Sani
sedang bermain robot di ruang keluarga. Dia punya beberapa koleksi robot. Akan
tetapi, ia selalu meminta papanya agar membelikan robot lagi.
“Pa, pergi ke Toko Robotik, yuk!”
ajak Sani. Toko Robotik adalah toko mainan anak-anak.
“Koleksi robotmu, kan, sudah banyak,
San. Ke dugderan saja, yuk! Di sana banyak mainan anak-anak yang tidak kalah
menarik,” jelas papa.
“Bosan, Pa. Mainannya jadul alias
kuno,” jawab Sani.
Ting tong... ting tong...! Tiba-tiba
bel rumah berbunyi.
“Eh, Pak Wiryo, mari silakan masuk!”
pinta mama yang membukakan pintu.
Ternyata
Pak Wiryo yang datang malam itu. Pak Wiryo adalah tetangga baru. Beliau
berkunjung bersama istri dan anaknya untuk berkenalan.
“Hai, kenalkan, aku Sani,” ungkap Sani sambil
mengulurkan tangan kanannya.
“Aku Baskoro,” kata anak Pak Wiryo.
“Sani, kamu tadi sedang bermain robot-robotan.
Ajak sekalian Baskoro bermain robot-robotan koleksimu!” pinta Papa.
“Yuk, Baskoro, kita bermain robot
bersama,” ajak Sani.
Baskoro langsung senang mengikuti
ajakan Sani. Maklumlah, Baskoro masih baru di daerah itu. Dia belum memiliki
teman satu pun. Dia juga tidak punya mainan robot. Ketika Sani mengambil robot
di atas lemari hias, Baskoro melihat boneka menarik yang diletakkan di sebelah
robot.
“Itu boneka apa, San?” tanya
Baskoro.
“Oh, itu namanya warak,” jawab Sani.
Sani mengambil boneka yang membuat
tetangga barunya itu terkagum-kagum. Boneka itu berbulu keriting, kepalanya
seperti naga, tetapi berkaki empat. Baskoro melihat dengan terkesima.
“Warak
itu aku beli setahun lalu di acara dugderan. Tradisi dugderan diadakan setiap
menjelang puasa Ramadhan di Semarang. Warak adalah ciri khas atau ikon dugderan.
Di sana juga ada permainan anak-anak. Dijual juga mainan anak-anak dari
gerabah,” cerita Sani semakin membuat Baskoro kagum.
Baskoro penasaran. Dia ingin melihat
tradisi dugderan seperti yang diceritakan Sani dan ingin membeli warak.
@@@
Semula Sani mengajak Baskoro pergi
ke dugderan Minggu pagi. Namun, Baskoro dan keluarganya harus ke gereja. Maka,
keduanya memutuskan pergi Minggu sore.
“San, kamu menunggu aku lama, ya?”
tanya Baskoro begitu tiba di rumah Sani. Baskoro datang bersama temannya.
“Ah, tidak apa-apa,” jawab Sani.
“O iya, kenalkan ini Chen, teman
sebangkuku. Kalau kamu tidak keberatan, Chen juga ingin melihat dugderan.
Makanya aku ajak serta,” jelas Baskoro.
“Hai, Chen. Tentu saja aku tidak keberatan.
Aku justru senang punya banyak teman,” jelas Sani.
“Terima kasih, Sani. Aku senang
berteman denganmu. Untung Baskoro mengajakku Minggu sore. Karena Minggu pagi
aku harus beribadah di Klenteng,” tutur Chen.
Sani manggut-manggut dan tersenyum
senang. Sambil berjalan menuju alun-alun untuk menyaksikan dugderan, Sani
bercerita. Warak mencerminkan percampuran budaya Arab, Jawa, dan Tionghoa.
Sebagaimana Sani yang keturunan Arab, Baskoro orang jawa, dan Chen keturunan
Tionghoa. Walaupun berbeda-beda, mereka warga negara Indonesia yang baik.
Baskoro dan Chen semakin senang mendengar cerita Sani.
“Kalian
ingin naik permainan apa? Kalau aku suka komedi putar,” ujar Sani. “Aku suka naik kincir. Wah, seru kita
duduk di dalam sangkar. Aku pernah naik kincir ketika papaku bertugas di daerah
lain,” cerita Baskoro.
Akhirnya, mereka menaiki komidi
putar dan kincir. Mereka bertiga bersuka ria. Di sepanjang perjalanan mereka
juga melihat celengan berbentuk aneka hewan dan mainan dari gerabah. Ada
ulekan, piring, cangkir, dan alat makan lain. Juga kapal-kapalan yang dapat
berputar di air yang diletakkan di dalam ember.
“Ini warak,” kata Sani ketika
melihat pedagang warak. Warak dipajang berjejer. Dari yang kecil di depan,
sedang, dan yang ukuran besar di belakang.
“Wah, ada juga yang besar,” kata
Baskoro senang.
“Aku juga ingin membeli,” sahut Chen.
Karena
tidak membawa uang banyak, Chen dan Baskoro membeli warak sesuai uang yang mereka
bawa.
“Saat papaku masih kecil, warak ini
disertai telur asin, sehingga namanya warak ngendok.
Telur asin itu diletakkan di antara kedua kaki depan. Sekarang waraknya tidak
ada yang ngendhog. Oya kebetulan hari
ini ada pembagian kue ganjeril. Kue ganjeril hanya ada saat dugderan. Kita akan
mendapatkan secara gratis,” ujar Sani.
Mejelang
senja, petugas masjid membagikan kue ganjeril berbentuk kotak yang dibagikan
kepada masyarakat luas. Kue itu diletakkan di dalam bungkus mika.
“Wah, menyenangkan sekali melihat
tradisi dugderan,” kata Chen.
“Pasti mama papaku senang melihat
warak ini,” ungkap Baskoro.
Dugderan kali ini penuh kesan. Sani
tidak menyangka warak dan mainan tradisional lainnya tidak kalah menarik dengan
robot.
@@@
Tidak ada komentar:
Posting Komentar