Iis Soekandar: Galih dan Baki Sakti

Rabu, 04 Agustus 2021

Galih dan Baki Sakti

                                                                                       


            Sore itu, Galih disuruh membeli beras oleh ibu di warung. Kebetulan persediaan beras di rumah habis. Ibu belum sempat pergi ke pasar.

            “Beli beras tiga kilo, Bu Min!” pinta Galih. Bu Min, pemilik warung, sedang menimbang gula.

            “Tunggu sebentar, Galih,” jawab Bu Min sambil menyelesaikan timbangan gula setengah kilo. Di sebelahnya sudah ada beberapa bungkus gula pasir ukuran setengah kilo.

            “Lih, ternyata kamu juga belanja di warung,” sapa Andi di balik masker wajahnya, tiba-tiba sudah berada di sebelah Galih.

            Galih dan Andi teman sekelas. Mereka sama-sama sedang disuruh ibunya membeli sembako. Galih merasa kebetulan bisa bertemu dengan teman sekelas sekaligus tetangganya itu. Dia bisa menyampaikan keluh kesah yang dirasakan wali kelasnya, Bu Ning. Sebagian teman-temannya tidak mengerjakan tugas, termasuk Andi. Galih sebagai ketua kelas.

            “Tugas-tugasmu sudah selesai, Ndi?” tanya Galih.

            “Masih ada yang kurang,” jawab Andi.

            “Bukankah besok hari Sabtu, saatnya mengumpulkan tugas-tugas satu minggu?” Galih mengingatkan.

            “Ah, tenang,” jawab Andi santai. Galih geleng-geleng kepala.

            Setelah mendapatkan beras tiga kilo dan membayar, Galih pergi. Sedangkan Andi masih menunggu Bu Min menimbang beras pesanannya.

            Seminggu lalu ketika Galih mengumpulkan tugas-tugas di sekolah, Bu Ning mengeluh. Beliau mengatakan bahwa masih ada teman-teman sekelas Galih yang malas mengerjakan tugas. Mereka ingin Bu Ning menjelaskan dan menuliskan materi di papan tulis sebagaimana di kelas. Padahal para orangtua belum menyetujui pembelajaran tatap muka.

@@@

            Galih baru saja menyelesaikan tugas sekolah ketika ibu menyuruhnya membersihkan warung. Walaupun belum dipakai lagi berjualan, setiap hari warung itu dibersihkan. Warung itu terletak di sebelah rumah. Sejak pandemi bapak tidak berjualan mi ayam di tempat. Para pembeli datang ke rumah lalu dibawa pulang. Tetapi pembeli tidak seramai dulu.

            Galih membuka pintu dan jendela warung agar udaranya segar. Setelah itu mengelap debu yang menempel di meja, kursi, dan perkakas lain dengan kemucing. Tidak lupa Galih juga mengelap baki bundar yang sengaja bapak gantung di dinding. Baki itu biasa digunakan bapak bila pembeli datang berombongan. Tujuannya agar pesanan cepat sampai ke pembeli. Sedangkan mangkuk, sendok, garpu, dan gelas disimpan di lemari. Setelah itu barulah Galih menyapu lantai.

            Ada spidol tertinggal di meja. Pasti milik Mas Bagas, kakaknya. Warung ini sering menjadi tempat belajar Mas Bagas karena mejanya panjang dan lebar. Mas Bagas leluasa mengerjakan tugas-tugas sekolah.

            Galih menemukan ide. Ia segera menghubungi wali kelasnya itu melalui android ibu. Begitu mendengar usul Galih, Bu Ning langsung menyetujui.

@@@

            Pagi itu, Galih, Andi, Lesti, Dewi, dan Bimo berkumpul di warung mi ayam bapak. Mereka sedang menunggu Bu Ning. Mereka akan belajar secara tatap muka.

            “Lih, kenapa baki itu kamu sandarkan di kotak etalase? Bukankah biasanya kamu gantungkan di dinding?” tanya Andi. Kotak etalase dulu untuk meletakkan mi dan bahan-bahan mi ayam lain.

            “Ini baki sakti,” jelas Galih.

            Tentu saja yang lain penasaran.

            Tidak lama Bu Ning datang dengan mengendarai sepeda motor.

            “Anak-anak, hari ini Ibu sengaja mengajak kalian belajar secara tatap muka. Ibu berterima kasih kepada keluarga Galih. Keluarga Galih telah menyediakan tempat ini untuk dipakai belajar,” jelas Bu Ning.

            Murid-murid tampak senang. Mereka rindu sekolah di kelas seperti dulu. Rumah mereka satu lokasi. Bu Ning sengaja mendatangi anak-anak yang rumahnya berdekatan.

            Sesekali Bu Ning menerangkan, sesekali menuliskan materi di baki dengan spidol.

            “Ternyata baki itu sebagai pengganti papan tulis,” tukas Desi dengan lirih.

            “O ... jadi itu yang kamu bilang baki sakti?” kata Andi kepada Galih.

            “Iya, selain sebagai tempat menghidangkan makanan, juga sebagai papan tulis. Maaf, Bu, saya harus menjelaskan,” ungkap Galih.

            “Tidak apa-apa, Galih. Ibu tidak kuat membawa papan tulis, anak-anak. Syukurlah, Galih memberikan ide. Jadi bagaimana, apakah kalian merasa jelas dengan tulisan Ibu di baki?” tanya Bu Ning.

            “Jelas, Bu,” jawab mereka serempak dengan senang hati.

            Tidak hanya dengan Galih, Andi, Lesti, Desi, dan Bimo, Bu Ning juga mendatangi murid-muridnya yang lain. Bu Ning meminta salah satu menyediakan baki sebagai pengganti papan tulis. Jika tidak ada, Bu Ning yang membawa dari rumah.

            Sejak itu tidak ada lagi anak-anak yang malas. Mereka rajin mengerjakan tugas-tugas berkat baki sakti, ide dari Galih.

@@@

Cerpen ini pernah dimuat di koran Kedaulatan Rakyat, Jumat 30 Juli 2021


Tidak ada komentar:

Posting Komentar