Sebetulnya saya tidak sengaja menulis pengalaman ini
untuk dikutsertakan ke dalam lomba. Karena saya sudah menulis dua karya lain
dalam Lomba Menulis Esai bagi Guru Jawa Tengah 2019 yang diadakan oleh Balai
Bahasa Jawa Tengah. Tetapi karena keresahan selalu nyesek bila tidak ditulis, akhirnya saya tulis pengalaman ini.
Biasanya saya menuangkannya ke dalam cerita fiksi. Kebetulan batas waktu lomba
di Balai Bahasa Jawa Tengah belum usai,
seru nih ditulis dalam bentuk esai.
Alahamdulillah, tulisan yang tidak
disangka terpilih mendampingi pemenang utama dan masuk dalam buku antologi Esai
bagi Guru Jawa Tengah 2019. Saya pun diundang dalam peluncurannya bersamaan
dengan penyerahan piala Prasidatama. Prasaditama adalah piala yang diberikan
kepada para pengguna dan apresiator bahasa dan sastra di Jawa Tengah oleh Balai
Bahasa Jawa Tengah. Para penerima Prasidatama sebagian dari instansi
pemerintah, sekolah, sebagian lagi para seniman penulis puisi, cerpen, dan
novel. Semua berdomisili di Jawa Tengah. Bertambah pengalaman dengan membaca
esai dari teman-teman guru.
“Warak, Antara Ikon dan Lelakon” bertutur tentang warak. Bagi masyarakat Semarang warak bukan hal asing. Warak sebagai ikon saat tradisi megengan
atau dugderan. Tradisi dugderan diadakan dua minggu menjelang puasa Ramadan di
alun-alun Masjid Besar Semarang. Puncak dugderan pada hari terakhir dihadiri Walikota
Semarang.
Warak
adalah replika binatang yang mencerminkan kondisi masyarakat Kota Semarang.
Masyarakat Semarang yang terbuka dalam keberagaman budaya. Warak berkaki empat melambangkan hewan kambing sebagai implementasi
orang Jawa, badannya seperti onta sebagai implementasi bangsa Arab, sedangkan
kepala yang mirip naga melambangkan bangsa Cina. Cerita yang ada sejak zaman
Kanjeng Bupati Semarang sangat relawan dengan kondisi Kota Semarang sebagai
ibukota provinsi. Layaknya ibukota yan harus menerima masyarkaat urban tentu
saja persatuan di antara perbedaan sangat dibutuhkan demi keamanan, kedamaian,
dan kenyamanan.
gambar warak
Dulu ketika saya kecil, warak banyak
dijual bahkan sebagian disertai endhog
(Jawa) atau telur. Tentu saja telur asin agar tahan hingga berhari-hari. Jadi,
namanya warak ngendhok. Endhok sebagai isyarat bahwa setelah
puasa satu bulan mendapatkan hadiah pahala. Tetapi sudah lama warak tidak
disertai endhog. Bahkan tahun ini,
saat dugderan tidak satu pun saya temui pedagang
warak, dari pangkal hingga ujung alun-alun. Hal inilah yang menjadi keresahan.
Mengapa warak tidak ada, mengapa
pedagang tidak lagi memproduksi.
Ada keraguan saat proses hingga
menjadi tulisan. Bertutur pada kejadian yang terjadi di Kota Semarang. Jadi,
belum tentu dari daerah lain mengetahui objek yang saya tulis. Apalagi saat survei. Baru pencarian keempat
berhasil menemui perajinnya. Hampir saja saya gagalkan dan tidak jadi menulis.
Dulu masyarakat kampung tersebut terkenal pembuat warak. Sekarang tinggal satu
orang. Itu pun hanya melayani pemesanan.
Mungkin karena esai ini berkaitan
dengan kearifan lokal, dan tentu saja memenuhi syarat sebagai penulisan sebuah
esai dan layak dibukukan. Mengutip catatan panitia, ada 104 karya yang
mengikuti lomba, tetapi hanya 40 % memenuhi syarat sebagai penulisan esai.
Warak
masih menjadi ikon. Di sana sini banyak terdapat gambar warak, dari pintu gerbang, posko kemanan, dan beberapa pembatas
jalan selama tradisi dugderan berlangsung. Tetapi perjalanan atau lelakon warak tidak secemerlang posisinya
sebagai ikon.
Semoga pemerintah daerah lebih menguri-uri
kearifan lokal dengan menggairahkan para perajin warak. Agar para generasi penerus, anak-anak kecil, mengenal warak ngendhok. Warak tidak saja sebagai permaianan anak, tetapi filosofi yang
terkandung di dalamnya begitu mulia.
@@@
Tidak ada komentar:
Posting Komentar