Iis Soekandar: November 2025

Jumat, 28 November 2025

Bambu Cinta Nan Menyala

                                                                                  

bambu cinta

Seringkali timbul rasa iri setiap kali saya bertamasya ke pedesaan atau melewati daerah, terhampar hijau pepohonan. Entah ladang, apalagi rumah-rumah dengan tanaman di sekelilingnya. Sementara di lingkungan rumah saya, semua lahan telah tertutup ubin atau plester. Saya pernah menanam cabe, tapi mencari tanah subur susah, akhirnya biji cabe yang saya sebar tidak tumbuh.

Suatu saat saya membaca koran. Departemen Pertanian menyelenggarakan pameran tanaman hias, anturium, dan aglaonema. Membaca kata ‘tanaman’ hati saya senang. Saya catat tanggal dan harinya.

Siang tak terik, karena sedang musim hujan, ketika saya tiba di pelataran Wonderia, tempat yang dulu pernah menjadi kebun binatang, kemudian menjadi taman hiburan anak-anak, lalu ditutup karena terjadi kecelakaan pada salah satu wahananya, setelah itu, Wonderia dibiarkan terbengkelai. Begitu saya masuk pintu gerbang pameran, kursi-kursi tertata di bagian kiri, dipayungi tenda perpaduan warna putih dan merah menyala. Di ujung ada panggung, dengan gambar sosok otoritas Kota Semarang.

“Di kantor gubenuran sedang ada acara. Sebagian dari mereka mengisi acara di sana,” kata salah satu petugas yang saya temui ketika saya bertanya mengapa suasana pameran sepi. “Biasanya sore ramai pengunjung,” tambahnya. Kemudian ia mempersilakan saya jalan ke kanan, menuju stan-stan tanaman. 

                                                                                       

tanaman anggrek

Stan pertama adalah penjual cendera mata. Cendera mata juga dijual di sana. Pedagangnya asal dari Jawa Barat.

“Saya telanjur cinta profesi. Sahabat saya, yang senasib, juga tinggal di Semarang,” kata wanita gemuk terlihat gesit. Saya terpesona mendengar ceritanya: dua sahabat, kini kembali berkolaborasi membuat kerajinan tangan, sebagaimana di daerah asal mereka. Mereka tidak mengeluh saat dipisahkan padahal bisnis sedang maju. Mereka dipertemukan lagi saat mendapat suami sama-sama orang Semarang. Kecintaan terhadap kerajinan tangan, persahabatan, membuat mereka mendapat keberuntungan. Kerajinan tangan yang dibuat sekarang bukan asal Jawa Barat, melainkan kerajinan tangan dari eksplorasi potensi Kota Semarang.

                                                                         

                                                                           tanaman anturium

Sesuai tema pameran, hanya satu dua penjual cendera mata, selebihnya stan-stan tanaman. Beberapa stan menjual jenis-jenis tanaman anggrek. Stan-stan lain menjual jenis-jenis anthurium dan aglaonema. Sejauh saya memandang, jenis-jenis anturium dan aglaonema hanya tanaman daun. Tapi satu tanaman dalam satu pot kecil harganya hingga jutaan.

“Sudah dipasang tarip tinggi, giliran akan dibayar pembeli, malah katanya buat koleksi sendiri,” kata karyawan terkekeh, seorang lelaki berpostur tinggi besar, yang semula saya kira pemilik tanaman. Karyawan itu baru saja menelepon pemiliknya. Akhirnya karyawan menyatakan bahwa tanaman-tanaman di meja depan hanya dipamerkan.

“Begitulah cinta,” kata calon pembeli sambil tertawa, kemudian memilih aglaonema jenis lain.

                                                                         

tanaman bonsai

Ada juga pameran tanaman bonsai, yang tergabung dalam komunitas tanaman bonsai. Para penjual tanaman hias sadar diri, era digital, ponsel menjadi andalan setiap orang, pengunjung diperbolahkan swafoto walau tidak membeli.

Saya tertegun pada tanaman yang dirangkai sedemikian rupa, membentuk daun waru sebagai lambang cinta.

“Ini namanya bambu cinta,” katanya ketika saya tanya tanaman apa itu. Tanaman bambu, dibentuk khusus, lalu diberi pita merah, ia menamainya bambu cinta.

“Bapak tidak saying, misal dirusak oleh hama, tikus, misalnya,” kata saya.

“Oh, tidak, tikus saya ajak bicara, ‘tikus jangan dirusak ya, kamu cari makan di tempat lain,’. Nyatanya tidak dimakan. Aman saja. Itu buktinya.”

                                                                                 

tanaman aglaonema

Satu jam lebih saya melihat-lihat pameran tanaman hias. Dalam perjalanan pulang, saya merasakan pemilik bambu cinta mewakili orang-orang yang dengan cinta telah menemukan sesuatu berharga dalam hidup mereka. Wanita yang menekuni hobi kerajinan tangan dan kembali berkolaborasi dengan sahabatnya, pemilik tanaman yang tak menjual sebagian asetnya, dan pemilik bambu cinta yang tak membunuh binatang sebagai musuh manusia, melainkan berbicara dengan setulus hati. Cinta memberi energi orang-orang untuk berdamai dengan kesulitan, dan akhirnya menemukan keasyikan dalam hidup mereka.

Saatnya saya berdamai dengan yang ada.

@@@



 


Jumat, 14 November 2025

Taman Watu Gajah

                                                                                           

ikon Taman Watu Gajah

         Sopir segera melajukan mobil seiring ketidaksabaran kami melihat tempat wisata berikutnya. Kami dari wisata religi kemudian mampir sebuah pasar di Salatiga. Ini tempat wisata baru, setidaknya bagi rombongan kami. Dingin di dalam mobil oleh mesin pendingin berkebalikan dengan hati kami yang menyala ingin segera sampai di tempat wisata itu: Taman Watu Gajah atau Park Watu Gajah.

            Satu jam berikutnya mobil tiba di tempat parkir, di depan tempat wisata. Sebagaimana namanya, dari jauh terlihat patung gajah. Patung gajah itu duduk berpayung jamur, di atas bangunan berdinding batu, serupa rumah kurcaci, seluas tempat loket pada umumnya. Selanjut saya menemui banyak patung gajah di dalam arena wisata. Harga tiket per orang Rp30.000,00 karena kami bepergian weekend, Rp25.000,00 untuk weekday, jam buka 08.00-17.00. Taman Watu Gajah terletak di Dusun Watugajah, Kecamatan Bergas, Kabupaten Semarang.

            “Monggo… silakan…,” sapa seorang perempuan muda dengan ramah, mengenakan kerudung, celana blue jeans dan kemeja gombrong, berdiri di belakang pintu gerbang, menyambut kedatangan setiap pengunjung.

Kami melewati lorong, sekitar seratus meter, menuju ke dalam, berdinding kawat-kawat di kanan kiri, sekaligus sarana tumbuh-tumbuhan merambat. Payung-payung warna warni dipajang sebagai kanopi, mengajak setiap pengunjung menikmati setiap detail tempat wisata. 

                                                                                 

Kolam 9 Bidadari

          Pukul dua belas siang tak menyurutkan kami melanjutkan berwisata alam dan menunda makan siang. Keluar dari Lorong kami dihadapkan pada Kolam 9 Bidadari. Seperti biasa, saya berfoto, mengambil sisi paling menarik. Tidak jauh dari Kolam 9 Bidadari ada patung gajah sebagai ikon tempat wisata Taman Watu Gajah, kemudian Lorong Cinta, Sangkar Burung Pipit, dan Istana Catur. Masuk ke dalam lagi adalah berbagai wahana air, wisata paling disukai anak-anak.

Istana Catur

            “Ayo kita main catur!” ajak seorang pengunjung, berseragam olahraga salah satu SD, saat tiba di Istana Catur.

            “Wah, semua ukurannya besar,” ungkap temannya kagum.

            Mereka datang berombongan, mungkin bersama guru-guru dan teman-teman satu kelasnya.

            Tempat edukasi lain bagi anak-anak adalah Goa Kingkong. Dari sana mereka tahu  kehidupan zaman dulu. Bagi yang suka berkebun disediakan hortikultura sayur dan hidroponik farm kebun.

            Taman Watu Gajah juga memanjakan para orangtua dengan Wisata Panci. Saya bersamaan dengan para orangtua, masuk di sebuah gedung luas. Di dalamnya dijual aneka panci. Meski demikian, ada juga alat-alat rumah tangga selain panci, seperti termos, kipas angin, kaca cermin, meja lipat, dll. Di depan gedung, sebelum masuk, sempat saya baca, harga grosir. Mungkin harga barang-barang itu murah dibanding harga-harga di tempat-tempat lain. Saya tidak membuktikan, begitupun teman-teman satu rombongan. Kami penasaran ingin tahu Wisata Panci. 

Sangkar Burung Pipit

       Kami salat setelah puas berwisata. Musalanya bersih. Saya mengibas-ngibaskan kedua tangan sesaat, begitu menyentuh air, terasa dingin walau siang hari.

            Setelah itu kami makan siang. Ada banyak menu makanan dan minuman pilihan di kafe. Sambil menunggu pesanan bakso, salah satu dari kami berempat membeli kentang goreng seharga Rp10.000,00. Dan menikmati bersama. Kami tidak membawa bekal makanan dan minuman dari rumah, sebagaimana para pengunjung lain. Tidak sabar menahan lapar, kami langsung menyantap pesanan. Semangkuk bakso seharga Rp17.000,00. Sebagai hidangan penutup, saya menikmati  es krim tiga rasa, dengan membayar Rp10.000,00

Di seberang kafe ada sebuah toko oleh-oleh. Toko itu menjual aneka model tas anyaman berbahan plastik, dan camilan-camilan. Saya tak membeli apa pun karena kedekatan geografis tak ada makanan spesial. Kami pulang dengan rasa puas mengunjungi Taman Watu Gajah.

@@@