Iis Soekandar: Menjadi Guru Abad Ke-21

Senin, 23 Desember 2019

Menjadi Guru Abad Ke-21

                                                                                       

        Zaman terus berkembang. Agar tidak tertinggal dengan bangsa-bangsa lain, Pemerintah perlu menciptakan generasi-generasi yang mampu menjawab tantangan abad ke-21 ini. Lebih jauh terwujud Indonesia Emas 2045. Kurikulum Tingkat Satuan Pelajaran (KTSP) yang menjadikan guru sebagai subjek, kini diganti dengan Kurikulum 13. Peserta didik sebagai subjek, guru sebagai fasilitator. Peserta didik menjadi pribadi mandiri dan mampu  mememcahkan permasalahan dalam pembelajaran dengan baik.
Maka agar dapat menjalankan tugasnya sebagai fasilitator, guru perlu menanamkan pada dirinya terlebih dahulu keterampilan abad ke-21 yang meliputi: kemampuan beradaptasi dengan lingkungannya yang dinamis dalam Penguatan Pendidikan Karakter (PPK), menerapkan keterampilan dasar sehari-hari dengan berliterasi, dan memecahkan masalah kompleks.
            Pendidikan karakter berhubungan dengan perilaku dan pembiasaan yang termaktub dalam relegius, nasionalis, mandiri, gotong royong, dan integritas. Ada falsafah Jawa yang mengatakan, guru digugu dan ditiru. Semua tingkah laku dan tutur kata guru menjadi contoh bagi peserta didiknya. Dalam kesempatan apapun bersama peserta didik sebaiknya guru menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar sebagai sikap nasionalis. Tidak ada manusia yang terbebas dari masalah, termasuk guru. Seberat apapun masalah yang sedang dihadapi, guru tidak boleh membawanya ke kelas. Jika tidak dapat menahan, maka integritas guru bisa tercoreng dengan melampiaskan amarah di depan peserta didik. Begitupun pembiasaan nilai-nilai pendidikan karakter lain yang diimplentasikan dalam kehidupan sehari-hari.
            Literasi tidak hanya baca dan tulis, tetapi juga menyangkut lima literasi dasar lain. Guru mampu menganilisis berkaitan dengan bilangan, grafik, tabel, dan simbol-simbol dalam literasi bilangan, menjelaskan, mengevaluasi, menginterpretasi data dan bukti sains, serta sensitif menangapi fenomena alam dalam literasi sains, mengelola keuangan dengan baik dalam literasi keuangan, yang tidak kalah penting adalah melek teknologi sebagai amalan literasi digital. Zaman sekarang masih ada guru yang gaptek. Padahal dengan menguasai teknologi digital, guru dengan mudah menciptakan pembelajaran bervariasi, tidak hanya metode ceramah yang membosankan. Tidak membedakan peserta didik berkaitan dengan ras, suku, dan agama serta menghargai budaya setempat yang termasuk pengamalan literasi budaya dan kewargaan.
            Sedangkan memecahkan masalah kompleks berkaitan dengan Membiasakan diri berpikir kritis, di antaranya membuat Rancangan Pelaksaan Pembelajaran (RPP) yang inovatif. Tidak ada peserta didik yang bodoh. Melainkan guru kurang mampu mencari model pembelajaran yang sesuai dengan macam-macam karakter siswa.
            Menjadi guru tidak cukup sebagai pegawai yang menerima gaji sesuai kewajiban mengajar. Tetapi juga memiliki jiwa layaknya orangtua yang sedang mendidik anak kandungnya. Dengan demikian akan timbul dari hati untuk memandaikan mereka dengan penuh ketulusan, tidak semata-mata mentrasfer ilmu. Semoga kelak terwujud generasi emas 2045 yang berdaya saing dan berjiwa Pancasila.
@@@
esai ini pernah terbit di Koran Solopos, Minggu 22 Desember 2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar