Hari ini
ada yang spesial dari kelas XI A. Kabar itu mereka dengar beberapa
hari lalu. Semua
akan menyambutnya dengan penuh suka cita. Wajarlah karena seseorang itu amat
teristimewa di sekolah.
Bu Reni adalah pengganti sementara Bu Silvi yang sedang cuti
melahirkan. Hari ini beliau mengajar
untuk pertama kali di kelas yang selama ini tidak diampunya.
“Selamat siang, anak-anak...” sapa
Bu Reni. Bu Reni yang cantik, murah senyum, tidak saja karena ingin disegani
meski bukan guru Bahasa Indonesia sebenarnya,
tapi beliau memang ramah.
“Selamat siang, Buuuu...,” sambut
anak-anak satu kelas serempak.
Para siswa riuh rendah menyambut guru barunya.
“Kalian pasti sudah mengenal saya,
walaupun
sebelumnya saya
tidak mengajar kalian,” jelas Bu Reni setelah suasana tenang. Maklumlah meski
mengerti Bu Reni juga guru yang mengajar di sekolah tersebut, sepertinya mereka
tidak ingin melewatkan pertemuan pertama ini.
Mereka tetap menginginkan Bu Reni
memperkenalkan diri. Bahkan hobi dan makanan kesukaannya, mereka ingin tahu. Bu
Rini geleng-geleng kepala.
Acara perkenalan dengan Bu Reni
usai. Beliau juga tak mau kalah ingin mengenal setiap siswa. Diabsennya satu per satu menurut alfabet.
“Andika Saputra...”
“Saya, Bu,” jawab Andika sambil
mengangkat tangan.
“Anita Lestari...”
“Saya, Bu.”
Ketika Bu Reni memanggil satu
anak dan ternyata tidak masuk, tanggapan
seluruh siswa berbeda.
“Namanya bukan Sifa Savitri, Bu,
tapi Anak Baru...” celetuk salah satu.
“O... jadi dia anak baru? Pindahan
dari luar kota?” tanya Bu Reni penasaran.
Mereka tidak langsung menjawab, tapi
malah cekikikan. Bu Reni semakin bingung. Barulah seseorang menjelaskan.
“Dia jarang masuk, Bu. Anaknya
tertutup. Makanya setiap masuk seperti anak baru. Maka kami satu kelas memanggilnya
Anak Baru.”
Jidat Bu Reni mengerut.
“Kalau sering tidak masuk mengapa
kalian sebagai teman satu kelas tidak berusaha mencari tahu? Dekatilah sehingga
dia terbuka. Pasti dia punya masalah. Jangan-jangan di antara kalian pernah
menyakitinya.”
Bu Reni mendesak agar di antara
mereka mengaku. Tapi mereka bersikeras bahwa kelasnya damai. Tidak ada satu pun
yang membuat permusuahan. Jadi, kalaupun Sifa menemui masalah, pasti di luar
kelas.
Hari pertama Bu Reni sengaja
menyelesaikan semua masalah. Beliau tidak ingin ada yang mengganjal saat pembelajaran
kelak. Beliau mendesak teman sebangkunya mendatangi rumah Sifa. Dengan
pendekatan persuasif, Bu Reni berharap siswa kelas itu lengkap.
Setelah masalah menemukan
penyelesaian, barulah Bu Reni memulai pembelajaran.
@@@
Veronika benar-benar terpanggil
dengan saran Bu Reni. Di samping itu desakan teman-teman satu kelas sehingga
tidak ada pilihan lain selain menemui Sifa di rumahnya. Dia menyesal selama ini
terpancing teman-temannya dengan membenci Sifa. Hari Jumat saatnya pulang awal,
Vero tidak langsung ke rumah, melainkan menemui teman sebangkunya.
Warung terlihat banyak pembeli. Sifa
sedang membantu seorang wanita tengah baya, siapa lagi kalau bukan neneknya.
Tapi Vero enggan mendekat. Dia takut mengganggu. Syukurlah tak lama
berselang, tanpa sadar Sifa
mempersilakannya yang dikira pembeli.
“Vero?” Sifa tak percaya teman
sebangkunya berada di warungnya.
Vero
dipersilakan duduk di ruang tamu yang bersebalahan dengan warung.
“Ver... mengapa kamu ke sini?
Bukankah aku tidak punya janji sama kamu?” ungkap Sifa berterus terang setelah
menyajikan teh manis.
“Memangnya kalau kamu tidak punya
janji aku tidak boleh ke rumahmu? Jadi kamu sudah tidak menganggap aku teman
sebangkumu lagi?” tantang Vero.
Sifa menghela napas panjang. Tatapannya
yang semula tajam, kali ini luluh dan menunduk.
“Kita kan teman sabangku, Sif, masa
sih kalau kamu punya masalah aku tidak boleh tahu? Aku ingin kita bersama lagi
seperti dulu. Aku yakin setelah ini tidak ada yang mengatakan kamu anak baru.
Mereka sudah janji. Teman-teman menginginkan kamu kembali ke sekolah.”
Sifa memandang Vero. Maka
mengalirlah tuturan demi tuturan.
“Aku malas sekolah, Ver. Kedua
orangtuaku benar-benar tak peduli. Berkas untuk pengajuan beasiswa yang diminta
sekolah tidak diberikan padaku. Kamu tahu sendiri, nenekku tidak ada yang membantu
kalau aku ke luar kota menemui ibuku. Bapakku aku mintai tolong malah mematikan
nomornya dan tidak akitf. Sudah untung aku punya nenek yang baik hati. Kalau tidak, aku pasti sudah menggelandang
sejak dulu,” cerita Sifa tentang kedua orangtuanya yang bercerai.
“Kalau begitu, hari Minggu nanti aku
antar kamu mengurus berkas itu ke rumah ibumu. Siapa tahu belum terlmbat. Yah
kalaupun terlambat mungin bisa diajukan tahun depan. Atau setidaknya kamu
kembali ke sekolah, meraih masa depan.”
“Kenapa kamu begitu peduli dengan
masalahku, Ver?”
“Karena kasih sayang tidak hanya
untuk pacar, kan, tetapi juga dengan teman.”
Mereka tersenyum dan tidak sabar ingin
lagi ke sekolah dan duduk satu meja.
@@@
Cerma ini pernah terbit di Koran
Padang Ekspres, Minggu 23 Februari 2020
Cerma sederhana yang manis...
BalasHapusMakasih, Mas Suden apresiasinya
HapusKomentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus