungan khas. Teksturnya lembut.

Di antara kedai-kedai itu, ada gang-gang. Salah satu gang terdapat sebuah pabrik menjual makanan dari kedelai: tahu jadi, dan tempe dalam kemasan daun. Pabrik itu juga menjual tahu setengah jadi, seperti bentuk tahu dalam wedang tahu. Saat digoreng dengan balutan telur, tahu setengah jadi terasa otak sapi.

Demi mengakrabkan dengan para pengunjungnya, pabrik itu juga melayani pembelian tahu goreng dan tempe mendoan, siap santap di tempat. Tempat itu tak pernah sepi. Saya sering bersamaan dengan para pengunjung dari luar kota, setelah perjalanan liburan. Sambil beristirahat mereka menyantap tahu goreng dicocol sambal kecap, dan mendoan dengan ceplusan cabe rawit. Lalu sebelum pulang mereka biasanya membeli oleh-oleh.

Ada satu hal yang membuat saya ingin selalu mampir di sana setiap lewat Bandungan: menikmati susu kedelai, produksinya selain tahu dan tempe.

Susu kedelai jarang dijumpai di tempat saya tinggal, tak seperti susu sapi. Setiap hari penjual susu sapi menjajakan dagangannya di kampung. Saya membeli satu cup susu kedelai. Saya suka rasa original. Rasa kedelai begitu sempurna. Tegukan pertama, dalam kapasitas sedikit, karena susu dituangkan dalam cup, langsung dari pemanas, mulai menghangatkan mulut. Tegukan kedua dan selanjutnya, hangatnya memenuhi mulut dan sudut-sudutnya. Setelah setengah cup, susu kedelai layak disantap dengan sedotan.  

Sebagian pengunjung tak suka rasa kedelai murni. Mereka menambahi gula, jahe, atau bahan-bahan minuman lain. Harganya menambah dibanding susu kedelai murni.

Sore semakin larut. Saya pulang dengan perut kenyang dan badan hangat, cukup dengan membayar Rp6.000,00, sebagai bekal pulang ke Semarang.

@@@

   

Kamis, 29 Mei 2025

Kabut

                                                                             

          Saya dan rombongan tiba di daerah Nyatnyono, Ungaran, Kabupaten Semarang, saat waktu jelang pukul dua belas siang. Suasana pegunungan, berkebalikan dengan di daerah saya tinggal, yang pasti sedang terik. Sesekai dedaunan pepohonan sekitar melambai-lambai. Para pedagang bakso di depan gerobak-gerobaknya, berjejer menunggu kami, dan memanggil-manggil agar membeli. Makanan familiar, berbahan dan berbumbu simpel itu, cocok disantap pada suasana dingin.

Saya berburu spot foto yang ciamik. Sebuah kesenangan tersendiri ketika saya tamasya ke alam bebas, di daerah tinggi. Saya bisa melihat daerah bawah.  Dari ketinggian, saya bebas memotret laut, pantai, pepohohan, lalu lintas perkotaan, atau sekadar genting-genting rumah-rumah penduduk.

Beberapa kali saya memotret lancar, mendapatkan pemandangan bagus dan gambar terang. Selanjutnya, hasil cepretan buram. Apakah ada masalah dengan kamera ponsel saya?

“Ada kabut!” celetuk seorang teman, juga gagal mengambil foto. Kemudian ia berlalu.

Kabut menutup hal-hal sekitarnya, sebagaimana perjumpaan saya dengan seorang wanita di ruang religi, setelah menunggu kabut tak kunjung pergi. Kami duduk bersila di depan pusara seorang wali, berharap rahmat dan berkahnya yang meluber, jatuh kepada kami. Kemudian hajat-hajat kami dikabulkan. Kami hanya dipisahkan beberapa dudukan, tanpa seorang penghalang. Walaupun sinar lampu ruangan temaram, dan saya melihatnya dari samping, tampak hidungnya mancung, matanya bulat lebar, postur tubuhnya tinggi. Setelan gamis-celana dan kerudungnya, semua berwarna pink, tak selaras dengan keadaannya. Kabut telah menutup kebahagiaannya. Sejak saya berjumpa, hingga kami sama-sama beranjak keluar ruang, ia terus menangis.

Tangisnya begitu dalam menunjukkan derita yang sedang menimpanya. Mungkinkah ia dikhianati suaminya, padahal ia tulang punggung keluarga, terlihat penampilannya yang rapi layaknya seorang pegawai? Atau ia sedang menjalin hubungan dengan lawan jenis, dan jelang pernikahan, nyawa teman dekatnya itu terenggut? Atau peristiwa-peristiwa lain yang memilukan? Entahlah.  

Ingin rasanya saya mengulurkan tangan. Setidaknya sebagai pendengar sesak hatinya jika saya tak mampu memberikan solusi. Namun, ada kabut di antara kami.

Saya mengikuti rombongan dan keluar ruangan, begitu pun wanita itu. Saya kembali ke spot foto. Kabut menebal. Saya turun mengikuti langkahnya, merasa bersyukur masih bisa mencari spot foto bagus, lain kesempatan.

@@@


              

Kamis, 22 Mei 2025

Lebih Menyenangkan dari Membaca Buku

                                                                                               


“Buku itu ada di layanan referensi,” jawab petugas perpustakaan ketika suatu saat saya tidak menemukan buku yang saya cari. Ia seperti melempar godam di dada saya. Buku-buku di ruang referensi tidak boleh dibawa pulang pengunjung. Itu artinya pengunjung memiliki keterbatasan waktu membaca. Dan saya tidak pergi ke perpustakaan setiap hari.

            Saya turun dan masuk ruang referensi. Benar, buku tentang sejarah Kota Semarang ada di jajaran buku-buku lain. Saya baca per bab sekilas, lalu saya tandai bagian-bagian penting untuk saya fotokopi.

            Saya datangi bagian fotokopi perpustakaan, tidak ada penjaganya. Apakah ia sedang di kamar mandi? tanya saya dalam hati. “Tukang fotokopinya gak masuk, dah beberapa hari ini. Sakit katanya,” jelas salah satu pengunjung sambil membawa buku menuju tempat layanan. Kemarin ia juga kecele. Saya telanjur tidak mengetahui tempat fotokopi terdekat di luar perpustakaan.

Pikiran saya rusuh, mungkin serusuh orang-orang berjaket hijau yang berkumpul di lapangan Wonderia pagi tadi. Hangat sinar matahari  disambut oleh para sopir ojek daring itu, yang meminta hak-haknya dipenuhi, di antaranya mengurangi pembayaran aplikasi yang dibebankan konsumen. Beberapa petugas keamanan juga terlihat di sana.

            Pada saat saya duduk di kursi lobi, tidak tahu harus berbuat apa, petugas perpustakaan menghampiri.

            “Yuk ikut, tak minta bantuan tukang parkir antar ke tempat fotokopian.”

            “Bener, Pak, nggak ngrepotin?”

Ia tersenyum dan menggeleng sambil meminta saya mengikuti langkahnya. Petugas itu memberikan kunci sepeda motornya dan meminta tukang parkir mengantar saya ke tempat fotokopi terdekat. 

            Selama di perjalanan dan mengantre di tempat fotokopi, pikiran saya mengembara pada kejadian-kejadian tragis negeri ini: dokter melakukan pelecehan seksual pasiennya, polisi menembak masyarakat sipil, hakim tipikor berbuat korupsi, dan kejadian-kejadian lain yang dilakukan oleh pelayan masyarakat yang seharusnya melindungi.

            Hari itu, saya menemui kejadian lebih dari pelayanan. Saya pulag membawa fotokopi dengan perasaan lebih menyenangkan dari membaca buku.

@@@

 

Kamis, 15 Mei 2025

Semur Tanpa Pala

                                                                                         


          Aroma tanah basah samar-samar melintas. Seharian hingga semalam kemarin, Yogyakarta diguyur hujan deras. Hari ini matahari tak bersinar cerah. Suara klakson, tukang parkir yang memberi aba-aba, keceriaan para wisatawan, dan kendaraan-kendaraan yang melintasi seputar alun-alun, meramaikan sore itu. Saya menyusuri kedai-kedai makanan, berniat mengembalikan energi, dengan makan makanan enak. Pilihan saya jatuh pada kedai khusus menjual aneka sup.

            Saya duduk satu meja dengan seorang wanita. Ia sibuk memencet ponsel. Percakapan kami terjadi seperti teman akrab. Saya sedang menghabiskan waktu libur dua hari; dia sedang menunggu temannya. Sesekali keningnya bergaris-garis seakan tidak setuju keputusan lawan bicaranya.

            Hidangan utuh di hadapannya. Setelah pesanan saya datang, kami menyantap hidangan masing-masing. Sesuap demi sesuap nasi sup terasa segar. Suapan ketiga mengintimidasi lidah saya. Sepotong makanan saya kira daging, ternyata pala. Saya langsung teringat buku tentang semur, dengan rempah pala sebagai ciri khasnya. Saya berujar suka-suka: Bagaimana jika kita masak semur tanpa pala?

            “Itu sama dengan masak kecap,” tanggapnya terkekeh. Kami melanjutkan makan. Pikiran saya mengurai pada buku, yang dari judulnya menarik perhatian saya.

            Semur adalah masakan dari daging, biasanya daging sapi, diolah bersama bumbu sederhana dan dipersedap dengan kecap manis. Kemudian semur berkembang dengan olahan daging kambing, ikan, telur, tahu, seafood, dan sayuran.

            Semur tampil dalam segala suasana: dimakan bersama nasi uduk sebagai menu sarapan, hidangan sehari-hari ibu rumah tangga, dan makanan pesta, bersanding dengan makanan-makanan kekinian.

          Semur termasuk hidangan tradisional Indonesia. Ia hadir sejak lama. Penamaan semur berasal dari bahasa Belanda, “smoor”, yang artinya, masakan daging yang direbus dengan tomat dan bawang secara perlahan. Kemudian ia menjadi menu utama dalam budaya Rijstafel Belanda (budaya penyajian nasi dan lauk pauk ala kuliner Nusantara, di meja makan)

            Buku ini juga menyatakan bahwa semur dapat diterima semua kalangan dan generasi. Itu sebabnya masakan semur tetap lestari hingga sekarang. Semur dijumpai hampir di semua daerah di Indonesai, dari barat sampai timur, dengan keunikan masing-masing. Di Samarinda dan Manado, semur dihidangkan bersama nasi kuning untuk sarapan. Di Gresik, semur diolah dari ikan bandeng, sebab di sana banyak dijumpai produksi ikan bandeng.

            Lambat laun, rasa manis-pedas pala larut bersama cecapan demi cecapan, dan tak terasa yang terakhir. Namun, wanita di hadapan saya belum didatangi temannya. Ketika saya ungkapkan barangkali temannya itu sedang ada musibah, dia menjawab jengkel.

            “Dia selalu ngajak adiknya. Paling dia sedang nunggu adiknya. Mereka adik kakak yang kompak. Kalau tidak ada salah satu, ya itu tadi, seperti Anda bilang: seperti semur tanpa pala!”

            Saya tertawa, dan, beranjak.

@@@


Kamis, 08 Mei 2025

Kali Kesek Village

                                                                                              


Saya pernah berdebat seru dengan seorang teman ketika berniat mengajaknya ke Kali Kesek Village. Tempat wisata ini menyajikan terapi ikan, yang tidak saya temukan di tempat-tempat wisata, seputar Semarang.

            Kali Kesek Village dapat ditempuh dengan bus Transsemarang jurusan Cangkiran. Dari terminal Cangkiran belum ada angkutan umum. Saya pernah bertanya kepada sopir angkutan, kala itu mengantar rombongan kami, sejauh mana hingga tidak ada angkutan umum, padahal tempat wisata itu semakin terkenal. Ia menjawab, kira-kira 10 km untuk sampai di tempat tujuan. Di samping itu, jalanan tidak memungkinkan kendaraan-kendaraan roda empat bersimpangan. Mereka pulang lewat jalan lain, menuju Boja.

            Teman saya ngeri melintasi jalan setapak sejauh itu, di kanan kiri pepohongan, berboncengan dengan sopir ojek online. Nyali saya ikut menciut. Entah kapan lagi saya menemukan rombongan yang bertamasya ke sana.

@@@

            Mukena belum saya lepas ketika pintu rumah diketuk. Saya menyelesaikan wirid. Setelah itu, saya beranjak keluar, dengan mukena tergulung sepinggang, tak enak tamu menunggu lama.

            Angin lebih dulu masuk dan mengurangi gerah begitu pintu saya buka.

            “Eh, Mbak….” Saya ajak ia masuk ke ruang tengah dan duduk santai. Tetangga saya itu segera mengutarakan maksudnya. Suara televisi dari Sapa Indonesia Malam saya kecilkan.

            “Pengurus kampung akan mengadakan wisata, di tiga tempat….”

            Saat itu saya seperti menemui malam lailatur qadar ketika ia menyebutkan salah satu tempat wisata adalah Kali Kesek Village. Saya langsung mendaftar.

            Hari-hari serasa jalan melambat. Hingga tiba waktunya, kami berwisata ke pemancingan dan tempat religi. Terakhir, rombongan diajak ke tempat saya impikan. Setelah membayar tiket masuk Rp2.000,00 per orang, dan parkir kendaraan, angkutan masuk di tempat parkir. Dua odong-odong dan kendaraan-kendaraan lain, mayoritas mobil-mobil angkutan, berada di sana.

                                                                               

Seperti namannya, suasana lekat alam pedesaan. Kedai-kedai sederhana dari bambu ramai pembeli. Pemiliknya para warga setempat yang menjajakan soto dan gendar pecel, dan oleh-oleh: kolang-kaling dengan harga jauh lebih murah disbanding di pasar tempat saya biasa berbelanja, tiwul (makanan dari tepung singkong diolah pakai gula merah), dan aneka keripik. Para pengunjung berswafoto, terlebih di spot Kali Kesek Village.

Saya semakin tak sabar saat melihat kali-kali atau sungai-sungai, diceburi kaki orang-orang yang memanfaatkan gigitan ikan-ikan terapi.

            Setelah salat Asar, saya langsung mendatangi kedai langganan. Saya memesan soto batok. Selain menjual soto dan gendar pecel, pemilik kedai juga memfasilitasi pemesanan kolang-kaling dan tiwul. Saya langsung melepas sandal jepit, dan menceburkan kedua kaki. Ikan-ikan terapi langsung menyerbu. Rasa geli merasuki seluruh tubuh saya.  Beramai-ramai saya tertawa bersama pengunjung-pengunjung yang waktu itu juga baru datang.

                                                                                    

          Pesanan datang lama tak terasa karena ulah ikan-ikan yang menggelitik. Saat kaki telah bersih dari kotoran, satu demi satu ikan-ikan pergi. Saatnya saya menyantap soto batok yang segar, hanya dengan membayar Rp8.000,00, perut kenyang.

            Sore semakin larut, langit hitam mungkin tak lama menumpahkan airnya, tak menyurutkan para pengunjung datang. Mugkin mereka juga seperti saya, yang tak sabar ingin menikmati gigitan ikan-ikan terapi.

@@@




 



           

Kamis, 01 Mei 2025

Semangkuk Bakso di Halbi

                                                                                       

        “Lihat bakso malang, Pak?” tanya saya kepada Pak Becak yang mangkal di depan kampung. Sontak pandangannya menyapu sekitar, tak ada gerobak penjual bakso seperti yang saya cari.

            “Nggak lihat, tapi dia jalan lurus kalau gak ada yang beli,” jawabnya sambil menunjuk arah.

            Jawaban sama saya terima dari orang-orang yang saya tanya. Para penjual bakso malang tak mangkal di suatu tempat. Mereka berhenti jika ada pembeli, atau memanggil dengan ketukan bakso yang khas, hanya sesaat. Setelebihnya, mereka jalan. Tak tahan menahan perut bernyanyi dan haus karena sengatan sinar matahari, saya putuskan makan makanan lain.

            Hari berikutnya, saya bertemu penjual bakso malang, tapi saya sedang berpuasa Syawal. Semangkuk bakso malang membayangi, dan saya terus mencari-cari kesempatan setiap keluar rumah.

            Kuah bakso malang bening. Kaldu beraroma bawang itu beradu dengan bakso sapi yang empuk dan gurih, dan renyahnya pangsit goreng. Toping seledri dan bawang goreng menyempurnakan penyajiannya. Setiap suapan mengundang selera.

            Bakso termasuk makanan akulturasi. Menurut buku Main Rasa Bersama Sasa, “bak-so” dalam bahasa Hokkien berarti “daging giling”.  Berawal saat Meng Bo, salah satu penduduk Negeri Tirai Bambu, sekitar abad ke-17, ingin menyajikan daging untuk ibunya. Seiring bertambahnya usia, ibu Meng Bo tidak dapat mengunyah daging. Dalam pencariannya, Meng Bo terinspirasi kue moci yang bulat dan kenyal. Kemudian ia menghaluskan daging dan membentuk bulat seperti kue moci. Sejak itu ibunya dapat menikmati daging.

            Kedatangan orang-orang Negeri Tirai Bambu, zaman dulu, tidak hanya berdagang. Mereka juga mewarnai budaya dan makanan masyarakat Indonesia, termasuk bakso. Sesuai mayoritas masyarakat Indonesia yang muslim, daging bakso tebuat dari daging sapi, bukan dari daging babi.

            Budaya Halbi (halal bi halal) juga dilestarikan oleh masyarakat Indonesia. Tujuan Halbi selain silaturahim adalah bermaaf-maafan. Begitupun yang ada di benak saya ketika menghadiri acara Halbi sebuah komunitas. Selebihnya, saya hanya membayangkan bakso secara umum, walau jauh hari, panitia mengumumkan bahwa makanan utama Halbi adalah bakso.

            Dan, kerinduan saya terbayar ketika di hadapan saya, terhidang bakso berkuang bening, mirip bakso malang. Di tengah maraknya efisiensi, saya menikmati bakso malang di Halbi, sebuah langkah bijaksana.

@@@


Kamis, 27 Maret 2025

Tak Memburu Waktu

                                                                                  

Posko penuh orang-orang. Posko keamanan di sebelah kiri dekat pintu gerbang masjid itu terbangun dari tenda terbuka. Saya mudah melihat kegiatannya dari jauh. Satu per satu orang keluar sambil membawa minyak goreng kemasan plastik dengan wajah berseri. Kemudian datang yang lain dan mengantre, begitu seterusnya. Sebagian dari mereka jemaah pengajian; Sebagian lagi orang-orang luar.

            “Tadi sebelum pengajian, ada pengumuman, tapi aku nggak ngeh,” jawab teman yang duduk di sebelah saya ketika saya tanya kegiatan di posko.

            “Jenengan tidak ke sana?” tanya saya sekaligus mencari teman.

            “Nanti saja setelah Asar,” jawabnya kukuh, sambil manggut-manggut mendengarkan keterangan Pak Ustaz.

            Hati saya bergejolak. Apakah barangnya masih ada jika kami menunggu Asar? Pasti harga minyak goreng itu murah. Mungkin otoritas setempat atau pihak tertentu memberi kompensasi kepada masyarakat, yang dirugikan salah satu produsen minyak goreng, yang mengurangi takaran.   

            Seorang wanita bertubuh tinggi dan tegar datang, lalu bersalaman kepada orang-orang di dekatnya. Ia tiba di masjid pada separuh waktu pengajian. Orang-orang membagikan takjil jelang buka puasa. Ia membagikan takjil siang hari, terlepas yang diberi jemaah pengajian. Saya pernah diberinya kurma 5 buah dalam bungkus mika.

            Saya datangi posko, di tengah terik matahari, pada keterangan Pak Ustaz berikutnya. Cerita Nabi Yusuf dibuang saudaranya, dan kisah-kisah menarik setelah itu, terdengar jelas melalui pelantang suara.

            Seperti mendapat hadiah lebaran ketika saya mendapatkan satu liter minyak goreng secara gratis. Saya hanya diminta mengisi kuesioner, seputar penggunaan uang digital. Teman saya sedih, selesai Asar, posko sepi, tidak ada lagi kegiatan pemberian minyak goreng gratis.

            Insya Allah, dua atau tiga hari lagi Lebaran tiba. Izinkah saya mengucapkan Hari Raya Idulfitri, kepada teman-teman yang merayakannya, dan, maaf lahir batin.

@@@